Endang Supriyati Pemberdaya Korban Perdagangan Orang
Di saat anak-anak seusianya sibuk bersekolah, Endang Supriyati yang berusia 12 tahun pada tahun 1995 menjadi korban tindak pidana perdagangan orang. Setelah delapan tahun dijerumuskan ke dalam dunia perbudakan seksual, ia muncul ke permukaan. Tidak hanya sebagai penyintas, tetapi juga seorang pemberdaya.
OLEH LARASWATI ARIADNE ANWAR
Sejak tahun 2011, Endang (sekarang berusia 32 tahun) bekerja sebagai direktur di Yayasan Perkumpulan Bantuan, Dukungan, Perkawanan, dan Saling Melindungi (Bandungwangi). Yayasan itu memberikan penyuluhan kepada pekerja seks komersil (PSK) di wilayah Jakarta Timur mengenai kesehatan reproduksi, HIV/AIDS, pengelolaan keuangan, dan pengembangan potensi usaha kecil dan menengah. Total, sudah 1.500 PSK yang dijangkau Bandungwangi.
“Pendapat PSK sering ditahan para ‘Mami’, jadi mereka terpaksa berutang kepada rentenir. Makanya susah untuk keluar dari kehidupan itu,” kata Endang.
Melalui penyuluhan tersebut, PSK belajar menabung dan mencicil membayar utangnya kepada ‘Mami’ dan rentenir. Harapan Endang adalah agar yayasan yang dipimpinnya bisa memberi pilihan yang lebih baik bagi PSK. Tujuan akhirnya adalah agar mereka terlepas dari perbudakan seksual dan bisa menjalani kehidupan baru.
Jadi korban
Nasib buruk menimpa Endang yang orangtuanya pekerja serabutan di sebuah desa di Cilacap, Jawa Tengah. Kondisi keuangan yang terpuruk membuat keluarganya hidup tidak berkecukupan. Endang putus sekolah di bangku kelas II SD. Setelah empat tahun membantu orangtua bekerja di ladang milik orang lain, Endang dititipkan kepada salah satu kerabat dan dijanjikan bekerja di Jakarta.
Sesampai di Jatinegara, Jakarta Timur, Endang menemukan bahwa kerabat tersebut ternyata seorang Mucikari. “Saya kaget dan marah kepada orangtua. Tapi, saya juga jadi tulang punggung keluarga. Jadi, terpaksa saya melakukan pekerjaan itu,” kata Endang saat ditemui pada Mei lalu.
Menurut Endang, mayoritas perempuan yang dipekerjakan sebagai PSK di Jakarta Timur adalah remaja permepuan dari Jawa Barat dengan pendidikan setingkat SD. Mereka umumnya dibawa saudara dan kerabat ke Jakarta dengan iming-iming bekerja sebagai pembantu rumah tangga ataupun pelayan restoran.
Perempuan-perempuan itu biasanya bekerja dari pukul 19.00 hingga pukul 05.00. Tidak jarang pula mereka menerima perlakuan kasar, baik dari mucikari maupun tamu. Setiap hari, mereka hanya makan satu kali, berupa nasi dengan lauk tahu, tempe, dan sayuran.
Perempuan itu juga tidak diizinkan keluar rumah, kecuali diajak jalan-jalan oleh pelanggan. “Kalau sakit, kami jarang diperbolehkan keluar, kecuali sudah parah. Itupun ke klinik 24 jam dan harus ditemani supaya kami enggak kabur,” kenang Endang.
Pada tahun kedelapan di Jatinegara, Endang bersinggungan dengan aktivis Bandungwangi. Mereka menyebar informasi tentang kesehatan reproduksi dan HIV/AIDS kepada para PSK. Ketika itu, mayoritas PSK di daerah tersebut sama sekali tidak pernah mendengar tentang dua hal tersebut. Ia pun semakin geram dengan perlakuan mucikarinya yang sama sekali tidak memberi gadis-gadisnya pelindung dalam bentuk apapun ketika melayani pelanggan.
“Pas itu saya kaget. Ternyata pekerjaan yang saya lakukan ini bahaya banget risikonya,” ujar Endang.
Ia sempat berpikir bahwa dirinya sekarat karena penyakit menular seksual. Untungnya, ketika di tes kesehatan dengan bantuan aktivis Bandungwangi, hasilnya negatif. Sejak saat itu, ia selalu menyisihkan sedikit pendapatannya untuk membeli alat pelindung. Pengetahuan itu juga ia sebarkan kepada teman-teman yang serumah dengannya.
Kesempatan
Tidak lama setelah Endang berkenalan dengan Bandungwangi, rumah tempat ia bekerja mengalami kebangkrutan. Para PSK kabur satu per satu karena tidak tahan berada disana. Endang pun memiliki kesempatan untuk keluar dari tempat itu. Namun, ia belum sepenuhnya meninggalkan kehidupan sebagai PSK. Sebab, ia tidak memiliki keahlian lain untuk mencari nafkah.
Ia tetap berhubungan dengan beberapa pelanggan yang memperlakukan dia dengan baik. Semua untuk memastikan kebutuhan hidup dasar tercukupi. Disaat yang sama, Endang tetap aktif di Bandungwangi hingga para pengurus yayasan tersebut meminta dia untuk menjadi pendidik setara (peer educator). Tugas itu mewajibkannya mendatangi para PSK, memberi penyuluhan tentang kesehatan reproduksi, dan membagi-bagi alat pengaman secara gratis.
“Bagi saya, artinya besar sekali. Saya bisa menjangkau teman-teman yang senasib dan memberi tahu mereka cara melindungi diri dari risiko-risiko kesehatan yang mengancam,” ujar Endang.
Menurut Endang, rekan-rekannya lebih nyaman diberi tahu oleh dia dibandingkan para petugas yayasan. Ada rasa senasib sepenanggungan dan tidak saling menggurui.
Setelah satu tahun menjadi pendidik setara, Endang ditawari menjadi petugas lapangan. Hal tersebut disambut baik oleh dia karena menjadi jalan kebebasan untuk keluar dari kehidupan sebagai PSK seratus persen. Dengan menjadi petugas lapangan, cakupan kerja Endang semakin meluas, dia bisa mendatangi teman-teman yang berada di luar wilayah Jatinegara.
Kegiatan ini ia lakukan selama tujuh tahun. Setelah itu, pada tahun 2007, Endang diangkat menjadi koordinator lapangan dan tahun 2009 ia menjadi menajer program. “Saya jadi lebih percaya diri mendatangi rumah-rumah tempat PSK diasramakan, meskipun membutuhkan waktu lama karena di Jakarta Timur tidak ada lokalisasi dan rumah-rumah itu menyebar,” ucapnya.
Ia menceritakan bahwa para mucikari tidak menyukai kedatangan Endang ke tempat mereka menjalankan bisnis. Para mucikari khawatir, jika pengetahuan PSK bertambah, maka mereka berani melawan.
Mandiri
Di samping membantu PSK menjaga kesehatan dan keamanan reproduksi, Bandungwangi juga mengajarkan mereka cara menabung. Program tersebut mulai diselenggarakan pada tahun 2010 dengan alasan memberi keahlian baru kepada perempuan yang ingin membuka lembaran baru dalam hidup mereka. Tabungan dan keahlian tersebut digunakan untuk membuka usaha rumahan, seperti penatu, salon dan warung kelontong.
“Memang masih kecil-kecilan, tetapi yang penting teman-teman saya ini bisa mencari nafkah dengan cara yang legal dan tidak bergantung pada orang lain,” kata Endang.
Namun, ia menegaskan, sejauh ini program pemberdayaan PSK masih berupa reaksi menjaga agar mereka tidak terjerumus ke hal-hal yang lebih buruk, seperti narkoba, penyakit seksual menular, kekerasan fisik dan psikis, serta perbudakan. “Nyaris belum ada upaya pencegahan perempuan miskin agar tidak terjebak perdagangan orang. Solusi bisa dimulai dengan pemberdayaan keluarga tidak mampu,” ujarnya menutup pembicaraan.
ENDANG SUPRIYATI
▪ Lahir : Cilacap, 31 Desember 1983
▪ Pendidikan : sampai kelas II SD
▪ Status : menikah dengan 1 anak
▪ Pekerjaan : Direktur Yayasan Bantuan Dukungan, Perkawanan, dan Saling Melindungi (Bandungwangi)
UC Lib-Collect
Kompas.Rabu.24 Juni 2015