Masalah Gizi Tiga Generasi. Kompas. 28 Januari 2021.Hal.8

Kekurangan gizi pada remaja putri bisa berdampak panjang pada kualitas generasi mendatang. Pandemin Covid-19 agar tak menghentikan upaya perbaikan gizi yang telah lama dibangun.

Indonesia dihadapkan dengan persoalan gizi yang pelik. Setidaknya, tiga beban gizi terjadi saat ini, yaitu anak yang kurus, tengkes, serta obesitas. Tak hanya itu, masalah gizi ini juga dialami mulai dari anak, remaja, hingga dewasa.

Prevalensi tengkes pada anak balita mencapai 30,8 persen dari laporan Riset Kesehatan Dasar 2018. Jumlah ini di atas rata-rata global sebesar 22,2 persen dan di atas ambang batas Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu kurang dari 20 persen. Selain itu, prevalensi anak balita wasting (kurus dan sangat kurus) sebesar 10,2 persen.

Data lain menujukkan, prevalensi perempuan hamil yang mengalami kurang energi kronis mencapai 17,3 persen dan anemia 48,9 persen. Bahkan, pada ibu hamil dengan usia 15-24 tahun, angka anemia mencapai 84 persen. Sementara pada remaja usia 15-24 tahun, prevalensi anemia sebesar 32 persen.

Ketika remaja mengalami anemia, ia berisiko dua kali lipat mengalami anemia ketika hamil. Jika tidak segera diatasi, ibu hamil akan rentan mengalami pendarahan ketika melahirkan sehingga risiko kematian menjadi tinggi. Anak yang dilahirkan juga berpotensi memiliki berat badan serta panjang lahir rendah. Itu dapat menghambat pertumbuhan bayi.

Ini bisa berdampak jangka panjang. Selain mengalami masalah gizi, tingkat kecerdasan anak akan menurun.

Pada usia dewasa, ia juga akan berisiko menderita penyakit tidak menular, seperti jantung dan stroke. Dampak buruk ini juga bisa terjadi pada anaknya kelak.

“Jadi, akibat dari anemia bisa sampai tiga generasi, dari ibu, anak, dan berlanjut sampai cucunya,” tutur Endang L Achadi, Guru Besar Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, pekan lalu.

Anemia terjadi ketika kadar hemoglobon (Hb) dalam sel darah merah kurang dari yang seharusnya. Pada perempuan dewasa, kadar Hb minimal 12 gram per desiliter (g/dL). Hb ini diperlukan untuk membawa oksigen ke seluruh jaringan tubuh, termasuk otak dan otot. Karena itu, seseorang yang mengalami anemia biasanya akan mudah letih, lesu, lelah, pusing, dan memiliki napas yang pendek.

Asupan gizi

Pada dasarnya, anemia bisa disebabkan rendahnya asupan zat gizi yang penting untuk membentuk darah serta meningkatnya pengeluaran zat gizi yang bisa terjadi akibat pendarahan karena kecacingan. Pada remaja putri, anemia juga bisa terjadi karena menstruasi.

Menurut Endang, sebagian besar anemia di Indonesia akibat dari defisiensi atau kekurangan zat besi. Ini karena pola makan rendah zat besi. Sumber zat besi paling baik didapatkan dari pangan hewani, seperti daging, ikan, dan unggas. Sayangnya, konsumsi masyarakat terhadap sumber pangan itu masih rendah.

Data Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) yang dirilis 2018 menunjukkan, konsumsi daging masyarakat Indonesia pada 2017 baru mencapai rata-rata 1,8 kilogram daging sapi, 7 kg daging ayam, dan 0,4 kg daging kambing. Ini jauh tertinggal dari negara tetangga, seperti Malaysia 4,8 kg daging sapi, 46 kg daging ayam, dan 1 kg daging kambing, serta Filipina 3,1 daging sapi, 12,6 kg daging ayam, dan 0,5 kg daging kambing.

Tingkat konsumsi protein hewani ini bisa semakin menurun akibat pandemi Covid-19. Ini berkaca dari data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin pada Maret 2020 meningkat 0,56 poin dari September 2019 menjadi 9,78 persen.

Dikhawatirkan, pendapatan yang berkurang membuat pola konsumsi cenderung asal kenyang tanpa memperhatikan gizi seimbang. Ini berpotensi memperburuk pemenuhan gizi, terutama pada anak, ibu hamil, dan ibu menyusui.

Kepala Unit Gizi Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (UNICEF) Indonesia Jee Hyun Rah mengatakan, pandemi juga telah berdampak buruk pada asupan nutrisi pada remaja putri. Survey daring Unicef bersama Kementrian Kesehatan saat pandemi menunjukkan, sekitar 50 persen remaja putri mengurangi konsumsi makanannya selama masa pandemic, termasuk protein hewani.

Masih menurut survei itu, 89 persen remaja putri tidak lagi mengonsumsi tablet tambah darah yang berguna meningkatkan kadar zat besi dalam tubuh. Setidaknya, remaja putri harus mengonsumsi 1 tablet setiap minggu. Namun, selama masa pandemi dengan sistem pembelajaran jarak jauh, program yang telah lama digalakkan pemerintah ini terhenti di sejumlah sekolah.

Pemerintah berupaya memodifikasi pemberian tablet tambah darah melalui berbagai cara. Di antaranya memberikan tablet tambah darah ketika anak ataupun orangtua datang ke sekolah untuk mengumpulkan tugas.

“Masalah anemia ini menjadi focus pemerintah saat ini. Karena itu, hari gizi tahun ini juga menekankan pentingnya pencegahan anemia pada remaja,” tutur Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Kartini Rustandi.

Pembenahan gizi sejak remaja putri menjadi langkah baik untuk mempersiapkan generasi yang lebih unggul di masa depan. Pandemi agar tak menghentikan investasi pada sumber daya manusia Indonesia ini.

Anemia

Anemia adalah keadaan saat hemoglobin (Hb) yang berada di dalam sel darah merah lebih rendah dari seharusnya, yaitu:

Hb < 13g/dL pada laki-laki dewasa

Hb < 12g/dL pada perempuan dewasa

Penyebab anemia

Anemia secara langsung terutama disebabkan oleh dua hal, yaitu:

Rendahnya asupan zat gizi yang penting untuk pembuatan darah (zat besi, asam folat, vitamin B12, dan vitamin A)

Meningkatnya pengeluaran zat gizi (pendarahan karena kecacingan atau penyerapan zat besi menurun akibat banyaknya cacing di usus, pecahnya sel darah merah karena malaria, dan penyakit karena sebab lain, seperti TBC)

Defisiensi besi dan anemia defisiensi besi pada kehamilan menimbulkan konsekuensi kesehatan:

Risiko pendarahan saat hamil/bersalin hingga risiko kematian ibu

Menghambat pertumbuhan bayi:

  • Bayi lahir premature, berat badan lahir rendah (BBLR), panjang badan lahir rendah (PBLR).
  • Risiko sakit/meninggal meningkat.
  • Risiko stunting dan akibatnya terhadap turunnya kecerdasan dan risiko menderita penyakit tidak menular, seperti hipertensi (tekanan darah tinggi), diabetes, jantung dan stroke, yang akan berdampak pada tidak generasi dari ibu hingga ke cucunya.

 

Sumber: Kompas, 28 Januari 2021

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *