Pariwisata Tak Melulu Urusan Angka

Pariwisata tak Melulu rusan Angka. Bisnis Indonesia. 20 Januari.2015.Hal.3

Lutfi Zaenudin

Kejadiannya belum lama, di pengujung akhir 2014, seorang wisatawan asing asyik mengambil gambar setiap sudut di Kampung Naga. Meski berwajah Asia, di mengaku berasal dari Eropa. Entah Belanda atau Jerman. Saya lupa.

Franky, demikian dia memperkenalkan diri, terlihat banyak bercerita mengenai kunjungannya ke beberapa negara. Khusu ke Indonesia, menurutnya, sudah beberapa kali didatangi. Namun, baru kali ini dia ke Kampung Naga. Saya malu, banyak wisatawan berjarak ribuan kilometer datang ke tempat ini. Saya yang hanya hitungan jam dari Jakarta juga baru menginjakkan kaki di kampung yang legendaris ini. Malu euy!

Kata mang Tisna, penghuni Kampung Naga yang kini merangkap jadi pemandu lokal, jumlah wisatawan asing yang mengunjungi kampungnya bisa mencapai 20-30 an orang setiap hari. Biasanya mereka ingin melihat kesedarhanaan dari penduduk setempat yang secara administratif masuk ke Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya itu.

Para wisatawan baik asing maupun dalam negeri memang tidak akan melihat pertunjukan yang lucu dan megah atau atraksi yang mendebarkan ketika mengunjungi kampung itu. Mereka justru disuguhi kehidupan sederhana dan selaras dengan alam yang khas orang desa.

Penduduk setempat menjadi istimewa karena keputusan mereka yang memilih hidup bersahaja. Tanpa televisi tanpa penghangat nasi, tanpa kompor gas, dan tentu saja tanpa listirik. “Buat apa listrik, kami tidak perlu AC. Udara masih dingin di sini.” Ujar Tisna.

Meski demikian, masyarakat Kampung Naga bukannya terisolasi, mereka terbuka tetapi mengendalikan diri. Mereka menolak tunduk dalam kehidupan berfokus pada materi. Tisna, misalnya, mengaku pernah bekerja di salah satu pabrik di Bekasi.

Meskipun menikmat kehidupannya waktu itu, dia menyerah kepada kerinduannya. Rindu pada tanah kelahirannya yang nyaris tanpa listrik. Hanya aki yang diperkenankan memasuki desa itu. “Bukan melarang, tetapi membatasi pengaruh dunia luar kesini,” katanya.

Entah sampai berapa lama mereka bertahan di tengah perubahan zaman yang tiada berhenti. Masuknya accu dan televisi hitam putih ke kampung itu sebenarnya merupakan tanda ada perubahan di kampung itu. Sedikit, tetapi ada perubahan.

Mereka yang dulu hanya mengenal bercocok tanam pun, kini memiliki beragam profesi. Selain bahasa Inggris, beberapa bahasa asing lainnya juga mereka kuasai. Hal ini merupakan buah dari kunjungan wisatawan seperti Franky. Kabarnya, paling banyak turis asal Jerman yang ke sini.

Komunikasi antarbudaya seperti ini tentu saja lambat laun akan mengubah mereka. Namun, apakah untuk istimewa harus mengurung diri dari kehidupan modern yang sangat bergantung pada pasokan listrik itu?

Mungkin pada awalnya mereka tidak menyadari keputusan memelihara budaya leluhur itu bukan hanya menjagaalam dan perhatian pengambil kebijakan di Tanah Air.

Keputusan mereka memegang tradisi membuat nama kampung yang hanya bisa ditempuh dengan menapaki ratusan tangga dari semen itu menggema ke luar negeri dan menarik wisatawan datang ke sini.

Kampung Naga yang cukup menarik ‘dijual’ sebagai wisata budaya sedikit banyak ikut menyumbang angka kunjungan wisatawan asing ke Indonesia yang menapai 9,3 juta orang pada tahun lalu.

Realisasi yang cukup mantap itu juga membuat Kementrian Pariwisata peraya diri untuk menetapkan target kedatangan pelancong dari luar negeri sekitar 10 juta orang pada tahun ini naik sekitar 7% dari realisasi 2014.

Jika turis asing dalam jumlah tersebut datang ke Tanah Air, sumbangan devisa dari sektor pariwisata bisa mencapai US12,05 miliar pada tahun ini.

Meski demikan, banyak yang harus dikerjakan oleh pengambil kebijakan dan para penggiat industri pariwisata ini mulai dari infrastruktur, kecukupan informasi, dan juga kesiapan para pelakunya. Tanah Air kita banyak yang layak dikunjungi, tetapi hingga kini hanya Bali yang paling digemari.

Selain perbaikan infrastruktur, pemerintah juga perlu membuat strategi yang lebih baik untuk membawa pembangunan ke masyarakat tanpa mengganggu budaya setempat.

Sumber: Bisnis Indonesia. 20 januari 2015. Hal 3.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *