Pulus Bambang W. S. Selamat Jalan dan Selamat Datang
Oleh Paulus Bambang WS
Perjalanan dari Semarang ke Ambarawa bukan perjalanan panjang, bahkan boleh dibilang perjalanan jarak pendek untuk ukuran jaringan jalan urban-rurai pada saat ini. Namun, sudah jamak, jarak pendek bukan berati waktu pendek, kemacetan membuat jarak pendek itu harus saya tempuh hampir 90 menit.
Dengan kondisi merayap, saya bisa menikmati pemandangan sekitar yang sudah lama tidak saya perhatikan. Kali ini, saya berupaya merasakan apa yang berubah di antara dua kota ini setelah sekian lama tak saya kunjungi.
Tiba-tiba mata tertuju pada suatu tanda yang sudah sejak dulu terpampang besar di jalan, yakni gapur ucapan “Selamat Jalan” begitu meninggalkan Semarang disertai ucapan terimakasih sudah mengunjunginya. Tidak berapa jauh, muncul gapura lain dengan ucapan “Selamat Datang” di Ungaran untuk menyambut para pelancong atau pelewat yang akan memasuki kota kecil ini.
Kedua ucapan tersebut mendadak hidup di pikiran saya. Walaupun ucapan ini sangat standard an hampir selalu ada di perbatasan kota mana pun dengan bahasa yang mungkin berbeda tapi substansinya sama.
Kalau itu sebuah perjalanan wisata, sangat mudah karena memang itu yang dimaui. Meninggalkan yang lama dan memasuki yang baru. Akan tetapi, kalau merupakan perjalanan karier apalagi jabatan empuk, kata ini menjadi “kata keramat” bagi yang menginginkannya.
Bayangkan, perjalanan kursi kepemimpinan adalah peralanan siklus hidup para pemimpin. Satu datang dan satu pergi. Selalu begitu dengan harapan yang menggantikannya bisa membawa kesegaran yang lebih baik karena mereka lebih muda, lebih terdidik, lebih siap menghadapi tantangan di era baru yang berbeda dari zaman pendahulu. Namun nyatanya, banyak yang tidak mau atau tidak berani mengucapkan “selamat jalan” dan “terima kasih”.
Bagi pejabat yang sudah enak dengan kursi pemimpin – yang selalu dipuja-puji bagai dewa – meninggalkan tahta kegelimangan harta dan kuasa dengan mengucap “selamat jalan”, akan membuat nestapa. Apalagi kalau yakin bahwa kursi baru yang akan diduduki di perjalanan selanjutnya bukanlah kursi promosi, ia akan berusaha sekuat tenaga mempertahankan kursinya selama mungkin sampai ia melihat ada kursi “selamat datang” yang lebih terhormat, lebih besar, lebih enak, dan lebih tinggi.
Lebih ironis lagi, mereka bukannya malu melainkan malahan bangga ketika tidak ada satu pun kader atau calon lain yang ia rasa bisa menggantikannya saat ini. Dengan berbagai alas an da justifikasi, pemimpin macam begini yang saya anggap tidak “sukses” – karena tidak bisa menyiapkan “suksesi”-nya – berusaha menduduki kembali dengan menggalang cara aklamasi, musyawarah mufakat bulat, untuk menyambut lagi teriakan “selamat datang”. Tidak berani beradu laga, dengan alasan akan memecah belah kesatuan, padahal di hati yang paling dalam ia tidak berani melihat calon pesaing yang muncul.
Itu sebabnya, banyak yang terus berusaha bertahan, bahkan yang sudah pernah menduduki dan menyerahkan ke generasi berikutnya, masih ada pula yang menginginkan kembali ucapan “selamat datang” di kursi yang sama.
Kalau itu terjadi di organisasi privat atau perusahaan keluarga, kondisi ini masih dapat dipahami, tetapi kalau ini terjadi di perusahaan publik, organisasi massa dan pejabat, sungguh merupakan lampu kuning. Kematangan kader dan pemimpin menjadi pertanyaan besar.
Saya jadi miris dan bertanya-tanya, ini yang salah pemimpin atau yang dipimpin? Bahwa selalu ada keraguan untuk memberikan tongkat estafet kepada pemimpin baru adalah wajar, tetapi bukan berarti tongkat itu tidak dipindahtangankan. Kemandekan aliran “selamat jalan” dan “selamat datang” menyebabkan kemandekan kaderisasi yang digadang-gadang sebagai salah satu pilar kuat untuk menghasilkan organisasi yang kuat dan sehat.
Karena tidak ada kesadaran pribadi untuk meneriakkan “selamat datang” kepada calon penggantinya, maka banyak organisasi yang memutus rantai kesinambungan tidak sehat ini dengan aturan hanya dua periode atau satuan waktu tertentu. Ini akan membuat pemimpin memikirkan regenerasi pada jabatan di periode terakhir. Ini jauh lebih baik dibanding tidak.
Nah, sayangnya tidak semua organisasi memiliki disiplin ini, akibatnya organisasi jadi mundur. Kalau ini terjadi di level nasional, sungguh memiriskan apalagi kalau menjangkit di hampir semua organisasi besar yang katanya professional dan modern.
Sebaiknya, ketika terjadi revolusi mental di level pimpinan, maka akan terjadi paradigm yang sehat ketika mereka didaulat dengan ucapan selamat datang. Ketika ia datang, ia sudah merancang kapan ia mau pergi. Ketika ia disumpah menjabat, sudah memikirkan siapa calon penggantinya. Ketika ia mulai merancang 100 hari pertama, ia sudah pula memikirkan 100 hari terakhir ketika ia harus mengucapkan salam selamat tinggal. Ketika ia tahu, ia tidak mampu, ia akan segera mencari calon lain yang mampu. Ketika ia sadar, kinerjanya jauh dari harapan, ia merancang gapura selamat datang bagi calon penggantinya.
Kalau revolusi mental ini jadi “terpental”, yang tidak siap dengan ucapan selamat jalan akan mengacak-acak, mengobok-obok, mengobrak-abrik organisasi yang membesarkannya, menyedihkan sekali. Perpecahan terjadi, hanya karena ego maka yang dikorbankan organisasi dan rakyat banyak.
Semoga revolusi mental ini bukan angan-angan. Kalau tidak, harga yang harus kita bayar terlalu mahal hanya untuk melihat ego bermain di level atas sana.
Memang, kita masih harus belajar sabar untuk menyadarkan lagi para pemimpin untuk arti “selamat jalan” dan “selamat datang”.
Sumber : SWA, April 2015
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!