Emil Sanossa Tak Ada “Senja” Buatnya

Tak Ada Senja Buatnya.Kompas.20 Ferbuari 2016.Hal.16

“Orang tua jangan di larang untuk beraktivitas. Jangan berhenti menulis, membaca, atau sekedar menonton TV. Kalau apa-apa di larang, tubuh dan pikirannya akan menjadi lemah tidak berdaya,” kata Email Sanossa, penulis naskah film drama tahun 1960 hingga 1980-an, Rabu (17/2), di rumahnya di Kabupaten Malang, Jawa Timur.

Pernyataan itu juga menjelaskan keadaan Emil sendiri. Meski berusia 78 tahun dan kondisi tubuh tidak lagi bisa berjalan tegak, pemikiran dan ingatan tentang kisah sejarah bangsa, alur hidupnya, atau proses kreatifnya dalam menulis masih tersimpan jelas dalam memorinya. Bahkan, dalam mencermati politik kekinian, pemikirannya masih sangat tajam.

“Saya sedang gandrung dengan karya tetralogi Pramoedya Ananta Teor. Satu keinginan saya adalah bagaimana agar karya besar itu bisa di tonton seluruh anak bangsa. Kisahnya sangat menarik dan penuh pesan kebangsaan kuat,” kata pria dengan nama asli Khoirul Abdullah itu.

Pada ea 1960 hingga 1980-an, Emil Sanossa adalah penulis naskah drama dan film cukup populer. Karyanya antara lain Fajar Sidik dan Menyongsong Ufuk yang di kenal luas oleh masyarakat saat itu.

Kini di usianya yang sudah 78 tahun,Emil tidak berhenti berkarya. Meski tidak tidak lagi menulis naskah film atau drama, kakek 12 cucu tersebut masih, aktif menulis puisi yang di terbitkan menjadi buku bersama penulis-penulis muda Malang. Kadang ia hanya menulis di akun media sosial miliknya.

Saat ini, Emil menjadi salah stau pembina komunitas seni anak-anak muda di Kota Malang. Tahun 2009, Emil masih menyempatkan menulis puisi panjang “Doa Akasyah”, “Perjamuan Pertobatan” yang di terbitkan dalam sebuah buku bersama Komunitas Lembah Ibarat.

Di luar itu, rumah Emil terbuka untuk siapa saja yang ingin menimbah ilmu darinya. Beberapa anak muda pun sering dtang ke sana untuk belajar menulis dan bertukar gagasan dengan ayah 5 anak itu.

“Beberapa anak muda sering datang kesini, membaca puisi, atau sekedar ngobrol. Senang jika masih ada anak-anak muda yang mau membaca dan menulis. Membacalah jangan puas dengan pendidikan selama kuliah. Karena dengan membaca, kamu bisa tahu banyak hal,” tuturnya.

Kebangsaan

     Karya-karya Emil dikenal dengan tema perjuangan kebangsaan. Baginya sejarah adalah identitas sebuah bangsa. Tanpa mengenla sejarah, apalah arti suatu bangsa. Ada, tetapi tanpa makna.

Naskah Menyongsong Ufuk, misalnya, merupakan karya Emil yang mengambarkan perjuangan Rahayu (seorang guru partikelir di sebuah sekolah kebangsaan) saat memperjuangkan cintanya kepada Komarudin (seorang jurnalis) di tengah kesibukannya mengajar sekaligus di tengah pergerakan politik.

Kisah-kisah berlatar kebangsaan hampir selalu menjadi tema karya-karya Emil. Tak heran jika kemudin ia menyebutkan dirinya seniman propatria, seniman persaksian sejarah kebangsaan.

Kisah perjalanan hidup Emil tidak melulu hanya menulis. Dia berkesenian semenjak SMP, ketika didik filsafat oleh gurunya di sebuah sekolah islam saat itu.

Meski sekolah islam, sang guru tidak segan mengajarkan lagu-lagu agama lain untuk membentuk mental anak didiknya. Siswa di latih menganalisis, membaca dan menulis banyak hal. Lahirlah Emil dengan pemikiran terbuka.

Seniman kelahiran 2 Februari 1938 itu pernah terjun ke dunia politik. Ia pernah menjadi anggota DPRD Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, tahun 1969-1970 dan menjadi wakil Ketua DPRD Kabupaten Lumajang tahun 1971. Selama menjadi anggota dewan, Emil sempat berhenti menulis. Waktunya habis untuk pergulatan politik.

Tahun 1980, ia merasa jenuh dengan panggung politik yang di anggapnya tidak adil. Emil memutuskan berhenti menjadi anggota dewan dan kembali ke Malang untuk menulis. Lahir lima naskah yang semuanya memegangi lomba naskah drama TVRI di Surabaya pada 1980.

Kelima naskah itu adalah Orang Ketiga, Gadis Kami Tercinta, Desas Desus, Di Suatu Masa di Sebuah Desa ,serta Buih dan Gelembung. Tahun 1980, naskah Gadis Kami Tercinta di produksi oleh TVRI dengan produser Deddy Miswar. Film TV itu berhasil menyabet Piala Vidya.

Kini, di tengah usia tuanya, Emil masih terus mencipta. Ia terus menggerakkan pikiran dan rasa, menulis bersama anak-anak muda.

Begitulah, tak ada sengaja bagi Emil Sanossa

 

 

UC Lib-Collect

KOMPAS, Sabtu 20 Februari 2016

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *