Wawan Widarmanto Gerilya Aktivis “Rumah Sampah”
Wawan Widarmanto
Wawan Widarmanto (43) bertahun-tahun masuk-keluar kampung untuk menyadarkan masyarakat agar tidak membuang sampah sembarangan. Ia sempat dituduh koar-koar belaka. Namun, kini perjuangannya membuahkan hasil. Ia memiliki benyak kader di sekolah dan kampung-kampung yang siap menyebarkan “virus” anti sampah.
Wawa lelah bertahun-tahun melihat masyarakat membuang sampah sembarangan di sekitar tempat tinggalnya di Kampung Pabrik, Desa Puteran, Kecamatan Pagerageung, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Sampah berserakan dan bertumpuk di kebun, sawah, dan sungai-sungai kecil. Padahal, kampung itu termasuk daerah hulu Sungai Citanduy.
Alumnus Jurusan Syariah Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah itu mencoba menyadarkan masyarakat agar tidak membuang sampah sembarangan lewat dakwah. Namun, hasilnya nyaris tidak ada.
Ia kemudian bergerak lebih jauh dengan membangun “rumah sampah” melalui Yayasan Amal Ikhlas Mandiri (YAIM) Desa Puteran. Rumah sampah yang dimaksud adalah rumah tempat mengelola sampah yang masih bisa dimanfaatkan. Ia berharap, dengan membangun rumah sampah, masyarakat akan termotivasi untuk mengolah sampah sendiri. Nyatanya, tidak banyak warga yang merespons ide itu.
Wawan tidak patah arang. Ia mencoba mencari tahu mengapa masyarakat selama ini tidak merespons program pengolaan sampah. Setelah mengamati beberapa lama, ia menemukan jawabannya. Ternyata persoalan utama terletak pada pola pikir masyarakat terkait sampah. Mereka umumnya berpikir sampai sekadar tumpukan bena tak terpakai dan mesti segera dibuang jah-jauh. Padahal, sampah jika dikelola dengan benar bisa menghasilkan rupiah.
Laki-laki yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Tasikmalaya itu lantas berpikir bahwa hanya lewat pendidikan pola pikir masyarakat yang keliru bisa diubah. Wawan pun meneruskan eksperimennya bersama YAIM dengan membuat konsep Rumah Sampah Berbasis Sekolah (RSBS) pada 2010.
RSBS ini adalah metodologi pembelajaran yang menumbuh kembangkan kesadaran dan kebiasaan untuk mengelola sampah dengan baik dan benar sejak dini melalui lembaga pendidikan.
Sebelumnya, YAIM telah menguji coba konsep rumah sampah melalui pendidikan anak-anak sekolah mulai dari pendidikan anak usia Dini (PAUD). Para murid diminta membawa sampah dari rumah atau memungut sampah dari jalanan untuk dibawa ke sekolah dan dipilah. Sampah yang bernilai ekonomi kemudian dijual kepada pedagang barang rongsokan.
Gerilya
Setelah proyek rintisan itu berjalan, Wawan berpikir untuk meluaskan gerakan RSBS. Pada, 2011, ia mulai bergerilya ke kampung-kampung di luar Desa Puteran, tetapi masih di wilayah Kecamatan Pagerageung, menyebarkan gerakan RSBS. Gerakannya didukung perangkat Kecamatan Pagerageung.
Wawan melanjutkan gerilyanya ke berbagai sekolah, terutama PAUD di wilayah Priangan Timur (Kabupaten/Kota Tasikmalaya, Kota Banjar, dan Kabupaten Ciamis) hingga ke Kecamatan Lakbok di perbatasan Jawa Barat-Jawa Tengah untuk mempresentasikan konsep RSBS. Dengan cara itu, ia berusaha memproduksi kader-kader militan yang akan menyebarkan virus RSBS ke mana-mana.
Jika wawan tidak memiliki komitmen kuat, gerakan RSBS itu niscaya tak akan berhasil. Bayangkan, setiap Sabtu dan Minggu ketika libur kerja, ia bergerilya sendirian pergi ke daerah-daerah yang jauhnya puluhan kilometer dengan biaya sendiri. Padahal, secara finansial Wawan bukan tergolong orang kaya. Ia juga selalu menolak untuk dibayar-meski sekadar uang pemgganti biaya transportasi – setiap kali diminta mempresentasikan program RSBS.
Kerja keras Wawan menampakkan hasil. Kader-kadernya di banyak tempat mulaii aktif membuat program turunan terkait sampah. Ada yang membuat program diet kantong plastik di sejumlah SMP, SMA, dan universitas, “Saya sendiri lebih konsentrasi di tingkat PAUD karena program pembentukan kader ini tidak mungkin ditangani sendiri,” ujar Wawan yang mendirikan Yayasan Rumah Sampah Indonesia di Pagerageung.
Proses pencetakan kader RSBS juga terus dilakukan di seantero pedesaan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citanduy. Januari 2017, ia menargetkan melatih 120 guru. Yang sudah mendaftar ternyata lebih dari 300 guru. “Kami (akhirnya) menerima 200 guru,” ujar Wawan yang menyusun sendiri materi pelatihan dalam bentuk tanya jawab terkait sampah.
Wawan mengatakan, gerakan yang ia galang lebih bertujuan memotivasi dan mengajak ornag untuk mengubah pola pikir dan perilaku membuang sampah sembarangan. Gerakan yang disebarkan lewat pendidikan itu tidak menekankan pada urusan teknis, seperti praktik mengelola sampah. Untuk sampai ke sana, Wawan dan kader tidak punya dana.
“Jujur saja, ini kelemahan gerakan RSBS. Makanya, kami sering dipelesetkan sebagai gerakan koar-koar,” ucapnya. Hasil gerakan ini, lanjutnya, tidak bisa dirasakan dalam waktu singkat. “tidak seperti makan cabai yang langsung dirasakan pedasnya saat itu juga. Saya yakin, 15-20 tahun ke depan gerakan ini baru terasa manfaatnya,” kata Wawan.
Sejak program RSBS digulirkan, sekitar 300 sekolah dan pesantren di Priangan Timur sudah mengenal dan mengadopsi rumah sampah. Malah virus RSBS sudah menjalar ke beberapa majelis taklim, lembaga pendidikan informal, dan lembaga swadaya masyarakat di DAS Citanduy.
Wawan belum puas dengan hasil yang telah dicapai. Ia ingin masyarakat yang telah mengenal konsep rumah sampah segera mempraktikannya dalam skala kampung. Namun, pasalnya, kesadaran untuk menglola sampah belum menjelma menjadi karakter. Masyarakat juga belum sepenuhnya mengerti pentingnya gerakan bersama. “kadang mereka juga banyak alasan, termasuk dikalangan kader. Katanya, terlalu capek mengurusi hal-hal yang tidak ada duitnya,” ungkapnya. Ya, perjuangan Wawan sepertinya masih panjang.
Wawan Widarmanto
Lahir : Tasikmalaya, 26 Desember 1973
Istri : Siti Rohmah Maulida
Anak : Maisa Shofwatunnisa, Azri Bahjan Maidhar, Azhar Syahrul Mubarok
Pendidikan : SD Puteran, Pagerageung (1987), SMPN Pagerageung (1990), MAN Ciawi. Tasikmalaya (19993), institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah, Pesantren Suryalaya, Pagerageung, Tasikmalaya (1997)
Pekerjaan : Pegawai negeri sipil di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Tasikmalaya.
Sumber: Kompas. 5 Januari 2016. Hal 16.