Bowo Leksono Gerilyawan Industri Film “Ngapak”

Gerilyawan-Industri-Film-Ngapak.-Kompas.-1-Juli-2015.Hal.16

Bagi Bowo Leksono (39), film identic dengan panggung teater. Lekat dengan emosi, intrik, dan drama. Tiga elemen itu pula yang menjadi napas baginya menyusuri jalan gerilya, menggelorakan atmosfer sinema di purbalingga. Tak semata hiburan, di tangannya, film menjelma sebagai media perjuangan anti korupsi dan kontrol terhadap penguasa.

Setelah memarkir motor dan mengucap salam, dua remaja berpakaian putih abu-abu, kamis (18/6) siang, masuk kerumah kontrakan di satu gang kecil di pusat kota Purbalingga, Jawa Tengah. Dinding kontrakan tersebut penuh poster film dan foto. Sejenak duduk lesehan di atas karpet, diskusi ringan dengan tuan rumah mulai mengalir. Ini tempat keseharian Bowo di markas Cinema Lovers Community (CLC), satu komunitas pegiat film di Purbalingga. Diskusi kecil dengan siswa SMP dan SMA menjadi pemantik ide penggarapan film pendek yang sarat kritik tetapi tetap menarik.

Bowo, yang juga Direktur CLC, meyakini pembuat film harus memiliki cara unik memandang masalah di sekitarnya sedari remaja. Ruang diskusi dibuka lebar untuk merangkai konsep tontonan yang lebih dekat dengan masalah sehari-hari dan berkelindan dengan budaya local Banyumasan. “Saya kadang yang ngomporin mereka untuk berkelahi” soal ide. Kalau debatnya baru saat pengambilan gambar, film tidak akan pernah jadi, “kata ayah satu anak ini. Dari diskusi kecil itu, siswa SMP dan SMA di Purbalingga hasil gemblengan CLC mampu menyabet penghargaan di tingkat loyal regional, nasional, bahkan internasional. Purbalingga, kota kecil yang hanya jadi lintasan kendaraan dari Purwokerto menuju Semarang itu, tak ubahnya kawah candradimuka bagi sineas-sineas remaja.

Bermula dari teater

            Semuanya berawal dari kecintaan Bowo pada teater. Di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, lelaki asli Purbalingga itu membidani lahirnya Komuitas Teater Themis. Ketertarikan Bowo pada film kian nyata ketika berkenalan dengan pegiat film ketika tahun 2001 bekerja sebagai wartawan bidang budaya disebuah surat kabar di Jakarta, namun, ia tak bisa mengingkari panggilan dunia seni di kampung halaman.

“Akhirnya, saya putuskan berhenti jadi wartawan dan pulang, mbabat alas, kata pengagum karya-karya novelis Ahmad Tohari itu. Seiring geliat film independen awal 2000-an, dia mulai menggandeng beberapa kenalannya untuk ikut membuat film pendek. Dia yakin public mulai jenuh dengan dominasi film berlatar belakang Jakarta dengan dialog lu-gue. Berbekal kamera analog S-VHS, Bowo memulai produksi film pertamanya berjudul Orang Buta dan Penuntunnya di bawah bendera Laeli Leksono Film. Dia pun tak malu menimba ilmu dari semua orang, termasuk belajar teknik pengambilan gambar dari sejumlah pengelola jasa video pernikahan di Purbalingga. Soal penyutradaraan, dia mengadopsi ilmu teaternya.

Semua ilmu otodidak yang didapat itu diwujudkan dalam karya film berikutnya, Peronika (2004). Film soal gagap teknologi di kalangan masyarakat desa itu berhasil melambungkan namanya karena dianggap sebagai film independen berkualitas bernapaskan lokalitas. Demi mempermudah penyebaran virus cinta film, Bowo dan beberapa temannya sepakat membentuk komunitas yang dinamai Cinema 2006. Bersama CLC, Bowo mulai mengirim proposal ke sekolah-sekolah di Purbalingga.

Akan tetapi, hanya segelintir sekolah yang antusias. Sebagian lain masih alergi terhadap hal-hal baru. Namun, dari roadshow itu, Bowo menjaring beberapa pelajar yang berminat pada dunia sunematografi. Meski sekolah tak mengizinkan ekskul film, mereka getol menyambangi markas CLC untuk belajar. Pada akhir 2006, CLC menggelar nonton film bareng bulanan bertajuk “Bioskop Kita” di ruang pertemuan Pemerintah Kabupaten Purbalingga. Tak disangka, respons public positif. Pemutaran film karya anak Purbalingga itu selalu disesaki penonton.

Namun, konflik dengan penguasa mulai muncul. Setelah sempat diputar tiga bulan, pemerintah kabupaten menghentikan kegiatan itu. Enggan patah arang, Bowo mantap mengambil jalan bawah tanah. Mereka bergerilya memutar film melalui layar tancap di desa-desa. Tak hanya di Purbalingga, juga wilayah lain di Banyumas Raya meliputi Cilacap, Banyumas, dan Banjarnegara. Pada 2007, CLC besutan Bowo akhirnya menggelar Parade Film Purbalingga dengan memutar 30 film produksi sendiri. Festival itu berubah menjadi Purbalingga Film Festival tahun 2008 dan kemudian Festival Film Purbalingga pada 2010. Festival ini menjadi ajang pemutaran film, pertemuan pegiat senema, dan kompetisi film pelajar se-Banyumas Raya.

Media perjuangan

            Sedari awal, Bowo mengarahkan remaja asuhan CLC untuk kritis menyikapi persoalan sosial. Film diyakini harus berperan jadi media control terhadap penguasa di bidang politik, kemasyarakatan, tatanan ekonomi, dan sosial. Dalam Festival Film Purbalingga 2015, misalnya, muncul sejumlah film dengan ide segar nan menggelitik. Film Sugeng Rawuh Pak Bupati karya siswa SMPN 4 Satu Atap Karangmoncol, misalnya, mengangkat fenomena kedatangan pejabat yang selalu membuat warga heboh dan repot sendiri.

Adapun fil Gugat Pegat karya siswa SMA 1 Bukateja mengangkat fenomena perceraian di Purbalingga. Perceraian itu banyak dipicu melimpahnya pengangguran pria karena pabrik rambut palsu lebih butuh tenaga kerja wanita. Tiga tahun terakhir, bekerjasama dengan Komisi Pemberantas Korupsi. CLC juga rutin menggelar roadshow festival film anti korupsi. Di satu titik, Bowo sadar, menggelorakan perfilman local butuh akar pendidikan. Jaringan pun dibangun guna merintis lahirnya akademi perfilman di Bayumas Raya. Bagi Bowo, gerilya ini bukan soal film semata, melainkan perjuangan memanggungkan budaya local Banyumasan yang selama ini terpinggirkan.

Sumber: Kompas, Rabu, 1 Juli 2015

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *