Sita Dewi Kusumawati Etnis Tionghoa Pegiat Wayang Orang

Etnis Tionghoa Pegiat Wayang Orang.Kompas.6 Februari 2016.Hal.16

Wayang orang selama ini identik dengan budaya Jawa. Namun, di Kota Malang, Jawa Timur, tidak selalu demikian. Ketika masyarakat Jawa di Malang kurang tertarik lagi mengurus wayang orang, sejumlah anggota masyarakat Tionghoa justu giat memeliharanya.

OLEH DAHLIA IRAWATI

Kwee Kiat Siang atau lebih dikenal dengan nama Sita Dewi Kusumawati (74) adalah pendiri kelompok wayang orang Bara Pratama di Malang yang anggotanya gabungan antara masyarakat Jawa dan Tionghoa. Kelompok wayang orang yang Sita dirikan tahun 1995 itu masih bertahan dan aktif.

Mereka selalu siap menerima undangan tampil. Pada 22 Februari nanti, misalnya, Bara Pratama akan tampil dalam pentas wayang orang dengan lakon Anoman Obong di Kelenteng Eng An Kiong Malang dalam  perayaan Cap Go Meh.

Kelompok Bara Pratama didirikan oleh Sita karena seni wayang orang di paguyuban Ang Hien Hoo (berdiri sejak tahun 1910)—kemudian berganti nama menjadi Panca Budhi (1967)—tidak aktif lagi.

“Saya terlanjur mencintai wayang orang sehingga saya ingin wayang orang tetap bisa bertahan,” kata Sita yang waktu kecil sering di gendong oleh orangtuanya menonton pentas wayang orang di Batu (sekarang Kota Batu).  Dengan begitu, wayang orang tidak hanya dekat, tapi juga melekat dalam ingatan Sita.

Kehadiran kelompok Wayang Bara Pratama bukan bentukan Sita memperpanjang catatan keterlibatan masyarakat Tionghoa Malang dalam menggerakan  dan memelihara wayang orang di Malang. Cikal bakal keterlibatan masyarakat Tionghoa Malang dalam kesenian wayang orang, menurut Sita, adalah paguyuban Ang Hien Hoo yang didirikan tahun 1910.

Awalnya, paguyuban Ang Hien Hoo lebih condong sebagai perkumpulan pecinta olahraga. Baru pada tahun 1942, Ang Hien Hoo mengembangkan seni wayang orang. Saat itu, semua pemain wayang orang Ang Hien Hoo adalah pria. Tokoh atau karakter perempuan dalam wayang pun dimainkan oleh pria.

Kelompok wayang orang itu kemudian menjadi tersohor di kawasan Malang. Bahkan, kelompok tersebut pernah ditanggap di Istana Kepresidenan pada masa Presiden Soekarno. Namun, tahun 1965, saat diskriminasi terhadap etnis Tionghoa muncul, paguyuban Ang Hien Hoo pun bubar.

Dua tahun kemudian, Ang Hien Hoo muncul lagi dengan nama baru, Panca Budhi. Pergantian nama itu diikuti oleh perubahan susunan pemain wayang orang. Awalnya semua pemain Panca Budhi yang berjumlah 100 orang adalah masyarakat Tionghoa. Setelah berganti nama, jumlah pemain beretnis Tionghoa tinggal 25 orang, sisanya orang Jawa.

Bukan pemain

Sita aktif di paguyuban Ang Hien Hoo ketika namanya sudah berubah menjadi Panca Budhi tahun 1967. Ia menjadi pengurus paguyuban dan menjabat wakil ketua.

Namun, Sita sebenarnya tidak pernah menjadi pemain wayang orang  meski itu adalah mimpi besarnya sejak kecil. Kedua orang tuanya tidak mengizinkannya untuk bermain wayang orang. Sita harus puas hanya menjadi penonton pertunjukan wayang orang Panca Budhi hingga ia menikah dan mempunyai anak.

Setelah tiga anaknya lahir, Sita melihat anak bungsunya, Irene Kartika Wijaya, tertarik pada wayang orang. Sita yang masih terobsesi menjadi bagian dari kelompok wayang orang mengizinkan Irene berlatih wayang orang bersama kelompok Panca Budhi tahun1977. Tidak hanya itu, ia selalu menjadi penyemangat bagi Irene agar rutin latihan wayang orang.

Hasilnya, Irene meraih berbagai prestasi seni, baik di bidang tari Jawa, wayang orang, maupun model. Dengan dukungan Sita, Irene bahkan mewakili Indonesia pentas di sejumlah Negara. Belakangan, Roy—anak ke dua Sita atau kakak Irene—juga tertarik main wayang orang.

“Anak pertama saya (Hadi Wijaya) sebenarnya juga suka bermain wayang orang. Tapi saat itu, karena kulitnya sangat putih dan banyak orang mengejeknya dengan sebutan cina, dia mengurungkan niatnya,” tutur Sita

Koleksi paling lengkap

Seiring waktu, kesenian wayang orang di paguyuban Panca Budhi meredup dan akhirnya bubar tahun 1987 karena ada konflik internal. Paguyuban Panca Budhi sendiri tetap ada dan sekarang menjadi  yayasan yang mengurusi pemakaman.

Sita tidak rela kesenian wayang orang itu berakhir brgitu saja. Ia pun bergerak bersama suaminya, Rudiyanto Rama Wijaya, mendirikan kelompok wayang orang baru bernama Bara Pratama pada tahun 1989. Susah payah ia dan suami mengelola kelompok wayang tersebut. Tidak sedikit orang harus dikeluarkan Sita dan Rama untuk menutup kebutuhan pentas.

“Misalnya, sekali pentas kami hanya mendapat uang RP 5 juta, tetapi kebutuhan operasional habisnya bisa Rp 12 juta, ya, semua kami tanggung. Itu tidak masalah  asalkan kami bia pentas,” ujar Sita yang telah di tinggal mati suaminya dan kini mencari uang lewat usaha catering.

Selain aktif mengurus Bara Pratama, Sita juga menjadi rujukan kostum dan aksesori wayang orang dan pakaian adat di Malang. Koleksi kelompok itu disebut-sebut paling lengkap. Bahkan, berbagai koleksi pakaian adat India pun ia punya.

Sita membuat sendiri sebagian koleksi busana dak aksesori pentas tradisi tersebut. Sebagian lagi ia beli. Ribuan koleksi busana dan aksesori wayang koleksi Sita jika dinilai dengan uang mencapai Rp 600 juta.

Hingga sekarang, kelompok wayang orang Bara Pratama memang masih bertahan, tetapi Sita mulai resah. Sebagian anggota Bara Pratama mulai menua, sakit, atau meninggal. Sebagian besar anggota yang masih aktif itu kini rata-rata berusia di atas 40 tahun.

“Saya sebenarnya ingin agar wayang orang di kalangan etnis Tionghoa ini terus bertahan, tapi kelihatannya sulit. Anak-anak muda biasanya hanya tertarik tampil saat pentas. Namun, jiwanya terlihat tidak di sana,” kata nenek lima cucu tersebut.

Irene dan Roy, dua anak Sita, juga tidak lagi bermain wayang orang. Irene saat ini bekerja di perusahaan telekomunikasi di Jakarta dan sibuk mengurus anaknya. “Roy juga demikian. Namun, pada pentas imlek mendatang, ia masih akan bermain,” tambah Sita senang..

Untuk kepentingan regenerasi, Sita berusaha melibatkan mahasiswa seni dari sejumlah perguruan tinggi di Malang. Kehadiran mereka juga penting untuk memberikan sentuhan kemasan lebih segar pada wayang orang.

“Tidak mungkin semua pemainnya orang-orang tua. Dibutuhkan anak anak muda yang lebih menarik sehingga mengundang  orang untuk menonton pertunjukan wayang orang,” ungkap ibu tiga anak tersebut.

Mengapa Sita begitu  ngotot  mengurusi wayang orang? Buat Sita, meski berasal dari etnis Tionghoa, dirinya lahir dan besar di tanah Jawa. Ari-ari nya pun di tanam di tanah Jawa.

“Jadi, tidak ada yang salah jika saya mencintai seni dan budaya Jawa. Seni dan budaya itu adalah soal rasa. Tidak pernah memandang siapa pelakonnya,” ujarnya.

SITA DEWI KUSUMAWATI ATAU KWEE KIAT SIANG

  • Lahir :Batu,15 November 1941
  • Suami : Rudiyanto Rama Wijaya (Oie Nam Sien) (alm)
  • Anak :
  • Hadi Wijaya (alm)
  • Roy Indra Surya
  • Irene Kartika Wijaya
  • Status :
  • Pegiat Wayang orang
  • Pendiri kelompok wayang orang Bara Pratama

UC Lib-Collect

Kompas.februari 2016.hal.16

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *