Ingin Lestarikan Batik lewat Digitalisasi

Yohanes Somawihardja Menjaga Batik dengan Cinta. Surya.13 Desember 2015.Hal.1,7

Batik sebagus dan secanggih apapun pembuatannya suatu saat tetap akan hancur. Merawat batik sebaik mungkin hanya memperpanjang usianya. Itu sebabnya, Yohannes Sompawihardja memimpikan digitalisasasi batik utnuk mengabadikan warisan budaya Nusantara itu.

Ditemui pekan lalu i ruang prtemuan rektorat Universitas Ciputra Surabaya, Yohannes Somawihardja dengan penuh semangat bicara tentang batik. Segala tetek bengkek batik ia ungkapkan, mulai dari awal mula cintanya bersemi pada batik, hingga koleksinya yang sebagian ia pamerkan siang itu. Direktur Akademik Universitas Ciputra yang akrab di panggil Pak Yo itu bercerita ia baru bersentuhan dengan batik sejak 1970-an, ketika ikut pamannya yang pedangang batik di Solo. “Waktu itu batik bagi saya ya benda yang biasa – biasa saja, karena sudah menjadi bagian hidup sehari – hari”, tuturnya. Kini Ia tak sekedar menjadi kolektor batik,tetapi  juga mencintai warisan budaya Nusantara itu. Di rumahnya sudah ada ratusan batik yang di koleksinya.

Belasan koleksinya dipamerkan pada Surya siang itu. Mulai batik yang sudah punah maupun yang baru diproduksi perajin batik baru tetapi punya cita rasa seni tinggi.

Salah satu yang dipamerkan Yohannes pada  Surya adalah batik pepaduan tiga daerah penghasil batik, yang disebut batik Tiga Negeri. Ia menjelaskan, unsur dalam batik itu mewakili Yogyakarta atau solo yang terkenal dengan soganya, Lasem terkenal dengan warna merahna, pekalongan terkena dengan birunya.

“Dulu Batik Tiga Negeri ini dibuat  di Solo, Lasem dan Pekalongan. Sekarang sudah punah. Pengusahanya sih masih ada, tetapi perajinnya yang tidak ada,”katanya. Ayah dua anak yang masih bocah ini juga memamerkan batik yang juga sudah punah, yaitu sarung encing yang berasal dari Pekalongan dan  Lasem. “Sarung ini terpengaruhnya Cina dan Eropa. Ciri Eropa-nya adalah burung gereja. Ini dibuat tahun 1930-an untuk warga Tionghoa,” katanya.

Ada juga koleksi unik Yohannes, yaitu selendang bang biron ( merah, biru dan hitam )yang dibuat khusus untuk orang Sumatera. Ada yang batik yang dilihat dari dekat jelek, tapi indah bila dilihat dari jarak 5 meter.”Ini yang digemari orang asing. Kira – kira ini harganya Rp 15 juta,”katanya.

Yang tak kalah unik adalah batik bikinan Oey Soe Tjoen, pembatik terkenal dari Pekalongan. Ia menyebut,selain Oey Soe Tjoen, ada dua lain yang menjadi pembatik top Pekalongan yaitu Liem Ping Wie dan Oey Bio Gwan. Tetapi, nama terakhir sudah meninggal.

Batik Oey Soe Tjoen,kata pria kelahiran Parakan, kabupaten Temanggung pada 1959 itu, sangat istimewa . Ia pun membentangkan salah satu batik karya Oey Soe Tjoen yang didominasi warna biru.

Ia pun menujuk titik – titik sebagai detail batik itu. Lalu di baliknya detail serupa tampak serupa.”Jadi, kain ini dibatik bolak – balik dengan tingkat kesulitan yang sama,”katanya.

Ia pun tidak heran, selembar batik Oey Soe Tjoen bisa di bikin selama dua tahun.”Dan tentu saja harganya sangat mahal,”katanya.

Ia juga menyebut, batik batik premium, termasuk yang produksi baru, tidak untuk dijahit menjadi baju.”Untuk koleksi saja . Lagian sayang banget melihat batik – batik indah itu digunting gunting dan dijadikan baju,”katanya.

Menyasikan banyaknya koleksi batik premium itu,suami Imelda Lewono itu, pun memikrkan bagaimana caranya melestarikan batik – batik luar biasa itu. “Sebab,disimpan dengan cara apapun , termasuk ditempatkan di ruang ber-AC yang menyala sepanjang  waktu, batik itu akhirnya rusak juga,”kata Yohannes.

Yohannes pun sampai pada pemikiran untuk menyimpan batik – batik indah itu dalam bentuk digital . Cara ini,kata Yohannes selain ringkas juga relatif lebih murah .”Orang sekarang mendokumentasikan batiknya dengan memotret ala kadarnya. Sehingga tidak bisa dilihat secara detail,” kata Yohannes yang juga gemar mengoleksi keris itu.

Dengan digitalisasi koleksi batik, batik – batik premium itu difoto dengan kamera beresolusi tinggi. Sehingga detailnya, seperti karya Oey Soe Tjoen, bisa terlihat jelas.”Dengann file digital begitu,siapa saja bisa belajar tentang batik tanpa takut merusak bendanya,”katanya.

Namun, kata Yohannes, digitalisasi koleksi batik itu butuh upayayang tidak gampang.”Tetap butuh duit juga. Nah, untuk itu kami masih menunggu ada dermawan yang mau menyumbangkan hartanya untuk pelestarian batik,”katanya.

Soal menikmati batik, Yohannes dan Imelda punya cara sendiri.Mereka  membentangkan batik pada sebuah gawangan. “ Lalu kami  berdua duduk sambil memandangi batik itu , lalu berdiskusi,” katanya.

Bagaimana dengan anak-anaknya? Yohannes mengatakan,kedua anaknya sudah mengenal batik.”Tetapi untuk sampai pada pengetahuan mendalam,mereka belum,”katanya. (Adi Sasono)

 

Sumber : Harian Pagi Surya “Spirit Baru Jawa Timur” , Minggu 13 Desember 2015

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *