Mini Nor Awalia Menyelamatkan Pecandu Napza
Mini Nor Awalia (46), seorang aktivis kemanusiaan, prihatin melihat banyak remaja berangsur kehilangan masa depan gara-gara terperangkap dalam jerat narkotika, psikotropika, dan zat adiktif. Ia pun bergerak menyelamatkan mereka dengan membangun panti rehabilitasi di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
OLEH JUMARTO YULIANUS
Jangan membayangkan panti itu berupa bangunan besar dan luas seperti panti-panti milik pemerintah atau yayasan. Panti yang didirikan Mini hanya sebuah rumah di tengah permukiman penduduk. Namun, dari tempat sederhana itu, lebih dari 200 orang dibebaskan dari kecanduan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif (napza).
“Saya menyiapkan panti untuk rehabilitasi para pecandu napza sejak 2012 atau setahun setelah saya terjun mendampingi mereka yang ditangani kepolisian dan BNN (Badan Narkotika Nasional),” kata Mini saat ditemui di panti rehabilitasi yang dikelolanya di Jalan Saka Permai, Kelurahan Belitung Selatan, Kecamatan Banjarmasin Tengah, Kota Banjarmasin, Sabtu (5/11).
Mini awalnya bekerja sebagai pengajar di beberapa lembaga kursus dan tutor ajang pencarian bakat. Ia lantas diminta untuk mengajar di komunitas para pecandu napza yang ditangani kepolisian dan BNN. Dari situlah, ia kemudian mengenal beragam pecandu, termasuk pecandu berusia belia.
“Saya kaget saat mengetahui ada anak usia 13 tahun sudah kecanduan pil koplo. Usia merea itu kurang lebih sama dengan usia anak saya. Saya kasihan dan tidak ingin meeka kehilangan masa depan. Karena itu, saya bertekad menyelamatkan mereka,” tutur ibu dua anak ini.
Berpindah-pindah
Gerakan Mini dimulai dengan membentuk komunitas yang dinamakan Lingkungan Harapan Benua (LHB) pada 2 Januari 2012. Ini wadah perkumpulan para pecandu napza. Ia lalu menyiapkan sekretariat untuk berkumpul dan melakukan konseling. Sejak saat itu, pelayanan dan pendampingan kepada pecandu yang sebelumnya tertutup mulai digelar secara terbuka.
“Awalnya, saya meminjam satu ruangan di Kantor BNN Kota Banjarmasin untuk sekretariat dan tempat berkumpul anggota komunitas LHB yang pada waktu itu berjumlah 25 orang. Pertemuan dijadwalkan dua kali dalam seminggu. Namun, kebanyakan klien kami (anggota komunitas LHB) tidak mau datang karena takut ditangkap aparat BNN,” tuturnya.
Mini pun merogoh uang sakunya untuk menyewa sebuah kios di Jalan Veteran, Kota Banjarmasin. Kios itu digunakan untuk tempat berkumpul para pecandu. Agar tidak kentara, ia membuka warung kopi di kios tersebut. Klien yang sebelumnya enggan datang akhirnya rajin datang.
Namun, sekretariat di jios hanya bertahan empat bulan karena kios dibongkar oleh Satuan Polisi Pamong Praja Kota Banjarmasin. Mini lalu mencari tempat baru dan menyewa sebuah rumah di Jalan HKSN, Banjarmasin. “Di tempat baru ini, kami mulai merintis lokakarya salon dan bengkel bagi klien kami,” katanya.
Setelah setahun, Sekretariat LHB harus pindah lagi karena masa sewanya habis. Kali ini, LHB sempat ditolak warga di beberapa wilayah. “Ketua RT beralasan, warganya tidak mau ada komunitas pemakai narkoba di lingkungan mereka,” kata perempuan yang pernah menjadi pembawa acara TVRI Kalsel ini.
Sejak tahun 2012 hingga sekarang, sudah lima kali LHB berpindah tempat dan tiga kali keberadaan kelompok itu ditolak warga. Mini menyesalkan penolakan. Para pecandu sebetulnya adalah korban, tetapi sebagian masyarakat menganggap mereka sebagai orang jahat yang harus dijauhi.
Dua tahun pertama, panti (sekretariat) yang disediakannya hanya memberikan layanan rehabilitasi rawat jalan kepada para klien. Mereka menggelar pertemuan rutin dua sampai tiga kali dalam sepekan. Pertemuan itu diisi dengan kegiatan konseling, ceramah keagamaan, dan pelatihan keterampilan. “Untuk mengisi kegiatan itu, saya dibantu sejumlah relawan,” ucap Mini.
Bantuan dana
Setelah berjalan dua tahun lebih secara swadaya, pada Juli 2015, panti rehabilitasi itu mendapatkan perhatian pemerintah. Panti itu menjadi salah satu Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL), dibawah Kementrian Sosial sehingga mendapat dukungan dana.
Mulai saat itu, IPWL, LHB tidak hanya melayani rehabilitasi rawat jalan, tetapi juga melayani rehabilitasi rawat inap. Kementrian Sosial memberikan dana untuk rehabilitasi rawat inap selama enam bulan per orang. Selain itu, ada bantuan dana untuk klien rawat jalan. Akan tetapi, untuk biaya sewa rumah, listrik, air, dan berbagai pelatihan tetap ditutup secara swadaya.
Sejak menjadi IPWL, mini jugz mendapatkan 11 tenaga kesejahteraan sosial (TKS) untuk mendampingi para pecandu. Setiap hari ada tiga TKS yang bertugas dipanti, terutama untuk mendampingi klien yang menjalani rehabilitasi rawat inap. “ Saat ini, ada 10 orang yang rawat inap. Empat diantaranya sambil mengikuti program kerja paket C, satu bersekolah di SMA, dan lima lainnya putus sekolah,” katanya.
Rumah yang disewanya sebagai panti saat ini berukuran 10 meter x 17 meter dan memiliki dua kamar tidur. Rumah ini lebih besar dibandingkan rumah-rumah sebelumnya sehingga bisa menampung 20 klien rawat inap. Karena itu, masih menunggu para pecandu yang ingin pulih untuk datang ke panti guna menjalani rehabilitasi.
Dari tahun 2012 sampai 2016, kata Mini, LHB telah menangani 180 orang kluen rehabilitasi rawat jalan dan 55 oeang klien rehabilitasi rawat inap. Usia mereka mulai dari 13 tahun sampai 43 tahun. Di antara mereka yang sudah bebas dari jeratan napza, ada yang membuka usaha bengkel, warung kecil untuk berjualan pulsa, gorengan, tabung gas, dan sebagainya.
Ahmas Nor (24) adalah salah satu kluen yang pernah menjalani rehabilitasi rawat inap selama enam bulan di IPWL LHB. Dia bilang, hidupnya dipulihkan berkat pendampingan selama berada di panti. “Ulun (saya) dulu suka nyabu, minum obat daftr G, dan minuman keras. Itu dari ulun kelas II SMA atau tahun 2010 sampai tahun 2015,” kata pemuda lulusan SMA ini.
Pada awal September 2015, Ahmad diantar kakaknya untik menjalani rehabilitasi di panti Mini. Ia terkesan kepada Mini karena begitu baik dan bersedia menerimanya apa adanya. “Setelah menjalani rawat inap selama enam bulan, ulun seperti menemukan hidup kembali. Sekarang, ulun mulai mempersiapkan masa depan,” ujar Ahmad yang kini menjadi salah satu pendamping di IPWL LHB.
Mini berharap para pecandu yang suah lepas dari jeratan napza bisa turut memutus rantai pecandu sehingga tidak terjadi regenerasi pencandu. Di Kalsel, jumlah pecandu narkoba diperkirakan 57.000 orang. Gerakan Mini menjadi berharha untuk menekan jumlah pencandu dan menyelamatkan generasi bangsa.
Sumber: Kompas, Kamis, 24 November 2016