Pariwisata Menyejahterakan di Lombok dan Sunda Kecil. balipost.com. 1 Desember 2021. Dewa GS. HTB

https://www.balipost.com/news/2021/12/01/232842/Pariwisata-Menyejahterakandi-Lombok-dan-Sunda…html

Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Mandalika mulai menyambut wisatawa mancanegara dari even dunia yang telah lama disiapkan, yakni World Superbike. Tahun depan, Mandalika akan menjadi venue MotoGP. Dua even ini menegaskan Lombok memposisikan diri sebagai destinasi wisata internasional yang sanggup menjadi tuan rumah even bergengsi dengan standar internasional.

Harapan besar menyertai kemajuan pariwisata Lombok yang sepadan dengan kemajuan kualitas lingkungan dan kualitas sumber daya masyarakat lokal. Jangan sampai kemajuan infrastruktur pendukung kepariwisataan dan even bergengsi di Lombok tidak memberi nilai tambah pada alam dan manusia (warga) Lombok khususnya dan NTB umumnya.

Gagasan dan pelaksanaan kerjasama bekas wilayah Sunda Kecil (Bali, NTB, dan NTT) yang dimulai pada Januari 2009, perlu kita apresiasi dan dukung bersama. Kerja sama antara tiga provinsi di wilayah Sunda Kecil itu meliputi bidang pariwisata, perdagangan, pertanian, dan peternakan, kesehatan, kerukunan hidup beragama serta memperjuangkan kepentingan yang berkaitan dengan isu regionalisasi yangt selama ini hanya terfokus pada Jawa dan Bali.

Wilayah Bali, NTGB, dan NTT sebelumnya tergabung dalam Provinsi Sunda Kecil berdasarkan PP No.21/1950 (Lembaran Negara Tahun 1950 No.59) yang kemudian berubah namanya menjadi Nusa Tenggara berdasarkan UU Darurat No.99/1954 yang kemudian ditetapkan dengan UU tanggal 6 Februari 1958. Berdasarkan UU No.64/1958, Provinsi Nusa Tenggara dibagi dalam tiga daerah Swantara Tingkat I, yakni Daerah Swantara Tingkat I Bali, Daerah Swantara Tingkat I Nusa Tenggara Barat dan Daerah Swantara Tingkat I Nusa Tenggara Timur.

Gagasan kepulauan, mulai daari Bali hingga Flores, pada tahun 1950 masuk dalam wilayah Sunda Kecil, satu dari 10 provinsi di Indonesia. Empat tahun kemudian, provinsi tersebut berganti nama menjadi Nusa Tenggara (Nusra). Pemekaran Nusra menjadi tiga provinsi berlangsung pada Desember 1958. NTB memiliki destinasi wisata internasional seperti Gunung Rinjani dan Tambora. Desa wisata Sade juga memilki potensi besar untuk menarik kunjungan wisatawan. Pemprov NTB sendiri telah mentapkan 15 kawasan pariwisata, yaitu sembilan di Pulau Lombok dan enam di Pulau Sumbawa.

Sementara itu, NTT memiliki keunggulan destinasi wisata Pulau Komodo, Danau Tiga Warna Kalimutu di Ende, Taman Laut di sekitar Labuan Bajo di Manggarai barat, Riung di Ngada, Teluk Maumere di Sikka dan Pulau Kepa di Alor. Di Sumba ada pesona megalitik, tenun ikat dan pasola atau parang tanding sambil mengendarai kuda dan Timor dengan banyak obyek petualangan. NTT sendiri ditetapkan sebagai gerbang Asia- Pasifik berbasis pariwisata, seni, dan budaya yang spesifik. Karena itu, tak salah jika gugusan kepulauan Sunda Kecil ini menjadi kekuatan baru bagi pariwisata RI yang jika disatukan akan lebih memperkuat satu dengan yang lain. Adalah tantangan setiap pihak terkait kepariwisataan untuk mendongkrak perjalanan wisata diomestik (khususnya dari Jawa) ke tempat-tempat wisata di luar Jawa dan Bali, dalam hal ini ke Lombok dan NTB.

Dalam konteks ini, desa wisata di Lombok patut mendapat perhatian. Mengapa desa wisata harus dikembangkan?  Pertama, indikator terpenting kemajuan sektor pariwisata selain pemasukan negara melalui devisa negara serta pembelanjaan wisatawan domestik bertumbuh hanya pada area tertentu.

Kedua, seiring dengan perubahan tren wisata dunia, bahwa kepariwisataan semakin menuju kepada quality  tourism, dimana adat istiadat lokal dan lingkungan hidup harus dihargai. Serta antitesa dari praktek wisata yang berorientasi pada jumlah kunjungan, pertumbuhan kualitas, dan kuantitas desa-desa wisata merupakan keniscayaan. Ada 5 aspek yang dipergunakan sebagai parameter menilai potensi pengembangan desa wisata yaitu originalitas, otentisitas, keunikan, kelangkaan dan keutuhan. Di mana, warga beserta seluruh aspek kehidupan desa yang melekat didalamnya, berdaulat dan dihormati oleh wisatawan.

Ketiga, di pedesaanlah sebenarnya kepariwisataan kita memiliki daya saing dan otentisitas produk yang tidak dimiliki oleh destinasi wisata di negara lain. Konsep wealth created  tourism berjalan nyata dengan mencerminkan diri sebagai bangsa yang tidak terlenadengan warisan / inherited wealth tourism (bangunan bersejarah, tari-tarian, kesenian, candi, dan sebagainya), tetapi mengeksplorasi desa-desa wisata baru yang inovatif, berdaya saing dan laik jual.

Wealth created tourism melalui penghormatan bumi dengan mengembangkan desa wisata sebenarnya tidak sesulit dan semahal menciptakan destinasi wisata baru. Pola hidup sehari-hari masyarakat pedesaan sudah menjadi daya tarik tersendiri, tinggal bagaimana mengemas dan memasarkannya. Di sinilah harapan dan tujuan ideal akan kemajuan pariwisata di Lombok khususnya dan Sunda Kecil umumnya.

 

Bali is a Brand Creating Value for Tourism Goods and Services. www.thejakartapost.com. 6 Desember 2021. Dewa G.S. HTB

https://www.thejakartapost.com/opinion/2021/12/06/bali-is-a-brand-creating-value-for-tourism-goods-and-services.html

Dewa Gde Satrya (The Jakarta Post) Jakarta

Mon, December 6, 2021

There has not been a single direct international flight to Bali since its reopening to foreign tourists on Oct. 14. Tourism and Creative Economy Minister Sandiaga Uno cited several reasons as to why foreign tourists still hesitated to visit Indonesia. Among them were unattractive quarantine locations and direct flights opening to the countries of origin of foreign tourists while they did not live there but in other countries for work. Bali meanwhile, is being prepared to welcome the Group of 20 (G20) Summit in October 2022, and vigorous health protocol measures are being enforced to prevent COVID-19 infection.

Mark Hobart, professor at the University of London, stated in 2015 that “Bali is a brand”, which allowed it to sell anything. In this context, Bali has a brand advantage in Indonesia to attract foreign tourists, but it must still adapt to the current situation.

And a brand is a way of getting more money for an item than it is really worth. Through brands, consumers can immediately know the quality of products and the expected features and services that can be obtained. With a well-developed brand, market share will follow.

Bali, as an Indonesian storefront, is a charismatic brand that ignites attention, interest and passion. It helped make the decision of world leaders to come to Bali. President Joko “Jokowi” Widodo’s invitation as host of the G20 Summit in 2022 to world leaders at the 2021 Summit in Rome recently, reminded the world community that Indonesia is safe and able to welcome foreign tourists in the midst of the pandemic.

Moreover, the G20 presidency in the hands of President Jokowi is strategic for the recovery of Indonesian tourism as a whole.

Making Bali a value for money destination for foreign tourists from various countries, such as its positioning before the pandemic, will not be easy. The image of Bali, and Indonesia in general, as a tourism destination that is safe and thorough in managing COVID-19, as well as the availability, capacity and quality of tourism products, needs to find the right formula to deal with the changes in behavior and desires of global tourists as a result of the pandemic.

There has been a reorientation of long-distance travel routes to medium and short-haul trips, a decrease in spending and length of stay, as well as the number of trips tourists take abroad as they prefer to travel within their own country.

“Wonderful Indonesia”, the country’s branding for Indonesian tourism, is now being tested in its ability to attract foreign tourists. The tourism brand, which is characterized by such attributes as wonderful people, wonderful culture, wonderful destinations and wonderful investments, must provide inspiration, motivation and leverage for foreign tourists to make Indonesia a top choice for travel during the pandemic.

It is important that there are efforts in foreign diplomacy. Strengthening the image, or brand value, of Indonesia, and in particular Bali and Riau Islands, in the eyes of foreign tourists is a wise choice to boost the confidence of foreign tourists to travel to Indonesia. The trust and loyalty of customers in Indonesia as a tourism destination brand is needed to tap the global tourist market during the pandemic.

Tourism as a commodity does not only depend on the smoothness and success of the business modes of the tourism actors themselves. In the midst of the global tourist market opportunity, the producer-consumer relationship in the tourism industry, which in the current situation requires active participation from the state, will determine Indonesia’s brand as a global tourist destination.

Quality tourism in Indonesia, for example, can be piloted in Bali. Bali’s Deputy Governor Tjokorda Oka Artha Ardhana, said recently he welcomed the reopening of Bali for foreign tourists, but for the time being did not want backpackers. This statement was in line with Coordinating Maritime and Investment Minister Luhut Binsar Panjaitan, who wanted Bali to remain clean with the arrival of quality foreign tourists.

The definition of quality foreign tourists can be clarified through two aspects, first, foreign tourists who come to spend big sums of money on various tourism-related goods and services. Second, in terms of length of stay, quality tourists are not oriented toward ​​spending the minimum amount of money to get the maximum benefit of the tour, buying a tour package with a tight itinerary and a short duration of time.

Quality tourism requires quality inputs, processes and outputs. In terms of inputs, in looking at all parameters, quality tourism leads to the optimal absorption of local resources in the tourism chain, starting from raw materials, suppliers and local human resources, including investors who are oriented toward tourism ideals.

For improving the quality of human life and the environment, and not merely pursuing short-term profits, the diplomacy currently being conducted by the Tourism and Creative Economy Ministry and related ministries and institutions can optimize the trust in Bali’s tourism brand, and in the whole of Indonesia.  *** The writer is a lecturer in the Tourism Study Program of the School of Tourism, the University of Ciputra. These views are his own.

***

The writer is a lecturer in the Tourism Study Program of the School of Tourism, the University of Ciputra. These views are his own.

Dosen UC Surabaya Meneliti Makna Aron Dalam Upacara Kasodo Masyarakat Tengger. timesindonesia.co.id. 30 Juni 2021

https://www.timesindonesia.co.id/read/news/355881/dosen-uc-surabaya-meneliti-makna-aron-dalam-upacara-kasodo-masyarakat-tengger

Pewarta:  | Editor: Dhina Chahyanti

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Dosen UC Surabaya meneliti makna Aron dalam upacara Kasodo Masyarakat Suku Tengger, Jawa Timur.

Kehadiran Aron dalam setiap sesajen bagi umat Hindu di Bromo, sangat krusial. Hal itu disebabkan dalam setiap upacara, baik upacara besar Yadnya Kasada maupun upacara kecil dalam tingkat internal keluarga seperti Leliwet (ritual atas kelancaran aliran air dari mata air), ataupun upacara MayuDesa yand diadakan setiap lima tahun sekali.

Baik masyarakat Brang kulon Bromo (Kawasan desa Ngadisari kabupaten Pasuruan) maupun brang wetan Bromo (Kawasan Kabupaten Probolinggo dan Kabupaten Lumajang); atau masyarakat bagian barat dan bagian timur Bromo, dalam semua sesajen mereka, Aron selalu ditemukan dikarenakan Aron adalah bahan utama dalam setiap jajanan tersebut.

Setiap jenis jajanan yang terdapat dalam sesajen mengandung jagung putih yang adalah bahan untuk membuat makanan utama masyarakat Tengger yaitu Aron.

Segenap penduduk Bromo senantiasa menyambut setiap upacara terutama upacara Kasada dengan sukacita dan mempersiapkan sesajen secara lengkap.

Sesaji yang disiapkan dalam seperangkat ubo rampen secara lengkap terdiri atas, aron, jadah, pipis, pasung, pisang, kelapa dan yang lainnya. Ini adalah jajanan utama dalam sesaji.

Aron merupakan makanan pokok yang dibuat dari jagung putih yang dijadikan tepung dengan proses pembuatannya yang unik serta membutuhkan waktu yang tidak sedikit.

Proses yang memakan waktu untuk membuat aron disebabkan tahapan yang harus dikerjakan wajib melalui beberapa metode yaitu, dipipil (memisahkanl biji jagung dari batang jagung), kemudian ditumbuk, direndam, dikeringkan, dihaluskan, untuk kemudian dibentuk menjadi balok, agar mudah dipotong dan dihaluskan.

Dan inilah yang kemudian menjadi bahan dasar membuat jajanan yang diletakkan sebagai sesajen. Metode terakhir adalah, dikukus saat akan dimakan bersama lauk, sehingga dapat dikatakan Aron adalah nasi bagi warga Tengger.

Ketiga jajanan utama lain juga mengandung jagung putih. Jadah, untuk sesajen dibuat dari aron yang dicampur dengan tepung ketan dan kelapa parut dengan proses memasak dikukus kemudian dihaluskan dan dibentuk sesuai dengan kebiasaan.

Sedangkan pipis dibuat dari pisang yang sudah tua (ndalu) kemudian, dihaluskan, dan dicampur dengan tepung jagung kemudian dibungkus daun pisang dan dikukus. Kemudian untuk kue pasung terbuat dari tepung jagung, tepung terigu, gula pasir dan ragi dengan proses pengolahan dikukus. Kue pasung ini dibentuk kerucut sebelum dikukus.

Suku Tengger yang tinggal di Gunung Bromo Jawa Timur  mengadakan ritual perayaan Kasodo setiap tahun di bulan ke sepuluh, pada kalender Hindu.

Perayaan Kasada diperingati oleh semua desa yang ada di sekitar Tengger dipimpin oleh ketua adat dari masing-masing desa. Masyarakat suku Tengger ini  selalu menyambut perayaan  Kasodo ini  dengan antusiasme tinggi.

Salah satu contoh  dapat dilihat dari persiapan-persiapan yang dilakukan warga desa Wonokitir sebelum pelaksanaan ritual di gunung Bromo dipimpin oleh kepala adat Supayadi.

Disamping itu, masyarakat Wonokitri juga mempersiapkan sesaji dari hasil bumi yangi ditanam, seperti jagung, kentang, kubis, bawang prei, bunga kol dan yang lainnya. Selain itu juga ada yang membawa binatang-binatang peliharaannya seperti kambing, ayam, sapi,dan yang lainnya sebagai persembahan.

Tahapan upacara Kasada, dimulai sehari sebelum ritual Kasodo yang dilaksanakan pada malam hari yang disebut dengan rakangtawang yang dilanjutkan dengan mepek (melengkapi).

Ritual ini bertujuan untuk meminta ijin pada Sang Pencipta agar pelaksanaan ini berjalan dengan lancar dari awal hingga selesainya acara Kasodo, Tayuban juga menjadi bagian dari upacara pembukaan ini.

Tahap berikutnya adalah ritual mbukak lawang yaitu pembukaan pintu masuk menuju gunung Bromo, barulah masyarakat suku Tengger bisa menuju arah ke gunung Bromo.

Di sana mereka akan memberikan persembahan -persembahan yang telah disiapkan sebelumnya di rumah masing-masing.

Persembahan itu dilemparkan ke dalam kawah, sementara dilereng  kawah sudah ada sebagaian anggota masyarakat yang siap menangkap lemparan persembahan tersebut.

Sesi persembahan di kawah Gunung Bromo ini akan berlangsung beberapa hari kedepan. Upacara terakhir adalah pengukuhan dukun baru yang diselenggarakan pada tengah malam.

Dalam semua tahapan upacara Kasada, mulai dari rangkatawang, mepek, mbukak lawang, dan pelantikan dukun baru, sesajen utama selalu hadir di setiap sudut, bahkan pada anak tangga Pura Luhur Poten yang didirikan di tahun 2000.

Dapat dikatakan bahwa tiga zona/mandala dari Pura Luhur Poten, yaitu Mandala Utama (zona pemujaan), Mandala Madya (zona persiapan), Mandala Nista (zona peralihan dari luar ke dalam Pura) dibanjiri dengan berbagai sesajen.

Sesajen utama yang mengandung bahan aron adalah kewajiban yang telah membudidaya dalam kehidupan masyarakat Tengger.

Warga Tengger sadar betul bahwa sesajen utama harus hadir dalam setiap upacara. Para dukun bahkan menyatakan secara tegas, bahwa upacara tidak dapat dilaksanakan bila sesajen utama tidak lengkap.

Live draw hk

Mengapa demikian? Karena jajanan dalam sesajen utama akan diucapkan dalam Puja Mantra oleh Dukun Adat saat menaikkan doa-doanya, mengucapkan nama-nama jajanan utama tersebut dianggap sebagai wahyu dari Sang Hyang Widhi.

Hal demikian menandakan  secara tidak langsung bahwa Aron, sebagai bahan dari sesajen telah terpelihara kelestariannya oleh etnis Tengger.

Mempersembahkan sesajen utama yang mengandung bahan aron secara lengkap, telah diyakini oleh para leluhur hingga mayarakat setempat pada masa kini, telah memberikan keamanan dan kesejahteraan bagi masyarakat Tengger.

Tulisan ini adalah bagian dari pelaksanaan penelitian dari para dosen UC yaitu, Hari Minantyo S.Pd., M.M., Dra. Juliuska Sahertian M.Sc. dan Oki Krisbianto, STP, M.Sc. Penelitian ini mendapatkan dana dari Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Deputi Bidang Penguatan Riset Dan Pengembangan Kementerian Riset Dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional sesuai dengan Kontrak Penelitian Tahun Anggaran 2021 antara LLDKTI VII dengan Universitas Ciputra Surabaya Nomor 024/SP2H/LT-MULTI-TERAPAN/LL7/2021 05 April 2021.

Dalam hal ini peneliti dari UC Surabaya telah mendapatan izin dari kepala Desa dan kepala dukun Desa Wonokitri. (*)

UC Surabaya Gali Potensi Ekokuliner Tengger. timesindonesia.co.id. 17 Juni 2021. CB danTekpan

https://www.timesindonesia.co.id/read/news/353133/uc-surabaya-gali-potensi-ekokuliner-tengger

Pewarta:  | Editor: Dhina Chahyanti

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Kawasan Wisata Gunung Bromo menjadi salah satu tujuan wisata unggulan Indonesia. Seharusnya ekowisata kuliner khas Tengger dapat dijadikan rumah kuliner yang ramah lingkungan. Universitas Ciputra atau UC Surbaya melalui Program Studi Kulineri Bisnis dan Program Studi Teknologi Pangan mencoba bukan hanya menggali potensi ekokuliner di Kawasan Bromo, tetapi juga berniat memperkenalkannya sebagai kekayaan kuliner Tengger, untuk dapat disajikan bagi wisatawan mancanegara maupun nusantara.

Kementerian Pendidikan mendukung usaha ini dengan memberikan hibah penelitian melalui Simlitabnas tahun 2021 dan diharapkan daapat dituntaskan pada tahun 2022 mendatang.

Pariwisata Bromo telah sangat cepat berkembang, tetapi telah menelantarkan kulineri lokal. Sebuah penelitian di tahun 2017, mendata kuliner local Etnis Tengger yang terdiri atas tujuh kategori makanan pokok, hidangan sayuran, lauk pauk, kondimen, jajanan, one dish meal, dan minuman yaitu kopi lokal.

Bila kuliner lokal tersebut dapat bertumbuh seiring perkembangan pariwisata di Bromo, maka ekowisata kuliner Bromo dapat bertumbuh sehingga memungkinkan untuk menjadi pilar utama dari Pariwisata Bromo.

Tetapi hal itu rupanya masih seperti pepatah, jauh api dari panggang. Penyebabya bisa jadi karena letak geografis Bromo yang berada dalam empat kabupaten, Malang, Lumajang, Probolinggo, Pasuruan, telah menyebabkan multi-management sangat kental. Ketual PHRI Probolinggo, Digdoyo menyatakan setiap kabupaten memiliki peraturan dan kepentingan sendiri-sendiri untuk menjaga Bromo.

Lautan-Pasir-Bromo-2.jpg

Festival makanan lokal di keempat kabupaten diadakan secara berkala namun tidak serta merta mengantarkan makanan etnis Tengger menjadi tuan rumah kuliner di hotel maupun café yang tumbuh subur di Bromo. Tidak ada satupun dari makanan local yang difestivalkan tersebut yang dianggap layak disajikan dalam salah satu stakeholder pariwisata, tersebut. Salah satu sebab karena, beberapa dari makanan seringkali dianggap sebagai makanan masyarakat ekonomi lemah bahkan termasuk makanan hewan, contoh aron dan mbote.

Aron bagi masyarakat Tengger adalah pengganti nasi yang terbuat dari jagung putih. Tanaman jagung putih dan bermasa tanam sembilan bulan, yang kemudian diolah menjadi makanan tradisional yg dikenal sebagai aron. Aron dikonsumsi dengan cara dibakar, dikukus dan dimakan seperti nasi serta dikonsumsi dengan lauk lain. Kekurangan dari aron, adalah aron sangat padat sehingga mengeringkan tenggorokan dan susah untuk ditelan bagi beberapa orang.

Namun demikian, ketua PHRI Probolinggo sekaligus pemilik Hotel Yoschi di Sukapura, Digdoyo mengatakan bahwa makan aron sedikit saja sangatlah mengenyangkan sehingga petani dapat bertahan bekerja hingga siang hari, tanpa merasa lapar. Namun, aron seringkali dianggap sebagai makanan utama orang yang berekonomi lemah, padahal kandungan serat dan karbohidrat dalam jagung putih adalah serat sangat tinggi.

Sedangkan mbote merupakan sejenis umbi yang mempunyai kandungan nutrisi penting-protein, kalium, kalsium, serat, magnesium- bagi masyarakat local hanyalah dijadikan makanan hewan. Mbote, yang dapat tumbuh subur di daerah Bromo, juga belum mendapat tempat di hari masyarakat Tengger untuk diperkenalkan pada parawisatawan sebagai kekayaan.

Hal itu dipertegas dengan kenyataan bahwa mbote yang merupakan tanaman berbentuk batang dan mudah tumbuh,  adalah makanan ternak. Sungguh ironis, karena dari hasil banyak penelitian membuktikan bahwa mbote baik untuk Kesehatan, karena kandungan lemaknya rendah sehingga baik untuk dinikmati oleh penderita diabetes; terlebih lagi mbote dapat diolah menjadi tepung berbumbu.

Lautan-Pasir-Bromo-3.jpg

Bukankah mbote dapat dipakai sebagai tepung bumbu untuk mengolah kentang dan jagung yang menjadi ciri khas kekayaan pertanian di Kawasan Bromo?

Sementara itu, hasil bumi pertanian lain, kentang, selalu dijual keluar Bromo sehingga yang tersisa adalah kentang-kentang dengan kwalitas kedua karena cacat saat dipanen. Sehingga kentang yang bagus jarang dinikmati oleh penduduk setempat, karena itu mereka hanya menggorengnya untuk disantap dalam keluarga.

Keripik kentang, sebagai jajanan yang dipasarkan dikalangan penduduk setempat, baru saja dimulai dalam kurun waktu kurang dari 3 tahun tambahan lagi, baru satu orang yang memulai bisnis keripik kentang tersebut. Sementara itu dinegara yang berudara dingin, seperti negara-negara di Eropa dan di Amerika, kentang goreng panas disajikan di warung, restoran, food truct, bahkan termasuk street food  serta sangat laris.

Negara-negara tersebut juga menyajikan sup kentang yang sehat, yang mudah dibuat. Bromo, dengan keanekaragaman kentang, seolah belum sadar akan kekayaannya, dan hanya menyajikan berbagai mi instant yang meninggalkan banyak sampah un-organik bagi lingkungan Bromo.

Kenyataan itu diperparah dengan sebuah hasil penelitian terdahulu yang telah menemukan adanya sate kentang, perkedel kentang sebagai bagian dari kuliner khas Tengger, namun hal itu juga belum ada yang mengangkatnya sebagai salah satu jajanan khas Bromo yang layak ditawarkan pada para wisatawan yang mengunjungi Bromo.

Disarikan dari hasil penelitian dan pengabdian masyarakat yang didanai oleh Badan Riset Inovasi Nasional Universitas (BRIN) periode 2021-2022 yang dilakukan Dra. Juliuska Sahertian, M.Sc., Hari Minantyo, S.Pd., M.M. dan Oki Krisbianto, S.TP., M.Sc., Dosen Fakultas Pariwisata Universitas Ciputra Surabaya. (*)

Program Abdimas Universitas Ciputra Sasar Usaha Konveksi di Lakarsantri. kempalan.com. 10 November 2021. FPD

https://kempalan.com/2021/11/10/program-abdimas-universitas-ciputra-sasar-usaha-konveksi-di-lakarsantri/

Surabaya-KEMPALAN: Tidak dapat dipungkiri lagi, dampak pandemi Covid-19 membuat industri rumah tangga seperti Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) semakin terpuruk. Semangat entrepreneurship saja tidak cukup. Dibutuhkan kreativitas dan inovasi, agar usahanya masih dapat berjalan dan tidak sampai gulung tikar. Kondisi inilah yang dirasakan sejumlah pemilik usaha pakaian jadi (konveksi) UMKM di Lakarsantri Surabaya.

Untuk memulihkan dan meningkatkan kompetensi pengelola usaha pakaian jadi, program Pengabdian kepada Masyarakat (Abdimas) Universitas Ciputra (UC) memberikan pelatihan mode busana kepada sekitar 15 UMKM. Acara ini berlangsung secara offline dan online di kampus UC Surabaya, Rabu (10/11). ‘’Dengan pelatihan ini, kami menjadi lebih paham kekurangan pada produksi pakaian jadi kami,’’ ujar Bayu, salah satu peserta pelatihan.

Pengelola konveksi baju gamis anak-anak ini menambahkan, dari hasil konsultasi produk baju gamis yang ditunjukkan kepada para dosen Fashion Product Design and Business (FPD) UC Surabaya, ada beberapa masukan yang perlu diperbaiki untuk menyempurnakan produknya. ‘’Kami tadi diberikan masukan tentang bagaimana menata pernak-pernik, dan bahan asesoris. Wah, luar biasa nih dosen Ciputra,’’ kata warga Lakarsantri Surabaya ini lantas tersenyum puas.

Pengakuan yang sama juga disampaikan Hurin, pemilik usaha pakaian jadi, khusus untuk ibu hamil. Usaha yang ditekuni sejak 2018 lalu, terpuruk akibat pandemi Covid-19. Omzet yang semula dapat mencapai Rp 4 juta per bulan, merosot tidak sampai Rp 1 juta per bulan. ‘’Selain masalah pemasaran, melalui pelatihan ini saya ingin agar kualitas jahitan produk saya bisa dikoreksi,’’ tandas ibu satu anak ini.

Program Abdimas pelatihan mode busana kali ini, menghadirkan tiga dosen dari FPD UC Surabaya. Para dosen tersebut yakni, Fabio R. Toreh, Soelistyowati dan Marini Yunita Tanzil. Dalam sesi pelatihan ini, para peserta juga mendapatkan pengetahuan tentang trend busana pada tahun 2022 mendatang, seperti essentialityspiritualityexploitation, dan exploration. ‘’Setidaknya melalui pelatihan ini, para pemilik usaha pakaian jadi, lebih tahu trend mode mendatang itu seperti apa. Dan, semoga dapat menjadi inspirasi bagi mereka,’’ tambah Marini Tanzil sambil membenarkan letak kaca matanya.

Seperti diketahui, dalam dua hari berturut-turut, program Abdimas UC Surabaya menggelar kegiatan Global Entrepreneurship Week, untuk mempersiapkan UMKM di wilayah Lakarsantri Surabaya agar lebih go digital. Setelah sebelumnya, sukses melaksanakan pelatihan teknik fotografi, kemudian dilanjutkan dengan pelatihan teknik pengemasan produk, dan terakhir pelatihan mode busana. ‘’Kami juga melakukan mentoring untuk mempertajam pemahaman dan ketrampilan pelaku UMKM,’’ imbuh Imanuel Deny, Koordinator Program Abdimas UC Surabaya. (*)

Editor: Freddy Mutiara

Alumni Pariwisata UC Surabaya Gerakkan Tur Wisata Trowulan Melalui “Kuno Kini & Nanti”. https://www.timesindonesia.co.id. 22 September 2022. HTB

https://www.timesindonesia.co.id/read/news/371654/alumni-pariwisata-uc-surabaya-gerakkan-tur-wisata-trowulan-melalui-kuno-kini–nanti

Pewarta:  | Editor: Dhina Chahyanti

TIMESINDONESIA, MOJOKERTO – Alumni Pariwisata UC Surabaya gerakkan tur sejarah Trowulan melalui ‘Kuno Kini & Nanti”. Potensi wisata di Trowulan Kabupaten Mojokerto, di Jawa Timur sangatlah besar.

Diyakini sebagai pusat kerajaan Majapahit, Trowulan menyimpan banyak sejarah dan budaya yang menggambarkan kebesaran nusantara pada masa lampau. Keberadaan komplek Candi Bajang Ratu, Candi Tikus, Candi Brahu, Candi Wringin Lawang, Museum Trowulan dan Kolam Segaran adalah beberapa dari obyek wisata sejarah yang ada di Trowulan.

Keberadaan Vihara Mojopahit dengan Patung Budha tidur terbesar di Indonesia dan juga kampung wisata Bejijong yang baru saja dikunjungi oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia, Bapak Sandiaga Uno; menjadikan Trowulan memilki asset wisata yang sangat besar. Maka dari itu, untuk bisa menikmati keindahan alam, sejarah dan budaya di Trowulan, maka perlu adanya sebuah transpotasi wisata yang bisa digunakan oleh wisatawan untuk berkeliling Trowulan.

Pada tahun 2020, sebuah bisnis startup pariwisata, yang bergerak di bidang transpotasi wisata didirikan oleh Bagus Septian Tri Pamungkas. Alumni Jurusan Pariwisata, Universitas Ciputra Surabaya ini memberi nama bisnisnya “Kuno Kini & Nanti”.

Dalam menjalankan bisnisnya, Bagus menggandeng BUMDes Danadyaksa Watesumpak sebagai partner bisnis. Bisnis ini merupakan bisnis wisata jalan-jalan menyusuri alam, sejarah dan budaya Trowulan dengan menaiki bis wisata yang telah didesain dengan unik. Pengaturan wisata ini sesuai dengan prokes, sehingga aman dan nyaman bagi wisatawan di era pandemi.

Bagus

Pada bisnis ini , Bagus menikmati apa yang sedang dia kerjakan. Tujuan utama dalam mendirikan bisnis ini adalah untuk bisa ikut melestarikan kebudayaan Indonesia, sebagai anak milenial, khususnya budaya dan sejarah Majapahit  di Trowulan Mojokerto.

Passion dalam budaya dia sudah sejak lama tumbuh dan kemudian diasah ketrampilan bisnisnya selama mendapatkan beasiswa di Universitas Ciputra Surabaya. Sehingga hal tersebut menambah wawasan, ketrampilan dan keberanian dirinya untuk bisa mengembangkan bisnisnya.

Menurut Bagus pada saat kuliah dia diajarkan membuat bisnis dan juga memahami  persoalan-persoalan yang terjadi dalam bisnis, ditambah kemampuan mengolah pariwisata mulai dari guide, travel management dan masih banyak yang lainnya. Semua itu membantu dia menjalankan bisnisnya sekarang.

Setelah lulus kuliah akhirnya Bagus membangun bisnis ini, dengan memadukan konsep Kuno dari segi lokasi trip yang diexplore dan Kini merupakan konsep dari trip yang milenials. Yang Nantinya akan bisa membawa pesan baik untuk masa depan.

Bagi Bagus, tantangan terbesar adalah masalah SDM masyarakat lokal yang minim untuk menangkap peluang usaha dalam bisnis ini, maka secara perlahan dia memperkenalkan dan mengedukasi dampak positif yang akan masyarakat terima.

Pada awalnya belum ada yang tertarik bahkan semua konten dia harus sajikan sendiri, mulai dari kendaraannya, kulinernya, cinderamatanya dan juga pertunjukan sebagai konten dari trip Kuno Kini & Nanti.

Namun pada akhirnya, hal ini membawakan hasil dengan bantuan beberapa media lokal maupun teman-temannya yang membantu share bisnis ini melalui sosmed akhirnya ramai menjadi salah satu jujukan wisata budaya dan sejarah, dari situ masyarakat ada yang mulai sadar dan menangkap peluang bisnis ini.

Pada saat ini ada lebih dari 7 Keluarga (KK) yang turut menyiapkan kebutuhan wisatawan seperti  makanan, cinderamata, maupun performers, bisa dikatakan hal ini membawa dampak dari segi ekonomi, dan memancing masyarakat untuk sadar akan potensi bisnis wisata di Trowulan.

Pengalaman unik yang dia rasakan dalam bisnis ini adalah dia bisa menjalankan hobi maupun passion dia dibidang budaya dan sejarah Majapahit, sekaligus dia bisa membantu banyak orang dalam hal peningkatan SDM maupun ekonomi lokal pada khususnya masyarakat Lokal Trowulan.

Pesan Bagus, alumni UC Surabaya pada generasi muda agar bisa bekerja dengan passion yang dimiliki, sehingga bisa berdampak bagi banyak orang, terutama kemajuan SDM maupun ekonomi masyarakat. Bagi wisatawan yang ingin tahu soal trip ini bisa mengunjungi instagram @kunokininanti_id. (*)

Kya-Kya Simbol Kawasan Pecinan. Radar Surabaya. 11 Desember 2021. Hal. 6

GAPURA Kya-Kya yang terletak di Jalan Kembang Jepun sempat menjadi ikon wisata kuliner di Surabaya pada tahun 2003. Pasalnya, kala itu kawa san ini jika siang hari padat dengan perdagangan, namun menjadi kawasan kuliner pada malam harinya.

Konseptor Kya-Kya Kembang Jepun Freddy H Istanto mengatakan, sejarah berdirinya gapura ini berawal dari ide Dahlan Iskan yang ingin menciptakan kawasan pecinan di Surabaya. “Waktu itu Pak Dahlan menyuruh saya untuk berangkat ke China untuk mencari referensi. Namun karena saat itu ada wabah SARS akhirnya saya ke Singapura. Di situ saya melihat gapura pecinan yang akhirnya kami wujudkan di Kembang Jepun ini,” ujarnya, Jumat (10/12).

Freddy mengatakan, sebenarnya pada zaman Belanda sudah ada gapura pecinan di kawasan ini, namun sudah hilang. Ia menambah kan, alasan mendirikan gapura Kya-kya adalah ingin menghidupkan kembali kawasan pecinan: “Saat itu kami ingin ada kawasan kuliner pecinan di Surabaya. Karena memang kawasan tersebut merupakan kawasan pecinan,” ungkapnya.

Lebih lanjut Freddy menuturkan, dulu ada 12 gapura kecil yang melambangkan shio. Tapi sekarang gapura itu sudah tidak ada. “Satu setengah tahun berjalan, Pak Dahlan minta untuk menutup Kya-Kya ini. Padahal kontrak dengan Pemkot Surabaya selama lima tahun,” katanya.

Sebenarnya, lanjut Freddy, komunitas Tionghoa ini tidak setuju jika Kya-Kya ditutup apalagi dibongkar. Namun lama-kelamaan pengunjung kuliner di kawasan ini semakin sepi. “Pak Dahlan minta agar dibongkar gapuranya, namun bagi komunitas Tionghoa ini menjadi simbol kawasan pecinan di Surabaya. Apalagi sebelum ada gapura ini dulunya juga ada gapura yang serupa,” tuturnya. (mus/nur)

 

Sumber: Radar Surabaya. 11 Desember 2021. Hal. 6

Megahnya Gereja Kepanjen. Radar Surabaya. 18 Desember 2021. Hal. 6-7

PECINTA wisata heritage kurang pas rasanya jika tak berkunjung ke Gereja Kelahiran Santa Perawan Maria atau biasa disebut Gereja Kepanjen. Lokasinya berada di Jalan Kepanjen, Kecamatan Krembangan. Wisata tertua di Surabaya itu meny-  impan sejarah yang cukup menarik.

Misalnya dengan masa pembangunannya. Gereja yang cukup megah bergaya Eropa itu mulai dibangun 1899. Dibangun dengan bantuan arsitek W. Westmaas dari Semarang, gereja tersebut baru diresmikan pada 5 Agustus 1900.

“Memang sangat tua. Kemarin kami dari komunitas bersama pihak pemerintah Kota Surabaya dan pihak gereja melakukan pertemuan untuk membahas perawatan gedung itu,” kata Pustakawan Sejarah Universitas Ciputra Chrisyandi Tri Kartika. Pengunjung yang datang dapat melihat langsung megahnya bangunan itu. Nampak tinggi dan lebar. “Serasa berada di Eropa. Konon, pada masa perang kemerdekaan, gereja tersebut sone hancur terkena bom Megahnya Gereja Sekitar tahun 1949- 1950, renovasi gereja baru

dilakukan oleh Pastor P.A. Bastiansen Congre- gatio Missionis (CM). Renovasi sendiri dilakukan dengan memakai jasa biro arsitek Henri Estourgie. Pada 1960, Gedung gereja sempat direnovasi kembali.

Gedung tersebut direnovasi pada masa pelayanan Pastor H.J.G. Veel CM, untuk mengganti kaca- kaca jendela. Lalu pada 1996 Gereja Kepanjen Kembali direnovasi lagi.

Dua menara di samping kanan dan kirinya yang sempat tak terpasang pada renovasi sebelumnya akhimya kembali dipasang. Bahkan menara itu mencapai ketinggian 15 meter. Sementara tinggi salib mencapai 3,75 meter dan ayam jago 3,50 meter. Chrisyandi mengatakan, komunitas akan memban- tu pihak gereja dalam mengumpulkan data. Yaitu bagian mana saja yang perlu diperhatikan lebih. Data itu nantinya akan diberikan ke gereja untuk diajukan ke Pemkot Surabaya dalam hal ini tim BCB-nya.

“Kalau saya lihat semua bangunan perlu pemeliharaan. Karena ini hubungannya dengan fisik bangunan. Kami melihat apa saja yang bisa dijadi- kan data. Termasuk melakukan pemotretan lonceng gereja,” jelasnya. (far/nur)

 

Sumber: Radar Surabaya. 18 Desember 2021. Hal. 6-7

Kantor PTPN XI Bekas Gedung Kesenian Megah. Radar Surabaya. 23 Desember 2021. Hal. 6-7

DI Jalan Comedienplein Straat (Jalan Merak) yang saat ini digunakan sebagai gedung PTPN XI merupakan bangunan lawas yang dibangun dan difungsikan secara berbeda-beda di setiap bangunannya.

Pustakawan sejarah Chrisyandi Tri Kartika mengatakan, gedung tersebut pernah menjadi Gedung kesenian yang dulu digunakan sebagai tontonan orang-orang berduit di zaman pemerin- tahan Hindia Belanda. Namun seiring berjalannya waktu biaya operasional gedung tersebut membengkak, biaya pertunjukan tidak pernah cukup untuk operasional gedung.

“Pemasukan berkurang berefek pada pemeliharaan gedung, perawatan alat, pembuatan dekorasi dan lampu sehingga tidak bisa mengikuti teknologi pertunjukan dengan per- kembangan zaman dunia yang pesat dan pada tahun 1923 gedung dibongkar” kata Chrisyandi.

Ia menjelaskan, bangunan ini awalnya bernama Handelsvereeniging Amsterdam (HVA). Asosiasi Pedagang Amsterdam merupakan perusahaan asal Belanda yang didirikan sejak 1879 di Amsterdam bergerak di bidang impor hasil pertanian serta budidaya tebu, kopi dan singkong. Tak hanya di Surabaya, HVA juga memiliki puluhan perusahaan di Hindia Belanda. Sedangkan yang di Surabaya bertugas mengontrol produksi-gula di wilayah” Jatim. “Jadi banguman ini mengal: berkali-kali. Sebelum dibongkar bangunan gedung tersebut masih dipegang oleh Bouman, kepala Dunlop & Co,” jelasnya. bungan antara Perkebunan Nusantara XXIV-XKV dan PT Perkebunan XX (Persero) menjadi PTPN XI. “Ge- dung tersebut (HVA) juga pernah menjadi Markas Komando Tobu-Jawa Bo-etai. Markas Comando Militer Djawa Timur (XMDT) Dr. Moestopo, “Tempat perundingan antara Mallaby dengan Dr. Moestopo (ke-2),” kata Chrisyandi.

Saat Indonesia sudah merdeka dan diakui oleh Belanda tahun 1958, berganti nama menjadi gedung PPN. (State Plantation Com- pany). Tahun 1972, menjadi PT. Perkebunan, kemudian tahun 1994 ada penggabungan antara PT. Perkebunan Nusantara XXIV-XXV dan PT Perkebunan XX (Persero) menjadi PTPN XI. (rmt/nur)

 

Sumber: Radar Surabaya. 23 Desember 2021. Hal. 6-7