Daya Magis ‘Tidak Takut’
Oleh I Dewa Gde Satrya (Dosen Hotel & Toursm Business, Fakultas Pariwisata, Universitas Ciputra Surabaya.)
Presiden Joko Widodo menyerukan kepada bangsa Indonesia untuk tidak takut terhadap aksi terror. Serangan terror di Terminal Kampung Melayu sekali lagi menegaskan terorisme masih eksis di negeri ini.
Seruan presiden Jokowi juga disampaikan sejumlah tokoh dengan membawa pesan moral, ‘Kami Tidak Takut’. Gerakan sosial yang menasional itu membedakan reaksi dengan negara lain pascaserangan serangan terror, seperi di Prancis, America Serikat, dan terakhir Inggris. Reaksi presiden Jokowi menyikapi serangan teror persis sama seperti yang diserukan sejumlah tokoh Indonesia, ‘Kami Tidak Takut’.
Ditelisik dari sejarah kebangsaan Indonesia, semangat ‘Kami Tidak Takut’ itu telah ditorehkan dan diteladankan oleh para pejuang Indonesia. Salah satunya Komodor Yos Sudarso, “Kobarkan Semangat Pertempuran”, memiliki relevansi tinggi pada soal kebangsaan kita saat ini.
Keberanian untuk hidup di tengah ancaman terror pascaserangan terror di Sarinah pada awal 2016 yang diserukan oleh para pemimpin republik ini, tentu memiliki pesan yang sama dengan seruan Komodor Yos Sudarso. Ungkapan ‘Kami Tidak Takut’, di dalamnya terkandung makna untuk berani menghadapi tantangan.
Pertempuran di Laut Aru dan tantangan kekinian kebangsaan yang muncul pascaserangan teror di kampung Melayu memiliki kemiripan, yakni perjuangan menegakkan kedaulatan dari intervensi dan ideologi agama tertentu yang bertentangan dengan ideologi bangsa yang bersifat menapaki kehidupan bersama dalam kebihnekaan.
Kini, semangat ‘Kami Tidak Takut’ yang menjadi seruan baru yang mengikat emosional bangsa Indonesia, menjadi pertanda lestarinya warisan para pejuang di Tanah Air. Dalam lingkup pembangunan, spirit dan ikatan emosional ini diperlukan untuk membangun daya saing bangsa.
Semangat ‘Kami Tidak Takut’ menjelma lewat tindakan kolektif untuk menciptakan perubahan sistematis melalui cara-cara spontan, tetapi terorganisirm tanpa memikirkan imbalan bagi kepentingan pribadi.
Kita menyakini, masih banyak tindakan nyata untuk kemanusiaan dan usaha tak kenal lelah untuk kebaikan sesama di negri ini. Aksi yang melekat untuk perbaikan kehidupan sosial itu menjadi penyejuk sekaligus lentera yang menerangi bangsa ini. Seruan ‘Kami Tidak Takut’ yang disampaikan sejumlah tokoh Indonesia dan Presiden Jokowi, menjadi pengikat emosional dan pemungkas pesan eksistensial bangsa Indonesia.
Di sisi lain, praktik hidup yang menyiratkan semangat ‘Kami Tidak Takut’ mengandung aspek keberanian untuk menjalankan kehidupan (dan setiap pekerjaan) dengan sebaik-baiknya, serta berkontribusi yang unggul untuk menciptakan situasi yang lebih baik.
Kita melihat daya magis ‘Kami Tidak Takut’ bertransformasi dalam suatu spiritualitas yang dinamakan “spiritualitas kerja”. Kepemilikan “spiritualitas kerja” membuahkan totalitas dan penciptaan nilai yang tak lekang zaman, dan menghindarkan setiap profesi dari degradasi makna luhur setiap profesi atau pekerjaan. Belejar dari profesi polisi yang gugur dalam tugas di Terminal Kampung Melayu, ‘pengorbanan sampai akhir’ adalah kesempurnaan atas profesi. Bahkan ‘kemuliaan’ profesi seseorang dapat terlihat melalui totalitas hati dan kesungguhan bekerja penyandang profesi tersebut. Resiko pekerjaan yang pasti ada dalam setiap profesi menjadi bagian yang utuh dari pekerjaan itu sendiri. Pada profesi polisi, kita dapat belajar totalitas profesi.
Di TNI Angkatan Laut, semangat keberanian tampak dalam pekik slogan ini: “Menang tak dibilang, gugur tak dikenang; Tabah Sampai Akhir, adalah dua semboyan matra laut yang populer dan dikenal masyarakat sipil. Semboyan pertama, mengingatkan pada perjuangan Pasukan-M (utusan Markas Besar Umum Tentara Keamanan Rakyat) pimpinan Kapten Markadi guna mendukung perjuangan I Gusti Ngurah Rai di Bali dalam melaksanakan Puputan Margarana melawan pendudukan tantara Belanda. Akan tetapi perjuangan pasukan-M pimpinan Kapten Markadi seolah tidak mau dikenang. Semboyan kedua milik prajurit kapal selam.
Dua semboyan tersebut tidak hanya bermakna di pertempuran dan pengabdian sebagai prajurit TNI AL khususnya. Lebih dari itu, mencerminkan karaker dan totalitas profesi yang dihidupi oleh setiap pekerja. Berlawanan dengan contoh di atas adalah ketiadaan totalitas dalam profesi yang juga menyiratkan hilangnya makna pekerjaan.
Semakin terpuruknya kondisi kerja dan hilangnya makna dari pekerjaan disinyalir merupakan dampak dari adanya dualism dalam kehidupan. Bisnis atau kerja menolak ruang untuk hadirnya makna dan Tuhan.
Tempat kerja adalah tempat untuk mencari hal-hal profan dan tidak mempunyai ruang untuk sesuatu yang sacral atau suci. Sinamo (2005, dalam Amalia dan Yunizar) menjabarkan hal tersebut sebagai berikut, “problem utama mengapa orang tidak mampu menghayati pekerjaannya sebagai ibadah , lahir dari kenyataan bahwa orang suka membagi dua hidupnya menjadi wilayah sacral (suci) dan wilayah profane (sekuler). Doa, sembayang, dan upacara digolongkan sebagai suci; sedangkan makan, minum, bekerja digolongkan sebagai profan. Akibatnya hidup mereka terbelah, terpecah, tidak menyatu, tidak integral”.
Semoga totalitas penjaga keamanan, polisi, yang gugur di medan tugas pada serangan di Terminal Kampung Melayu menguatkan bangsa ini untuk tidak takut terhadap terorisme.
Sumber: Bisnis Indonesia, 27 Mei 2017 Hal 2
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!