Endang Supriyati Pemberdaya Korban Perdagangan Orang

Pemberdaya-Korban-Perdagangan-Orang.-Kompas.24-Juni-2015.Hal.13

Di saat anak-anak seusianya sibuk bersekolah, Endang Supriyati yang berusia 12 tahun pada tahun 1995 menjadi korban tindak pidana perdagangan orang. Setelah delapan tahun dijerumuskan ke dalam dunia perbudakan seksual, ia muncul ke permukaan. Tidak hanya sebagai penyintas, tetapi juga seorang pemberdaya.

OLEH LARASWATI ARIADNE ANWAR

 

Sejak tahun 2011, Endang (sekarang berusia 32 tahun) bekerja sebagai direktur di Yayasan Perkumpulan Bantuan, Dukungan, Perkawanan, dan Saling Melindungi (Bandungwangi). Yayasan itu memberikan penyuluhan kepada pekerja seks komersil (PSK) di wilayah Jakarta Timur mengenai kesehatan reproduksi, HIV/AIDS, pengelolaan keuangan, dan pengembangan potensi usaha kecil dan menengah. Total, sudah 1.500 PSK yang dijangkau Bandungwangi.

“Pendapat PSK sering ditahan para ‘Mami’, jadi mereka terpaksa berutang kepada rentenir. Makanya susah untuk keluar dari kehidupan itu,” kata Endang.

Melalui penyuluhan tersebut, PSK belajar menabung dan mencicil membayar utangnya kepada ‘Mami’ dan rentenir. Harapan Endang adalah agar yayasan yang dipimpinnya bisa memberi pilihan yang lebih baik bagi PSK. Tujuan akhirnya adalah agar mereka terlepas dari perbudakan seksual dan bisa menjalani kehidupan baru.

 

Jadi korban

Nasib buruk menimpa Endang yang orangtuanya pekerja serabutan di sebuah desa di Cilacap, Jawa Tengah. Kondisi keuangan yang terpuruk membuat keluarganya hidup tidak berkecukupan. Endang putus sekolah di bangku kelas II SD. Setelah empat tahun membantu orangtua bekerja di ladang milik orang lain, Endang dititipkan kepada salah satu kerabat dan dijanjikan bekerja di Jakarta.

Sesampai di Jatinegara, Jakarta Timur, Endang menemukan bahwa kerabat tersebut ternyata seorang Mucikari. “Saya kaget dan marah kepada orangtua. Tapi, saya juga jadi tulang punggung keluarga. Jadi, terpaksa saya melakukan pekerjaan itu,” kata Endang saat ditemui pada Mei lalu.

Menurut Endang, mayoritas perempuan yang dipekerjakan sebagai PSK di Jakarta Timur adalah remaja permepuan dari Jawa Barat dengan pendidikan setingkat SD. Mereka umumnya dibawa saudara dan kerabat ke Jakarta dengan iming-iming bekerja sebagai pembantu rumah tangga ataupun pelayan restoran.

Perempuan-perempuan itu biasanya bekerja dari pukul 19.00 hingga pukul 05.00. Tidak jarang pula mereka menerima perlakuan kasar, baik dari mucikari maupun tamu. Setiap hari, mereka hanya makan satu kali, berupa nasi dengan lauk tahu, tempe, dan sayuran.

Perempuan itu juga tidak diizinkan keluar rumah, kecuali diajak jalan-jalan oleh pelanggan. “Kalau sakit, kami jarang diperbolehkan keluar, kecuali sudah parah. Itupun ke klinik 24 jam dan harus ditemani supaya kami enggak kabur,” kenang Endang.

Pada tahun kedelapan di Jatinegara, Endang bersinggungan dengan aktivis Bandungwangi. Mereka menyebar informasi tentang kesehatan reproduksi dan HIV/AIDS kepada para PSK. Ketika itu, mayoritas PSK di daerah tersebut sama sekali tidak pernah mendengar tentang dua hal tersebut. Ia pun semakin geram dengan perlakuan mucikarinya yang sama sekali tidak memberi gadis-gadisnya pelindung dalam bentuk apapun ketika melayani pelanggan.

“Pas itu saya kaget. Ternyata pekerjaan yang saya lakukan ini bahaya banget risikonya,” ujar Endang.

Ia sempat berpikir bahwa dirinya sekarat karena penyakit menular seksual. Untungnya, ketika di tes kesehatan dengan bantuan aktivis Bandungwangi, hasilnya negatif. Sejak saat itu, ia selalu menyisihkan sedikit pendapatannya untuk membeli alat pelindung. Pengetahuan itu juga ia sebarkan kepada teman-teman yang serumah dengannya.

 

Kesempatan

Tidak lama setelah Endang berkenalan dengan Bandungwangi, rumah tempat ia bekerja mengalami kebangkrutan. Para PSK kabur satu per satu karena tidak tahan berada disana. Endang pun memiliki kesempatan untuk keluar dari tempat itu. Namun, ia belum sepenuhnya meninggalkan kehidupan sebagai PSK. Sebab, ia tidak memiliki keahlian lain untuk mencari nafkah.

Ia tetap berhubungan dengan beberapa pelanggan yang memperlakukan dia dengan baik. Semua untuk memastikan kebutuhan hidup dasar tercukupi. Disaat yang sama, Endang tetap aktif di Bandungwangi hingga para pengurus yayasan tersebut meminta dia untuk menjadi pendidik setara (peer educator). Tugas itu mewajibkannya mendatangi para PSK, memberi penyuluhan tentang kesehatan reproduksi, dan membagi-bagi alat pengaman secara gratis.

“Bagi saya, artinya besar sekali. Saya bisa menjangkau teman-teman yang senasib dan memberi tahu mereka cara melindungi diri dari risiko-risiko kesehatan yang mengancam,” ujar Endang.

Menurut Endang, rekan-rekannya lebih nyaman diberi tahu oleh dia dibandingkan para petugas yayasan. Ada rasa senasib sepenanggungan dan tidak saling menggurui.

Setelah satu tahun menjadi pendidik setara, Endang ditawari menjadi petugas lapangan. Hal tersebut disambut baik oleh dia karena menjadi jalan kebebasan untuk keluar dari kehidupan sebagai PSK seratus persen. Dengan menjadi petugas lapangan, cakupan kerja Endang semakin meluas, dia bisa mendatangi teman-teman yang berada di luar wilayah Jatinegara.

Kegiatan ini ia lakukan selama tujuh tahun. Setelah itu, pada tahun 2007, Endang diangkat menjadi koordinator lapangan dan tahun 2009 ia menjadi menajer program. “Saya jadi lebih percaya diri mendatangi rumah-rumah tempat PSK diasramakan, meskipun membutuhkan waktu lama karena di Jakarta Timur tidak ada lokalisasi dan rumah-rumah itu menyebar,” ucapnya.

Ia menceritakan bahwa para mucikari tidak menyukai kedatangan Endang ke tempat mereka menjalankan bisnis. Para mucikari khawatir, jika pengetahuan PSK bertambah, maka mereka berani melawan.

 

Mandiri

Di samping membantu PSK menjaga kesehatan dan keamanan reproduksi, Bandungwangi juga mengajarkan mereka cara menabung. Program tersebut mulai diselenggarakan pada tahun 2010 dengan alasan memberi keahlian baru kepada perempuan yang ingin membuka lembaran baru dalam hidup mereka. Tabungan dan keahlian tersebut digunakan untuk membuka usaha rumahan, seperti penatu, salon dan warung kelontong.

“Memang masih kecil-kecilan, tetapi yang penting teman-teman saya ini bisa mencari nafkah dengan cara yang legal dan tidak bergantung pada orang lain,” kata Endang.

Namun, ia menegaskan, sejauh ini program pemberdayaan PSK masih berupa reaksi menjaga agar mereka tidak terjerumus ke hal-hal yang lebih buruk, seperti narkoba, penyakit seksual menular, kekerasan fisik dan psikis, serta perbudakan. “Nyaris belum ada upaya pencegahan perempuan miskin agar tidak terjebak perdagangan orang. Solusi bisa dimulai dengan pemberdayaan keluarga tidak mampu,” ujarnya menutup pembicaraan.

 

ENDANG SUPRIYATI

▪ Lahir : Cilacap, 31 Desember 1983

▪ Pendidikan : sampai kelas II SD

▪ Status : menikah dengan 1 anak

▪ Pekerjaan : Direktur Yayasan Bantuan Dukungan, Perkawanan, dan Saling Melindungi (Bandungwangi)

UC Lib-Collect

Kompas.Rabu.24 Juni 2015

KH Mahfud Sahal Mengelola Air Limbah

Mengelola-Air-Limbah.-Kompas-30-Juni-2015.Hal.16

Mungkin sebagian besar orang tidak percaya jika pondok pesantren bisa menjadi penggerak pelestarian lingkungan. Selama ini, mungkin pesantren lebih identik dengan citra sederhana, bahkan mungkin sedikit kumuh. Di pesantren yang santrinya banyak, tidak jarang mereka tinggal di kawasan dengan sanitasi dan air bersih seadanya.

OLEH DAHLIA IRAWATI

Meski demikian, pandangan itu coba diubah oleh Pondok Pesantren An-Nur di Kelurahan Sumbertaman, Kecamatan Wonoasih, Kota Probolinggo, Jawa Timur. Pondok Pesantren An-Nur merupakan salah satu penggerak instalasi pengolah air limbah (IPAL) komunal di Kota Probolinggo. IPAL komunal di sana bukan hanya untuk kepentingan santri ponpes, tetapi juga menampung air limbah rumah tangga dan limbah pabrik sekitar.

Ponpes An-Nur menghilangkan sekat antara ponpes dan warga sekitar. Di sini, ponpes bukan tempat belajar ilmu agama yang tidak terjamah masyarakat sekitar. Justru ponpes membuka akses seluas-luasnya bagi masyarakat untuk bergabung membuang limbah di dalam lingkungan pondok.

Tokoh di balik sikap terbuka Ponpes An-Nur adalah KH Hasyibudin (almarhum), pendiri Ponpes An-Nur, serta KH Mahfud Sahal – anak KH Hasyibudin – yang sekaligus pengasuh ponpes saat ini.

KH Hasyibudin merelakan tanahnya untuk dijadikan bangunan IPAL komunal yang menampung air limbah yang dibuang masyarakat. Adapun putranya, KH Mahfud Sahal, menjadi penggerak warga untuk hidup bersih dengan membangun pembuangan limbah rumah tangga dan limbah usaha ke IPAL komunal.

Pembangunan IPAL komunal di Ponpes An-Nur dimulai sejak permintaan dari ponpes ke Pemkot Probolinggo tahun 2012 akan kebutuhan IPAL komunal di Sumbertaman. Namun, saat itu tidak ada warga yang bersedia menghibahkan lahannya. Apalagi, kebutuhan lahan untuk IPAL itu dinilai warga cukup luas, yaitu 7 meter x 9 meter untuk dijadikan lokasi IPAL komunal.

Akhirnya, KH Hasyibudin (almarhum), pendiri Ponpes An-Nur, bersedia menghibahkan sebagian tanahnya di dalam pondok sebagai lokasi pembangunan IPAL komunal itu.

Pembangunan IPAL komunal dilakukan tahun 2013 dengan memanfaatkan bantuan dari Indonesia Urban Water Sanitation and Hygiene USAID. IPAL tersebut terintegrasi dengan MCK plus yang dibangun Dinas Pekerjaan Umum Kota Probolinggo di lokasi yang sama.

Awalnya, MCK plus diperuntukkan bagi 500 santri di ponpes, dan IPAL komunal diperuntukkan bagi masyarakat sekitar. Namun, berikutnya, dua instalasi tersebut terintergrasi menjadi satu dan justru digunakan bersama untuk kepentingan santri dan warga.

Saat ini, sudah ada dua IPAL komunal yang dibangun di dalam area Ponpes An-Nur.

Pabrik tempe

IPAL komunal pertama kali memang dipergunakan untuk kebutuhan santri. Selain itu, ada 117 warga Sumbertaman yang juga memanfaatkan IPAL komunal tersebut. Sementara IPAL kedua dibangun untuk memperluas cakupan warga yang bisa memanfaatkannya. IPAL kedua ini dipergunakan oleh 73 warga Sumbertaman.

Dalam perkembangan selanjutnya, peserta IPAL komunal yang bergabung di Ponpes An-Nur bukan hanya sekadar rumah tangga biasa. Tiga perusahaan pembuat tempe skala rumahan pun turut membuang limbahnya ke dalam IPAL komunal yang ada di area pondok. Jika selama ini bau busuk air limbah tempe biasanya mencemari udara Sumbertaman, setelah mereka memanfaatkan IPAL, bau tersebut tidak tercium lagi.

Hal lain yang menarik, penempatan IPAL dibangun cukup unik di dalam pondok. Lokasi IPAL pertama diintegrasikan dengan pembangunan ruang pertemuan terbuka di bagian atasnya, sedangkan di tingkat kedua dibangun mushala. Nyaris tidak tampak suasana kumuh di sana.

Yang lebih unik, air dari IPAL tersebut dimanfaatkan untuk memelihara ikan lele oleh para santri ponpes. Air yang keluar dari IPAL tersebut memang bersih.

Saat ini, santri Ponpes An-Nur bisa memasarkan 1 kuintal abon ikan lele setiap dua hari. Pasar abon ikan lele selain lokal, juga dijual ke kota-kota sekitar, termasuk Jakarta.

“Sesuatu yang awalnya dilihat jorok, tidak selamanya jorok. Lihat saja, lokasi limbah warga kini di atasnya bisa dibangun ruang pertemuan dan diatasnya lagi mushala. Suasana pondol pun semakin bersih, suasana kampung apalagi. Dahulu halaman rumah warga baunya tidak enak karena semua buang air sembarangan. Bau limbah pabrik tempe pun menyengat ke mana-mana. Kini, suasana kampung menjadi lebih nyaman dan sehat,” tutur KH Mahfud Sahal, pengasuh Ponpes An-Nur.

Saat ini ada dua pondok di Kota Probolinggo yang memiliki IPAL komunal. “Saya ingin pondok tidak lagi identik dengan kekumuhan. Kebersihan adalah sebagian dari iman, makanya kebersihan harus dijaga bersama-sama. Termasuk dengan membangun IPAL komunal ini,” ujar Mahfud, yang juga menegaskan bahwa kebersihan merupakan sebagian dari iman.

Mahfud setiap hari gencar mengkampanyekan sanitasi sehat kepada warga sekitar. Baik dalam pengajian, di pertemuan keluarga santri, hingga saat pertemuan warga. Salah satu cara menstimulus warga agar tersambung IPAL komunal adalah dengan menggratiskan pembuatan IPAL komunal bagi keluarga miskin.

“Nantinya saat yang miskin sudah memiliki jamban sendiri, maka orang yang lebih kaya disekitarnya akan tergerak. Masa mereka tidak malu, yang miskin aja BAB di jamban. Lalu kenapa mereka yang kaya tetap memilih BAB di sungai?” kata Mahfud. Kaya di sini artinya memiliki penghasilan tetap. Bangunan rumah mereka pun tembok permanen dan termasuk kategori bagus.

Upaya Mahfud mendorong warga membuat jamban dan terintegrasi dalam IPAL komunal boleh dibilang berhasil. Dari total sembilan IPAL komunal di Kota Probolinggo, IPAL komunal An-Nur adalah yang paling berfungsi aktif. Aktif dalam proses mengolah limbah menjadi air bersih, dan aktif terus menjaring anggota.

Ponpes An-Nur pun berhasil menjalankan fungsinya sebagai pusat pembelajaran. Bukan hanya belajar ilmu agama, tetapi juga ilmu lingkungan.

 

KH MAHFUD SAHAL

▪ Lahir : Probolinggo, 1 November 1962

▪ Pendidikan : D-3 Akademi Bahasa Asing Malang

▪ Istri : Habibah Sam

▪ Anak : – Ifadatun Nikmah

-Muhammad Ainun Naim

▪ Pekerjaan : Pengasuh Pondok Pesantren An-Nur Tegalsiwalan Kota Probolinggo, Jawa Timur.

UC Lib-Collect

Kompas.Selasa.30 Juni 2015.Hal.16

KPK Kebijakan-Penelitian Tidak Bisa Dinilai Pidana

KPK Kebijakan Penelitian Tidak Bisa Dinilai Pidana .Jawa Poa. 22 Juni 2015. Hal.3

JAKARTA – KPK setuju dengan pendapat presiden yang berharap kebijakan dan penelitian institusi pemerintahan tak mudah dipidanakan. Pimpinan KPK Indriyanto Seno Adji melihat persoalan kebijakan dan penelitian hanya layak ditindak jika terjadi kickback atau ada aliran dana yang masuk ke pihak tertentu.

“Kami mengapresiasi pendapat presiden agar tidak melakukan penghukuman terhadap kebijakan dan penelitian.Sebab, bagi kami, itu persoalan administratiefrecht,” terang Anto, sapaan Indriyanto. Profesor hukum pidana itu menyebut administratiefrecht tidak bisa dinilai dengan hukum pidana.

Persoalannya lain lagi jika pada kebijakan dan penelitian di institusi pemerintahan itu terjadi kickback. Artinya, ada kesenjangan menguntungkan diri sendiri, orang lain, dan korporasi dari kebijakan atau proyek-proyek penelitian tersebut.

“Kalau yang mendapatkan kickback dengan berlindung di balik kebijakan ya harus dihukum. Tapi, kalau soal administratif saja, ya jangan. Ini sudah universal sifatnya,” kata pria yang pernah menjadi staf ahli Kapolri itu.

Seperti diketahui, sebelumnya Kepala Staf Kepresidenan Luhut Binsar Panjaitan mengatakan, presiden menginginkan harmonisasi undang-undang serta para lembaga penegak hukum di Indonesia. Presiden tak ingin peraturan yang tumpang tindih dan tidak adanya kesamaan persepsi dari para penegak hukum malah menimbulkan ketakutan. Juga, menjadi celah untuk menghukum orang yang tidak perlu dihukum.

“Misalnya, jadi celah untuk menghukum pejabat yang membuat kebijakan,” ujarnya. Kejaksaan Agung, Polri, dan KPK diminta punya kesamaan pandangan terkait hal tersebut.

Presiden juga minta agar penelitian di institusi pemerintah tidak serta-merta dianggap merugikan keuangan negara saat terjadi masalah dalam pelaksanaannya. Pernyataan itu tentu merujuk pengusutan Kejaksaan Agung terhadap kasus pengadaan mobil listrik oleh tiga perusahaan BUMN. Pengadaan tersebut sebenarnya bagian dari penelitian untuk pengembangan mobil listrik di Indonesia.

Kejaksaan menilai pengadaan mobil listrik dengan dana sponsorship Pertamina, PGN, dan BRI itu merugikan keuangan negara. Mereka menggunakan dasar UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara.

Terkait hal itu, Anto mengatakan, memang ada dua pendapat terkait status BUMN. Selama ini penegak hukum lebih menggunakan pendapat bahwa kekayaan negara yang dipisahkan dengan cara menempatkan modal untuk kepentingan korporasi sebesar satu sen pun harus dianggap sebagai keuangan negara. Karena itu, keuangan BUMN tersebut keuangan negara.

“Tapi, bagi korporasi, kekayaan negara yang dipisahkan dengan cara tersebut harus tunduk pada UU Perseroan Terbatas. Ranahnya hukum perdata,” jelas Anto. Menurut dia, pendapat itu selama ini juga dikemukakan Prof Erman Rajagukguk dan Profesor Romli Atmasasmita.

Menurut Indriyanto, Mahkamah Agung juga pernah mengeluarkan surat edaran MA (SEMA) yang mengatur bahwa BUMN tidak lagi masuk pemahaman keuangan negara. “SEMA itu tidak diikuti absolut dan dikembalikan lagi pada kebebasan hakim,” kata Anto.

Anggota Komisi VII (energi, riset dan teknologi) Falah Amru bisa memahami harapan presiden sebagaimana yang disampaikan Luhut. Soal dana research, menurut politikus PDIP itu, faktanya memang masih relatif kecil hingga hari ini.

Dia mengungkapkan bahwa dari total APBN 2015, alokasi anggaran untuk riset dan teknologi di Kemenristek Dikti hanya 0,9 persen. Itu pun, lanjut dia, masih bercampur dengan pembiayaan untuk gaji dan sebagainya. (gun/dyn/c10/sof)

 

UC Lib-Collect

Jawa Pos.22 Juni 2015. Hal.3

Renny Kurnia Hadiaty Keragaman Ikan adalah Harta

Keragaman-Ikan-adalah-Harta.-Kompas.20-Juni-2015.Hal.16

Usia 54 tahun bagi sebagian pegawai negeri barangkali identik dengan masa-masa menjelag pensiun. Namun, bagi peneliti ikan air tawar seperti Renny Kurnia Hadiaty, berarti kian pendeknya waktu mengumpulkan berbagai jenis ikan, terutama yang belum pernah terdata.

OLEH J GALUH BIMANTARA

 

Berkarya di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, ia jadi saksi betapa Indonesia kaya, mengabiodiversitas. Bermacam jenis ikan baru seperti tiada habisnya.

Kelincahan Renny menembus hutan seperti mengatakan usia tak boleh membuat peneliti berhenti ke lapangan. Selasa (21/4) pagi, di hutan di Kampung Bendung, Desa Banjarsari, Pulau Enggano, Bengkulu, Renny berburu jenis ikan asli Enggano. Ia berjalan cepat menuju hutan bersama anggota tim yang terdiri atas staf LIPI dan beberapa penduduk lokal.

Dengan petunjuk penduduk lokal, Renny menuju Sungai Kahabi. Untuk mencapainya, mereka harus melewati hutan primer bertanah licin dan gembur, pohon-pohon tumbang, duri rotan yang siap menusuk kulit, dan akar atau batang tumbuhan merambat yang kerap menjerat kaki.

Di Enggano, Renny bersama peneliti dan teknisi LIPI lainnya melakukan Eksplorasi Biosources Indonesia 2015, bagian dari Ekspedisi Widya Nusantara. Pulau itu  berjarak 175 kilometer dari Kota Bengkulu, luasnya lebih dari 39.000 hektar dan memiliki enam desa.

Sebagai salah satu pulau terdepan Indonesia yang menghadap langsung ke Samudra Hindia dan informasi awal Enggano tidak pernah menyatu dengan daratan Sumatera, membuat peneliti menduga bahwa banyak spesies endemis atau khas serta spesies baru di Enggano, termasuk ikan tawar.

Keragaman hayati masih kerap terabaikan dan tak dilihat sebagai harta negara yang patut dijaga dan dipelihara. Di mata peneliti, harta besar adalah terjaganya keragaman hayati, yang berarti juga menjaga keseimbangan ekosistem. Sumber daya alam ini akan jadi sumber pendapatan negara. Inilah yang disebut bioresources atau sumber daya berbasis hayati.

Pemikiran itulah di antaranya yang mendorong Renny turut dalam Eksplorasi Bioresources 2015 LIPI ke Pulau Enggano.

Renny memaparkan, ia seperti dikejar waktu mendata dan mengoleksi jenis ikan tawar asli di Indonesia, terutama jenis baru. Sementara, laju pembangunan yang mendesak dan merusak alam liar lebih cepat diabndingkan dengan kemampuan pendokumentasian keragaman hayati.

Di tengah cepatnya laju alih fungsi lahan mengatasnamakan pembangunan, juamlah ekspedisi riset masih minim. Anggaran negara pun belum berpihak pada dunia riset.

“Dalam setiap ekspedisi, hampir pasti saya temukan jenis ikan baru, sedangkan saat ini masih banyak daerah belum saya datangi,” ucapnya.

Dari Enggano, Renny pun mendapatkan satu kandidat spesies baru.

Peneliti asing

Penelitian tugas akhir S-1 pada Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah, menjadi awal ketertarikan Renny terhadap dunia ikan air tawar. Saat itu, ia berupaya memperoleh metode meningkatkan produktivitas gurami.

Mendapat gelar sarjana pada 1985, Renny memutuskan menjadi peneliti ikan di LIPI setahun kemudian. Saat itu,ia lebih banyak berkecimpung dalam bidang ekologi (ilmu tentang hubungan antarorganisme dan lingkungan hidup) ikan. Ia masih belum masuk ke taksonomi, ilmu yang mempelajari pengelompokan jenis.

Hingga suatu saat, ia melihat peneliti asing datang silih berganti meneliti pengelompokkan spesies ikan tawar di Indonesia dan mengejar publikasi spesies baru. Ia pun terpacu turut mendalami taksonomi.

Istri dari Elistyo Sritaman itu berharap kekayaan jenis ikan tawar benar-benar dimiliki bangsa sendiri. Alhasil, pada tahun 1998 atau 12 tahun setelah masuk LIPI, Benny untuk pertama kalinya memublikasikan spesies baru ikan tawar. Ia mengoleksi dari Taman Nasional Gunung Leuser, Aceh, dan mendeskripsikan dua spesies baru, yaitu Osteochilus jeruk (karena warnanya mirip jeruk) dan Osteochilus serokan (serokan adalah nama lokal ikan ini).

“Perburuan” renny terus berlanjut dan membawanya ke seantero Nusantara. Hingga tahun ini, ia sudah memublikasikan 57 spesies baru ikan tawar dari Indonesia, baik sebgaai penulis utama maupun penulis pendamping.

Atas dedikasinya tersebut, ia memperoleh gelar doktor lewat external doctor program pada University of the Ryukyus, Okinawa, Jepang, tanpa harus memperoleh gelar magister dan menjalani pendidikan doktoral terlebih dulu. Ia  langsung menyerahkan rancangangan disertasi pada Mei 2014, mempertahankan disertasi pada Agustus, dan diwisuda pada September tahun yang sama.

Pengakuan atas karya dan prestasinya juga diwujudkan lewat penyematan nama Renny pada jenis ikan baru, yang juga asli Indonesia. Ikan itu adalah Oryzias hadiatyae dari Danau Masapi, Sulawesi Selatan, dan Paracheilinus rennyae, ikan perairan koral Pulau Flores.

 

Bertaruh nyawa

Hutan primer Enggano masih belum seberapa bagi Renny. Ia pernah merasakan medan yang lebih berat dalam ekspedisi sebelumnya.

Pada 2003, misalnya, saat Renny dalam ekspedisi danau-danau Malili, Sulawesi Selatan. Disana terdapat tiga danau yang berjejer, yaitu Danau Matano, Mahalona, dan Towuti. Suatu sore, ia bersama tim selesai meneliti di Danau Mahalona dan kembali ke tempat berkumpul melalui sungai serta Danau Towuti.

Naas, badai datang menerjang di danau seluas 561,1 kilometer persegi dan berkedalaman maksimum 203 meter tersebut. Dua motor diesel pada perahu bercadik yang ditumpangi Renny macet dan salah satu cadik kapal patah. Beruntung, kru perahu berhasil mengikat cadik yang patah tadi, kemudian perahu bisa dibawa menuju tempat teraman terdekat.

Tim pun bisa selamat setelah pada maghrib perahu tiba di Loeha, salah satu pulau di tengah Danau Towuti. Mereka mendarat pada bagian pulau  yang sangat jarang dilewati penduduk hingga seorang penduduk yang kebetulan menuju kebunnya lewat. Akhirnya, mereka pun tertolong.

Meski sudah melalui pengalaman menyeramkan, Renny tidak kapok. Niat Renny adalah mengamankan rekaman keragaman jenis ikan tawar. Semoga pemerintah juag memiliki niat serupa sebelum habitat rusak atas nama pembangunan.

 

RENNY KURNIA HADIATY

Lahir : Malang, 21 Agustus 1960

Pekerjaan : Kepala laboratorium Iktiologi dan kurator koleksi ikan di Museum Zooligicum Bogoriense (MZB); peneliti ikan tawar di Pusat Penelitian Biologi LIPI

Suami : Elistyo Sritaman (57)

Anak : – Arief Aditya Hutama (26)

-Muhammad Baiquni Bramantyo (22)

-Rani Puri Permata (17)

Pendidikan:

– Doctor of Science (Dsc), University of the Ryukyus, Okinawa, Jepang (2014)

-Doktoranda (Dra), Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto (1985)

▪ Penghargaan :

  • Pengabdian nama pada dua jenis ikan : Oryzias hadiatyae dan Paracheilinus rennyae

Salah satu tokoh yang biografinya masuk buku “Who’s Who in the World 2011”, Amerika Serikat

UC Lib-Collect

Kompas. Sabtu. 20 Juni 2015. Hal.16

Endang Sutarwan Tabib Papan Selancar Sekaligus Pelestari Budaya

Tabib-Papan-Selancar-Sekaligus-pelestari-Budaya.-Kompas.22-Juni-2015.Hal.16

Peselancar lokal dan asing tak perlu khawatir saat papan selancar mereka rusak ketika digunakan menunggai ombak di Pesisir Barat, Lampung. Selama ada Endang Sutarwan alias Nanang (33), papan selancar yang rusak bisa kembali fit untuk digunakan.

OLEH ANGGER PUTRANTO

Sebuah gubuk kecil berbahan dasar kayu berdiri di tengah tanah lapang yang ada di kawasan Pantai Tanjung Setia, Kabuoaten Pesisir Barat, Lampung. Hamparan rumput yang tumbuh ditambah rimbunnya pepohonan kelapa menghadirkan suasana sejuk di sekitar gubuk.

Di dalam gubuk itu tersimpan puluhan papan selancar dalam berbagai kondisi. Aneka perkakas dan perlengkapan bengkel lengkap tersedia disana. Obeng, ampelas, gergaji, tang, lem, resin, dan lainnya terserak begitu saja. Walaupun begitu, Nanang tak pernah kesulitan mencari perkakas-perkakas tersebut saat dibutuhkan untuk memperbaiki papan selancar yang rusak.

Kecintaannya pada dunia selancar sudah tumbuh sejak Nanang duduk di bangku sekolah dasar. Lelaki kelahiran Sukabumi itu sempat merasakan sulitnya bermain selancar saat papa selancarnya rusak.

“Saya tak punya uang untuk memperbaiki papan selancar. Saya hanya bisa memperbaiki sedikit-sedikit. Dari sana perlahan saya semakin mahir dan terinspirasi untuk membuka Ding Repair (bengkel papan selancar),” ujarnya.

Setelah menyelesaikan pendidikan di bangku sekolah menengah atas, Nanang memutuskan untuk pergi meninggalkan kampung halamannya dan merantau ke Pesisir Barat. Berbekal informasi dari mesin pencari Google, ia mengetahui bahwa Pesisir Barat memiliki alam yang indah dan ombak yang luar biasa.

Sejumlah peselancar asing menilai ombak Pesisir Barat setara dengan ombak di Hawaii. Sebab, ombak dari perairan Samudra Hindia itu memiliki garasi ombak yang panjang denga ketinggian mencapai 6 meter hingga 8 meter.

 

Buka bengkel

Sejak meninggalkan Sukabumi, Nanang tahu tujuannya ke Pesisir Barat ialah untuk dunia selancar. Selain ingin melampiaskan kegemarannya bermain ombak, petualangannya kali ini untuk membuka bengkel papan selancar.

“Saya tidak meneruskan kuliah karena lebih tertarik berbisnis. Awalnya banyak orang mencibir dan mengatakan saya tidak bakal sukses, tetapi buktinya saya sekarang bisa membiayai keluarga besar,” ujar suami Indriani itu.

Sejak tahun 2005, Nanang mulai tinggal di Pesisir Barat. Ia menyewa dua gubuk kayu di sekitar Pantai Tanjung Setia. Satu gubuk ia gunakan sebagai tempat tinggal, sementara gubuk lainnya ia jadikan tempat praktik reparasi papan selancar.

Sebelum ia membuka bengkel selancar, papan selancar yang rusak ketika dipakai bermain di Pesisir Barat harus dibawa ke Bali untuk diperbaiki. Namun, kini para peselancar tak perlu repot bolak-balik Lampung – Bali – Lampung hanya untuk reparasi dan kembali berburu ombak, di Pesisir Barat.

Peselancar yang mengalami kerusakan papan bisa langsung memperbaiki di Ding Repair Sumatera milik Nanang. Dalam sehari ada sekitar 40 papan selancar yang masuk ke bengkel itu. Sebanyak 30 papan akan diperbaiki hari itu juga, sedangkan 10 papan sisanya selalu disisakan untuk digarap esok hari.

“Kerusakan yang dialami bermacam-macam tergantung ombak. Kerusakan paling banyak papan patah, ganti pelat, dan dudukan fin (sirip di bawah papan yang berfungsi untuk mengarahkan laju papan). Biaya reparasi berbeda-beda, Rp 600.000 untuk reparasi bergaransi dan Rp 400.000 untuk reparasi tidak bergaransi,” ujarnya.

Sebagian besar wisatawan asing yang biasa menghabiskan waktu berbulan-bulan di Pesisir Barat lebih memilih reparasi dengan garansi. Sebab, jika mereka mengalami kerusakan papan, Nanang tidak akan memungut biaya lagi.

Pelayanan ini menjadikan nilai lebih bengkel selancar milik Nanang. Hasil garapan Nanang juga terkenal halus dan sempurna. Tak heran, para peselancar asing yang pernah menjadi “pasiennya” masih kerap mengirim papan seluncur dari berbagai belahan dunia untuk diperbaiki Nanang.

“Para peselancar Eropa dan Australia masih sering mengirim papannya yang rusak untuk diperbaiki disini. Dimana pun mereka berselancar, kalau ada kerusakan, mereka pasti mengirim kemari. Kalau sudah seperti itu, saya hanya mengandalkan saling percaya saja,” tuturnya.

Kini pemuda berambut gondrong ikal itu menyebut dirinya sendiri sebagai orang sukses. Kesuksesan yang ia raih berawal dari 1 kilogram resin dan sedikit modal usaha. Ayah satu anak tersebut kini bisa memperoleh keuntungan bersih Rp 40 juta. Keuntungan itu sudah dipotong upah untuk 5 karyawannya masing-masing Rp 2 juta per bulan.

Berkat keterampilannya itu, Nanang sudah memiliki lahan sawit seluas 4 hektar dan berencana membuka sebuah rumah toko yang menjual aksesori selancar.

Tak hanya berkutat pada usaha reparasi papan selancar, Nanang ternyat juga memiliki ketertarikan pada budaya Lampung. Keterkaitan tersebut ia tuangkan dalam sebuah produksi fin. Sekitar lima tahun lalu, Nanang memberanikan diri menjadi produsen fin dengan motif batik Lampung.

“Saya tertarik dengan motif Lampung yang menampilkan Siger (mahkota pengantin wanita Lampung), Gajah, dan Tapis. Kelebihan fin buatan saya ialah cita rasa klasik. Kalau fin produksi luar negeri biasanya hanya polos, punya saya ada motifnya,” kata Nanang bangga.

Produksi fin dengan motif Lampung milik Nanang mulai merambah pasar internasional. Australia dan Hawaii menjadi pasar terbesar produksi tersebut. Kendati awalnya hanya memasarkan fin, secara tidak langsung  usaha Nanang juga merupakan bentuk promosi budaya Lampung.

Produksi fin motif Lampung milik Nanang terus berjalan di tengah kesibukan melayani reparasi papan selancar yang rusak. Dalam satu hari Nanang dan rekan-rekannya bisa menyelesaikan 5 set fin (15 buah).

Guna mengatasi mahalnya biaya ekspor, Nanang hanya melayani ekspor minimal 5 set fin dalam sekali kirim. Dalam satu tahun setidaknya ada 200 set fin yang dikirim ke sejumlah negara pemesan.

Nanang berharap produk Indonesia bisa lebih diterima pasar Internasional dan juga lokal. Ia mengatakan, saat ini banyak penggemar selancar Indonesia lebih memilih produk luar negeri.

“Banyak orang berpikir, yang lebih mahal itu lebih baik. Hal itu yang membuat hasil karya anak negeri tidak dihargai. Padahal, saat ini orang asing lebih menghargai produk Indonesia. Percayalah, produk Indonesia tidak kalah kualitasnya,” ungkap Nanang.

ENDANG SUTARWAN/NANANG/NANUNG

▪ Lahir : Sukabumi, 16 Juni 1982

▪ Pendidikan : D Marinjung Sukabumi

  • SMP Cilosok, Sukabumi
  • SMA Pelabuhan Ratu, Sukabumi

▪ Nama Istri : Indriani (23)

▪ Nama Anak : Muhammad Rail (8)

 

Lihat Video Terkait

“Tabib Papan Selancar”

di kompasprint.com/vod/tabibselancar

 

UC Lib-Collect

Kompas. Senin. 22 Juni 2015. Hal. 16

 

Sri Widodo Rumpun Bambu Penyangga Wayang

Rumpun-Bambu-Penyangga-Wayang.-Kompas.-9-Juni-2015.-Hal.16

Berpegang pada falsafah bambu, Sri Widodo (40), dalang asal Desa Balamoa, Kecamatan Pangkah, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, mencipta wayang pring atau wayang bambu dan menjadikannya sebagai salah satu khazanah budaya di Indonesia. Pantas wayang pring menjadi media penyampai pesan moral kepada masyarakat.

OLEH SIWI NURBIAJANTI

 

Lahir di Kabupaten Tegal pada 3 September 1974, Widodo memperoleh bakat seni dari sesepuhnya. Kakeknya, mendiang Ki Suwati, merupakan dalang wayang kulit yang terkenal di Tegal. Begitu pula ayahnya, Ki Gunawan, juga seorang dalang. Ayahnya adalah kakak kandung dalang wayang suket, mendiang Ki Slamet Gundono.

Tumbuh di lingkungan seniman, sejak kecil Widodo telah memiliki kecintaan pada dunia seni karawitan dan wayang. Saat sekolah dasar, dia bergabung dengan kelompok karawitan di sekolahnya.

Karena itu, selepas sekolah menengah pertama (SMP) pada 1992, dia memilih melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) di Solo. Lepas dari SMKI, dia melanjutkan pendidikan ke Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta dengan mengambil jurusan karawitan.

Selain menempa kemampuan berkesenian di sekolah, Widodo juga menempa kemampuannya dengan membantu pamannya, mendiang Ki Slamet Gundono, yang tinggal di Solo. Sejak 1998 hingga 2010, dia aktif dalam pementasan wayang suket. Dia ikut menjadi pengrawit dan sesekali membantu mendiang Ki Gundono mendalang.

“Jadi, saat itu ada dalang besar dan dalang kecil,” ujarnya saat ditemui Selasa (19/5). Dalang kecil menunjuk kepada dirinya.

Di sela-sela kegiatannya, Widodo berupaya menggali kemampuannya yang lain. Saat hendak memenuhi tugas untuk ujian kelulusan jenjang S-1 pada 2003, dia membuat kreasi bunyi gamelan dari perpaduan karet dan bambu.

Dari situlah, dia menemukan ide membuat wayang dari bambu. Widodo melihat falsafah yang kuat dari tanaman ini. Setiap batang bambu, lanjutnya, selalu memberikan kesempatan kepada batang lain untuk tumbuh sendiri. “Jadi, kalau sudah ada tunas atau rebung yang tumbuh, tidak akan ada tunas lain yang tumbuh di tempat yang sama,” katanya.

Meskipun demikian, bambu tidak pernah hidup sendiri, tetapi bergerombol dalam satu kelompok.  Batang bambu yang menjulang tinggi tidak akan pernah bisa roboh ke tanah karena disangga batang-batang bambu lain di kelompok itu. Meskipun tumbuh satu-satu, tanaman bambu bisa kuat karena hidup bersama dan saling menyangga.

 

Memori masa kecil

Memori masa kecilnya ikut mempengaruhi semangatnya membuat wayang bambu. Dahulu, saat dia masih kecil, dia kerap ingin bermain wayang kulit seperti kakek dan ayahnya. Namun, karena harga wayang mahal, dia tidak diperbolehkan memegang wayang asli.

Akhirnya dia dibuatkan wayang dari bambu secara sederhana oleh kakek dari ibunya, mendiang Mbah Sebat. Mbah Sebat kala itu juga merupakan dalang, tetapi dalang wayang golek. “Saat itu wayang pring buatan simbah, kepalanya belum bisa digerakkan,” katanya.

Desember 2014, saat Aceh dilanda tsunami, untuk pertama kalinya Widodo serius mementaskan wayang pring. Bersama teman-temannya di Solo, dia mendalang dari satu kelurahan ke kelurahan lain untuk menggalang dana bagi korban tsunami. Saat itu terkumpul lebih dari Rp 4 juta.

Pada 11 Maret 2005, untuk pertama kalinya wayang pring mendapat kesempatan pentas di Taman Budaya Surakarta. Aktivitas pementasan pun terus berjalan. Hingga pada 2007, kelompok wayang pring vakum karena pengiringnya kembali ke daerah masing-masing.

Pada 2010, Widodo kembali ke Tegal dan menghidupkan kembali wayang pring. Hingga kini, dia terus mementaskan wayang pringndalam berbagai kesempatan. Widodo membentuk Komunitas Wayang Pring Tegal dengan personel antara lain guru dan pegawai tata usaha di SMP Negeri 1 Bojong, Kabupaten Tegal, dan alumni sekolah tersebut.

Untuk menarik penonton, Widodo memodifikasi wayang pring sehingga kepala wayang itu bisa digerakkan ke kanan dan ke kiri seperti wayang golek. Upaya mempercantik wayang dengan membentuk wajah dan hiasan pada bagian kepala wayang terus dilakukan.

Pernah berkolaborasi dengan mendiang Ki Gundono, mau tidak mau berpengaruh terhadap gaya mendalang Widodo. Dia mendalang dengan gaya santai dan keluar dari pakem wayang yang ada.

Namun, bagi Widodo, keluar dari pakem bukan dosa dalam berkesenian. Menurut dia, dahulu saat wayang masih berada dalam fase wayang purwo, para dalang juga mencari bentuk pementasan. Ibarat fase yang berputar kembali, dia pun mencari bentuk baru pementasan wayang pring. “Roda itu berputar, cokro manggilingan,” tuturnya.

Justru jangan keluar dari pakem. Wayang pring tidak sekadar menjadi pertunjukan seni biasa. Wayang pring bisa jadi media pembelajaran dan media berkegiatan sosial. Karena tidak terikat pakem ketat, dia bisa lebih leluasa menyisipkan pesan-pesan moral kepada penonton, termasuk yang dilakukannya ketika mementaskan lakon Rama Bhargawa  di hadapan siswa SMP Negeri 1 Bojong pada 19 Mei lalu.

Cerita mengenai perselingkuhan dalam lakon Rama Bhargawa bisa dialihkan menjadi pesan kepada siswa agar tidak mencontek dan agar patuh kepada orangtua. Hal itu karena mencontek dan bohong kepada orangtua bisa diartikan sebagai pengingkaran pada nilai kejujuran dan kesetiaan. Tokoh-tokoh yang dipentaskan pun disesuaikan dengan situasi penonton sehingga lebih mengena.

Dalang dalam pementasan wayang pring juga tidak menjadi tokoh yang diagung-agungkan. Dalam setiap pementasan dengan personel sekitar 14 orang, Widodo ikut mengangkut dan menggotong peralatan yang akan digunakan untuk pentas. “Seperti falsafah bambu, kita saling menyangga,” tambahnya.

Sri Widodo tidak ingin berhenti dengan karyanya saat ini. Ayah dua anak yang juga bekerja sebagai pegawai honorer di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Tegal tersebut terus berupaya berinovasi dalam menggarap lakon dan iringan musik. Dia ingin wayang pring bisa diterima lebih luas oleh masyarakat dalam berbagai situasi dan kondisi. Dengan diterima, masyarakat bisa juga ikut menyangga seperti rumpun bambu.

 

SRI WIDODO

▪ Lahir : Tegal, 3 September 1974

▪ Istri : Wahyuningsih (34)

▪ Anak :

  • Galuh Widyaningtyas (10)
  • Nimas Galih Cahyaningtyas (5)

▪ Pendidikan :

  • SD 2 Balamoa Kabupaten Tegal
  • SMP 1 Kedungbanteng Kabupaten Tegal (lulus 1992)
  • SMKI Surakarta (lulus 1995)
  • STSI Surakarta Jurusan Karawitan (lulus 2003)

▪ Prestasi :

  • Juara I Lomba Monolog Tradisi Lisan Tingkat Jawa Tengah di Borobudur tahun 2014
  • Juara I Pengiring Tari untuk Lomba Seni Tari Tradisi di Surabaya pada 2001 (Sri Widodo berkelompok sebanyak lima orang)

UC Lib-Collect

Kompas. Selasa. 9 Juni 2015. Hal.16

Iman Romdiana Pelestari Motif Batik Garutan

Pelestari-Motif-Batik-Garutan.-Kompas.1-Juni-2015.Hal.16

Domba Garut yang tanduknya khas melingkar hingga ke bawah telinga menjadi inspirasi bagi Iman Romdiana (43) untuk membuat satu motif batik tulis asli Garut, Jawa Barat. Pelestari motif batik tulis dari Gang Gunung Kasur, Jalan Ciledug, Garut Kota, ini selalu menggali potensi alam Garut, mulai dari binatang hingga tanaman, untuk membuat ratusan motif batik “Beken” yang dikembangkannya.

Oleh Dedi Muhtadi

Merak Ibing ( Burung Merak Menari), bulu hayam (bulu ayam), mojang (gadis) Priangan, atau kurung hayam (kurung ayam) merupakan empat dari sepuluh lebih motif asli Garut yang dikembangkan Iman. Ayah beranak satu ini juga mengembangkan turunan motif dari 420 motif batik yang ada di Jawa Barat. Iman hampir hafal du luar kepala ke 420 motif yang dikembangkannya itu.

Nama Beken itu sendiri merupakan pemberian Ketua Yayasan Batik Jawa Barat Sendy Ramania Dede Yusuf. Semula keluarga Iman menamakan batiknya adalah Buken yang merupakan singkatan dari ibu K Sukaenah , ibunya Iman yang meneruskan tradisi batik dari leluhurnya. “ lebih keren kalau namanya batik beken agar terkenal ke mana-mana. Sejak itulah nama Beken kami pakai,” kenang Iman saat istri wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf (2008-2013) memberinya nama itu lima tahun lalu.

Keluarga ibu K Sukaenah merupakan satu dari puluhan keluarga yang hingga kini melestarikan tradisi batik garutan, sebutan untuk batik asli Garut. Sejarah batik garut, menurut keluarga Sukaenah, seperti tertulis dalam situs Batikgarutku.com merupakan warisan turun temurun dan telah berkembang sebelum masa kemerdekaan. Setelah kemerdekaan, batik garut makin populer dengan sebutan batik tulis garutan dan mengalami masa jaya tahun 1967-1985.

Seiring dengan berbagai keterbatasan, mulai dari bahan baku kain dasar,modal, dan lemahnya pemasaran, kegiatan para penerus atau generasi batik garut mengalami pasang surut. Ditambah munculnya persaingan cukup kuat dari produsen batik lain yang menggunakan teknik modern, seperti mesin printing, aktivitas pelestari batik tradisional makin tersisih.

Potensi batik tradisional tumbuh kembali setelah mendapat angin segar dari “tradisi batik Jumat”, yakni penggunaan seragam batik olek para karyawan, terutama pegawai negeri sipil. Kondisi itu juga mengimbas pada usaha batik tulis Garut asli yang digeluti keluarga ibu K Sukaenah.

Dari Alam Garut

Iman mencoba tampil dengan membuat motif batik asli Garut dan mengembangkan motif yang sudah ada di pasaran. Lagipula Teh Ani, putri sulung Ibu K Sukaenah yang juga kakak Iman, lebih tertarik menjualkan batik

“Saya hanya bertugas menunggui stan dan menjual batik kepada pengunjung. Yang membuat, termasuk merancang motifnya,adalah adik saya,Iman,” ujar Teh Ani saat mengikuti pameran di halaman pendopo Kabupaten Garut, awal Mei lalu.

Menurit Teh Ani, adiknya lebih cepat memahami dan membuat motif batik jika ada orang yang memesan.

Di kalangan pembatik tulis, batik sering diartikan “menulis titik” yang diambil dari gabungan kata amba dan titik dalam bahasa Jawa. Zaman dahulu, batik hanya ditulis dan dilukis menggunakan daun lontar dengan motif yang dominan adalah binatang dan tumbuhan. Corak batik sendiri mempunyai filosofi dari setiap daerah itu berasal sehingga setiap daerah mempunyai motif dan corak yang berbeda.

Begitu pula batik-batik yang dikembangkan Iman adalah motif yang berasal dari alam sekitar Garut. Ketrampilan membuat motif batik awalnya hanya belajar sendiri. Iman tidak belajar khusus batik dari sekolah formal karena pendidikannya hanya sampai di SMP. Namun, ia “dikuliahkan” untuk mendalami berbagai motif batik oleh sejumlah instansi di Garut, sperti Dinas Perindustrian atau Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah.

“saya sampai delapan kali dikuliahkan oleh Dinas Perindustran Garut.” Ujarnya.

Dinas-dinas itu menguliahkan Iman karena melihat keterampilah membuat motif batik yang dimiliki anak kedua ibu K Sukaenah ini. Bertahun-tahun hasil pelatihan itu diperlukan untuk melatih para pembatik lain yang masih memproduksi batik tulis di kabupaten ini.

Kini tugas Iman selain membuat motif batik untuk dikembangkan oleh keluarganya juga melatih pembatik tradisional yang ada di lingkungan Kabupaten Garut. Di rumahnya, sekitar 20 potong batik tulis diproduksi setiap bulannya.

Batik tulis merupakan jenis batik yang cara pembuatannya menggunakan tangan dan dihiasi dengan corak dan tekstur tertentu. Waktu pengerjaannya memakan waktu rata-rata satu bulan per potong dan dijual sekitar 1,5 juta per potong.

Keluarga Iman juga membuat batik cap, jenis batik yang waktu pengerjaannya lebih cepat dari pembuatan batik tulis. Batik cap ini sehari bisa dibuat sampai 2 kodi (1 kodi 20 potong) dan dipasarkan ke sejumlah pedagang dan produsen batik di Bandung dan Jakarta, batik garutan yang dibuat keluarga Iman sudah dipasarkan ke Singapura dan Malaysia.

Pameran

Untuk mengenalkan batik tradisional ini keluarga Iman kerap mengikuti berbagai pameran baik yang diselenggarakan pemerintah daerah dan mal. Pamerannya berkeliling, mulai dari Garut, Bandung,Jakarta, hingga ke Bali. “kami pernah diikutsertakan pameran di Istana Negara di Jakarta”, ungkapnya.

Keluarga ini juga menerima pesanan motif batik sesuai keinginan pemesannya. Biasanya pemesan membawa gambar tertentu untuk dibuatkan kain batiknya. Iman lalu menggambar dan merancang motifnya, kemudian pembatik menuliskan motif itu pada kain. Motif-motif batik jenis ini biasanya eksklusif karena tidak ada persamaannya di pasaran.

Awal Mei lalu, misalnya Iman mendapat pesanan membuat batik bermotifkan putri keraton dari Yogyakarta. Motif putri keraton itu ingin dibuatkan dengan batik garutan.

Setelah bergelut dengan pmbuatan batik selama lebih dari 25 tahun, Iman juga membuat model baju batik yang coraknya divariasikan atau diberi sentuhan kreatif sesuai perkembangan mode terkini. Ini didasarkan pada fungsi kain batik yang makin meluas, Batik tidak hanya digunakan pemakainya untuk menghadiri acara resmi dan tertentu, tetapi biasa digunakan untuk kegiatan sehari-hari, seperti menjadi salah satu seragam kerja pada hari Kamis atau Jumat.

Bahkan tidak sedikit pihak dan komunitas batik secara terus menerus mencanangkan penggunaan batik. Tentu saja Iman bersukacita karena semangat ini sangat membantu upaya melestarikan tradisi batik.

 

Kompas , Senin 01 Juni 2015

Sulistyo Triantono Putro Jagoan Kredit Jamban Probolinggo

Jagoan-Kredit-Jamban-Probolinggo.-Kompas.18-Juni-2015.Hal.16

Tidak pernah terpikirkan oleh Sulistyo Triantono Putro (40), ia akan berkutat dengan limbah pabrik hingga kotoran yang dihasilkan manusia. Sanitarian di Puskemas Wonoasih, Kota Probolinggo, tersebut tidak hanya mengurusi kesehatan masyarakat. Lebih jauh lagi, kini ia lebih banyak mengurusi persoalan buang air besar orang lain

Oleh Dahlia Irawati

Seusai lulus kuliah, Anton, panggilan akrab Sulistyo Triantono Putro, melamar kerja di berbagai institusi. Ia bekerja di beberapa tempat. Terakhir , ia bekerja di PT Sasa Inti, Probolinggo, di bagian pengolahan limbah.

Bekerja selama lebih kurang 10 tahun di perusahaan bumbu masak tersebut, Anton mulai goyah. Situasi perusahaan, menurut dia , tidak lagi bisa membuat Anton berkembang sehingga ia memutuskan keluar dari pekerjaan itu pada 2009. Saat itu, Anton sudah menduduki jabatan supervisor.

Selepas dari perusahaan swasta tersebut, Anton dan istrinya mencoba melamar kerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Ketika itu, Anton hanya berniat menemani istrinya melamar kerja sebagai PNS. Namun, nasib berkata lain karena justru Anton yang diterima sedangkan sang istri tidak. Anton diangkat sebagai sanitarian di Puskemas Wonoasih.

Sebagai sanitarian, ia bertugas memberikan penyuluhan di klinik sanitasi Puskemas Wonoasih. Setiap warga datang ke Puskemas dengan kasus diare, DBD, cacing, TBC dan sakit mata, maka mereka akan dirujuk ke klinik sanitasi tersebut.

Di klinik ini, Anton bertugas menggali keterangan dari masyarakat mengenai kondisi tempat tinggal pasien,lingkungan sekitar, dan  melakukan kunjungan ke rumah untuk mengetahui kondisi lapangan. Dengan data yang diperoleh, Anton akhirnya bertugas mencarikan solusi agar warga tersebut bisa terhindar dari penyakit tersebut untuk kedua kalinya.

“rata-rata banyak kasus diare berulang. Setelah diteliti, rupanya memang kondisi sanitasi mereka masih memprihatinkan. Mereka masih BAB di sembarang tempat, termasuk di sungai dekat rumah mereka. Sedikit banyak perilaku BAB sembarang ini menjadi salh satu penyebab sakit mereka.” Ujar Anton.

Anton pun berpikir harus ada perubahan dalam perilaku masyrakat agar tidak mudah terserang diare. Salah satunya dengan memperbaiki sanitasi mereka.

Pelatihan

Secara kebetulan, pada 2011, Anton dikirim untuk mengikuti pelatihan dari Indonesia Urban Water Sanitation and Hygiene (IUWASH) USAID dalam program sanitasi total berbasis masyarakat (STBM).

Di sini, Anton dilatih untuk bisa memicu masyarakat memperbaiki perilaku BAB sembarang mereka. Selain itu, ia juga diarahkan untuk bisa menjadi wirausaha bidang sanitasi dengan mengusahakan jamban sehat bagi warga. Anton dilatih cara membuat jamban sehat, memanajemeni usaha pembuatan jamban,hingga mengatur sistem keuangan usaha tersebut.

“selama ini masalah warga tidak memiliki jamban karena terbentur persoalan biaya. Mereka takut pembuatan jamban butuh biaya besar, makanya,saya memakai sistem kredit agar bisa diakses banyak orang,”ujar ayah tiga anak tersebut.

Utang

Anton mulai memberikan kredit pembuatan jamban pada 2012. Usaha Anton ini dibantu empat orang teknisi lapangan dan sejumlah kolektor uang ( biasanya tokoh masyarakat setempat).

Modal Anton untuk memulai usaha jamban sehat adalah dengan menyisihkan uang Rp. 20 Juta, yang disisihkan dari peminjaman bank untuk membangun rumahnya. Kini, aset yang dimiliki Anton sudah berkembang hingga empat kali lipat dari modal awal tersebut.

Nasabah kredit pembuatan jamban yang diberikan Anton biasanya membayar uang muka Rp 300. 000. Selanjutnya, mereka mencici Rp. 100. 000 per bulan. Penagihannya dilakukan setiap minggu sebesar Rp. 250. 000.

Bentuk dan varian jamban sehat ala Anton bermacam-macam, mulai dari harga Rp. 1,5 juta, Rp.1,7 Juta, hingga Rp.2,2 Juta (memakai sistem filter modern).

Saat ini, nasabaj kredit jamban Anton mencapai sekitar 500 orang se kecamatan Wonoasih. Nasabah terbanyak masih di Kecamatan Wonoasih.

“ini hanya salah satu cara mengajak orang menuruti omongan saya. Saya tidak boleh hanya bisa omong , tetapi tidak bisa memberikan solusi. Kredit jamban ini adalah solusi bagi warga yang berat membayar tunai untuk membangun jamban,” ujar Anton.

Cara Anton mendekati warga bukanlah sekadar dengan ceramah. Ia mengajak warga memantau sungai secara langsung. Ia mengajak warga melihat lokasi BAB dan menegok “ampas-ampas” BAB secara langsung hingga mereka jijik bahkan muntah. Upaya tersebut sedikit banyak membuat warga mau diajak BAB di jamban.

“Saking seringnya warga melihat saya bicara tentang jamban, mereka pun menyebut saya master jamban. Saya senang, setidaknya masyarakat mulai menghargai jamban,” ujar suami Umi Wijayanti tersebut.

Upaya Anton menggeluti sanitasi masyarakat tidak lepas dari keprihatinannya pada perilaku masyarakat yang masih tradisional dalam BAB. Selama ini sejak kecil warga Probolinggo terbiasa BAB di sungai. Dan itu terbawa hingga turun-temurun.

Anton mengungkapkan, di kecamatan Wonoasih masih ada 4085 keluarga yang belum memiliki jamban dan ada 3009 keluarga buang air besar di sembarang tempat. Adapun tingkat akses sanitasi di Kecamatan Wonoasih masih sekitar 55,19 persen.

Di tingkat kota, tercatat masih terdapat 16,749 keluarga di kota Probolinggo belum memiliki jamban. Adapun 14.253 keluarga masih BAB di sembarang tempat , termasuk di sungai.

“Saya akan terus mengampanyekan sanitasi sehat. BAB di jamban jauh lebih sehat daripada BAB di sungai atau tempat lain. Saya ingin Probolinggo berubah. Dari kota kecil yang semula memiliki masalah sanitasi , menjadi kota percontohan sanitasi sehat. Ini bisa dilakukan kalau semua masyarakatnya mau mengubah perilaku dan kebiasaan,” ujar Anton.

Cita-cita Anton tersebut diakui tidak mudah. Ia harus terus bergerak mendekati warga untuk mendorong perubahan perilaku. Jika rata-rata PNS akan beristirahat dari kerjanya pada sore hari, Anton terus bergerak. Ia menghadiri sejumlah acara di masyarakat hingga tengah malam. Sasarannya satu, mendengungkan sanitasi sehat setiap saat.

 

Kompas, Kamis, 18 Juni 2015

Sugiharto Ternak Kambing Mengubah Hidupnya

Ternak-Kambing-Mengubah-Hidupnya.-Kompas.3-Juni-2015.Hal.16

 

Sebagai generasi muda yang lekat dengan internet, Sugiharto (39) memakai jejaring dunia maya sebagai sarana untuk menjalankan usaha beternak dan berdagang kambing peranakan ettawa. Meninggalkan transaksi konvensional di pasar tradisional, sejak tahun 2008 hingga sekarang, Sugiharto melayani permintaan transaksi jual beli dengan pelanggan melalui blog pribadinya.

OLEH REGINA RUKMORINI

 

Sugiharto lahir dan tinggal di salah satu desa di sentra peternakan kambing peranakan ettawa (PE), tepatnya di Desa Donorejo, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Sekalipun baru terjun pada usaha beternak kambing tahun 2001, Sugiharto bisa melaju. Ia tidak menjual kambing melalui pedagang, seperti yang dilakukan tetangga dan rekan-rekannya.

“Saya memilih tidak menjual ternak ke pasar lokal karena pemasaran dan penjualan ternak melibatkan rantai perdagangan yang sangat panjang dengan nominal keuntungan yang kurang maksimal bagi peternak,” ujarnya.

Dari blog pribadinya itu, kini dia mampu menjual 50 ekor hingga 150 ekor kambing PE per bulan, dengan capaian omzet Rp 25 juta hingga Rp 30 juta. Pembeli pun datang dari berbagai penjuru di seluruh Indonesia.

Sugiharto mengatakan, semuanya bermula tanpa sengaja. Berawal dari sekadar ingin berbagi informasi tentang cara beternak kambing PE, dia kemudian menerima banyak pertanyaanm konsultasi, yang akhirnya berlanjut pada permintaan ternak kambingnya sendiri.

Tahun 2008, ketika baru memulai membuat blog, dia sudah menjual 40 ekor kambing, dan pada tahun 2009, angka penjualan mencapai 117 ekor kambing. Tahun ini, sejak Januari hingga pertengahan Mei saja, dia sudah menjual 556 ekor kambing PE ke Pekanbaru, Lubuk Linggau, Gorontalo, dan Lombok.

Kepiawaian memanfaatkan internet untuk berbagi informasi dan berdagang ini membuat Sugiharto meraih penghargaan Internet Sehat Blog Award pada tahun 2010, dan akhirnya kerap diundang menjadi pembicara tentang blogpreneur di sejumlah tempat.

 

Cara berbeda

Dengan latar belakang pendidikan sarjana teknik elektro, dan punya pengalaman di organisasi penyelamatan satwa, serta jaringan relasi yang baik dengan dokter hewan, Sugiharto juga menempuh perawatan ternaknya dengan cara berbeda. Dia lagi-lagi memanfaatkan internet untuk konsultasi tentang perawatan ternak, termasuk konsultasi dengan dokter hewan.

Cara beternak yang berbeda bisa dibuktikan dengan datang langsung ke lokasi kandangnya, yang berada di samping rumah tinggalnya. Ada puluhan ekor kambing PE dalam kandang, tetapi keberadaan mereka sama sekali tidak mengeluarkan bau tidak sedap khas kambing, atau yang dalam bahasa Jawa sering disebut prengus. Bau ini dapat dicegah dengan cara menambahkan zat probiotik dalam makanan ternak.

Cara tidak biasa lain dilakukannya dalam hal mengatasi luka koreng pada kambing. Jika cara tradisional biasanya menggunakan belerang, Sugiharto menggunakan perhidrol, obat yang biasanya digunakan untuk menyembuhkan luka-luka pada penderita diabetes.

“Saya mendaoatkan ide memakai perhidrol setelah melihat perawat menggunakan obat itu untuk menanngani luka-luka penderita diabetes di rumah sakit,” ujarnya. Pemakaian perhidrol akhirnya baru diterapkan setelah dirinya berkonsultasi dengan dokter.

Pemberian pakan pun dilakukan dengan cara  berbeda. Ia mengolah pakan kering. Berbagai jenis bahan yang sudah mengering, seperti jagung, sisa tanaman padi, dan beragam tanaman lainnya, disimpan dalam tempat tertutup dan difermentasi dengan cara ditambahkan garam atau gula dengan takaran tertentu.

Pakan kering ini, menurut dia, menjadi cadangan pangan sepanjang tahun, terutama musim kemarau. Dengan melakukan ini, dia pun tidak pernah mengalami krisis pakan, dan tidak perlu melakukan apa yang kerap dilakukan petani lainnya, yaitu menjual ternak dengan harga murah saat musim kemarau.

 

Keluar dari pekerjaan

Setelah hanya berinvestasi, bermitra dengan petani plasma untuk mengurus ternaknya, pada tahun 2007 Sugiharto memfokuskan diri pada usaha peternakan. Dia pun keluar dari pekerjaan yang sudah digeluti selama delapan tahun di sebuah perusahaan mekanika elektronik.

Saat itu, salah satu alasan Sugiharto ingin berwiraswasta sebagai peternak kambing ialah karena dia ingin memenuhi keinginan ibunya, untuk berkumpul bersama keluarga di rumah.

“Dulu, ibu selalu mengingatkan bahwa percuma memiliki gaji besar jika akhirnya saya jauh dari keluarga, jauh dari anak dan isati,” ujar Sugiharto yang mengungkapkan bahwa ketika bekerja di Jakarta, anak dan istrinya tetap tinggal di kampung halaman, di Desa Donorejo.

Perlahan, permintaan sang ibu akhirnya bisa dipenuhi karena prospek usaha beternak kambing, setelah dihitung matang, juga cukup menggiurkan. Dulu, dengan memiliki 20 ekor kambing yang dipelihara oleh petani plasma saja, Sugiharto mampu mendapatkan penghasilan tambahan Rp 4,3 juta, sekitar separuh dari penghasilannya bekerja di Jakarta.

“Waktu itu, saya Cuma berpikr, kalau saya menambah investasi dengan menambah jumlah ternak kambing, maka saya bisa mendapatkan penghasilan sama besarnya dengan gaji di Jakarta. Sekaligus, saya bisa berkumpul bersama keluarga di kampung,” ujarnya.

Ia sempat putus asa saat mulai mandiri, tetapi akhirnya dia urungkan, apalagi ketika ada badan usaha milik negara (BUMN) yang ingin melakukan program corporate social responsibility (CSR), dengan melakukan pelatihan usaha peternakan di rumahnya selama enam bulan. Dari kegiatan inilah, nama Sugiharto semakin dikenal. Selanjutnya, banyak perusahaan, instansi, sekolah, dan universitas akhirnya ramai melakukan program pelatihan, penelitian, di rumahnya.

Tahun 2014, di kabupaten Purworejo, dia mendirikan unit usaha yang baru diberinya nama CV Gunungkelir Cipta Mandiri. Ini adalah perusahaan bergerak di bidang agrikultur, tetapi sekaligus juga sebagai event organizer.

Tidak hanya itu, dia pun perlahan mulai merancang paket wisata dan membantu mengembangkan desanya menjadi desa wisata. Setiap Kamis, setiap orang yang datang bisa menkmati wisata panglipuran atau penghiburan dengan minum kopi dan menikmati alunan musik gamelan di gubuk yang dibuat di halaman rumahnya sendiri. Kopi yang disajikan adalah kopi asli dari petani di sekitarnya.

Dengan melibatkan siswa SMP dan SMA di desanya sebagai pemandu wisata, dia juga mengembangkan ragam wisata lainnya, seperti trekking, melihat matahari terbit, bird watching, paket wisata dengan berkemah, serta paket wisata menyusuri Perbukitan Menoreh dengan jip, motor trail, atau dengan sepeda gunung. Ada juga paket wisata caving, menjelajag goa-goa yang ada di sekitar Kecamatan Kaligesing.

Sejak memulai program desa wisata pada tahun 2012, saat ini jumlah wisatawan yang datang ke Desa Donorejo mencapai 200 orang, termasuk peneliti yang datang untuk meneliti goa dan lapisan karst.

SUGIHARTO

▪ Lahir : Purworejo, 24 Februari 1976

▪ Pendidikan : Sarjana Teknik Elektro Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

▪ Istri : Sujiyem (38)

▪ Anak :

  • Nurin Maulia Arsi (13)
  • Fathan Maulana Arsi (5)

UC Lib-Collect

Kompas. Rabu. 3 Juni 2015. Hal. 16

Asrul Datuk Kodo Penjaga Terakhir Seni Sijobang

Penjaga-Terakhir-Seni-Sijobang.-Kompas.-4-Juni-2015.-Hal.16

Pernah dianggap gila saat mulai mempelajari Sijobang, dia kini menjadi penjaga terakhir salah satu dendang khas Minangkabau itu. Saat usianya bertambah, sementara tak ada generasi muda yang mau mempelajari Sijobang, keresahan menyelimuti Asrul Datuk Kodo (63). Seni ini suatu hari akan kehilangan penerus.

OLEH ISMAIL ZAKARIA

Pertengahan Mei lalu, di sebuah warung di Nagari Simpang Sugiran, Kecamatan Guguk, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat, beberapa warga duduk santai sambil menikmati kopi. Asrul salah satu diantaranya. Pada siang yang sejuk di wilayah di bawah deretan perbukitan, Asrul mengenakan celana hitam dan batik coklat. Peci hitam tidak tertinggal.

“Saya belum tidur dari semalam. Ada pertunjukan randai (teater tradisional Minangkabau) hingga larut malam. Tapi tak masalah, saya masih tetap bersemangat bicara tentang Sijobang,” kata Asrul setelah menyeruput kopi hitamnya sebagai penahan kantuk.

Asrul lalu mengambil satu kotak korek api yang dibeli dari warung samping rumahnya. Dia mengeluarkan sebagian isinya. Katanya, kalau penuh, kotak korek api itu tidak akan bisa berbunyi.

Kotak korek api tidak penuh itu penting karena dalam membawakan seni dendang khas Minangkabau itu, Asrul menggunakan bunyi korek api sebagai pengiring. Menurut dia, Sijobang juga bisa diiringi dengan alat musik lain seperti kecapi dan rebab (alat musik gesek).

Seperti siang itu, Asrul memegang korek api dengan tiga jarinya, kemudian mengentakkannya ke lantai kayu. Pergesekan antara batang korek api di dalam kotak menghasilkan bunyi. Bersamaan dengan gerakan korek api, ia mulai berdendang. Dia juga mengentakkan kaki kanannya ke lantai sehingga tercipta alunan yang padu dengan bunyi korek api dan dendang.

“Kisah Anggun Nan Tongga memang tidak sebentar. Karena itu, dendang ini dinamakan Sijobang yang berarti cerita yang panjang. Tahun 1975 sampai 1976, dendang ini pernah direkam Prof Nigel Phillips dari Universitas Cambridge dan menghabiskan 64 buah kaset,” tutur Asrul.

Asrul menceritakan, dia mulai belajar Sijobang tahun 1970 pada usia 18 tahun. Keinginannya muncul karena warga memintanya menghidupkan kembali Sijobang. Di kampungnya, Nagari Sungai Talang , Kecamatan Guguk, tidak ada lagi Tukang Sijobang, sebutan untuk pendendang Sijobang. Tukang Sijobang terakhir di sana adalah Pak Etek (paman) yang meninggal pada 1950.

“Saya berguru kepada Tukang Si Jobang yang tinggal di Nagari Kuranji, sekitar 6 kilometer dari kampung saya. Beliau kebetulan murid almarhum paman saya,” kenang Asrul.

Kala itu, untuk mempelajari Sijobang, sejumlah syarat harus dibawanya seperti kain putih 1 helai, beras 1,8 kilogram, pisau tajam, cabe 1 kilogram, garam dan ayam putih. Benda-benda itu bukan sekadar syarat, tetapi memiliki makna masing-masing.

Kain putih, melambangkan hubungan yang tulus antara guru dan murid. Pisau tajam agar ilmunya mempan dan bermanfaat. Beras agar apa yang dipelajarinya berkembang. Ayam agar rajin ia terus berlatih. Cabe dan garam agar dendangnya punya rasa. Ayam putih yang dibawa disimpan untuk dipelihara sang guru dan tidak boleh dijual.

“Saya belajar dua kali seminggu, Rabu dan Sabtu malam. Dendangnya tak pernah saya tulis. Tapi harus dihafal. Jadi sistemnya, guru bercerita dan saya mendengar. Jadi benar-benar harus fokus. Kalau tidak, bisa terlewat pelajarannya,” lanjut Asrul.

Agar tak lupa, begitu pulang dari rumah sang guru, Asrul mengulang apa yang di dengarnya. Setiap hari ia mendengarkannya. Di tempat tidur, di kamar mandi, di jalan, hingga di warung-warung. Kebiasaannya yang hampir setiap hari berdendang Sijobang membuat sebagian warga menyebutnya gila.

“Kalau tiba di kedai kopi atau di keramaian, pasti ada yang bilang ‘Ayo nyanyi’. Kalau di Minangkabau, itu bukan permintaan, melainkan ejekan. Tapi saat itu saya tidak peduli dengan ejekan warga. Tiap diminta, saya akan langsung berdendang,” lanjutnya.

Sebutan “gila” karena Sijobang sempat membuat sang ayah melarang kegemarannya berdendang.

 

Setelah masa jaya

Setelah belajar satu tahun bersama sang guru, Asrul kemudian diajak berkeliling mengikuti pentas sang guru. Sijobang kala itu menjadi iburan wajib bagi acara pesta pernikahan, sunatan, dan lainnya. Berkeliling bersama guru berlangsung selama empat tahun.

“Pada tahun 1973, saya berkesempatan tampil untuk pertama kali pada salah satu acara di Tiakar Payobasung, Kabupaten Limapuluh Kota. Saya sempat ragu, tapi karena sang guru memberikan kepercayaan. Saya ambil dan pertunjukannya lancar semalam suntuk,” tutur Asrul tersenyum.

Sejak saat itu, Asrul rutin mendapat undangan untuk membawakan Sijobang. Undangan semakin banyak saat sang guru menyatakan tak mau lagi menjadi Tukang Sijobang karena faktor usia. Tahun 1976, sang guru meninggal dunia dan membuat Asrul menjadi satu-satunya Tukang Sijobang.

“Saat itu, saya benar-benar laris manis. Pernah satu bulan saya tidak tidur di rumah karena harus berkeliling. Kondisi itu berlangsung hingga awal tahun 2000-an,”kenangnya.

Asrul menuturkan, untuk satu kali tampil yang dimulai dari pukul 21.00 hingga pukul 05.00, dia dibayar Rp 15.000. Angka yang besar untuk tahun 1976. Dengan bayaran sebanyak itu, Asrul bisa menghidupkan keluarga, membeli sawah, dan lainnya.

“Saya bisa hidup dan bertahan dengan sebuah korek api. Dasri sana saya belajar, mengerjakan sesuatu jangan tanggung-tanggung. Apa pun usaha, pekerjaan, harus tekun,”kata Asrul yang diundang tampil di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) tahun 2000.

Asrul menuturkan, ketekunanya pada Sijobang tidak hanya bisa untuk menafkahi keluarga. Dari kisah “Anggun Nan Tongga”, ia menemuka banyak pelajaran hidup.

“Kisah dalam Sijobang sangat kaya kaan nilai moral. Dia (Sijobang) mengajarkan tentang kecerdikan, keberanian, tanggung jawab, kasih sayang sesama manusia, dan lainnya,”kata Asrul.

Asrul kini resah. Tidak sekadar soal berkurangnya undangan untuk menampilkan Sijobang seiring makin banyaknya pilihan musik yang lebiih instan. Asrul resah karena keberlanjutan seni yang dikuasainya hampir 45 tahun itu.

“Saya terbuka bagi siapapun yang mau belajar serius. Tapi sampai sekarang, tidak ada yang mau belajar. Sempat ada mahasiswa yang datang danbilang mau belajar. Namun hanya semalam, setelah itu tidak kembali lagi. Anak pria saya juga bilang mau belajar, tapi sama saja. Untuk hal itu, saya tidak bisa memaksa dia juga,” kata Asrul.

Asrul juga sudah mengusulkan ke sejumlah kampus seperti Universitas Andalas dan Institut Seni Padang Panjang agar seni Sijobang dimasukkan dalam kurikulum. Sayang, sejauh ini belum ada tanggapan.

“Seni Sijobang mungkin akan bernasib seperti peribahasa, mati tidak ada kuburnya, hilang tidak tentu hutannya. Karena itu, selagi saya masih hidup, kalau ada yang mau belajar, silakan. Saya akan sangat senang,” tuturnya.

 

ASRUL DATUK KODO

▪ Kelahiran : Tahun 1952

▪ Istri : Nur Baiti (Almarhumah)

▪ Anak :

  • Armiati (43)
  • Andrianto (39)

▪ Pendidikan : Sekolah Rakyat (SR) tahun 1958

UC Lib-Collect

Kompas. Kamis. 4 Juni 2015. Hal. 16