Shazia Sissiqi Menyuarakan Hak-hak Tunarugu

Menyuarakan Hak-Hak Tunarungu. Kompas.16 Desember2016.Hal.20

Meskipun tidak “memiliki bahasa” hingga berumur empat tahun, Shazia Sissiqi (37) tatap bisa melampaui berbagai keterbatasan. Melalui pendidikan yang baik serta kegigihan, perempuan tunarungu asal Amerika Serikat itu berhasil menjadi dokter sekaligus pegiat hak-hak kaum tunarungu agar mendapat pendidikan serta layanann kesehatan yang layak di tanah kelahirannya.

OLEH LARASATI ARIADNE ANWAR

Tidak ada yang mustahil kalau negara beserta masyarakat memiliki sistem yang baik untuk menyokong anak-anak berkebutuhan khusus,” kata Shazia di Jakarta pertengahan November.

Ia berada di Indonesia untuk menjadi salah satu narasumber dalam diskusi tingkat tinggi mengenai masyarakat inklusif disabilitas yang diadakan Kementrian Sosal.

Selama kegiatan tersebut Shazia didampingi Asiah Mason, Direktur Mason Global, lembaga pemrakarsa Program Kepemimpinan Pemuda Tuli, yang diikuti oleh 10 pegiat tunarungu Indonesia. Mason juga bertindak sebagai penerjemah bahasa isyarat untuk Shazia. Adapun Shazia merupakan bagian dari delapan anggota delegasi Amerika Serikat (AS) yang mengunjungi Indonesia pada Januari 2016 untuk memberikan inspirasi.

Shizia lahir di kota Houston, Texas, dari pasangan suami-istri yang bermigrasi dari Pakistan. Ia sulung dari dua bersaudara. Ketika ia berumur 2 tahun, keluarga kecil itu pindah ke kota Los Angeles di negara bagain California.

Menurut dia sedari awal, orangtua menyadari bahwa Shazia mengalami keterlambatan berbicara. Akan tetapi, mereka tidak pernah menghiraukannya. “Saya berbicara’ dengan bahasa isyarat rumahan. Berkomunikasi dengan cara tunjuk sana dan tunjuk sini disertai mimik wajah,” kenangnya.

Baru ketika Shazia berumur 3,5 tahun orangtua membawanya ke dokter untuk mencari tahu alasan putri mereka belum bisa berbicara oral. Pemeriksaan tersebut mengungkapkan bahwa Shazia ternyata tunarungu. Disabilitas itu mengakibatkan Shazia tidak mengetahui cara mengucapkan kata. “Orangtua saya kaget dan sedih. Mereka bertanya-tanya apakah ada yang salah semasa kehamilan ibu,” ujarnya.

Jangan putus asa

            Beberapa hari setelah pemeriksaan, seorang pekerja sosial mendatangi rumah Shazia. Rupanya rumah sakit tempat Shazia diperiksa memasukkan namanya ke dalam daftar nama anak-anak berkebutuhan khusus di kota tersebut. Pemerintah daerah segera menugasi pekerja sosial untuk memberikan pemahaman kepada orangtua serta mendampingi mendidik gadis tunarungu itu.

Pekerja sosial itu menjelaskan bahwa anak-anak tunarungu juga bisa mencapai cita-cita. Orangtua tidak perlu cemas. Aturan di AS mewajibkan setiap lembaga layanan publik seperti Sekola, rumah sakit, dan transportasi umum ramah kepada penyandang disabilitas. Di sekolah, Shazia akan selalu didampingi oleh penerjemah bahasa isyarat.

Orangtau diminta untuk selalu menunjukkan sikap mendukung dan tidak mengisolasi anak berkebutuhan khusus dari kehidupan sosial. “Untungnya, keluarga besar juga sangat mendukung dan menciptakan suasana yang kondusif bagi saya,” ujarnya.

Mereka menulis setiap nama benda di rumah seperti meja, kursi, dan piring di kertas. Carikan-carikan kertas itu kemudian ditempel di benda-benda tersebut. Tujuannya agar Shazia mengenal abjad dan kata. Ia pun dimasukkan ke pendidikan anak usia dini (PAUD) agar bisa bersosialisasi dengan anak-anak lain. Di tempat itu, ia selalu didampingi seorang guru bahasa isyarat.

Berprestasi

            Shazia mengenang masa-masa sekolahnya penuh suka dan duka. Suka karena ia tetap menerima pendidikan layaknya anak-anak lain. Duka karena teman-teman di sekolah sering mengejek ketidakmampuannya berbicara oral. “Bahkan, ketika sudah SMA pun saya masih sering menangis karena diejek. Untung guru-guru selalu menyemangati agar saya tidak memasukkannya ke dalam hati,” ucapnya.

Hal tersebut memicu Shazia untuk giat belajar. Ia selalu menjadi juara di kelas. Bahkan, ketika menimba ilmu di SMA Moreno Valley, ia sering mengikuti lomba menulis esai. Prestasi ini membuat Shazia lulus SMA dengan nilai rata-rata tertinggi di sekolahnya.

Tawaran beasiswa pun datang dan tidak tanggung-tanggung, yaitu di Universitas California Berkeley yang bergengsi. Di sana, Shazia memilih program studi Biologi. “Ilmu genetika sangat misterius dan menarik. Pertanyaan terbesar dalam hidup saya adalah kenapa saya bisa tuli? Ilmu genetika bisa menjawabnya,” tutur Shazia.

Namun seiring berjalannya masa kuliah, Shazia menyadari bahwa dirinya tidak ingin berkarier di dalam laboratorium. Ia senang bergaul dengan orang-orang. Karena itu, setelah lulus dari Berkeley, ia melanjutkan pendidikan sarjana strata 2 Kesehatan Masyarakat di Universitas Dartmouth yang juga bermutu tinggi.

Selama masa kuliah, ia juga terjun menjadi pegiat yang mengadvokasikan pendidikan kesehatan reproduksi kepada komunitas tunarungu di sekitar kampus. Dari sana, Shazia menemukan fakta bahwa 90 persen orang tuli di AS berorangtuakan non-disabilitas. Akan tetapi, 70 persen orangtua tidak mau menggunakan bahasa isyarat  dengan anaknya.

“Ini yang menjadikan anak tuli terisolasi. Akibatnya mereka tidak pandai bersosialisasi sehingga mereka susah mendapat pendidikan atau pekerjaan yang baik,” ujar Shazia’

Selain itu , ia juga menemukan banyak kaum tuli yang tidak memiliki akses ke layanan kesehatan karena tidak pernah diajar ataupun diajak untuk menggunakan sarana kesehatan setempat. Hal itu memicu dia untuk mengambil kuliah kedokteran selepas S-2.

Manfaatkan teknologi

            Bermodal tekat yang kuat, Shazia terbang ke Grenada di Karibia untuk menempuh pendidikan kedokteran di Universitas Saint George’s. Di sana, ia mematahkan anggapan bahwa hanya orang-orang yang mendengar bisa menjadi dokter.

Telepon pintar adalah senjata andalan Shazia karena di dalamnya terdapat aplikasi canggih untuk mengukur detak jantung, pernapasan, perkembangan paru-paru, hingga tekanan darah pasien. “Bahkan, dokter-dokter senior bertanya cara mengunduh aplikasi tersebut karena beberapa diantara mereka pendengarannya semakin berkurang akibat usia tua,” katanya sambil tergelak.

Reaksi dari pasien juga positif. Mereka senang memiliki dokter tuli. Kehadirannya membuktikan bahwa cita-cita apa pun bisa digapai apabila berusaha keras.

Layani masyarakat

Setelah dilantik menjadi dokter, Shazia kembali ke AS. Kali ini ia memutuskan untuk tinggal ibu kota negara tersebut, yakni Washington DC. Di sana, ia bergabung dengan Deaf Woman’s Abuse Network (Jaringan Perempuan Tunarungu Korban Kekerasan).

Organisasi itu membantu laki-laki beserta anak-anak berkebutuhan khusus yang membutuhkan pertolongan, mulai dari kesehatan, pendidikan, hingga bantuan hukum. Shazia tidak hanya mendobrak berbagai batasan, tetapi ia juga menunjukkan bahwa tunarungu juga sangat berguna bagi kesejahteraan bangsanya.

Sumber: Kompas, 16 Desember 2016 Hal 20

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *