Sarwidi Mendidik Warga Agar Sadar Gempa
Anak –anak duduk bersila diruang tengah rumah yang telah yang telah diubah menjadi museum. Sebagian anak mengamati alt peraga, foto, dan gambar, berisi cara membangun rumah tahan gempa. Suasana di dalam ruamh riuh rendah. Namun, begitu film animasi tentang gempah bumi diputar, mereka menyimak.
OLEH AHMAD ARIF
Film itu dimulai dari penjelasan tentang kondisi Bumi uang tersusun dari beberapa lempeng yang terus bergerak, tetapi saling mengunci. Gempah bumi tercipta ketika energi yang tersimpan dari pergerakan lempeng itu terlepas. Dijelaskan, Indonesia yang berada zona tumbukan tiga lempeng bumi yang sangat aktif merupakan negeri yang rebtan gempa bumi.
Adegan berikutnya berupa penjelasan tentang apa yang harus dilakukan jika terjadi gempa bumi dan upaya untuk mengurangi resiko akibat bencana.
“ Filmnya menarik dan mudah dipahami. Sekarang saya baru mengerti negara kita ternyata sangat rentan sehingga kita harus membangun rumah tahan gempa,” kata Doni Kurniawan (13). Siswa kelas 1 SMP Negeri Turi, Sleman, seusai menonton film yang di putar di Museum Gempa Prof Dr Sarwidi di malangyudo, kota wisata kaliurang Yogyakarta.
Museum swasta itu tak bisa dipisahkan dari sarwidi (55), Guru besar dari Fakultas Teknik Sipil. Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta. Rumah yang difungsiukan sebagai museum itu merupakan rumah keluarga. Minggu pagi itu, sarwidi turut serta menyambut anak-anak dari sejumlah sekolah di sleman yang datang ke museumnya.
Sejak 1991, Sarwidi mulai mempelajari bangun tahan gempa karena melihat banyak rakyat roboh akibat gempa. Dai lalu mendalaminya saat kuliah pascasarjana dan doctoral di Rensselaer polytechnic institute, New York, Amerika Serikat. Sekitar 10 tahun lalu,ia menemukan sistem barrataga (Bangunan Rumah Rakyat Tahan Gempa) dengan menggunakan teknik bantalan pasir pada fondasi. Sistem itu telah diakuai sebagai salah satu model rumah tahan gempa.
Namun Sarwidi merasa bahwa pengguanaan rumah tahan gempa masih terbatas. Terbukti, setiap terjadi gempa bumi diIndonesia, korban tewas atau cedera tetap tinggi, termasuk gempah yang melanda Yogyakarta pada 2006 yang menewaskan 6.234 orang. padahal, kekuatan gempa saat itu skala menengah, yaitu 6,2 skala richter. Banyaknya korban terutama karena rumah rakyat dibangun tak tahan gempa.
“saya yakin inovasi rekaya dan teknologi bangunan bisa berperan dalam pengurangan resiko bencana gempa bumi. Namun penting lagi adalah menyosialisasikan temuan-temuan itu kemasyarakat,” Ujarnya.
Jika akademik hanya mengandalkan ruang kelas dan seminar untuk menyampaikan ilmunya, transportasi keilmuan ke masyarakat akan amat lambat.
Mendidik tukang
Gagasan untuk mengajar di luar ruang kuliah telah dijalankan sarwidi sejak awal tahun 2004 dengan melatih tukang di Yogyakarta dan jawa Tengah tentang teknik membangun rumah tahan gempa. Hingga kini sudah sekitar 400 orang yang dilatih sarwidi.
Saat gempah melanda Yogyakarta pada 27 mei 2006, beberapa rumah yang dibangun tukan didikan Sarwidi tetap bertahan, sedangkan rumah-rumah disekitarnya ambruk. Hak itu misalnya terjadi dirumah Goizun, warga desa Jejera,plered, Bantul.
Dalam kesaksiannya, yang diliris dijejaringmedia sosial Toutube, Goizun akhirnya mendpata penjelasan dari tukang yang membangun rumahnya, Choirul Anam. Dijelaskan Choirul, rumah Goizun dibangun tahan gempa yang tekninya dipelajari setelah mengikuti pelatihan dari Sarwidi.
Sejak kejadian itu, tukang-tukang yang dilatih Sarwidi banyak mendapat proyek agar membangunkan rumah yang tahan gempa. Namun, seiring waktu, banyak tukang yang mengaku tak lagi membangun rumah yang tahan gempa. Masyarakat mulai lupa pentingnya rumah tahan gempa.
“Tukang hanya bisa ngikut mandor atau pemilik rumah. Kalau mandor atau pemilik rumah belum menyadari pentingnya membangun rumah tahan gempa, tukang tak berdaya,” kata sarwidi, apalagi biaya untuk membangun rumah tahan gempa lebih mahal sekitar 15 persen dibandingkan rumah yang biasa dibangun masyarakat.
Seharusnya yang menjadi patokan harga rumah yang dibangun tahan gempa. Namun, cara berfikir masyarakat kita tak seperti itu. Sementara pemenrintah tak berbuat banyak untuk menertibkan soal standar bangunan tahan gempa ini. Akhirny, saya berfikir, yang sangat penting adalah menyadarkan pentingnya membangun rumah tahan gempa,; ucap sarwidi.
Membangun museum
Maka ketika sah seorang rekannya, Dani Samardani, menawarkan gagasan untuk membangun museum edukatif tentang kegempaan, sarwidipun langsung menyetujuinya. Awalnya museum menempati ruang 3 meter x 4 meter dikampus UII.
Karena ruangannya dianggap terlalu kecil, museum itu lalu dipindahkan kerumah Dome di Prambanan, bantuan salah satu lembaga internasional untuk korban gempa Yogyakarta.
“Namun infrastruktur dan masyarakatnya belum siap. Akhirnya museum mati, hanya dikunjungi satu dua orang. komunitasnya juga belum siap,” ujarnya.
Museum itu lalu dipindahkan dirumah kontrakan diploso kuning dengan dukungan dana dari lembaga organisasi internsional Cefeds. Namun , selama tiga tahun museum itu tidak berkembang sehingga dipindah ke Gentan dijalan kaliuarang.
Sarwidi tidak menyerah. Awal tahun 2015 museum itu akhirnya dipindahkan kekampung halamannya dilokasi wisata kaliurang. Sarwidi juga menggandeng komunitas setempat sehingga pengelolaannya lebih professional. Konsepnya diubah lebih menarik buat anak-anak, termasuk film dibuat lebih mudah dipahami.
Musuh utama kesiapsiagaan bencan ialah ingatan pendek. Sarwidi berharap museum gempa yang dibangun bisa merawat ingatan warga tentang bencana. Dengan cara ini, ia berharap bisa menggerakkan kesadaran untuk membangun rumah tahan gempa.
PROF SARWIDI
Lahir: Sleman,24 agustus 1960
Pekerjaan: Dosen/guru besar program studi Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP) UII
Jabatan nasionalyang pernah sipegang: ketua harian unsur pengarah BNPB periode 2010-2014
Penghargaan: 50 tokoh alimni UII(2015)
Dosen berprestasi terbaik dan karya ilmiah terproduktif di program studi teknik sipil,FTSP UII tahun akademik 2012/2013
Tokoh konstruksi banguan tahan gempa yang pedulikepada masyarakat dari asosiasi tenaga ahli konstruksi Indonesia.
Sumber: Kompas.3-Juli-2015.HAl_.16
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!