Pos

Sunny Gho Memperluas Industri Komik Lokal

Memperluas Industri Komik Lokal. Kompas. 18 November 2015.Hal.16

Kecintaan Sunny Gho (33) pada komik tak menyurutkan langkahnya meski merasa salah mengambil jurusan kuliah. Berbagai cara di lakukannya untuk tetap bisa berkarya membuat komik, sampai kemudian mendirikan stellar Labs dan menjadi salah satu penggagas festival budaya populer, popcorn Asia di Jakarta.

OLEH SUSIE BERINDRA

Aku memang suka komik dari kecil. Dengan harapan mendapat ilmu menggambar , aku memilih kuliah di Jurusan Desain Komunikasi Visual. Universitas Trisakti. Tapi ternyata , disana malah enggak di ajarkan menggambar, kecewa juga sih. Kata Sunny mengisahkan permulaan perjalanan kariernya sebagai comic artist.

Untuk mengasah kemampuannya. Sunny bergabung dengan klub design Comic society di kampusnya. Meski merasa tak bisa mengembangkan bekatnya lebih baik Sunny bersama teman-temannya mengikuti pameran di pekan Komik Nasional Universitas Petra Surabaya, tahun 2002. Dari acara itu mereka bertemu dengan banyak komunitas dari sejumlah kota seperti Solo, Semarang, Yogyakarta, Surabaya dan Jakarta.

“Dari situ saya melihat bisa sukses dengan menjadi komikus dan saya menentukan bakat saya sebagai colorist. Kemudian ketika lulus kuliah saya tetap bertahan dengan komik.  Sama sekali  enggak mau kerja di bidang advertising seperti teman – teman lainnya kata Sunny.

Sebagai mahasiswa yang bisa  menghasilkan uang, tentunya menjadi kebanggaan tersendiri. Saat itu, sunny  diajak oleh temannya untuk menggarap sebuah komik terbitan PT Elex  Media Kompuindo. Awalnya , sunny tidak percaya diri karena  harus mewarnai komik dengan komputer.

Dengan waktu yang singkat , dia pun belajar mewarnai komik dengan menggunakkan slylus. Lumayan untuk seseorang mahasiswa mendapatkan honor sebesar rp. 35.000 per halaman dengan terget 52 halaman satu bulan sekali, tapi akibatnya saya terlambat lulus kuliah tahun 2005 karena keasikan ngurusin komik “ujar Sunny”

Seusai kuliah, jalan untuk mengembangkan komik lokal kembali buntu karena komik lokal terbitan Elex di hentikan . Ahkirnya, seperti para komikus di Indonesia lainnya, Sunny pun menawarkan karyanya ke luar negeri. Sampai kemudian dia mendapat pekerjaan dari orang Jerman yang melihat karyanya di Devianart.

“Untuk satu gambar, saya bisa mendapat honor 100 dollar AS. Tahun 2006 itu, jika saya mendapat proyek dua gambar saja, saya bisa mempunyai penghasilan yang sama dengan mahasiswa yang baru lulus,” kata Sunny.

Di tahun yang sama, Sunny bergabung dengan Imaginary Friends Studio di Singapura itu menawarkan kerja sama dengan membangun cabang di Jakarta. Jadilah Sunny mengumpulkan sekitar 30 komikus untuk mendirikan studio komik cabang dari Singapura. Di bawah Imaginary, Sunny dan teman-temannya mengerjakan komik Marvel dan DC Comics.

Studio komik

            Apakah cukup puas hanya sebagai tukang gambar atau mewarnai saja? Sayang sekali, padahal bakat komikus di Indonesia tak kalah dengan luar negeri. “Aku berpikir kapan bisa komik yang asli Indonesia, kok, selama ini kita hanya bekerja untuk luar negeri,” ujarnya.

Sedikit demi sedikit, Sunny mulai membangun cita-citanya untuk mengembangkan industry komik local. Dia mendirikan Makko Publishing menebitkan komik local di internet. Pada 2010, Makko Publishing menerbitkan komik Rokki di majalah Hai. Sayangnya, hanya berjalan selama satu tahun.

Meski hanya sebentar, Makko sempat menorehkan  prestasi dalam industry kreatif. Salah satu komik terbitan Makko Publishing yang berjudul “5 menit Sebelum Tayang” karya Ockto Barimbing dan Muhammad Fathanatul Haq berhasil memenangi Silver Award di 6th International Mangan Award di Jepang.

Padal 2012, Sunny memisahkan diri dari Imaginart Friends Srudio mengerjakan proyek komik dari luar negeri, Sunny terus mencari cara bagaimana bisa mengembangkan komik local dengan konten khas Indonesia. Dia pun menjadi salah satu penggagas festival budaya popular Popcorn Asia bersama Grace Kusnadi dan Marlin Sugama.

“Pertama kali digelar tahun 2012, Popcon masih menghadirkan tamu dari luar negeri. Kami memberikan kesempatan kepada komikus, pencipta games, dan mainan untuk memamerkan karyanya. Lalu, pada 2015, barulah Popcon lebih banyak menghadirkan konten local yang tidak kalah dengan luar negeri,” kata Sunny.

Nah di Popcon 2015, Sunny memberanikan diri meluncurkan majalah komik Mook yang mengangkat cerita asli Indonesia. Beberapa nama komikus terkenal yang mengisi majalah Kosmik, seperti Ockto Bringbing, Swetta Kartika, dan Faza Meonk. Dengan tagline #KomikUntukSemua, Kosmik yang pertama terbit langsung laku 1.000 eksemplar dalam waktu satu setengah hari saat Popcon Asia 2015.

Beberapa cerita di Kosmik mengangkat tentang Indonesia. Salah satunya “Suryaraka” karya Ockto dan Catur yang mengisahkan kisah heroic kelahiran Kerajaan Majapahit. Lalu, ada komik “Jamu S.A.K.T.I” yang member resep ramuan jamu untuk kesehatan.

Cerita unik lain tentan gastronot wanita bernama Rixa. Untuk komi ini, Sunny bekerja sama denga Lembaga Penerbangan dan ANtaruiksa Nasional (Lapan) yang ingin mengenalkan profesi astronot kepada masyarakat. Hingga kini, Kosmik sudah terbit dua kali.

“Aku ingin ketika orang di luar Indonesia membaca Kosmik  langsung tahu itu komik asli Indonesia. Tetapi, ceritanya juga harus bisa dimengerti oleh mereka,” ujar Sunny.

Kini, untuk lebih mengembangkan komik local, Stelar Labs bergabung dengan Glitch merupakan produsen mainan yang benar-benar asli karya anak bangsa. Kami ingin mengangkat talenta Indonesia ke panggung dunia. Bukan hanya sebagai pasar mainan dari luar negeri atau sebagai tukang gambar saja, melainkan juga harus mempunyai keunikan tersendiri,” kata Sunny.

Perjuangan untuk mengenalkan komik Indonesia memang masih panjang. Tak boleh berhenti sampai di sini. Talenta anak bangsa harus bisa bersaing di kancah international.

KOMPAS, RABU, 18 NOVEMBER 2015

Bondan Siswanto Meneropong Jiwa Zaman

Meneropong Jiwa Zaman. Kompas.12 November 2015. Hal.16

Tugasnya sebagai Juru Pelihara Kompleks Percandian Penataran selama 23 tahun, di Blitar, Jawa Timur. Bondan Siswanto (52) tidak hanya menjalani tugasnya dengan mencabuti rerumputan di sela-sela batu candi. Ia juga menggugah pengunjung untuk meneropong jiwa zaman cagar budaya itu. Atas usahanya, Bondan dianugerahi sebagai salah satu Juru Pelihara Cagar Budaya Terbaik 2015 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

OLEH NAWA TUNGGAL

            Cagar budaya menyimpan kisah sejarah manusia pada zamannya. Di situ masih ada nilai kehidupan manusia yang dapat kita pelajari untuk menjalani kehidupan sekarang,” kata Bondan ketika ditemui di kompleks percandian Penataran, Senin (5/10).

Meneropong jiwa zaman masa lalu, sebagai usaha Bondan menambah pengetahuan bagi pengunjung dengan mengisahkan relief bangunan percandian yang dinilai tetap relevan dengan kehidupan sekarang.

Misalnya, dari bangunan Pendapa Teras, ada relief-relief mengisahkan cerita Panji, meliputi Sang Seyawan Sri Tanjung, Bubuksah dan Gagang Aking, serta penggalan kisah lain yang belum diketahui.

Rp 1.000 per hari

            Bondan menjadi juru pelihara candi itu sejak 1992 dengan honor Rp. 1.000 per hari. Kalau dihitung, sebuah ia menerima honor sekitar Rp 30.000. untuk mendapatkan nafkah tambahan, setiap hari Minggu Bondan menjaga parkir kendaraan pengunjung candi. Di rumah, Bondan juga memelihara burung kenari sebagai usaha kecil-kecilan.

“Ada dua hal yang membuat saya tetap bertahan menjadi juru pelihara candi meski honor yang saya terima sangat kecil. Pertama, tidak mudah mencari pekerjaan. Yang kedua, saya menyukai sejarah,” kata Bondan.

Bondan menceritakan itu, Bondan diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) pada 2007 atau 15 tahun kemudian sebesar Rp 300.000 per bulan. Sepanjang 15 tahun, naik 10 kali lipat, tetapi tetap saja gaji itu masih sangat rendah.

Berkat kesetiannya itu, Bondan diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) PADA 2007. Bondan sedikit merasa lega karena gajinya dinaikkan menjadi Rp. 800.000 per bulan. Berkat kesetiannya pula, pada 2 Oktober 2015, Bondan menerima anugerah Juru Pelihara Cagar Budaya Terbaik 2015 dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan permuseuman Pemkab (Pemerintah Kabupaten) Blitar memberi tahu ada lowongan pekerjaan hororer untuk juru pelihara Candi Penataran,” kata Bondan.

Ketertarikan dan rasa ingin tahu Bondan terhadap Candi Penataran akhirnya kesampaian. Menjadi juru pelihara candi memang digaji sangat rendah. Namun, Bondan senang karena cakrawala pengetahuannya soal sejarah selalu terkembang.

“Senang sekali bisa bertemu banyak ilmuwan sejarah dari banyak negara, seperti seorang arkeolog dari Jerman, Lydia Kieven,” kata Bondan.

Lydia Kieven dikenal sebagai arkeolog Jerman yang mendalami berbagai percandian di dunia, termasuk di Jawa Timur. Ia meminjamkan ketertarkannya terhadap relief-relief cerita Panji.

Sampai sekarang tetap tidak diketahui adakah hubungan masa lalu antara masyarakat di sekitar Candi Penataran dan masyarakat suku Maya.

Menurut Bondan, Lydia beberapa kali mengunjungi kompleks percandian Penataran. Tidak hanya melihat dan pergi, Lydia juga kerap berdiskusi dan menyampaikan pandangan-pandanganya secara ilmiah terhadap bangunan bersejarah yang ada di Penataran.

“Seperti pada relief ini. Ada seorang laki-laki mengenakan tekes (tutup kepala). Lydia Kieven menyebutkan, penggambaran tekes ini mirip dengan yang dikenakan suku Maya di Amerika Tengah,” kata Bondan.

Sampai sekarang tetap tak diketahui, adakah hubungan masa lalu antara masyarakat di sekitar Candi Penataran dan masyarakat Suku Maya.

Keprihatinan

Kompleks percandian Penataran kerap disingkat Candi Penataran saja. Ini merujuk pada nama lokasinya di Desa Penataran, Kecamataan Nglegok, Blitar. Menurut Bondan, meski sudah banyak diteliti orang asing dan dari dalam negeri, tampaknya candi itu masih membutuhkan berbagai penelitian lanjut.

“Penelitian soal pertalian sejarah dengan suku Maya masih sangat di butuhkan. Di Pendapa Teras juga masih banyak penggalan kisah dari relief yang hingga sekarang belum juga masih banyak penggalan kisah dari relief yang hingga sekarang belum juga disimpulkan judul kisah alisnya,” kata Bondan.

Kompleks percandian Penataran merupakan yang terluas di Jawa Timur. Areanya 12.946 meter persegi. Bangunannya membentang dari arah barat laut ke timur laut, memunggungi puncak Gunung Kelud yang ditemukan pada 1815 oleh Letnan Gubernur Jenderal Pemerintah Kolonial Inggris Thomas Stamford Raffles (1781-1826). Raffles kemudian mencupliknya menjadi bagian dari bukunya, History of Java.

Inilah yang kemudian menginspirasi penelitian berikutnya pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Pada 1867, Andre de la Porte bersama seorang asisten residen bernama J Knebel meneliti kompleks percandian tersebut hingga membukukannya pada 1900 dengan judul, De Ruines van Penataran.

Sebelumnya, terdapat nama-nama peneliti J Crawfurd, Van Meeteren Brouwer (1828), Junghun (1844), Jonathan Rigg (1848), dan NW Hoepermans (1866). Hoopermans berhasil menginvertarisasi isi kompleks percandian.

Beberapa bangunan penting masih tersisa. Dari pintu masuk, melintasi dua dwarapala atau area penjaga pintu dengan tulisan angka tahun 1242. Saka atau 1320 Masehi. Kemudian, berurutan dapat dijumpai bangunan-bangunan penting meliputi Bale Agung, Pendapa Teras, Candi Angka Tahun, Candi Naga, dan Candi Induk.

Candi Angka Tahun kerap disebut Candi Brawijaya karena bentuknya dijadikan lambing Kodam V/Brawijaya. Candi Induk adalah candi terbesar di antara semua bangunan yang ada.

Bondan merawat semua itu dengan hati. Kesadaran sejarah dan mengenali jiwa zamannya membuat Bondan terus bertahan dengan bangga meski di tengah keprihatinan kian meluruhnya perhatian pemerintah dan masyarakat terhadap budaya bangsa sendiri.

KOMPAS, KAMIS, 12 NOVEMBER 2015

Ranu Amilus Berselancar dengan Hasrat Jiwa

Berselancar dengan Hasrat Jiwa. Kompas. 2 Desember 2015.Hal.16

“I don’t need an easy, i just need a possible.” Begitu kata Bethany Hamilton, peselancar profesional asal Hanelai (Kauai, Hawaii), November 2003, sebulan setelah lengan kirinya harus diamputasi karena diserang hiu macan sepanjang 14 meter. Dengan satu lengan , banyak orang meragukan dia. Namun, perempuan yang meraih gelar juara pertama pada kompetisi selancar Quicksilver saat usia delapan tahun itu tidak ragu kembali berselancar. Dua tahun kemudian, Bethany meraih juara US National Under-18 Surf Championship yang diselenggarakan National Scholastic Surfing Association.

Oleh Mediana

Selang satu tahun kemudian, beratus ratus ribu kilometer dari Hawaii, tsunami menimpa Aceh. Tak terkecuali di Pulau Simeulue, “terpaksa  kehilangan”, mimpinya sejenak membangun resor wisata bagi peselancar. Modal berupa tanah dan properti resornya hancur diterjang tsunami.

Simeulue, pulau yang dikenal dunia akan ombak pantai terbaik bagi peselancar tersebut, sempat sepi dari kunjungan wisatawan. Trauma tsunami begitu kuat. Setelah kejadian itu, dia mencoba bekerja di berbagai bidang, mulai aktivis lembaga swadaya masyarakat hingga asisten di perusahaan logistik.

Perjalanan hidup Ranu ibarat ombak laut dan selancar yang tidak jauh dari kehidupannya. Ia jatuh bangun menekuni wirausaha di bidang pariwisata. Tapi dia selalu menggapai papan selancarnya berdiri kembali di atas papan , dan “berselancar” dalam lautan kehidupan.

Keluarga Pedagang

Orangtua Ranu berlatar belakang budaya Minangkabau, Sumatera Barat. Pada 1965, mereka merantau ke Simeulue sebagai pedagang cengkeh. Kala itu, Simeulue terkenal sebagai tanah emas.

“semua warga bermata pencarian di rantai perdagangan cengkeh. Hasil perkebunan ini menjadi primadona. Harga pasarannya setinggi emas,”kata Ranu.

Pada awal 1980-an, harga per kilogram cengkeh mencapai Rp.25.000 atau hampir mendekati harga emas seberat 3,3 gram yakni Rp.28.000

Kemakmuran dan kebahagiaan dirasakan keluarga Ranu. Keluarganya pun akrab dengan pantai sebagai tempat piknik keluarga. Ia pun mulai berkenalan dengan papan selancar.

Sayangnya, keceriaan itu tidak berlangsung lama. Harga cengkeh di pasaran turun drastis. Situs perekonomian di Simeulue memburuk. Saat Ranu berusia empat tahun, orangtuanya memboyong dia dan saudaranya merantau ke Medan, Sumatera Utara. Orangtuan Ranu beralih jadi pedagang makanan khas Sumatera.

“tentu hal ini tidak mudah. Kami harus mulai membangun ekonomi keluarga dari nol. Anak dilibatkan penuh dalam usaha ini, misalnya saya yang masih kecil membantu di dapur,” kata Ranu. Dari situlah dia belajar memasak.

Pariwisata

Hasrat menekuni bidang pariwisata tumbuh secara tidak sengaja. Saat duduk di bangku SMP, dia sering melihat pengayuh becak dan becak motor (bentor) mengantar turis asing berkeliling ke berbagai tempat wisata di Medan.

Kemudian, dia berkenalan dengan kelompok tikang becak dan pengemudi bentor wisata. Dari kelompok itu, Ranu mempraktikkan ilmu pengetahuan tentang Medan, Bahsa Inggris, dan kepiawaiaanya menjalin komunikasi.

“sepulang sekolah, saya berganti baju seragam ke pakaian biasa. Kemudian , pergi ke motel, losmen, dan hotel populer tempat turis mancanegara biasa menginap. Saya menawarkan diri sebagai pelajar yang ingin belajar bahasa Inggris dan memandu turis ke tempat wisata di Medan. “ katanya sambil tertawa.

Karena hanya berniat belajar, awalnya dia tidak memperoleh upah. Namun, lambat laun ia mulai mendapatkan bayaran seiring meningkatnya jam terbang memandu turis. Uang hasil bekerja digunakan untuk membantu keuangan keluarga.

“Saya memakai sisa uang untuk mengambil kursus bahasa Inggris. Di samping itu, saya juga belajar bahasa Jepang. Saya yakin, bahasa akan sangat berguna bagi pekerja pariwisata,” tutur Ranu.

Lulus SMP pada 1995, dia mantap belajar di SMK pariwisata. Jurusan yang diambil adalah tur dan perjalanan. Profesi pemandu wisata lepas pun masih ia lakoni.

Lapangan memang “sekolah” terbaik. Dari turis asing, dia mengeksplorasi kemampuan, menimbun pengetahuan tren pelesir, dan menjalin relasi. Bali dan Sumbawa (Nusa Tenggara Barat) sempat menjadi daerah perantauannya selama kurun waktu 2000-2003.

“saya menyukai pantai, ombak, dan selancar. Di kedua destinasi wisata unggulan itu, saya merasakan sulitnya bekerja sebagai pemandu wisata. Kompetisinya cukup sengit sehingga sering menyebabkan keuangan pribadi terganggu.” Ujar Ranu.

Dia sempat berpindah pindah tempat tinggal. Tapi, kondisi tersebut sama sekali tidak menyurutkan semangatnya. Dia bahkan membuka relasi luas dengan koki hotel, kelompok pemandu wisata, dan investor. Jaringan pertemanan dengan warga negara asing semakin membuatnya berani mengumpulkan modal untuk membuka usaha resor atau tempat penginapan khusus peselancar di Simeulue.

“Bagi saya, Simeulue adalah tanah kelahiran dan nadi kehidupan. Saya memang pernah menyaksikan keindahan kegiatan selancar di Bali dan Nusa Tenggara Barat. Namun tidak ada yang senikmat dan sebahagia di kampung halaman,” jawab Ranu saat ditanya alasan dia kembali ke Simeulue pada 2004. Enam tahun setelah tsunami Aceh , kehidupan pulau berangsur membaik. Investor asing berdatangan ke Simeulue. Dia pub pernah diajak kerjasama dengan seorang warga negara Australia selama 2010-2011. Mereka merintis Aura Surf Camp. Aura merupakan kepanjangan Aundrew dan Ranu.

Kehidupan Simeulue marak wisatawan Nusantara dan mancanegara yang menyukai wisata air, seperti selancar.

“lalu saya memutuskanberdiri sendiri dengan mendirikan Ranu Surf Camp,” kata Ranu yang kemudian mendirikan resor dan warung makan di Desa Matanurung.

“saya berupaya mengembangkan end to end bisnis pariwisata dengan mengikutsertakan masyarakat lokal’” ujar bapak dua anak ini.

Soal warung makan, misalnya, segala kebutuhan bahan baku memasak dibeli dari warga setempat , mulai dari sayuran, ikan, hingga daging kerbau. Dia bercerita tentang sop kabau, salah satu menu andalan di Ranu Surf Camp, “Kabau” merupakan istilah untuk Kerbau. Daging segar disuplai oleh pengusaha daging kerbau. Begitu pula lobster,dia beli langsung dari temannya, pemiliki budidaya lobster laut.

Lebih dari lima karyawan resor merupakan warga setempat. Ranu pun membekali mereka dengan pengetahuan wisata dan memasak makanan untuk tamu.

 

Kompas, Rabu 02 Desember 2015