Sjamsiah Achmad tentang Ketulusan

Oleh Krist Poerwandari (Psikologi)

Tidak banyak figur yang kata dan perbuat untuk dapat menjadi teladan. Dari yang sedikit, tak diragukan, sjamsiah Achmad, hari ini berlari jadi ke-85, adalah salah satunya. Satu frase yang sangat sering beliau tekankan adalah, “kerja sama yang adil, setara dan tulus.”

Lahir di Sengkang, Wajo, Sulawesi Selatan, 10 Maret 1933, ia memulai pekerjaan sebagai guru, lalu jadi peneliti, dan meneruskan pendidikan di Amerika Serikat. Ia kemudian menjadi Sekretaris Duta Besar RI untuk Rusia. Sekembali ke Indonesia ia diangkat menjadi Kepala Biro Hubungan Internasional LIPI, berlanjut bekerja cukup lama di Markas Besar PBB di New York dan Wina. Kembali ke Indonesia, beliau teruk sibuk hingga di usianya sekarang.

Menilik ke kamus, tulus itu bermakna sungguh, bersih hati, jujur, tidak pura-pura, tidak serong ikhlas. Berdekatan makna dengan rela, yang artinya tidak mengharap imbalan, dengan kehendak atau kemauan sendiri, mengizinkan, memperkenankan.

Meminimalkan kesalahan

Karena tulus adalah ikhlas, rela, bersih hati, Sjamsiah yakin bahwa untuk dapat tulus, perlu mengerti dulu yang sebenarnya-benarnya untuk meminimalkan kesalahan yang merugikan. Bagaimana caranya? Mendengar. “Kita perlu mendengar agar paham suatu masalah sebelum berkomentar. Tidak apa bila dinilai sedikit terlambat. Kadang orang tidak tahu ujung pangkalnya, sudah komentar, main kasih solusi. Itu sangat merepotkan.”

Banyak membaca adalah kewajiban. Ia heran dengan cukup banyak orang yang harus berdiskusi dan diberi wewenang untuk mengambil keputusan tentang suatu kebijakan, tetapi bahan tidak membaca draf kebijakan, tidak paham kesejarahan perkembangan draf kebijakan dan tidak menguasai data secara memadai.

Tulus juga berarti berani. Ia bercerita mengenai suatu forum di PB di pertengahan 1980-an, ketika menyusun Health for All. Ada seorang laki-laki wakil dari sebuah negara yang ribut menentang upaya peningkatan kualitas kesehatan reproduksi perempuan dengan berkeras: “I really don’t undeerstand what else di women want!!”, Kata Sjamsiah: “Waduh saya keki banget. Karena mewakili Markas Besar PBB, kami sebenranya tidak boleh bicara. Harus berpegang pada tugas menuliskan saja apa yang diinginkan oleh negara-negara yang ada.”

“Namun , saya tidak tahan. Dalam forum itu semua orang bicara panjang mengenai kematian ibu, berbagai oersoalan kesehatanperempuan, kecacatan, perkawinan anak, dan segala macam. Berarti dia tidak mendengarkan, kan? Jadi, saya minta izin pada chair of the meeting, bolehkan saya memberi penjelasan? Saya sampaikan kembali data dari Unicef, WHO mengenai kondisi perempuan dan anak, dan mengapa.”

“Dan, saya bilang: ‘jangan lupa semua orang lahir dari sini (ia menunjuk perutnya)’. Siapa pun kita, bangsa bangsa apa pun, paham apa pun yang diyakini, semua orang dibesarkan dalam perut perempuan, dan menyusu pada perempuan. Perempuan adalah sumber kehidupan, dan kalau sumber hidup ini tidak berkualitas-by logic medically, psychologically, mentally-what do you expect for the next generation? So it is just too important. Begitu penjelasan saya.” Semua orang terkejut dengan interupsi Sjamsiah, dan ramai bertepuk tangan untuk keberanian dan penjelasannya yang telak.

Ketulusan itu mendasari segala-galanya. Membuat Sjamsiah bersedia menunggu untuk membaca dan mendengar terlebih dulu, tetapi juga menuntun untuk teguh dan tegas bicara bila menemui hal-hal yang berjalan melenceng.

“Harus jadi orang baik”

Beliau menekankan: bukan hanya kesetaraan, harus juga ada konsep keadilan, karena yang diperjuangkan bukan untuk menjadi sama. Bila sama, apa ukurannya? Standar apa yang digunakan? Keadilan itu mensyaratkan ketulusan, kesediaan untuk memahami bahwa yang satu dan yang lain memiliki perbedaan. Dan, perbedaann itu harus dihormati, bukan menjadi alasan untuk mendiskriminasi.

Ia sesungguhnya bicara mengenai kemanusiaan seutuhnya, bukan hanya tentang relasi perempuan dan laki-laki. Ketulusan sangat penting untuk memungkinkan saling bertoleransi dan saling tahun diri. Katanya: “Laki-laki menghargai perempuan, perempuan menghargai laki-laki, satu kelompok dan yang lain saling menghargai. Tidak lagi bicara mayoritas-minoritas, mana yang lebih tinggi dan lebih rendah. Anak menghargai orangtua, orangtua menghargai anak”.

Bagi Sjamiah, di atas HAM ada nilai kemanusiaan, dan itulah yang akan membuat kita tidak hanya sibuk dengan HAM ada nilai kemanusiaan, dan itulah yang akan membuat kita tidak hanya sibuk dengan HAM kelompok sendiri, tetapi juga HAM orang lain dan kelompok lain. Dapat dipahami bila ia menekankan, “perlu selalu mengawaasi perilaku diri bukan hanya sibuk mengevaluasi pihak lain.”

Ia kehilangan ibu yang meninggal di usia sangat muda (“Beliau belum haid ketika dinikahkan dengan ayah saya, mungkin kelelahan melahirkan dan mengurus tujuh anak di usia muda”). Dari mana ia demikian teguh dengan pandangannya yang tidak sekolah dan buta huruf merawatnya, berulang memberi nesihat, “Harus jadi orang baik.”

Sjamsiah kecil penasaran, apa yang dimaksud dengan “jadi orang baik” itu. Jawaban yang disimpulkannya dari ajaran tantenya: “Sabar, jujur, tidak berbuat jahat. Hormat pada orang lain”. Sementara dari ayah: “Disiplin, jujur, peduli orang kecil.”

Ketulusan sekaligus mengajak peduli, sabar,jujur, rendah hati, bersedia dengar, disiplin, kerja keras, berani, dan hidup utuh-seimbang. Mengingatkan untuk selalu memikirkan orang lain juga, bukan hanya diri atau kelompok sendiri. Tulisan ini sekadar berbagi bagian kecil dari banyak pembelajaran yang dapat dipetik seorang murid. Selamat ulang tahun ibu dan banyak terima kasih.

Sumber: Kompas.10-Maret-2018.Hal_.24

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *