Setidaknya ada tiga peristiwa bunuh diri siswi SMP yang mengejutkan pada bulan Mei lalu.  Pada awal bulan, seorang siswi SMP di Bali ditemukan gantung diri dengan masih menggunakan seragam sekolah karena diduga takut tidak lulus Ujian Nasional. Minggu setelahnya, seorang siswi SMP nekat melompat dari apartemen karena diduga takut menghadapi ujian Bahasa Mandarin. Dan tak lama setelah itu, seorang siswi SMP di Blitar, yang dikenal pandai, juga ditemukan menggantung diri karena diduga kuatir tidak bisa diterima di SMA favoritnya.

Kekalahan memang dapat membuat seseorang merasa malu dan tertekan. Seorang samurai di Jepang akan melakukan harakiri atau bunuh diri untuk menutupi rasa malu dan memulihkan nama baiknya setelah mengalami kegagalan. Harakari secara tidak langsung juga banyak mempengaruhi kehidupan generasi muda, khususnya di negara-negara dengan persaingan yang ketat seperti Jepang dan Korea Selatan. Tidak sedikit pelajar, profesional, bahkan selebriti di negara-negara tersebut yang ditemukan bunuh diri karena merasa gagal bersaing dalam “dunianya”.

Sungguh sangat memprihatinkan kalau “budaya harakiri” tersebut akhirnya mulai merasuki remaja-remaja di Indonesia. Entah karena terlalu sering membaca komik atau menonton film yang berbau harakiri atau karena faktor lain, yang jelas banyak remaja mulai merasa hidupnya hampa dan sia-sia ketika mengalami kegagalan. Bukan hanya kegagalan cinta namun juga kegagalan dalam prestasi belajar seperti yang diberitakan belakangan ini.

Tidak dapat dipungkiri bahwa persaingan dalam berbagai bidang semakin lama semakin berat. Tidak terkecuali dengan persaingan belajar di sekolah. Tuntutan untuk meningkatkan bobot soal Ujian Nasional juga diiringi dengan tuntutan sekolah dan orang tua terhadap siswanya untuk belajar lebih keras lagi. Pelajaran-pelajaran tambahan dan kursus-kursus untuk mendongkrak nilai siswa semakin gencar digalakkan.

Sekolah-sekolah favorit juga terus menjadi incaran karena dianggap “jaminan” untuk masa depan siswa. Akibatnya, mereka yang tidak diterima di sekolah favorit seakan-akan masih diragukan masa depannya. Belum lagi persaingan untuk mendapatkan beasiswa, yang bukan lagi sekedar untuk membantu sosial ekonomi, namun juga prestige bagi siswa-siswi yang seharusnya sudah cukup mampu secara finansial. Dengan kata lain kita tidak bisa menutup mata bahwa setiap siswa memang dihadapkan dengan tuntutan persaingan yang semakin berat atau bahkan berlebihan.

Henry Ford, produsen mobil ternama di Amerika Serikat berkata, “Competition whose motive is merely to compete, to drive some other fellow out, never carries very far”. Persaingan yang tujuannya semata-mata untuk bersaing dan mengalahkan orang lain, tidak akan bermanfaat untuk jangka panjang. Fenomena harakiri muncul akibat seseorang pelajar merasa gagal bersaing atau merasa malu dengan apa yang akan dikatakan oleh keluarga dan orang-orang di sekitarnya kalau ia gagal memenuhi target. Sikap yang salah dalam menghadapi persaingan belajar inilah yang semakin mendorong fenomena harakiri di negeri kita.

Persaingan Sehat vs Tidak Sehat

Ahli psikologi kepribadian, Richard M. Ryckman, membagi sikap terhadap persaingan atau kompetisi dalam tiga tipe, yaitu sikap kompetitif yang belebihan (hypercompetitive), sikap menghindari kompetisi (avoidance competition attitude) dan sikap kompetitif untuk pengembangan diri (personal development competitive). Seorang pelajar yang berusaha mati-matian, bahkan kalau perlu menghalalkan segala cara, demi mencapai target prestasi merupakan contoh sikap kompetitif yang belebihan (hypercompetitive). Jika pelajar tersebut menghidari hal-hal yang bersifat kompetitif, takut menghadapi ujian, mundur sebelum mencoba dengan berbagai alasan, maka pelajar tersebut menunjukkan sikap menghindari kompetisi (avoidance competition attitude). Sebaliknya, jika seorang pelajar berani menghadapi persaingan atau ujian, belajar dengan giat untuk meningkatkan kompetensi dirinya dan bukan semata-mata untuk mengalahkan temannya atau mengikuti tuntutan “gengsi” dari lingkungannya, maka sikap persaingan inilah yang paling sehat yang disebut sikap kompetitif untuk pengembangan diri (personal development competitive).

Bahkan dalam dunia bisnis yang sarat dengan persaingan sengit ternyata juga lebih membutuhkan sikap persaingan yang sehat. Hasil penelitian Rae Andre menunjukkan bahwa para pebisnis sukses di Amerika Serikat juga lebih memiliki personal development competitive daripada sikap-sikap kompetitif lainnya yang kurang sehat. Artinya kesuksesan tidak selalu dengan cara mengalahkan pihak lain, atau menjadi the best. Begitu juga kesuksesan tidak akan terjadi kalau seseorang terus menghindari kompetisi, takut menghadapi ujian dan tantangan. Kesuksesan akan diperoleh ketika seseorang terus-menerus berjuang, berusaha lebih baik lagi, bukan untuk mengalahkan atau menyenangkan orang lain, namun untuk mengembangkan bakat-minatnya. Persaingan yang terbaik bukan mengalahkan orang lain, melainkan mengalahkan diri sendiri.

Peran Guru dan Orang Tua

Menyikapi fenomena harakiri pelajar yang memprihatinkan ini sebaiknya guru dan orang tua juga ikut membangun sikap kompetitif yang sehat, yang lebih bertujuan untuk membangun kompetensi diri, bagi putra-putrinya. Sikap membanding-bandingkan yang berlebihan, kata-kata yang mengancam, serta komunikasi yang kurang dialogis seringkali memunculkan sikap kompetitif yang keliru pada anak. Guru atau orang tua yang terlalu membangga-banggakan nilai akademik, brand sekolah atau perguruan tinggi favorit, juga menanamkan rasa “tidak aman” pada siswanya jika ia gagal mencapai target akademik tersebut.

Sebaliknya, masih banyak yang perlu dikembangkan selain hanya kemampuan kognitif atau akademik semata. Kemampuan soft seperti kecerdasan emosi, kemampuan berkomunikasi dua arah dengan asertif, regulasi diri, goal-setting dan berbagai soft skill yang lain sangat perlu ditekankan pula oleh guru dan orang tua. Tanamkan itu sejak dini sehingga siswi-siswi kita tahu bahwa kegagalan ujian bukan akhir dari segalanya.

 

Penulis:

Dr. Jimmy Ellya Kurniawan, S.Psi., M.Si., Psikolog.

Dekan dan Kaprodi Fakultas Psikologi Universitas Ciputra