Menyematkan Warisan Budaya tak benda dalam Desain. www.rri.co.id. 4 Maret 2023. Susan. INA

Klik berita:

https://www.rri.co.id/surabaya/iptek/179334/menyematkan-warisan-budaya-tak-benda-dalam-desain?utm_source=news_main&utm_medium=internal_link&utm_campaign=General%20Campaign

KBRN, Surabaya : Warisan Budaya Tak Benda atau tak berwujud (intangible cultural heritage disingkat ich) merupakan praktik, representasi, ekspresi, pengetahuan, atau keterampilan, serta instrumen, objek, artefak, dan ruang budaya. Susan, S.T., M.T. Ketua Program Studi Architecture (INA) Universitas Ciputra Surabaya menyatakan bahwa sebagai generasi muda bangsa, tiap kita memiliki kewajiban dalam hal melestarikan budaya termasuk juga Warisan Budaya Tak Benda.

“Seperti kewajiban yang tidak tertulis bahwa kita mempunyai tanggungjawab dalam hal melestarikan budaya bangsa. Cara masing-masing kita tentu berbeda dalam upaya melestarikan budaya ini, baik warisan budaya yang berwujud seperti pakaian adat, alat musik maupun yang tidak berwujud seperti nilai budaya, tarian tradisional, motif tradisional. Namun sayang belum banyak dari kita memahami tentang budaya nusantara ini ” terang Susan, Sabtu (4/3/2023).

Terkait dengan hal tesebut, hari ini digelar Kuliah Umum yang diikuti oleh tidak kurang dari 200 mahasiswa semester 2, 4, 6, dan 8 dari Program Studi Architecture Universitas Ciputra Surabaya dengan menghadirkan dua narasumber yaitu Prof. Dr. Johannes Widodo,  yang hadir secara online dan Ir. Yori Antar Awal Founder dari UMA Nusantara yang langsung hadir di ruang Theater lantai 7 UC.  Johannes Widodo menyampaikan bahwa dengan memaknai elemen intangible nya, diharapkan mahasiswa dapat menggali hal-hal yang lebih dalam untuk menjadikan arsitektur sebagai wadah dari human, culture, dan nature yang adaptive berdasarkan sikonnya. Senada itu, Yori menyatakan bahwa seharusnya tidak banyak orang Indonesia mengerti tentang arsitektur nusantara.

“Justru banyak orang luar negeri mengerti dan mengagumi budaya Indonesia yang dalam hal ini arsitekturnya. Justru lebih tahu tentang arsitektur peninggalan penjajah yaitu Belanda. Banyak yang bilang arsitektur khas budaya Indonesia ini seperti membicarakan tentang masa lalu dan masa kekelaman,” ujar Yori.

“Padahal saat kita memasukan unsur budaya nusantara, itu bisa jadi ciri khas karya desain kita. Arsitektur nusantara jangan hanya dilihat sebagai bangunan. Dibaliknya itu, ada harta karun yaitu gotong royongnya, adaptasinya terhadap iklim, budaya lisannya, dan sebagainya,” imbuh Yori.

Susan menyatakan bahwa wawasan ini sangat penting bagi mahasiswa untuk mempersiapkan mereka nantinya mampu menaklukan pasar nasional maupun internasional.

“Jika mahasiswa terpaku pada elemen yang berwujud (tangible) saja, yang terjadi adalah mengimitasi elemen-elemen fisik ke dalam bangunan masa kini, yang mungkin justru menjadi tidak relevan. Dengan belajar elemen tak benda (intangible) diharapkan mahasiswa dapat menggali makna yang lebih dalam untuk menjadikan arsitektur sebagai wadah dari human, culture, dan nature yang adaptive berdasarkan sikonnya,” ujar Susan.

“Sebagai contoh, kalau bicara local architecture biasanya berkiblat ke arsitektur nusantara. Tangiblenya adalah atapnya dominan, dinding besek, material struktur kayu, dsb. Contoh extremnya, kalo cuma belajar sisi tangible, nanti beseknya dipasang sebagai material dinding bangunan modern. Jika relevan, silahkan digunakan. Jika tidak, yang perlu diambil adalah local wisdom nya. Pakai besek itu karena lokasi di iklim tropis sehingga membutuhkan material berpori supaya bangunannya bisa bernafas, untuk penghawaan alami, untuk cahaya alami,” imbuh Susan. (OA)

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *