KPK Kebijakan-Penelitian Tidak Bisa Dinilai Pidana

KPK Kebijakan Penelitian Tidak Bisa Dinilai Pidana .Jawa Poa. 22 Juni 2015. Hal.3

JAKARTA – KPK setuju dengan pendapat presiden yang berharap kebijakan dan penelitian institusi pemerintahan tak mudah dipidanakan. Pimpinan KPK Indriyanto Seno Adji melihat persoalan kebijakan dan penelitian hanya layak ditindak jika terjadi kickback atau ada aliran dana yang masuk ke pihak tertentu.

“Kami mengapresiasi pendapat presiden agar tidak melakukan penghukuman terhadap kebijakan dan penelitian.Sebab, bagi kami, itu persoalan administratiefrecht,” terang Anto, sapaan Indriyanto. Profesor hukum pidana itu menyebut administratiefrecht tidak bisa dinilai dengan hukum pidana.

Persoalannya lain lagi jika pada kebijakan dan penelitian di institusi pemerintahan itu terjadi kickback. Artinya, ada kesenjangan menguntungkan diri sendiri, orang lain, dan korporasi dari kebijakan atau proyek-proyek penelitian tersebut.

“Kalau yang mendapatkan kickback dengan berlindung di balik kebijakan ya harus dihukum. Tapi, kalau soal administratif saja, ya jangan. Ini sudah universal sifatnya,” kata pria yang pernah menjadi staf ahli Kapolri itu.

Seperti diketahui, sebelumnya Kepala Staf Kepresidenan Luhut Binsar Panjaitan mengatakan, presiden menginginkan harmonisasi undang-undang serta para lembaga penegak hukum di Indonesia. Presiden tak ingin peraturan yang tumpang tindih dan tidak adanya kesamaan persepsi dari para penegak hukum malah menimbulkan ketakutan. Juga, menjadi celah untuk menghukum orang yang tidak perlu dihukum.

“Misalnya, jadi celah untuk menghukum pejabat yang membuat kebijakan,” ujarnya. Kejaksaan Agung, Polri, dan KPK diminta punya kesamaan pandangan terkait hal tersebut.

Presiden juga minta agar penelitian di institusi pemerintah tidak serta-merta dianggap merugikan keuangan negara saat terjadi masalah dalam pelaksanaannya. Pernyataan itu tentu merujuk pengusutan Kejaksaan Agung terhadap kasus pengadaan mobil listrik oleh tiga perusahaan BUMN. Pengadaan tersebut sebenarnya bagian dari penelitian untuk pengembangan mobil listrik di Indonesia.

Kejaksaan menilai pengadaan mobil listrik dengan dana sponsorship Pertamina, PGN, dan BRI itu merugikan keuangan negara. Mereka menggunakan dasar UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara.

Terkait hal itu, Anto mengatakan, memang ada dua pendapat terkait status BUMN. Selama ini penegak hukum lebih menggunakan pendapat bahwa kekayaan negara yang dipisahkan dengan cara menempatkan modal untuk kepentingan korporasi sebesar satu sen pun harus dianggap sebagai keuangan negara. Karena itu, keuangan BUMN tersebut keuangan negara.

“Tapi, bagi korporasi, kekayaan negara yang dipisahkan dengan cara tersebut harus tunduk pada UU Perseroan Terbatas. Ranahnya hukum perdata,” jelas Anto. Menurut dia, pendapat itu selama ini juga dikemukakan Prof Erman Rajagukguk dan Profesor Romli Atmasasmita.

Menurut Indriyanto, Mahkamah Agung juga pernah mengeluarkan surat edaran MA (SEMA) yang mengatur bahwa BUMN tidak lagi masuk pemahaman keuangan negara. “SEMA itu tidak diikuti absolut dan dikembalikan lagi pada kebebasan hakim,” kata Anto.

Anggota Komisi VII (energi, riset dan teknologi) Falah Amru bisa memahami harapan presiden sebagaimana yang disampaikan Luhut. Soal dana research, menurut politikus PDIP itu, faktanya memang masih relatif kecil hingga hari ini.

Dia mengungkapkan bahwa dari total APBN 2015, alokasi anggaran untuk riset dan teknologi di Kemenristek Dikti hanya 0,9 persen. Itu pun, lanjut dia, masih bercampur dengan pembiayaan untuk gaji dan sebagainya. (gun/dyn/c10/sof)

 

UC Lib-Collect

Jawa Pos.22 Juni 2015. Hal.3

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *