Sunny Gho Memperluas Industri Komik Lokal

Memperluas Industri Komik Lokal. Kompas. 18 November 2015.Hal.16

Kecintaan Sunny Gho (33) pada komik tak menyurutkan langkahnya meski merasa salah mengambil jurusan kuliah. Berbagai cara di lakukannya untuk tetap bisa berkarya membuat komik, sampai kemudian mendirikan stellar Labs dan menjadi salah satu penggagas festival budaya populer, popcorn Asia di Jakarta.

OLEH SUSIE BERINDRA

Aku memang suka komik dari kecil. Dengan harapan mendapat ilmu menggambar , aku memilih kuliah di Jurusan Desain Komunikasi Visual. Universitas Trisakti. Tapi ternyata , disana malah enggak di ajarkan menggambar, kecewa juga sih. Kata Sunny mengisahkan permulaan perjalanan kariernya sebagai comic artist.

Untuk mengasah kemampuannya. Sunny bergabung dengan klub design Comic society di kampusnya. Meski merasa tak bisa mengembangkan bekatnya lebih baik Sunny bersama teman-temannya mengikuti pameran di pekan Komik Nasional Universitas Petra Surabaya, tahun 2002. Dari acara itu mereka bertemu dengan banyak komunitas dari sejumlah kota seperti Solo, Semarang, Yogyakarta, Surabaya dan Jakarta.

“Dari situ saya melihat bisa sukses dengan menjadi komikus dan saya menentukan bakat saya sebagai colorist. Kemudian ketika lulus kuliah saya tetap bertahan dengan komik.  Sama sekali  enggak mau kerja di bidang advertising seperti teman – teman lainnya kata Sunny.

Sebagai mahasiswa yang bisa  menghasilkan uang, tentunya menjadi kebanggaan tersendiri. Saat itu, sunny  diajak oleh temannya untuk menggarap sebuah komik terbitan PT Elex  Media Kompuindo. Awalnya , sunny tidak percaya diri karena  harus mewarnai komik dengan komputer.

Dengan waktu yang singkat , dia pun belajar mewarnai komik dengan menggunakkan slylus. Lumayan untuk seseorang mahasiswa mendapatkan honor sebesar rp. 35.000 per halaman dengan terget 52 halaman satu bulan sekali, tapi akibatnya saya terlambat lulus kuliah tahun 2005 karena keasikan ngurusin komik “ujar Sunny”

Seusai kuliah, jalan untuk mengembangkan komik lokal kembali buntu karena komik lokal terbitan Elex di hentikan . Ahkirnya, seperti para komikus di Indonesia lainnya, Sunny pun menawarkan karyanya ke luar negeri. Sampai kemudian dia mendapat pekerjaan dari orang Jerman yang melihat karyanya di Devianart.

“Untuk satu gambar, saya bisa mendapat honor 100 dollar AS. Tahun 2006 itu, jika saya mendapat proyek dua gambar saja, saya bisa mempunyai penghasilan yang sama dengan mahasiswa yang baru lulus,” kata Sunny.

Di tahun yang sama, Sunny bergabung dengan Imaginary Friends Studio di Singapura itu menawarkan kerja sama dengan membangun cabang di Jakarta. Jadilah Sunny mengumpulkan sekitar 30 komikus untuk mendirikan studio komik cabang dari Singapura. Di bawah Imaginary, Sunny dan teman-temannya mengerjakan komik Marvel dan DC Comics.

Studio komik

            Apakah cukup puas hanya sebagai tukang gambar atau mewarnai saja? Sayang sekali, padahal bakat komikus di Indonesia tak kalah dengan luar negeri. “Aku berpikir kapan bisa komik yang asli Indonesia, kok, selama ini kita hanya bekerja untuk luar negeri,” ujarnya.

Sedikit demi sedikit, Sunny mulai membangun cita-citanya untuk mengembangkan industry komik local. Dia mendirikan Makko Publishing menebitkan komik local di internet. Pada 2010, Makko Publishing menerbitkan komik Rokki di majalah Hai. Sayangnya, hanya berjalan selama satu tahun.

Meski hanya sebentar, Makko sempat menorehkan  prestasi dalam industry kreatif. Salah satu komik terbitan Makko Publishing yang berjudul “5 menit Sebelum Tayang” karya Ockto Barimbing dan Muhammad Fathanatul Haq berhasil memenangi Silver Award di 6th International Mangan Award di Jepang.

Padal 2012, Sunny memisahkan diri dari Imaginart Friends Srudio mengerjakan proyek komik dari luar negeri, Sunny terus mencari cara bagaimana bisa mengembangkan komik local dengan konten khas Indonesia. Dia pun menjadi salah satu penggagas festival budaya popular Popcorn Asia bersama Grace Kusnadi dan Marlin Sugama.

“Pertama kali digelar tahun 2012, Popcon masih menghadirkan tamu dari luar negeri. Kami memberikan kesempatan kepada komikus, pencipta games, dan mainan untuk memamerkan karyanya. Lalu, pada 2015, barulah Popcon lebih banyak menghadirkan konten local yang tidak kalah dengan luar negeri,” kata Sunny.

Nah di Popcon 2015, Sunny memberanikan diri meluncurkan majalah komik Mook yang mengangkat cerita asli Indonesia. Beberapa nama komikus terkenal yang mengisi majalah Kosmik, seperti Ockto Bringbing, Swetta Kartika, dan Faza Meonk. Dengan tagline #KomikUntukSemua, Kosmik yang pertama terbit langsung laku 1.000 eksemplar dalam waktu satu setengah hari saat Popcon Asia 2015.

Beberapa cerita di Kosmik mengangkat tentang Indonesia. Salah satunya “Suryaraka” karya Ockto dan Catur yang mengisahkan kisah heroic kelahiran Kerajaan Majapahit. Lalu, ada komik “Jamu S.A.K.T.I” yang member resep ramuan jamu untuk kesehatan.

Cerita unik lain tentan gastronot wanita bernama Rixa. Untuk komi ini, Sunny bekerja sama denga Lembaga Penerbangan dan ANtaruiksa Nasional (Lapan) yang ingin mengenalkan profesi astronot kepada masyarakat. Hingga kini, Kosmik sudah terbit dua kali.

“Aku ingin ketika orang di luar Indonesia membaca Kosmik  langsung tahu itu komik asli Indonesia. Tetapi, ceritanya juga harus bisa dimengerti oleh mereka,” ujar Sunny.

Kini, untuk lebih mengembangkan komik local, Stelar Labs bergabung dengan Glitch merupakan produsen mainan yang benar-benar asli karya anak bangsa. Kami ingin mengangkat talenta Indonesia ke panggung dunia. Bukan hanya sebagai pasar mainan dari luar negeri atau sebagai tukang gambar saja, melainkan juga harus mempunyai keunikan tersendiri,” kata Sunny.

Perjuangan untuk mengenalkan komik Indonesia memang masih panjang. Tak boleh berhenti sampai di sini. Talenta anak bangsa harus bisa bersaing di kancah international.

KOMPAS, RABU, 18 NOVEMBER 2015

Bondan Siswanto Meneropong Jiwa Zaman

Meneropong Jiwa Zaman. Kompas.12 November 2015. Hal.16

Tugasnya sebagai Juru Pelihara Kompleks Percandian Penataran selama 23 tahun, di Blitar, Jawa Timur. Bondan Siswanto (52) tidak hanya menjalani tugasnya dengan mencabuti rerumputan di sela-sela batu candi. Ia juga menggugah pengunjung untuk meneropong jiwa zaman cagar budaya itu. Atas usahanya, Bondan dianugerahi sebagai salah satu Juru Pelihara Cagar Budaya Terbaik 2015 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

OLEH NAWA TUNGGAL

            Cagar budaya menyimpan kisah sejarah manusia pada zamannya. Di situ masih ada nilai kehidupan manusia yang dapat kita pelajari untuk menjalani kehidupan sekarang,” kata Bondan ketika ditemui di kompleks percandian Penataran, Senin (5/10).

Meneropong jiwa zaman masa lalu, sebagai usaha Bondan menambah pengetahuan bagi pengunjung dengan mengisahkan relief bangunan percandian yang dinilai tetap relevan dengan kehidupan sekarang.

Misalnya, dari bangunan Pendapa Teras, ada relief-relief mengisahkan cerita Panji, meliputi Sang Seyawan Sri Tanjung, Bubuksah dan Gagang Aking, serta penggalan kisah lain yang belum diketahui.

Rp 1.000 per hari

            Bondan menjadi juru pelihara candi itu sejak 1992 dengan honor Rp. 1.000 per hari. Kalau dihitung, sebuah ia menerima honor sekitar Rp 30.000. untuk mendapatkan nafkah tambahan, setiap hari Minggu Bondan menjaga parkir kendaraan pengunjung candi. Di rumah, Bondan juga memelihara burung kenari sebagai usaha kecil-kecilan.

“Ada dua hal yang membuat saya tetap bertahan menjadi juru pelihara candi meski honor yang saya terima sangat kecil. Pertama, tidak mudah mencari pekerjaan. Yang kedua, saya menyukai sejarah,” kata Bondan.

Bondan menceritakan itu, Bondan diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) pada 2007 atau 15 tahun kemudian sebesar Rp 300.000 per bulan. Sepanjang 15 tahun, naik 10 kali lipat, tetapi tetap saja gaji itu masih sangat rendah.

Berkat kesetiannya itu, Bondan diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) PADA 2007. Bondan sedikit merasa lega karena gajinya dinaikkan menjadi Rp. 800.000 per bulan. Berkat kesetiannya pula, pada 2 Oktober 2015, Bondan menerima anugerah Juru Pelihara Cagar Budaya Terbaik 2015 dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan permuseuman Pemkab (Pemerintah Kabupaten) Blitar memberi tahu ada lowongan pekerjaan hororer untuk juru pelihara Candi Penataran,” kata Bondan.

Ketertarikan dan rasa ingin tahu Bondan terhadap Candi Penataran akhirnya kesampaian. Menjadi juru pelihara candi memang digaji sangat rendah. Namun, Bondan senang karena cakrawala pengetahuannya soal sejarah selalu terkembang.

“Senang sekali bisa bertemu banyak ilmuwan sejarah dari banyak negara, seperti seorang arkeolog dari Jerman, Lydia Kieven,” kata Bondan.

Lydia Kieven dikenal sebagai arkeolog Jerman yang mendalami berbagai percandian di dunia, termasuk di Jawa Timur. Ia meminjamkan ketertarkannya terhadap relief-relief cerita Panji.

Sampai sekarang tetap tidak diketahui adakah hubungan masa lalu antara masyarakat di sekitar Candi Penataran dan masyarakat suku Maya.

Menurut Bondan, Lydia beberapa kali mengunjungi kompleks percandian Penataran. Tidak hanya melihat dan pergi, Lydia juga kerap berdiskusi dan menyampaikan pandangan-pandanganya secara ilmiah terhadap bangunan bersejarah yang ada di Penataran.

“Seperti pada relief ini. Ada seorang laki-laki mengenakan tekes (tutup kepala). Lydia Kieven menyebutkan, penggambaran tekes ini mirip dengan yang dikenakan suku Maya di Amerika Tengah,” kata Bondan.

Sampai sekarang tetap tak diketahui, adakah hubungan masa lalu antara masyarakat di sekitar Candi Penataran dan masyarakat Suku Maya.

Keprihatinan

Kompleks percandian Penataran kerap disingkat Candi Penataran saja. Ini merujuk pada nama lokasinya di Desa Penataran, Kecamataan Nglegok, Blitar. Menurut Bondan, meski sudah banyak diteliti orang asing dan dari dalam negeri, tampaknya candi itu masih membutuhkan berbagai penelitian lanjut.

“Penelitian soal pertalian sejarah dengan suku Maya masih sangat di butuhkan. Di Pendapa Teras juga masih banyak penggalan kisah dari relief yang hingga sekarang belum juga masih banyak penggalan kisah dari relief yang hingga sekarang belum juga disimpulkan judul kisah alisnya,” kata Bondan.

Kompleks percandian Penataran merupakan yang terluas di Jawa Timur. Areanya 12.946 meter persegi. Bangunannya membentang dari arah barat laut ke timur laut, memunggungi puncak Gunung Kelud yang ditemukan pada 1815 oleh Letnan Gubernur Jenderal Pemerintah Kolonial Inggris Thomas Stamford Raffles (1781-1826). Raffles kemudian mencupliknya menjadi bagian dari bukunya, History of Java.

Inilah yang kemudian menginspirasi penelitian berikutnya pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Pada 1867, Andre de la Porte bersama seorang asisten residen bernama J Knebel meneliti kompleks percandian tersebut hingga membukukannya pada 1900 dengan judul, De Ruines van Penataran.

Sebelumnya, terdapat nama-nama peneliti J Crawfurd, Van Meeteren Brouwer (1828), Junghun (1844), Jonathan Rigg (1848), dan NW Hoepermans (1866). Hoopermans berhasil menginvertarisasi isi kompleks percandian.

Beberapa bangunan penting masih tersisa. Dari pintu masuk, melintasi dua dwarapala atau area penjaga pintu dengan tulisan angka tahun 1242. Saka atau 1320 Masehi. Kemudian, berurutan dapat dijumpai bangunan-bangunan penting meliputi Bale Agung, Pendapa Teras, Candi Angka Tahun, Candi Naga, dan Candi Induk.

Candi Angka Tahun kerap disebut Candi Brawijaya karena bentuknya dijadikan lambing Kodam V/Brawijaya. Candi Induk adalah candi terbesar di antara semua bangunan yang ada.

Bondan merawat semua itu dengan hati. Kesadaran sejarah dan mengenali jiwa zamannya membuat Bondan terus bertahan dengan bangga meski di tengah keprihatinan kian meluruhnya perhatian pemerintah dan masyarakat terhadap budaya bangsa sendiri.

KOMPAS, KAMIS, 12 NOVEMBER 2015

Andrijanto Hauferson Angi Penemu Larva “Trichinellosis” di Indonesia

Penemu Larva Trichinellosis di Indonesia. Kompas. 10 November 2015.Hal. 16

“Truchinellosis” adalah makhluk berupa larva atau hewan dalam bentuk awal yang perkembangannya secara metamorphosis, yakni mengalami perubahan fisik atau struktur setelah kelahiran atau penetasan. Keberadaan larva itu tidak berefek ketika masih bersemayam dalam tubuh hewan, seperti babi, sapi, kuda, dan sejumlah hewan liar. Namun, larva “trichinellosis” bisa menjadi sumber penyakit yang menimbulkan gangguan pernapasan, pnemumonia atau radang infeksi akut pada paru, hingga berujung kematian bagi manusia.

OLEH FRANS SARONG

            Keberadaan larva trichinellosis pada tubuh hewan beserta ancamannya itu merupakan hasil temuan ilmiah Andrijanto Haufeson Angi. Ia adalah dokter hewan yang pakar zoonosis disease, yakni infeksi yang ditularkan hewan vertebrata-hewan bertulang punggung yang mudah digerakkan-kepada manusia atau sebaliknya. Hasil temuan melalui riset tahun 2013/2014 itu sudah dipublikasikan melalui jurnal internasional dan nasional yang direkomendasikan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Namun, pengukuhan hak paten atas temuannya tersebut masih harus menunggu proses karakterisasi yang adibutuhkan untuk penamaan spesies larva itu oleh penemunya.

“Berbagai pihak berkompeten dalam dan luar negeri sudah mengakui kalau saya adalah ilmuwan pertama di Indonesia sebagai penemu larva trichinellosis pada hewan beserta ancamannya terhadap kehidupan manusia. Penelitian saya sejak awal hanya afokus pada upaya menemukan jenis larvanya itu. Proses risetnya tanpa menyertakan tahapan karakaterisasi untuk penamaan spesiesnya. Tahapan itu yang masih harus di lakukan,” ujar Andrijanto Hauferson Angi yang ini Ketu Program Studi Kesehatan Hewan Politani Negeri Kupang, Nusa Tenggara Timur, di Kupang, Selasa (3/11).

Diakui, tahapan karakterisasi larva trichinellosis khas Indonesia juga merupakan bagian dari riset yang harus dijalani. Waktu pelaksanaannya bisa singkat saja, tetapi biaya yang dibutuhkan tidak ringan, setidaknya mengacu kemampuan kocek sang ilmuwan yang adalah ayah dua anak usaha kuliner dengan cita rasa khas NTT, yakni usaha masakan dengan menu se’i babi yang belakangan tumbuh marak di Kupang, bahkan NTT, yang mayoritas Kristen Katolik dan Protesetan, bagi pengunung non-Muslim, mereka umumya akrab dengan ungkapan, “Belum ke Kota Kupang tanpa menikmati gurihnya se’I babi!”

Se’I adalah untaian daging yang dimasak melalui proses pengasapan di atas arang kesambi (Schleicheraoleosa), yakni jenis kayu yang sangat padat dan keras. Berbagai pihak mengakui, pengapasan daging bersumber dari arah kayu itu meninggalkan aroma khas yang membangkitkan selera makan.

Usaha kuliner se’I babi di Kota Kupang memang berkembang pesat. Kota yang kini berpenduduk sekitar 400.000 jiwa itu memiliki setidaknya lebih dari 20 rumah makan dengan menu utama se’I babi.

Andrijanto tidak menutup mata atas menjamurnya usaha kuliner khusus itu, terutama di Kota Kupang. Namun, sebagai ilmuwan, ia merasa berkewajiban memublikasikan hasil temuannya. Modelnya tentu saja disertai beberapa tawaran sebagai langkah antisipasi. Dengan demikian, diharapkan usaha kuliner khas tersebut tidak harus gulung tikar. Sementara manusia yang mengonsumsinya tidak harus menjadi korban akibat keganasan larva trichinellosis.

Apa yang mesti dilakukan agar kuliner tersebut tetap terjaga keberlangsungannya dan pengunjung tetap tanpa rasa ragu mengonsumsi se’I babi kesukaannya?

Atas pertanyaan itu, Andrijanto menawarkan sejumlah langkah yang harus ditaati sebagai antisipasinya. Di antaranya lauk daging sebelum dihidangkan sebelum dihidangkan supaya dimasak hingga matang melakui proses pemanasan bersuhu minimal 71 derajat celcius.

Menurut catatannya, di berbagai rumah makan di Kota Kupang, daging se’I dihidangkan setelah dibakar atau diasapi di atas arang bersuhu sekitar 50 sampai 60 derajat celcius. Suhu proses pengasapan itu harus ditingkatkan sesuai dengan standarnya sehingga tidak menularkan larva trichinellosis kepada para konsumennya.

Saran lain, babi atau hewan lain yang dipotong harus dilengkapi sertifikat bebas penyakit. Sertifikat itu diterbitkan oleh laboratorium khusus dinas peternakan setempat. Agar tidak bertele-tele, penerbitan sertifikat harus oleh tim teknis khusus yang diketahui berkemampuan bekerja secara cepat.

“Juga harus gencar melakukan sosialisasi terkait ancaman penyakit yang bersumber dari penularan larva yang bersumber dadri penularan larva trichinellosis itu. Sosialisasi dimaksud harus dilakukan oleh berbagai pihak terkait, seperti dokter hewan, sarjana peternakan, dan petugas dari lembaga terkait lain,” ucap Andrijanto.

Larva trichinellosis berpotensi mengendap dalam tubuh berbagai jenis hewan, terutama babi, sapi, dan kuda. Namun, Andrijanto mengaku, secara kasatmata sulit memastikan hewan tertentu sedang dalam kondisi bebas atau mengidap larava trichinellosis. Alasannya, tampilan fisik hewan yang sedang mengida larva itu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda khusus. Apalagi keberadaan larva trichinellosis bukanlah sebagai penyakit ketika sedang bersemayam dalam tubuh hewan.

Temuan Andrijanto tentang keberadaan larva trichinellosis layak diapresiasia sekaligus diharapkan menginspirasi ilmuwan lain di NTT yang terkesan senyap terkait riset ilmiah. Bagi instansi terkair, diharapkan dapat membuat langkah antisipasi agar masyarakat terhindari bahaya.

KOMPAS, SELASA, 10 NOVEMBER 2015

Untung Noor Siaga Menolong yang Kena Musibah

Siaga Menolong yang Kena Musibah. Kompas. 5 November 2015.Hal.16

Untung Noor (61) langsung beranjak dari kursi plastic yang diduduki dan naik ke mobil tuanya begitu mendengar kabar ada musibah kebakaran, Senin (14/9) sekitar pukul 10.00. Tiga anaknya bergegas keluar rumah, lalu mendorong mobil untuk menghidupkan mesinnya. Mereka pun meloncat masuk mobil begitu suara mesin meraung-raung.

OLEH JUMARATO YULIANUS

Untung yang memegang kemudian segera memacu kendaraannya sambil menyembunyikan sirene menuju lokasi kebakaran. Tak sampai 10 menit. Untung bersama ketiga anaknya tiba di lokasi kebakaran yang berjalan 4-5 kilometer dari rumahnya.

Mobil  pemadam musibah kebakaran (PMK) milik mereka menjadi yang pertama tiba di lokasi dan segera melakukan penyemprotan untuk memadamkan api yang melalap sebuah rumah warga. Dengan bantuan beberapa kendaraan PMK lainnya, mereka berhasil memadamkan api dalam waktu sekitar 30 menit.

Di kalangan PMK ataupun Barusan Pemadam Kebakaran (BPK) Banjarmasin yang berjumlah 450 menit. Untung yang akrab dipanggil Kai atau Kakek terbilang menonjol. Walau usianya tidak lagu muda serta rambut, kumis, dan jenggot tipisnya sudah memutih, ia selalu menjadi orang yang terdepan dalam menolong orang yang terkena musibah kebakaran dan kecelakaan.

“Niat saya hanya ingin membantu orang yang kena musibah. Saya berusaha secepat mungkin sampai ke lokasi supaya tidak ada korban jiwa dan tidak besar kerugian materialnya, “kata kakek yang memiliki lima cucu ini.

Hasil berjualan

Lebih dari 30 tahun Untung bergelut dengan tugas kemanusiaan untuk menangani berbagai musibah, terutama kebakaran. Ia terjun jadi relawan pemadam kebakaran karena tersebut merengut korban jiwa.

            “Pada 1980-an, ketika saya menjadi tukang ojek, saya menyaksikan kebakaran besar di Jalan Gatot Subroto. Saya merasa  kasihan melihat orang-orang yang rumahnya terbakar dan ingin sekali bisa menolong mereka. Pada waktu itu, unit pemadam kebakaran milik perorangan dan swasta masih sedikit. Dari situlah timbul tekad saya untuk memiliki kendaraan pemadam pemadam kebakaran sendiri, “tuturnya.

Untuk mewujudkan mimpinya memiliki kendaraan pemadam kebakaran, Untung harus menyisihkan sebagian dari penghasilannya bersama istri yang berjualan rokok dan bensin eceran di pinggir jalan, depan kompleks rumah mereka. Seraya menabung untuk itu bapak dari lima putra dan tiga putri ini juga langsung terlibat aktif sebagai anggota pemadam kebakaran.

Akhirnya, pada 2004, untung bisa membeli sebuah sedan tua buatan 1976 seharga Rp. 2,5 juta. Mobil sedan tua itu dimodifikasi sedemikian rupa hingga bisa berjalan, lalu dilengkapi dengan mesin dan peralatan pemadam kebakaran. Mimpi Untung untuk memiliki kendaraan pemadam kebakaran sendiri pun terwujud.

“Tahun 2005, saya mulai ‘perang’ memadamkan api. Saya turun ke lokasi kebakaran bersama anak-anak. Jika ada musibah, jam berapa pun kejadiaannya, kami tetap berangkat,” tuturnya.

Setelah setengah tahun bertempur melawan api yang ganas dengan kendaraan PMK miliknya sendiri, Untung kembali mewujudkan mimpinya memiliki ambulans. Ia kemudian membeli sebuah mobil tua jenis colt diesel untuk dijadikan ambulans ang digunakan khusus untuk mengevakuasi korban jiwa dalam musibah kebarkaran.

Menurut dia, saat terjadi musibah kebakaran, tidak jarang jatuh korban jiwa. “Membawa korban (manusia) dengan menggunakan mobio PMK, saya rasa sangat tidak pantas. Karena itu, saya pun menyiapkan ambulans. Semuanya dibeli dari hasil berjualan,” ucapnya.

Sukarela

            Seiring perjalanan waktu, ambulans miliknya tidak hanya untuk mengevakuasi  korban musibah kebakaran. Saat ini, kendaraan itu juga digunakan untuk membawa orang sakit, ibu yang hendak melahirkan, dan mengevakuasi korban jiwa dalam berbagai musibah, seperti kecelakaan lalu lintas, tanggal tenggelam, dan pembunuhan.

Untuk membawa orang sakit, mengevakuasi korban musibah, dan mengantar jenazah, Untung tidak pernah mematok tarif sewa ambulans. Bahkan, ia kerap meyediakan ambulansnya untuk bebagai keperluan itu secara gratis.

“Tarifnya sukarela saja. Berapa pun diberi, saya terima,” katanya.

Untung menyatakan, jangan ragu untuk menghubunginya jika memerlukan ambulans karena ia siap mengantar ke seluruh wilayah Kalimantan.

“Ambulans saya setidaknya 15 kali mengantar jenazah ke Pontianak, Kalimantan Barat. Kalua ke Palangkaraya, Sampit, dan Pangkalan Bun (Kalimantan Tengah) serta Balikpapan dan Samarinda (Kalimantan Timur) sudah tidak terhitung lagi,” tuturnya.

Menurut Untung, kendaraan PMK dan ambulans yang dimiliknya memang untuk kegiatan kemanusiaan yang dilakukan dengan sukarela. Untung operasional dan perawatan kendaraan, ia menyisihkan sebagian dari hasilnya berjualan. Selain itu, ia juga kerap menerima bantuan dari para tetangga dan donator, terutama ketika kendaraaannya harus masuk bengkel, “Berkat membantu orang lain, awal 2015, kami mendapat bantuan satu ambulans dari seorang donator di Pangkalan Bun seingga kami pun mempunyai dua ambulan siap pakai, tuturnya.

Kini, kelompok relawan PMK Penjelajh yang dibentuk oleh Untung mempunyai satu mobil pemadam kebakaran dan du ambulans. Anggotanya berjumlah 40 orang.

“Nama PMK Penjelajah diberikan oleh Bapak Yuliansyah, coordinator PMK dan BPK Kota Banjarmasin. Saya dikuluki Kai Penjelajah karena selalu ada di setiap musibah.” Katanya

Bersama anggotanya, akek penjelajah ini memang selalu siap membantu orang yang terkena musibah, termasuk memadamkan kebakaran lahan yang marak terjadi pada musim kemarau.

“Berkat dua orang banyak, sampai sekarang saya masih sehat dan kuat,” kata Untung yang masih bermimpi memiliki mobil tangka untuk memperkuat pasukan PMK-nya.

KOMPAS, KAMIS 5 NOVEMBER 2015

Berthadyn Fony Mella Totalitas Hidup untuk Anak Jalanan

Totalitas Hidup untuk Anak Jalanan. Kompas. 4 November 2015.Hal.16

“AKU tak tega melihat nnak-anak itu kehilangan masa depan. Mereka hadir untuk sebuah kebenaran, yakni cinta kasih karena mereka terlahir dari sebuah cinta. Mengapa kita membiarkan mereka terlantar, kalau kita punya kekuatan dan kemampuan untuk membawa mereka ke masa depan yang lebih baik. Mungkin tidak sepenuhnya, tetapi cukup selangkah saja, itu juga cukup,” kata Pdt Berthadyn Fony Mella, Sth, di Kupang, Jumat (2/10).

OLEH KORNELIS KEWA AMA

Cita-cita awal Fony menjadi pendeta, pelayan rohani bagi umat Kristiani setelah lulus sekolah teknologi di Pacet, Jawa Timur. Namun, di suatu sore, tahun 2008, saat sedang duduk di depan rumah kontrakan,, dia melihat anak-anak usia sekolah hilir mudik di depan rumah. Mereka memungut barang-barang bekas, besi, plastic, kaleng, dan karton, dengan kondisi tubuh yang terurus.

‘Sontak muncul pertanyan dari dalam hati, mengapa mereka seperti itu. Saat itu pula saya melihat orang pergi ke kantor dengan sepeda motor dan mobil mewah melintasi ruas jalan yang sama. Mereka tidak peduli terhadap anak-anak itu. Di situlah, mungkin Tuhan memanggil saya untuk membantu anak-anak ini, “kata Fony.

Anak-anak jalanan ini berasal dari keluarga tidak mampu, broken home, atau tidak punya siapa-siapa di Kota Kupang. Sebagian besar dari mereka datang dari daratan Timor (Soe, Kefamenanu, Atambua, dan Malaka), dan sejumlah kota di Pulau Flores dan Sumba. Anak-anak Sumba focus pada kegiatan menjual koran., anak-anak daratan Timor mendorong gerobak di pasar-pasar, dan anak-anak Flores berkeliaran di sejumlah lampu merah.

Jumlah anak-anak jalanan yang dibantu Fony melalui rumah singgak sekitar 150 orang. Binaan ini non panti. Mereka itu dikumpulkan dari empat pasar tradisional di Kota Kupang, yakni Pasar Oeba, Oesapa, Naikoten, dan Koepan.

Fony juga menemui anak jalanan yang setiap hari menjual koran di lampu merah, perempatan (pertigaan) jalan. Awalnya mereka diajak bercandaas aat bertemu, kemudian di bawa ke rumah singga tanpa paksaan.

Terkadang anak-anak jalanan itu dating sendiri ke rumah singga atas ajan teman-teman yang lain sudah mengenal Obor Timor Ministry (OTM). Mereka yang telah mengikuti pembinaan di rumah singgah tidak boleh dimarahi, dinasihati dengan ancaman, dan kata-kata kasar, tetapi lebih banyak mengedepankan kehidupan rohani melalui doa, bacaan-bacaan rohani melalui doa, kesabaran, dan cinta kasih.

Kontrakan

Setiap hari perempuan suku Molo, Timur Tengah Selatan, ini memberi bimbingan belajar bagi anak-anak jalanan di rumah kontrakannya. Namun, jumlah anak-anak jalanan terus bertambah, maka ia pun terpaksa mengontrak sebuah rumah dengan empat kamar, sebagai tempat belajar, ruang doa, dan satu ruang sebagai taman bacaan. Namun, jumlah buku yang ada di situ masih terbatas.

Rumah singgah yang dikontrak dengan nilai Rp 5 juta per tahun itu diberi nama Obor Timor Ministray (OTM), khusus melayani anak-anak jalanan. Ia dibantu empat volunteer dari mahasiswa Undana Kupang. Sementara anak-anak jalanan tinggal di rumah kos sendiri. Mereka tinggal di rumah kontrakan sendiri. Satu kamar sampai 15 orang. Biaya kos dari hasil jual koran ditambah penjualan hasil kerajinan dari OTM.

Fony mengaku tidak mampu menampung mereka karena keterbatasan biaya. Untuk membiayai keluarga, Fony mendapatkan dari hasil sablon baju. Sebagian untuk anak jalanan dan sebagian untuk keluarga.

Kegiatan di OTM dari pukul 09.00 Wita sampai dengan pukul 12.00 Wita, bagi mereka yang belum mendapatkan pendidikan di sekolah formal. Pukul 14.00-16.00 Wita bimbingan belajar diberikan kepada anak-anak jalanan yang sudah mendapatkan pendidikan di sekolah formal. Kegiatan dilanjutkan dengan bimbingan rohani dari pukul 18.00-20.00 Wita bagi semua anak-anak jalanan. Mereka mengikuti kegiatan itu secara bergilir, disesuaikan dengan waktu kehadiran mereka.

Bagi anak jalanan yang belum mendapat pendidikan sama sekali, pendidikan diarahkan pada keterampilan membaca, menulis, dan menghitung. Hamper semua anak jalana belum mendapatkan pendidikan di sekolah dasar dan sekolah menengah. Dengan kondisi ini, mereka mudah dibohongi dan diperlakukan tidak adil oleh orang di sekitar, termasuk di antara mereka sendiri.

Pada awal mereka dikumpulkan, tampak sangat liar, tidak mendengarkan nasihat, dan selalu menyela pembicaraan orang lain. Bagi kaum pria, mereka saling mengadu kekuatan fisik, merokok, minum, mabuk, dn jalan-jalan di dalam Kota Kupang sampai larut malam.

Kegiatan berlangsung dalam suasana penuh kedamaian dan cinta kasih, ia mengatakan, anak-anak itu sudah mengaami berbagai kekerasan di pasar, di jalan-jalan, di terminal, dan tempat-tempat umum lain. Ketika mereka tiba di OTM, mereka diperlakukan dengan lemah lembuh, jangan sampai kata-kata yang digunaka membuat mereka tersinggung.

Selama di jalanan, ak-anak ini sering diperlakukan tidak adil oleh orang di sekitar, lingkungan masyarakat, dan di antara teman-teman sendiri, seperti pelecehan seksual, sodomi, pemerkosaan, penganiayaan, terror, dan intimidasi. Ada di antara mereka yang memiliki kondisi psikologis yang tidak stabil akibat kekerasan fisik atau seksual sehingga harus diberi pembinaan dan bimbingan khusus.

Usia mereka antara 6-25 tahun. Anak-anak yang sudah berusia di atas 10 tahun tetapi belum mendapatkan pendidikan formal sama sekali di sekolah dasar cukup diajarkan di rumah singga itu. Namun, mereka yang masih usia di bawah 10 tahun diberi kesempatan mengikuti pendidikan dasar, dengan persetujuan sekolah setempat.

Kini, tujuh anak jalanan sedang menyiapkan diri mengikuti ujian akhir di tingkat sekolah menengah atas, sementara 10 orang mengikuti ujian akhir tingkat sekolah menengah pertama. Anak jalanan yang mengikuti pendidikan formal (SD, SMP, SMA) sekitar 80 anak, di sejumlah sekolah negeri, atas kerja sama pihak sekolah dengan lembaga OTM.

“Di sekolah negeri, mereka tidak bayar biaya pendidikan, kecuali uang alat-alat tulis, dan uang seragam. Kebutuhan-kebutuhan itu kami yang siapkan. Anggaran kami peroleh dari penderma, juga hasil kreasi dan buah karya anak-anak di rumah singgah, seperti menyiapkan sublon baju, keripik pisang atau singkong, asbak rokok, sapu, dan lainnya, “kata Fony.

Perempuan yang suka traveling dan membaca ini mengatakan, sedang berpikir keras bagaimana mendapatkan dana untuk menyekolahkn tujuh lulusan SMA pada tahun 2016.

KOMPAS, RABU 4 NOVEMBER 2015

 

Teddy Kristiadi Mengelola Sampah dengan Larva Lalat

Mengelola-Sampah-dengan-Larva-Lalat.-Kompas.-1-November-2015.Hal.16

Dalam kondisi pekerjaan yang sudah mapan dengan penghasilan relative besar di bidang pelayaran, Teddy Kristiadi (50) pada 2012 memutuskan keluar dari pekerjaannya. Lantas, ia menggeluti larva lalat untuk mengelola sampah organis di wilayah Kota Bandung, Jawa Barat. Suatu bidang garapan yang tak banyak dilirik dan disukai orang.

OLEH SAMUEL OKTARA

            Selain penuh tantangan, dari pihak keluarga, terutama anak-anak dan istrinya, yang kuranga setuju atas keputusan yang diambilnya, dia juga harus merintis kegiatan ini dari nol. Namun, tantangan tersebut tak menciutkan tekad Teddy untuk bergelut dengan sampah.

Teddy yakin, melalui teknologi biokonversi, yakni mengoversi sampah organis menjadi pupuk cair dan padat dengan menggunakan larva lalat, dapat menyelesaikan dengan mudah dan cepat problematika sampah, khususnya sampah organic di Kota Bandung. Sampah di Kota Bandung mencapai 400-600 ton per hari.

“Metode ini dapat mengurangi bau sampah karena larva lalat cepat mengurangi bau sampah karena larva lalat cepat mengurai sampah organic sehingga tak perlu menunggu sampah sampai membusuk dengan bau menyengat,” kata Teddy yang langsung keluar dari tempatnya bekerja, sebuah perusahaan Singapura yang bergerak di bidang jasa pelayanan di lingkungan pengeboran minyak lepas pantai, tiga tahun lalu.

Ketika mulai merintis, ia membuat tempat pemrosesan sederhana beratap terpal di Kompleks Antabaru 11, Kelurahan Cisaranten Kulon, Kecamatan  Arcamanik, Kota Bandung.

Dengan pengetahuan dari internet, laki-laki alumnus Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran, Jakarta, 1987, itu menggunakan larva lalat tentara hitam (Hermenia illucens), yang sudah di kenal di dunia sangat efektif sebagai makhluk pengurai sampah organic dan kotoran ternak.

Dipilihnya lalat jenis ini karena dapat mengurai sampah organic basah dalam waktu satu hingga tiga hari. Pengelolaan sampah menjadi sederhana dan mudah karena residunya menjadi bakal pupuk padat dan pupuk cair serta larva dewasa atau maggot dapat terpisah dengan sendirinya.

Larva ini dapat pula mengurai sampah tanpa henti sampai tahap metamorgosis berikutnya, juga akan mendominasi dan menurunkan perkembangan larva dan lalat lain, seperti lalat hijau. Pasalnya, cairan lalat ini tidak disukai oleh serangga yang lain. Lalat tentara hitam ini juga dapat mengurangi perkembangan lalat pembawa penyakit.

Perkembangan lalat ini pun tergolong cepat. Yang betina dapat bertelur 500-900 butir dan uniknya lalat ini bertelur pada bagian atas atau samping areal sampah organic sehingga mudah untuk dipindah. Telur akan menetas setelah empat hari dan larva dalam usia tujuh hari sudah sangat rakut melahap sampah organic.

Lalat ini mempunyai pula oeningkatan kemampuan reproduksi hingga mampu melebihi jumlah produksi sampah organic.”Oleh karena itu, perlu disiapkan bak-bak penampung sampah yang lebih banyak karena dalam waktu 50 hari dibutuhkan 20 sampai 100 kali lipat bak penampung,” ujarnya.

Teddy telah memproyeksikan dari cairan larva dapat dihasilkan pupuk cair seharga Rp 3.000 per liter dan larva dewasa untuk pakan ternak Rp. 5.000 per kilogram. Harga ini jauh di bawah harga pasar, seperti harga pelet, pakan ikan, Rp. 10.000 per kg. Dengan harga yang jauh lebih murah daripada jarga pasar diharapkan dapat membantu petani untuk mendapatkan pupuk dan akan ternak berkualitas.

Di luar negeri, teknologi  biokonversi sudah banyak di terapkan dengan menetapkan sampah organic dalam bak penampungan yang sudah mengandung larva lalat ini.  Bak itu terbuat dari bahan fiber, ember, semen atau drum.

Teddy berinovasi dengan membuat bak berbentuk persegi panjang dari bahan triplex atau kayu. Dia lalu bernegosiasi dengan Perusahaan Daerah Kebersihan Kota Bandung supaya dapat dipasok sampah.ke tetangga, rumah makan atau restoran, pasar, dan mal. Dia mengumpulkan sampah dapur, sisa makanan, kulit buah, sayur busuk, juga daging sisa.

Teddy juga dilarang mendirikan tempat pengolahan sampah di kawasan tersebut karena lokasinya berada di lahan milik Perum Perhutani. Naasnya, belum genap setahun, tempat pengolahan sampah organic itu pun roboh diterpa angina kencang.

Teddy sempat goyah, dia sempat beberapa waktu bekerja lagi di bidang pelayaran. Rumah pun sempat dijual karena tabungannya habis terkuras.

Bangkit

Dia kembali bekerja sama dengan PD Kebersihan Kota Bandung mulai Januari 2015. Teddy mendapat dukungan investor asal Korea yang menjanjikan modal Rp 2,6 miliar. Tahap pertama telah dikucurkan sekitar Rp 150 juta.

Pihak PD Kebersihan menyediakan bangunan berukuran 8 meter x 12 meter di atas lahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Jelengkong seluas 9 hektar di Desa Warga Mekar, kecamatan Balaeendah, Kabupaten Bandung. Letak TPA itu sekitar 20 kilometer dari Kota Bandung, ibu kota Provinsi Jawa Barat.

Teddy membangun empat bak penampungan sampah berbentuk persegi panjang yang masing-masing berukuran panjang 12 meter dan lebar 50 sentimeter (cm) dengan kapasitas total sekitar 400 kilogram. Larva lalat ini memiliki kecepaan biokonversi atau mengurai sampah sekitar 15 kg per meter persegi per hari.

Laki-laki jangkung ini juga telah melakukan uji coba dari larva dan pupuk yang telah dihasilkan. Salah satunya di kawasan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat, pada tanaman brokoli dan kacang kapri serta di Lembang untuk tanaman cabai dan kacang panjang.

Teddy bermimpi mengelola sampah dalm skala besar. Pupuknya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produktifitas pertanian, khususnya warga di sekitar TPA. Sayangnya, harapan Teddy itu belum kesampaian. Pada Mei 2015, pasokan sampah dari PD Kebersihan mandek yang menyebabkan ribuan larva mati karena tak memperoleh makanan.

“Hal ini membuat investor hengkang dan kembali ke Korea. Namun, mereka memberi tahu, inovasi yang saya kembangkan ini akan mereka terapkan di sana. Mereka melihat ini dapat menjadi bisnis raksasa,” kata Teddy.

Teddy sampai saat ini tetap gigih mengolah sampah organic di TPA Jelengkong meski dia juga menyayangkan mengapa PD Kebersihan begitu sulit memasok sampai.

“Saya sangat yakin, jika pengelolaan sampah organic ini dilakukan dengan betul, dalam waktu 1 tahun 6 bulan, persoalan sampah di Kota Bandung akan tuntas,” ujarnya.

KOMPAS, RABU 11 NOVEMBER 2015

Ranu Amilus Berselancar dengan Hasrat Jiwa

Berselancar dengan Hasrat Jiwa. Kompas. 2 Desember 2015.Hal.16

“I don’t need an easy, i just need a possible.” Begitu kata Bethany Hamilton, peselancar profesional asal Hanelai (Kauai, Hawaii), November 2003, sebulan setelah lengan kirinya harus diamputasi karena diserang hiu macan sepanjang 14 meter. Dengan satu lengan , banyak orang meragukan dia. Namun, perempuan yang meraih gelar juara pertama pada kompetisi selancar Quicksilver saat usia delapan tahun itu tidak ragu kembali berselancar. Dua tahun kemudian, Bethany meraih juara US National Under-18 Surf Championship yang diselenggarakan National Scholastic Surfing Association.

Oleh Mediana

Selang satu tahun kemudian, beratus ratus ribu kilometer dari Hawaii, tsunami menimpa Aceh. Tak terkecuali di Pulau Simeulue, “terpaksa  kehilangan”, mimpinya sejenak membangun resor wisata bagi peselancar. Modal berupa tanah dan properti resornya hancur diterjang tsunami.

Simeulue, pulau yang dikenal dunia akan ombak pantai terbaik bagi peselancar tersebut, sempat sepi dari kunjungan wisatawan. Trauma tsunami begitu kuat. Setelah kejadian itu, dia mencoba bekerja di berbagai bidang, mulai aktivis lembaga swadaya masyarakat hingga asisten di perusahaan logistik.

Perjalanan hidup Ranu ibarat ombak laut dan selancar yang tidak jauh dari kehidupannya. Ia jatuh bangun menekuni wirausaha di bidang pariwisata. Tapi dia selalu menggapai papan selancarnya berdiri kembali di atas papan , dan “berselancar” dalam lautan kehidupan.

Keluarga Pedagang

Orangtua Ranu berlatar belakang budaya Minangkabau, Sumatera Barat. Pada 1965, mereka merantau ke Simeulue sebagai pedagang cengkeh. Kala itu, Simeulue terkenal sebagai tanah emas.

“semua warga bermata pencarian di rantai perdagangan cengkeh. Hasil perkebunan ini menjadi primadona. Harga pasarannya setinggi emas,”kata Ranu.

Pada awal 1980-an, harga per kilogram cengkeh mencapai Rp.25.000 atau hampir mendekati harga emas seberat 3,3 gram yakni Rp.28.000

Kemakmuran dan kebahagiaan dirasakan keluarga Ranu. Keluarganya pun akrab dengan pantai sebagai tempat piknik keluarga. Ia pun mulai berkenalan dengan papan selancar.

Sayangnya, keceriaan itu tidak berlangsung lama. Harga cengkeh di pasaran turun drastis. Situs perekonomian di Simeulue memburuk. Saat Ranu berusia empat tahun, orangtuanya memboyong dia dan saudaranya merantau ke Medan, Sumatera Utara. Orangtuan Ranu beralih jadi pedagang makanan khas Sumatera.

“tentu hal ini tidak mudah. Kami harus mulai membangun ekonomi keluarga dari nol. Anak dilibatkan penuh dalam usaha ini, misalnya saya yang masih kecil membantu di dapur,” kata Ranu. Dari situlah dia belajar memasak.

Pariwisata

Hasrat menekuni bidang pariwisata tumbuh secara tidak sengaja. Saat duduk di bangku SMP, dia sering melihat pengayuh becak dan becak motor (bentor) mengantar turis asing berkeliling ke berbagai tempat wisata di Medan.

Kemudian, dia berkenalan dengan kelompok tikang becak dan pengemudi bentor wisata. Dari kelompok itu, Ranu mempraktikkan ilmu pengetahuan tentang Medan, Bahsa Inggris, dan kepiawaiaanya menjalin komunikasi.

“sepulang sekolah, saya berganti baju seragam ke pakaian biasa. Kemudian , pergi ke motel, losmen, dan hotel populer tempat turis mancanegara biasa menginap. Saya menawarkan diri sebagai pelajar yang ingin belajar bahasa Inggris dan memandu turis ke tempat wisata di Medan. “ katanya sambil tertawa.

Karena hanya berniat belajar, awalnya dia tidak memperoleh upah. Namun, lambat laun ia mulai mendapatkan bayaran seiring meningkatnya jam terbang memandu turis. Uang hasil bekerja digunakan untuk membantu keuangan keluarga.

“Saya memakai sisa uang untuk mengambil kursus bahasa Inggris. Di samping itu, saya juga belajar bahasa Jepang. Saya yakin, bahasa akan sangat berguna bagi pekerja pariwisata,” tutur Ranu.

Lulus SMP pada 1995, dia mantap belajar di SMK pariwisata. Jurusan yang diambil adalah tur dan perjalanan. Profesi pemandu wisata lepas pun masih ia lakoni.

Lapangan memang “sekolah” terbaik. Dari turis asing, dia mengeksplorasi kemampuan, menimbun pengetahuan tren pelesir, dan menjalin relasi. Bali dan Sumbawa (Nusa Tenggara Barat) sempat menjadi daerah perantauannya selama kurun waktu 2000-2003.

“saya menyukai pantai, ombak, dan selancar. Di kedua destinasi wisata unggulan itu, saya merasakan sulitnya bekerja sebagai pemandu wisata. Kompetisinya cukup sengit sehingga sering menyebabkan keuangan pribadi terganggu.” Ujar Ranu.

Dia sempat berpindah pindah tempat tinggal. Tapi, kondisi tersebut sama sekali tidak menyurutkan semangatnya. Dia bahkan membuka relasi luas dengan koki hotel, kelompok pemandu wisata, dan investor. Jaringan pertemanan dengan warga negara asing semakin membuatnya berani mengumpulkan modal untuk membuka usaha resor atau tempat penginapan khusus peselancar di Simeulue.

“Bagi saya, Simeulue adalah tanah kelahiran dan nadi kehidupan. Saya memang pernah menyaksikan keindahan kegiatan selancar di Bali dan Nusa Tenggara Barat. Namun tidak ada yang senikmat dan sebahagia di kampung halaman,” jawab Ranu saat ditanya alasan dia kembali ke Simeulue pada 2004. Enam tahun setelah tsunami Aceh , kehidupan pulau berangsur membaik. Investor asing berdatangan ke Simeulue. Dia pub pernah diajak kerjasama dengan seorang warga negara Australia selama 2010-2011. Mereka merintis Aura Surf Camp. Aura merupakan kepanjangan Aundrew dan Ranu.

Kehidupan Simeulue marak wisatawan Nusantara dan mancanegara yang menyukai wisata air, seperti selancar.

“lalu saya memutuskanberdiri sendiri dengan mendirikan Ranu Surf Camp,” kata Ranu yang kemudian mendirikan resor dan warung makan di Desa Matanurung.

“saya berupaya mengembangkan end to end bisnis pariwisata dengan mengikutsertakan masyarakat lokal’” ujar bapak dua anak ini.

Soal warung makan, misalnya, segala kebutuhan bahan baku memasak dibeli dari warga setempat , mulai dari sayuran, ikan, hingga daging kerbau. Dia bercerita tentang sop kabau, salah satu menu andalan di Ranu Surf Camp, “Kabau” merupakan istilah untuk Kerbau. Daging segar disuplai oleh pengusaha daging kerbau. Begitu pula lobster,dia beli langsung dari temannya, pemiliki budidaya lobster laut.

Lebih dari lima karyawan resor merupakan warga setempat. Ranu pun membekali mereka dengan pengetahuan wisata dan memasak makanan untuk tamu.

 

Kompas, Rabu 02 Desember 2015