Keterbukaan Keluarga Jadi Kunci membangun Kecerdasan Berinternet

Keterbukaan Keluarga Jadi kunci Membangun Kecerdasan Berinternet. Kompas. 4 September 2016.Hal.6

Perkembangan internet yang sedemikian maju telah memberi pengaruh cukup besar pada kehidupan sosial, politik dan ekonomi bangsa Indonesia. Bahkan, komunikasi di dalam keluarga pun ikut berubah setelah internet menjadi sangat lazim dipergunakan.

Dalam diskusi terbatas di redaksi Kompas, Jakarta, 30 Agustus lalu, Direktur Eksekutif Information and Communication Technology (ICT) Watch Donny B Utoyo menyatakan, dinamika masyarakat Indonesia berubah akibat pengaruh internet sejak pertengahan tahun 2000-an.

“Internet awalnya hanya bisa diakses di tempat-tempat tertentu seperti warung internet yang menggunakan kabel. Namun, sejak hadirnya telepon pintar dengan harga terjangkau, seluruh kalangan masyarakat kini bisa mengakses internet secara mudah,” tutur Donny.

Selain Donny, pembicara dalam diskusi Kompas ialah psikolog keluarga Anna Surti Ariani dan pengamat pendidikan Nurul Agustina.

Praktis

Berdasarkan survei Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia tahun 2015, jumlah pengguna internet mencapai 88 juta orang. Sebanyak 79 juta orang dari jumlah tersebut aktif menggunakan media sosial, mulai dari Facebook, Twitter, Instagram, hingga moda mengobrol Whatsapp dan Blackberry Mesenger.

Dari sisi kepraktisan komunikasi, hal ini amat membantu karena tidak ada lagi penghalang jarak dan waktu. Di samping itu, jaringan pertemanan juga semakin meluas karena komunikasi tidak lagi hanya dilakukan pada orang-orang yang dikenal secara langsung atau fisik, tetapi juga pada orang-orang yang baru di kenal di dunia maya.

Di balik kepraktisan tersebut, muncul ancaman dari penggunaan internet yang tidak bertanggung jawab. Untuk mengetahui pemahaman guru mengenai ancaman yang ditimbulkan internet, ICT Watch melakukan survei pada 165 guru di Jakarta, Bogor, Bekasi, Tangerang, Depok, dan Cilegon.

Mayoritas dari mereka mencemaskan internet akan mengakibatkan kecanduan bagi para siswa. Hal ini yang menjadi kekhawatiran utama para guru adalah siswa akan membuka situs yang dinilai tidak pantas, seperti situs yang memuat materi pornografi. “Padahal, ancaman terbesar adalah penyalahgunaan data pribadi yang diunggah secara tak bertanggung jawab yang digunakan untuk pemerasan hingga kejahatan paedofilia, “tutur Donny.

Ia mencontohkan kasus eksploitasi seksual anak di bawah uur yang terjadi di Jawa Timur. Dalam kasus yang ditangani oleh ICT Watch agar bisa diproses secara hukum itu, anak perempuan yang masih duduk di bangku SD mengalami eksploitasi seksual oleh laki-laki paedofil.

“Pelaku memasang profil palsu di sebuah media sosial. Ia berpura-pura menjadi perempuan muda yang berprofesi sebagai dokter kandungan,” tutur Donny.

Pelaku memanfaatkan kepolosan anak yang bertanya mengenai perubahan fisik yang terjadi pada diri mereka hingga permasalahan terkait menstruasi. Dengan berkedok konsultasi kesehatan, selama tiga bulan, pelaku meminta korban mengirimkan foto-fotonya dalam keadaan tanpa busana.

Praktik tersebut baru berhenti setelah foto-foto sensitive itu beredar di internet dan sampai ke tangan salah satu guru korban. “Hal yang sangat mengejutkan ialah korban ternyata menggunggah foto-fotonya dari telepon pintar milik ibunya,” kata Donny.

Ibu korban tidak memahami teknologi digital sehingga tidak mampu mengawasi penggunaan dan informasi serta foto-foto yang tersimpan di dalam telepon pintarnya.

Menurut Donny, hal ini lazim terjadi di kalangan migran digital yaitu orang-orang yang baru mengenal internet saat sudah dewasa. Penggunaan internet oleh mereka umumnya terbatas untuk berkomunikasi seperti menelepon dan mengirim surat elektronik. Kaum migran digital belum sepenuhnya memahami fungsi internet untuk mencari informasi, bahkan membentuk komunitas yang tidak tampak di muka umum.

Reaksi spontan masyarakat terhadap kasus eksploitasi itu adalah menghakimi internet sebagai pintu masuk hal-hal negative. Padahal, teknologi merupakan sesuatu yang netral. Baik buruknya bergantung pada metode dan tujuan pemakaiannya.

“Pertanyaan besarnya adalah mengapa para korban justru memilih untuk mendiskusikan hal-hal yang bersifat pribadi kepada orang yang tidak mereka kenal, bukan kepada keluarga sendiri,” tutur Donny.

Pendidikan di keluarga

Dalam kesempatan terpisah, pakar teknologi digital yang juga anggota Laboratorium Teknologi Informasi untuk perubahan sosial, John Muhammad, mengungkapkan, kunci penggunaan internet yang baik terletak pada pendidikan literasi digital di keluarga dan sekolah. “Memblokir situs, memakai filter internet di komputer,telepon, dan sabak elektronik memang membantu, tetapi tidak cukup,” paparnya.

Pokok permasalahannya ialah rasa penasaran anak. Apabila pertanyaan anak tidak dijawab, mereka akan mencari sendiri jawabannya di tempat-tempat yang tidak diawasi oleh orang-orang dewasa terdekat. Menurut John, sebagai generasi yang lahir di zaman digital, mudah bagi anak untuk menerobos sistem pengamanan yang dipasang di gawai mereka.

Karena itu, diperlukan keterbukaan keluarga untuk mendiskusikan tata karma penggunaan internet dengan anak-anak. Orangtua, misalnya, perlu menjelaskan informasi yang boleh dan tidak boleh dibagikan dunia maya, termasuk hal-hal yang tidak layak diakses oleh anak. “Dalam hal ini, pendidikan kesehatan reproduksi serta tumbuh kembang yang tepat diperlukan. Informasi mengenai hal-hal yang sangat pribadi ini justru sangat minim bagi anak-anak,” jelas John.

Dari sisi pergaulan, aturan yang diterapkan dalam bermedia sosial sama dengan pergaulan yang menggunakan tatap muka, yaitu jangan berbicara dengan orang yang tak dikenal. Artinya, anak jangan sampai sembarangan menerima ajakan pertemanan, apalagi kalau orang tersebut tidak dikenal. “Padahal, di sisi lain, anak-anak umumnya senang memiliki koneksi media sosial yang banyak (follower) untuk meningkatkan popularitas mereka,” ungkap John.

Kecemasan terhadap ancaman yang muncul dari pertemanna di media sosial sejalan dengan survei yang dilakukan oleh Norton by Symantec di Indonesia tahun 2015-2016. Dari 1.000 orangtua yang disurvei, 180 responden mengakui bahwa anak-anak mereka berteman, bahkan menerima ajakan untuk bertemu dengan orang dewasa yang mereka kenal lewat media sosial.

(Laraswati Ariadne Anwar)

Sumber: Kompas.-4-September-2016.Hal_.6

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *