Pandu Radea Kreator Wayang Landung dari Panjalu

Pandu Radea Kreator Wayang Landung dari Panjalu. Kompas. 25 Januari 2016. Hal 16

Pandu Radea

Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, memiliki “kamonesan” atau ikon seni rakyat, yakni wayang landung, berupa wayang raksasa sejenis onde-ondel Sunda atau “badawang”. Walaupun merupakan pproyeksi dari wayang golek Sunda, wayang setinggi 3 meter-4 meter dengan berat sekitar 20 kiloram ini tidak dimainkan di panggung, tetapi digelar di jalanan dalam bentuk “helaran”.

Oleh Dedi Muhtadi

 

“Hasil karya seniman Panjalu ini mendapat apresiasi saat wayang landung tampil di Jembrana, Bali tahun 2007,” ujar Dedi Koesmana, Kepala Seksi Kebudayaan pada Dinas Pendidikan Kabupaten Ciamis, di Panjalu. Panjalu adalah nama desa dan kecamatan, 40 kilometer utara Ciamis, tempat asal kreatorny, dalang Pandu Radea (43). “Ide awalnya golek diperbesar dan diarak di jalan seperti badawang mungkin lebih menarik,” tutur Pandu.

Pandu juga terinspirasi seni tradisi bebegig Panjalu, yakni patung orang-orangan untuk menakuti-menakuti burung hama padi di sawah. Menurut cerita rakyat yang dibukukan. Djadja Sukardja (2001), Panjalu adalah bekas Kerajaan Sunda yang diperintahkan saecara turun-temurun oleh raja keturunan raja Galuh sekitar abad ke-8 Masehi (menurut catatan kebudayaan abad ke-15).

Masyarakat di desa itu menyimpan berbagai cerita dan peinggalan leluhur yang dipertahanka hingga kini. Salah satunya ritual adat upacara Nyangku, yakni membersihkan benda-benda peninggalan raja-raja Panjalu setiap bulan Maulud (Rabiulawal Hijriah). Tradisi Nyangku merupakan upaya pelestarian kearifan lokal, salah satunya menjaga air Situ Lengkong, danau seluas 67 hektar yang diyakini bekas keraton Kerajaan Panjalu.

Dari kearifan itulah, Pandu membuat wayang menggunakan bahan alami yang sudah tidak terpakai, seperti kayu kering di kebun rakyat, daun pisang kering (kararas) yang menjadi ciri khas dan dilengkapi janur (daun kelapa), dan aneka bunga. Hiasan janur yang berwarna putih/kuning digunakan untuk karakter wayang berwatak baik, sedangkan janur warna gelap digunakan untuk karakter sebaliknya.

Wayang setinggi 3 meter-4 meter ini mirip bonek besar badawang, tetapi wajahnya seperti wayang dan bisa dimainkan dalang seperti halnya wayang golek. Ada tiga jenis wayang landung, yakni untuk seni helaran, seni jugalan atau jogol, yakni cerita peperangan atau perkelahian, dan untuk cerita seperti wayang kecil. Dalam cerita itu bisa berlangsung dialog atau ngobrol lawakan antara wayang kecil dan wayang besar. Digelar di jalanan dengan musik pengiring yang fleksibel.

Heleran

Selama ini, seni helaran yang ada di Jawa Barat terkesan monoton. Seni itu juga cenderung pasif karena penonton hanya menyaksikan arak-arakan, kecuali seni tradisi sisingan, di mana penonton bisa ikut menari berkeliling mengikuti sisingaan itu berarak. “Pada wayang landung, penonton bisa berinteraksi dan mencoba mengusung wayang karena bisa dikompetisikan. Waktu gelar di Bandung, ada orang Jepang yang mencoba, tetatpi dia kealahan,” kata Pandu.

Untuk memainkan tiap wayang raksasa Ciamis ini, masing-masing butuh satu orang yang bertugas memikul. Ia masuk ke dalam tubuh wayang, lalu bergerak-gerak mengikuti alunan musik dan cerita. Landung dalam bahasa Sunda adalah tinggi semampai dan dulu disebut jalugjug, yakni seni tradisi rakyat Ciamis. Wayang-wayang itu diarak berkeliling diikuti riang gembira warga. Di sebuah lapang, wayang-wayang itu akan berlaga. Pada  atraksi jugalan, wayang itu mengadu kesaktian.

Semakin cepat iringan musik, disertai riuhnya teriakan, semakin seru pula perkelahian wayang sampai salah satunya hancur. “Kalau sudah terjatuh telentang, biasanya pengusung tidak bisa bangun karena berat, ia pun kalah. Kalau jatuhnya telungkup, dengan mudah ia banun lagi karena kedua tangannya berfungsi,” ujar Radea.

Seni ini mulai diperkenalkan tahun 2003 dalam perlahatan Internasional Kite Festival di pantai wisata Pangandaran. Tahun 2007, wayang landung tampil dalan festival seni di Jembrana, Bali. Pada Kemilau Nusantara di Bandung 2012, wayang landung juara dua setelah dalang Pandu menampilkan ceritera Babad Alas Amer, yakni kesatria Pandawa melawan pasukan pimpinan Durga.

Di setiap pergelaran, Dalang Pandu biasanya membawa gunungan wayang landung, berputar mengelilingi tempat pertunjukan dan berdoa. Gunungannya berupa tongkat dari sintung kelapa kering yang dirangkai dengan tanaman kering lainnya seperti rambut jagung. Asap kemenyan terus mengepul untuk memberikan warna dan aroma tradisi. Berikutnya, wayang masuk ke dalam arena, mereka pun saling beradu.

Filosofi wayang golek

Dalang harus bisa menguasi emosi pemain wayang yang terkadang lepas kontrol saat bergerak dan berkelahi. Berdoa kepada Yang Mahakuasa disertai mencakra tanah merupakan ritual yang harus dikerjakan sebelum pementasan. Tujuannya agar jalannya pertunjukan lancar. Pada wayang ini, Pandu tetap menyelipkan filofi wayang golek, tetapi lewat sentuhan lain. Kini, ia masih menyimpan obsesi untuk menyajikan pertunjukan wayang landung lewat cerita utuh. Diantaranya dengan menyiapkan semua karakter wayang yang dibutuhkan.

Jumlah pemain wayang landung sendiri dapat mencapai puluhan orang. Oleh karena itu, seni ini terbuka untuk menjadi alternatif pergelaran kolosal yang melibatkan banyak pihak. “Lima puluh orang pernah dilibatkannya dalam salah satu pertunjukan. Ini sesuai ide awal penciptaannya, yakni melibatkan banyak seniman,” ujarnya.

Paa saat proses kreatifnya, Pandu dibantu seniman Sunda, Eras Rosadi, untuk musik gendingnya. Adapun tata tarinya dibantu Wawan Munding. Arsiteknya oleh seniman bebeging Aan Panjalu dan penata artistiknya Mang Ganda, seniman siluet dari Panjalu juga. “Ini proyek seni bersama dengan melibatkan semua seniman dari berbagai ganre di Ciamis,” ungkap Pandu. Kaena itu pula, daerah lain yang ingin mengembangkan wayang landung akan disambut baik. Menurut dia, semakin luas wilayah pengembangannya, semakin besar pula kemungkinan kesenian ini menjadi tradisi, khususnya di Jawa Barat. Atraksi seni akan menjadi tradisi apabila sudah dipertahankan masyarakat lebih dari 100 tahun.

“Kami hanya titip bahwa titipmangsa wayang landung sebagai kesenian khas Panjalu Ciamis sesuai hak ciptanya,” tambah kreator seni yang pernah mengenalkan wayang ajen di Spanyol, Perancis, dan Korea Selatan dalam misi kesenian wayang untuk dunia ini.

Pandu Radea

Lahir                : Panjalu, Ciamis, 25 Mei 2973

Pendidikan      : SD Kawali, Ciamis (1987), SMP Kawali (1990), SMAN Kawali (1993),

STSI Bandung

 

Pekerjaan         : Dalang dan pekerjaan seni

Istri                  : Nining Sukaesih (42)

Anak               : Aria P (15) dan Pribasidar S (11)

 

Sumber: Kompas, Senin, 25 Januari 2016

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *