Karim Aristides Pemburu Durian “Baru” Nusantara

Pemburu Durian Baru Nusantara. Kompas. 28 Juli 2015.Hal.16

Jika saja durian di ladang seorang transmigran di Prafi, Manokwari, Papua, itu tidak ditemukan Karim Aristides (52), seorang penjelajah(“explorer”) hutan durian Nusantara, pakar durian internasional tak akan mengenal durian pelangi. Durian pelangi asal Manokwari, Papua, itu di dunia hanya ada di Indonesia.

Pria kelahiran Prabumulih, Sumatera Selatan, tahun, 1963, inilah yang menemukan durian pelangi menjelang akhir 2009. Karim yang hobi mengeksplorasi durian ini berkeliling Nusantara durian ini berkeliling Nusantara mencari plasma nutfah durian terbaik. “Sejak 2004, saya mulai keliling Sumsel, Sumut berbatasan dengan Aceh, Riau, Sumatera Barat, Lampung, Bangka, Kaltim, Kaltara, Kalbar, Halmahera, Ternate, hingga Papua Barat,”kata Karim.

Sejak pulang dari studi di Berlin, Jerman, tahun 1995, Karim menetap di Jayapura, Papua, hingga sekarang. Setelah Sembilan tahun berwiraswasta di bidang kontraktor, penyuplai, dan penyalur bahan bangunan, hobinya akan durian sejak kecil kembali menggelora. Kali ini semangatnya adalah mencari plasma nutfah durian Nusantara yang terbaik. Hal itu dikemukakan Karim dalam sebuah perbincangan pertengahan Juli lalu.ria kelahiran Prabumulih, Sumatera Selatan, tahun, 1963, inilah yang menemukan durian pelangi menjelang akhir 2009. Karim yang hobi mengeksplorasi durian ini berkeliling Nusantara durian ini berkeliling Nusantara mencari plasma nutfah durian terbaik. “Sejak 2004, saya mulai keliling Sumsel, Sumut berbatasan dengan Aceh, Riau, Sumatera Barat, Lampung, Bangka, Kaltim, Kaltara, Kalbar, Halmahera, Ternate, hingga Papua Barat,”kata Karim.

Menutrut Karim, setelah lima tahun berkeliling susah payah dengan dana sendiri, akhirnya pada Desember 2009 dia menemukan durian yang semula disebut- sebut sebagai”buah hantu”. Orang di daerah transmigran itu tidak berani memakan karena warna buah durian itu warna- warni, tidak hanya kuning seperti kebanyakan jenis durian yang ada.

“Setelah lokasi tepatnya dan pemilik durian itu saya ketahui, saya sewa mobil meluncur ke Prafi, lokasi daerah transmigrasi yang terletak sekita 72 kilometer dari Manokwari,” kata Karim.

Pemilik pohon durian itu bernama Sunarto, asal Pulau Jawa. Pohon induk durian itu ditanam alamarhum ayahnya. Bibitnya juga berasal dari Jawa. “Kebetulan di atas pohon masih ada buah duriannya. Saya minta diambilkan. Begitu dijatuhkan dari atas pohon, durian itu saya belah. Begitu terbelah, terpampang gradasi warnanya. Seperti mendapat bisikan halus, secara spontan terucaplah sebuah nama yang indah untuk durian ini, yakni durian ‘pelangi’ karena dagingnya yang warna- warni,”kata Karim seraya menambahkan bahwa rasa durian pelangi lezat dan aromanya tidak menyengat. Wanginya sangat lembut seperti wangi caramel.

Durian pelangi inilah yang ikut mengharumkan nama Indonesia dalam Simpisium Durian Internasional I di Chanthaburi, Thailand, awal Juni lalu. Peserta symposium sangat kaget ketika Dr Ir Reza Tirtawinatam pakar buah- buahan tropis dari Indonesia yang juga Ketua Yayasan Durian Nusantara (YDN), memaparkan durian pelangi asal Papua dan durian merah asal Banyuwangi ( kompas 14/7)

Mahkota raja buah

Temuannya tersebut lalu difoto dan dikirimkan kepada Reza untuk dipromosikan. “Kalau buah durian disebut sebagai rajanya buah- buahan, maka durian pelangi yang ditemukan Karim ini ibarat mahkotanya raja buah,”kata Reza tentang temuan Karim itu.

Sejak durian pelangi ditemukan, Karim secara rutin mengamati durian. Bahkan, dia kemudian berupaya menyebarkan durian pelangi ini dengan cara membagi pucuk rating (entries) kepada penangkar buah untuk diperbanyak. “Durian pelangi sudah didaftarkan ke Kementrian Pertanian sehingga bibitnya dapat disebarluaskan, sementara untuk mengamankan cirri genetiknya sudah diperiksakan DNA-nya di Korea Selatan,” katanya.

Durian pelangi, menurut Karim, memiliki keunggulan, seperti bisa berbuah rutin dua kali dalam setahun, sanggup membuahi sendiri dalam setahun, sanggup membuahi sendiri dalam satu pohon tanpa perlu penyerbukan silang dari pejantan pohon laiinya.

“Pohon induknya sanggup berbuah ratusan buah dalam semusim, dan daya tahan simpan buah bisa lima hingga enam hari,” kata Karim seraya menambahkan bahwa ribuan bibit durian pelangi telah disebarkan kepada penangkar tanaman buah- buahan di daerah- daerah dalam upaya menyebarluaskan durian unggul Nusantara.

Dari pengamatannya terakhir, pertumbuhan bibit- bibit durian pelangi yang Karim edarkan ke Medan, Nunukan, Bangka, Bogor, dan Magelang pada 2011 dan 2012 sangat adaptif dan cepat bongsor dibandingkan dengan bibit durian laiinya.

“Penyebaran pertama yang kini sudah berusia tiga tahun delapan bulan adalah di Muntok, Bangka,” kata Karim seraya berharap setengah tahun lagi bisa mulai berbunga.

Karim, yang juga salah satu dari enam pendiri YDN ini, menyimpulkan, keunggulan komparatif durian pelangi ini belum disamai oleh durian lain. Bagian daging buah durian pelangi yang dapat dimakan mencapai 37 persen, sementara durian monthing hanya 30-32 persen, apalagi durian lokal yang hanya 20-25 persen.

Wanginya lembut

Karim yakin, jika Indonesia sudah punya teknologi pasca panen yang modern, pasti durian pelangi bisa di ekspor ke Jepang, Korea, Australia, dan Amerika Serikat. “Selain karena wanginya sangat lembut seperti wangi karamel, juga faktor bobot buah, rata- rata 1,5 kilogram per bua, menjadikannya sebagai buah ideal, pas untuk dua orang dewasa sekali makan. Tidak seperti durian monthong yang beratnya 3-5 kilogram per buah sehingga tidak ideal untuk orang- orang di negara maju yang rata- rata hidup sendiri di apartemennya karena tidak bisa dihabiskan sekali makan,” kata Karim.

Karim menambahkan, lima tahun ke depan durian yang berwarna eksotis pasti bisa memainkan peranan besar di pasar ekspor dunia. Karena itu, Karim mengimbau pekebun di Indonesia percaya diri menanma durian pelangi, jangan hanya terus- menerus mengekor tanam plasma nutfah durian negara lain.

Saat ini, Karim dan YDN mengajak pekebun besar swasta untuk menikmati aneka macam durian di  areak plasma nutfah durian terbaik Indonesia, bahkan terbaik di dunia, yakni di Balaikarangan, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. “DI balaikarangan ini saya menemukan durian yang daging buahnya supertebal hingga 3,5 cm,”. kata Karim seraya berharap ke depan Indonesia tiak lagi mengimpor durian dari negara lain, tetapo mampu mengekspor durian ke mancanegara.

Sumber: Kompas,28,Juli 2015_Hal 16

Kukuh Pribadi Mentor Perajin Akik di Timor Tengah Utara

Mentor Perajin Akik di Timor Tengah Utara. Kompas.23 Juli 2015.Hal.16

Ia kelahiran dan asal Rejotangan, Tulungagung, Jawa Timur. Namun, ayah dua anak itu ternyata sangat akrab di kalangan warga Nian, sebuah desa di Kecamatan Miomafo Tengah, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur. Kiprahnya membuatnya berarti di tanah yang jauh dari tempat lahir dan tempat asalnya.

OLEH FRANS SARONG

Dia adalah Kukuh Pribadi (47). Dia sudah menetap di Kafemenanu atau Kefa, kota Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), sejak lima tahun lalu. Pilihan pindah ke Pulau Timor bagian Nusa Tenggara Timur (NTT) itu sepenuhnya karena pesona batu akik yang terkandung dalam perut bumi pulai tersebut, terutama di kawasan Nian dan sekitarnya.

Nian adalah satu dari empat desa dan satu kelurahan di Miomafo Tengah. Posisinya sekitar 7 kilometer sebelah barat Kefa yang merupakan kota Kabupaten TTU, atau kurang lebih 200 km arah timur dari Kota Kupang.

Meskipun jauh, bepergian hingga Nian dijamin nyaman karena melintasi jaringan jalan beraspal mulus. Menariknya lagi, pelintasan itu merupakan penggalan jaringan jalan sekitar kawasan tapal batas dengan Oekursi di sebelah utara TTU dan Kabupaten Kupang, Oekusi adalah wilayah “kantong” Timor Leste, negara baru yang lepas dari Indonesia melalui jajak pendapat tahun 1999.

Domisili Kukuh sejak 2010 memang di Kefa. Namun, hampir setiap hari, dia tinggal bersama para perajin batu akik di Nian dan sekitarnya. Bagi warga Nian, terutama para oerajin, sebutan untuk pria kelahiran 2 Maret 1968 itu tidak hanya sebatas kolektor atau penggila batu akik. Ia lebih dikenal sebagai mentor bahkan mentor plus bagi para perajin setempat.

Kultur Baru

Mengutip penuturan sejumlah oerajin di Nian, Jumat dan Sabtu (18/7) lalu, Kukuh pada awalnya giat memberikan pelatihan kepada kelompok warga agar memilki keterampilan sebagai perajin batu akik. Tentu saja ini merupakan kultur usaha baru karena masyarakat Nian dan sekitarnya sejak lama adalah petani lahan kering, peternak dan juga belakangan sebagai pengais mangan.

Karena bahan baku berserakan hinggahalaman rumah, maka fokus pelatihan adalah bagaimana memotong jenis batuan yang dipastikan sebagai akik. Warga juga dilatih bagaimana menggosok potongan batu akik hingga berbentuk butiran indah berkilau dan siap dipasarkan.

Kukuh tidak hanya memberikan pelatihan secara gratis. Untuk tahap awal, ia secara gratis pula membantu peralatan kera berupa mesin potong dan mesin gosok masing-masing satu unit per kelompok. Kelompok perajin binaannya ada lim, empat di antara nya di Nian dan satu lainnya di Kefa.

Menrut catatan Nian dan sekitarnya kaya dengan kandungan batu akik berkualitas istimewa. Di antaranya jenis lavender, kecubung, merah maron, bacan timor, biosolar, merah delima, giok timor, safir, dan pacawarna. Lainnya, serat nanas, kuda laut, kelepek daun, mani gajah, sarang tawon, pandan kristal, sulaiman, junjung drajat, dan tapak jalak. Para perajin menyebutkan, akik Nian. Yang selalu menjadi buruan penggila atau kolektor adalah buruan penggila atau kolektor adalah enam jenis kelompok pertama tersebut.

Kata Kkukuh, kalau warga Nian sudah terampil sebagai perajin dan didukung peralatan kera memadai, mereka akan sekaligus menjadi penjaga kekayaan daerahnya. Batu akik yang keluar dari desanya sudah berupa butiran indah siap pakai dengan nilai ekonomi tinggi, atau tidak lagi berupa bongkahan.

“Dengan demikian, sampai kapan pun nilai tambah usaha batu akik tetap menetes bagi warga setempat. Pada saatnya pula Nian bakal menjelma menjadi sentra kerajinan batu akik di Timor sekaligus obyek wisata bagi pelancong minat khusus,” tutur kukuh, Sarjana Pnedidikan Luar Sekolah IKIP Malang tahun 1990.

Desa Nian kini berkependuduk 468 keluarga atau 1.761 jiwa. Seperti diakui Kepala Desa Nian, Agustinus Toan, sebagian besar warganya belakangan ini menekuni kerajinan batu akik, entah secara perorangan atau bergabung dalam kelompok. Aktivitas bau itu sekaligus menggusur usaha mengais mangan bahkan agak menepikan usaha ekonomi lainnya.

Kaum ibu bahkan anak-anak usia sekolah juga ikut mencari batu akik sebagai bahan baku usaha kerajinan itu. Pekerjaan mendapatkan batu akik untuk saat ini relatif mudah karena masih berserakan di permukaan tanah, bahkan hingga sekitar rumah.

“Banyak warga menjadi perajin batu akik. Usaha kerajinan batu itu pula secara perahan tumbuh menjadi sumber perlahan tumbuh menjadi sumber ekonomi baru bagi warga setempat,” tutur Agustinus.

Sejumlah perajin mengakui, dampak demam akik terhadap ekonomi mereka mulai terasa. “Kebutuhan sehari-hari di termasuk biaya anak sekolah selalu bisa diatasi pada waktunya,” kata Damasus Bifel (37) perajin yang juga Ketua Kelompok Nekmese di Nian.

Bermodalan masing-masing satu unit mesin potong dan mesin gosok Damasus bersama lima anggota kelompoknya mengolah bebatuan menjadi akik. Dalam sehari, ada satu-dua butir akik siap pakai yang laku terjual. Harganya bergantung motif dan jenis, namun minimal Rp 50.000 per butir. Total hasil selama sebulan dibagi rata setelah dikurangi Rp 150.000 untuk perawatan dan pembelian suku cadang mesin.

Contoh lain dari dampak perubahan ini adalah Hilarius Tefa, perajin yang merasa enteng mengirimkan seorang anaknya menjadi mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat di Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang. “Biaya kuliah sepenuhnya dari hasilan menjual batu akik,” tutur Hilarius.

Kukuh dan sejumlah kolektor lain mengakui kualitas akik Timor khususnya Nian sejatinya mampu bersaing bahkan diseut-sebut sebagai yang terbaik di Indonesia. Namun, keunggulan itu belum menjadi jaminan untuk perbaikan harga karena akik daerah ini belum didukung sertifikasi khusus yang diterbitkan Badan Geologi. Sertifikasi iru harus berpejuangkan pemerintah daerah setempat.

“Kalau sudah disertifikasi, saya jamin Nian atau Timor umumnya akan mengalahkan akik sejenis dari daerah lain. Harganya pun pasti langsung melonjk tajam, apalagi kalau butiran akiknya menjadi mata cincin elite bangsa kita,” kata Kukuh.

KUKUH PRIBADI

  • Lahir : Rejotangan, Tulungagung, Jawa Timur, 2 Maret 1968
  • Istri : Sulastri
  • Anak : Galuh Rimadevi dan Rara Mayang Rahmadhany.
  • Pendidikan :
  1. SD Negeri 1 Rejotangan (1980)
  2. SMP Negeri 2 Tulungagung (1983)
  • SMA Negeri 1 Tulungagung (1986)
  1. S-1 Pendidikan Luar Sekolah IKIP Malang (1990)
  2. Jabatan : “Mentor Plus” bagi perajin batu akik Desa Nian dan sekitarnya di Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT

 

Sumber: Kompas.23-Juli-2015.Hal_.16

Leonard Theosabarata Berproses untuk Inovasi dan Kreasi

Berpose untuk Inovasi dan Kreasi. Kompas. 24 Juli 2015.Hal.16

Dari pembicaraan sekitar tiga jam di ruang rapat yang bersih dan kosong karena tengah libur Lebaran, diambil kesimpulan bahwa industri kreatif Indonesia di masa mendatang akan didominasi dan digerakkan oleh para perempuan. “perempuan lebih banyak punya waktu,” ujar leonard Theosabrata di pabrik furniture seluas 1,5 hektar yang sebagian lahannya dijadikan ruang karya Indoestri di Rawa Buaya, Jakarta Barat, Selasa (21/7).

        Oleh Wisnu Nugroho

 

NAMA: LEONARD THEOSABARATA

LAHIR: Jakarta, 26 Juli 1977

Menikahi Irene Yuliana dan memiliki tiga anak

SEKOLAH: Fakultas Desain Produk di Art Center College of Design,    Pasadena, California (2002)

PENDIRI: Indoestri, Accupunto, Brightspot Market ( ikut mendirikan), dan The Goods Dept (ikut mendirikan)

PENGHARGAAN: Red Dot Design Award (2003), Good Design Award Japan (2005), Wallpaper Design Award kolaborasi dengan Michael Young (2009), Desain LOOP yang dibuatnya dengan inspirasi elemen air dipilih TOTO, dan Pimpinan Proyek F-pods di FX Lifestyle Center Jakarta.

 

 

Kesimpulan Leonard yang tengah berbahagia karena anak ketiganya seorang perempuan itu, diambil dari aktivitas indoestri yang didirikan dan dijadikan tempat berproses komunitas kreatif setahun terakhir. Jika awalnya setiap kelas yang dibuka setiap akhir pekan di dominasi laki-laki, kini dominasi itu bergeser. “Belakangan ini, 80 peserta pelatihan adalah perempuan. Kecenderungan ini terlihat konsisten,” ujar Leonard.

Soal lebih banyaknya waktu, mungkin ada benarnya. Untuk sasaran peserta pelatihan berusia sekitar 20-40 tahun, perempuan memang lebih banyak waktu dibandingkan laki-laki. Di usia itu, karena tuntutan sosialnya, laki-laki harus segera bergegas untuk banyak hal. Salah satunya memiliki pekerjaan tetap lantaran tuntutan lain sebagai kepala keluarga, misalnya. Dengan kasadaran ini, Leonard yang ikut mendirikan Bightspot yang telah melahirkan sekitar 1.000 brand  merancang kampanye baru untuk Indoestri yang dari luar terlihat kusam karena berdebu ternyata menyediakan banyak ruang terbuka untuk setiap individu atau komunitas kreatif berproses dengan self-made sebagai keyakinannya.

“Ini adalah pabrik furnitur yang masih berfungsi. Saya pakai sebagian lahannya untuk Indoestri. Rawa buaya saya pilih karena sebagai orang Jakarta Barat, saya ingin membangkitkan local pride. Untuk keren, tidak harus ke Jakarta Selatan. Di Jakarta Barat dan wilayah lain mana pun bisa,” kata Leonard yang menjadi salah satu pendiri ritel produk-produk berkualitas The Goods Dept yang hadir di empat pusat belanja ternama di Jakarta. Membuka pelatihan membuat produk setiap akhir pekan dengan pengajar dari banyak tempat dan keahlian khusus menggunakan materi kayu, logam, kulit, tekstil, dan kertas, Indoestri hendak menjawab persoalan di Brightspot dan The Goods Dept. Persoalan berupa kesanggupan berdayatahan, konsisten, dan menjadi pemain di kancah dunia adalah persoalan industri kreatif di indonesia pada umumnya.

“Banyak brand lokal lahir dan tumbuh. Brightspot, misalnya, telah melahirkan seribuan brand. Namun, yang betul-betul menjadi besar dan mendunia tidak banyak. Ini mengantar saya untuk menengok kondisi local player industri kreatif kita. Ada apa?” ujar Leonard. Berbicara tentang industri kratif, Leonard adalah salah satu dari belasan orang yang duduk menggagas kelahirannya di era akhir periode pertama pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Leonard muncul dalam upaya kampanye memproduksi dan mencintai produk-produk Indonesia dengan tema “Karya Indonesia adalah Kita” yang dikeluarkan Kementrian Perdagangan tahun 2010.

Kebanggan Lokal

Tumbuh menjadi remaja di Jakarta Barat dengan kekhasannya di tahun 1990-an, Leonard lalu melanjutkan sekolah empat tahun di Art Center College of Design (Desain Produk), Pasadena, Califronia. Dua belas tahun malang melintang sebagai konsultan desain dan menjalankan banyak proyek pribadi yang digandrunginya dibanyak tempat, Leonard lantas menoleh ke tempatnya tumbuh, Rawa Buaya. Keinginan menumbuhkan local pride memanggilnya.

Pabrik furnitur milik keluarganya lantas dijadikan tempat menggagas dan berproses untuk menjawab persoalan besar yang didapatinya di Brighspot dan The Goods Dept. “Banyak kritik dialamatkan ke saya, kenapa The Goods Dept makin banyak diisi brand asing. Sulit bagi saya menjawab. Faktanya, brand asing lebih berdaya tahan, mampu menjaga kualitas dan permintaan sesuai waktu,” katanya.

Leonard mengakui, ada beberapa brand lokal yang mampu mendunia. Ada belasan brand yang bagus dan bisa bertahan. Namun, jumlah itu tidak memadai. Terlebih melihat pasar makin terbuka dengan pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tahun 2015 dan jumlah kelas menengah Indonesia pada 2020 yang akan mencapai 160 jutaorang. “Bagaimana kesiapan kita keluar mengambil pasar yang terbuka itu. Jujur, tanpa MEA pun, pasar kita sudah diambilnya,” ujarnya resah.

Namun, upaya ayah tiga anak yang begitu riang menceritakan tugasnya sebagai orangtua menjawab persoalan brand lokal di Indoestri setahun terakhir tidak serta merta membawa hasil juga. Sebuah upaya lanjutan tengah digagas di jeda libur hari raya Idul Fitri untuk menjawab persoalan kenapa tidak segera bermunculan brand lokal yang mendunia dari Indoestri. Benar bahwa Indoestri telah menjadi dari kebanggaananak-anak muda di Jakarta Barat dan sekitarnya. Tiap minggu, 40-50 peserta pelatihan mendaftar dan ikut kelas sepanjang hari dengan biaya berkisar antara Rp. 500.000- Rp. 1.500.000. setahun berjalan, sudah lebih dari 1.500 peserta pelatihan berproses di Indoestri dengan mengalaminya langsung. Tiap bulan, follower instagram @indoestri bertambah sekitar 1.000.

“Gerakan untuk berproses dengan semangat self-made juga telah muncul. Namun, ini telalu lambat buat saya. Belum banyak brand keren keluar dari Indoestri. Ada problem. Kami tidak mau jadi dagelan atau olok-olok bahwa Indoestri Cuma untuk keren-kerenan doang,” papar Leonard.

Di tengah persoalan yang hendak dipecahkannya ini, Leonard kemudian juga berproses dengan mulai membangun brand dari nol. Adalah kebiasaannya untuk mengetahui persoalan dengan mengalami langsung, seperti blusukan mencari bahan ke pasar Cipadu dan Cipulir , tangan alergi karena terpapar pengencer cat, tangan terluka karena alat-alat kerja. Ia kerap cemas dengan kemudahan dan bayaknya dukungan untuk sebuah proses sehingga mengabaikan semangat self-made.

Kini dengan pemahamannya tentang industri kreatif dan pengalamannya bertahun-tahun di Brightspot dan The Goods Dept, Leonard mencoba fokus di Indoestri bersama belasan orang untuk melahirkan brand-brand dan membangun komunitas yang bisa menjawab persoalan yang dihadapinya juga di Brightspot dan The Goods Dept.

Soal dukungan pihak lain, seperti pemerintah dan perbankan, Leonard yang yakin betul dengan self-made tidak terlalu menuntut. Ia hanya hendak fokus menggeluti bidangnya dan menjawab semua kegelisahannya. Bersama sejumlah ahli, Leonard tengah merancang kurikulum untuk menampung 20 peserta didik terseleksi secara berkala sebagai ruang berproses mewadahi. Leonard yakin, kemauan dan kemampuan orang berproses akan memampukan orang tersebut berinovasi dan berkreasi.

 

Sumber: Kompas.-24-Juli-2015.Hal_.16

Sidiq Raharjo Tersenyum Bersama Jamu

Tersenyum-Bersama-Jamu.-Kompas.13-Juli-2015.Hal.16

Jamu adalah salah satu warisan nenek moyang yang sangat populer karena diturunkan dari generasi kegenerasi dan terus dihidupi masyarakat. Tetapi, ke kaliurang yang letaknya lebih dari 20 kilometer ke luar Yogyakarta hanya untuk minum jamu?

OLEH NINUK MARDIANA PAMBUDY

Nyatanya itu yang kami lakukan. Menembut lalulintas cukup padat dari arah kampus Universitas Gadja Mada (UGM), Yogyakarta, membutuhkan kesabaran.  Dalam perjalanan lebih dari 30 menit it uterus muncul pertanyaan di kepala, jamu  macam apa yang disajikan sehingga orang mau bersusah  paya meminum segelas atau dua gelas jamu di sana. Prof Dr Warsito, ahli flu burung dari UGM, jamu disana berbedah dari tempat lain.

Rasa penasaran terjawab saat tiba di Merapi Farma Herbal. Dari jalan kaliuarang  kilometer 21.5, Hargobinangun, pekem, sleman tempat itu seperti rumah makan biasa. Ada bangunan tembok apik dengan ruang terbuka berisi kursi dan meja bambu. Yang membedakan adalah deretan kuali yang mengeluarkan uap. Aroma jamu langsung terhirup hidung.

Di dinding terlihat rak-rak berisi bungkusan dedaunan herba. Diteras sebelah kiri ada deretan pot berisi aneka tanaman obat. Pengunjung diberi daftar menu jamu siap saji, ada menu jagasrat untuk darah tinggi, jagasrat untuk gatal-gatal, dan masih ada 10 menu lain. Termasuk jamu untuk sehat pria dan wanita. Semua dihargai sama Rp 5.000 per gelas, kecuali jika memesan jamu spesial dengan tambahan madu,telur ayam  atau telur bebek. Pramuniaga dengan cetakan meramu jamu dari rebusan herba di kuali-kuali yang terus mengumpulkan uap.

Tempat tersebut menjadi berbedah karena jamu digodok langsung di depan pengunjung dari herba segar yang dikeringkan. Berjenis tanaman obat yang menjadi bahan baku jamu godok.

Belajar dengan senang

Suasana asri diperkuat kebun jamu seluas 3,5 hektar dibelakang rumah. Saat itu ada rombongan siswa SMA sedang berkunjung. Ada juga karyawan bank rakyat Indonesia berkegiatan di luar ruangan  disana.

“Saya selalu bercita-cita mengajarkan tanaman obat dengan  bersenang-senang, tidak membosankan,” ujar Sidiq Raharjo(40).

Dialah pendiri dan pemilik Merapi Farma herbal. Dia juga mendirikan kafe jamu di Yogyakarta. Harapannya jamu menjadi gaya hidup, sebagai minuman kesehatan, bukan hanya untuk menyembuhkan penyakit, slogannya “smiling with jamu”, tersenyum bersama jamu.

Pendidikan formal Sidiq adalah Fakultas teknik Universitas lampung. Pendidikan itu tidak diselesaikan karena hatinya tidak di situ, tetapi untuk memenuhi keinginan ayahnya.

Minat Sidiq pada tanaman obat terpicu ketika diminta membantu ekspedisi oleh peneliti dibalai penelitian tanaman obat ditawangmangu, Jawa Tengah, milik kementerian kesehatan. Dia ikut membantu pencarian berjenis tanaman obat hingga ke merauke, Papua, pada 1994-2002.

Dia lalu lebih mengenal jamu dari dau orang yang masing-masing memberi sidiq pengetahuan dan akhirnya saling melengkapi.

Dari R Broto Sudibyo, pahar herbal yang belajar di universitas Leiden, Belanda, SIdiq belajar resep jamu menurut filosofi jawa. Ada tida dasar jamu dia pelajarai : Pngguno(berguna) yang mensyaratkan dosis harus capai: pangroso(rasa), bahan yang dipakai harus bersesuaian:dan pangseliro yang mensyaratkan bahan jamu harus berkualitas, tidak boleh berjamur.

Guru lain adalah ahli jamu alah tiongkok yang tidak ingin namanya disebut karena filosofi ini sebetulnya dirahasiakan dari orang luar. Sidiq belajar tanaman jamu dikategorikan didalam tanaman raja, jenderal, asisten, ajudan, hingga pesuruh yang manfaatnya tergantung dari peran tanaman tersebut pada penyakit tertentu.

“Dari kedua ajaran itu saya menemukan resep sendiri,” jelas Sidiq diruangan khusus meramu jamu yang dia sebut ruang sacral”. Keempat tinding ruangan itu dipenuhi lemari berlaci  berisi aneka tanaman obat.

Sidiq meramu kedua ajaran tersebut . hasilnya, dia membagi bahan jamu menjadi tiga jenis: bahan utama untuk mengatasi sebab utama penyakit, bahan pembantu untuk mengatasi gejala dan membantu bahan utama, serta bahan pelengkap untuk menyingkronkan bahan dan pembantu.

Reformasi Produksi

Sidiq belajar membudidayakan sendiri tanaman obat pada tahun 1997, bermulah dari jenis-jenis yang sedang dicari pasar. Dia juga mulai menjual bahan tanaman obat kepabrik jamu.

Pada tahun 1996, dia melakukan reformasi produksi” jamu dengan mulai membuka “ warung jamu” di Hargobinangun dan mendirikan CV Merapi Farma Herbal.

Ketekunan Sidiq perlahan-lahan berbuah, Dari menyediakan bibit tanaman oba, kini Merapi Farma Herbal menyediakan jamu instan, jamu godok, dan racikan khusus. Gerai dan kafe jamu satu per satu dibuka dan Sidiq menawarkan  sistem waralaba. Alhasil, sat ini Merapi Farma Herbal ada di 300 gerai, toko, dan kafe di 22 provinsi. Dia bekerja sama dengan kaum ibu di sekitar kebun tanaman obanya untuk menambah pasokan bahan jamu.

Pelatihan pembuatan jamu dibuka Sudiq untuk sejumlah kalangan, termasuk dokter. Dia tak takut peserta pelatihan akan menjadi pesaing.

“sekarang era tidak ada lagi resep rahasia. Google memberi jawab terhadap banyak hal. Tetapi jamu ternyata berkaitan dengan siap yang membuat. Ada ketertariakan emosional dari konsumen,” papar sidiq, penerima penghargaan dari Presiden RI pada 2013 sebagai pusat pelatihan pertanian swadaya komoditas tanaman herbal.

Sudah 500 racikan jamu lahir dari tangannya dan sudah di uji coba. Lima buku resep jamu sudah terbit dan, menurut Sidiq, bukunya digunakan sebagai salah satu acuan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan. Cita-cita sidiq perlahan-lahan mulai terwujud, mengajarkan jamu dengan berbagai senang-senang, menjadi gaya hidup.

SIDIQ RAHARJO

  • Lahir: Tanjung karang,lampung,9 agustus 1975
  • Keluarga: Dian Brilika (anak)
  • Ahmad Ghofur Kalpataru (10)
  • Atika Nursiwi Lestarie (8,5)
  • Pendidikan: Fakultas Teknik Unversitas Lamping
  • Pekerjaan: Wirausaha jamu, pemilik CV Merapi Farma Herbal yang bergerak dalam budidaya, pembuatan, pelatihan, serta penjualan jamu instan dan jamu godok

Sumber: Kompas.13-Juli-2015.Hal_.16

Beben Benyamin Peneliti Gen Penyebab Skizofrenia

Peneliti-Gen-Penyebab-Skizofrenia.-Kompas.-2-Juli-2015.Hal.16

Beben Benyamin (39) pun  didaulat sebagai ilmuan minggu ini (Scientist of the week)  oleh majalah “laboratory Equipment” terbitan 18 Juni. Di Indonesia tak banyak yang tahu. Tak banyak pula peneliti genetic yang dilakukan dengan populasi masyarakat Indonesia. Namun, Beben pun tetap berkarya.

“Kalau kita tahu penyebab setiap orang berbeda , itu akan sangat berguna bagi ilmu-ilmu lain, termasuk ilmu kesehatan, evolusi, dan psikologi. Misalnya, studi tentang orang kembar menunjukkan bahwa faktor genetik  banyak mentukan kerentanan  seseorang terhadap penyakit skizofrenia,”ujar Beben yang sudah memublikasikan puluhan paper, termasuk di jurnal Nature dan Nature Genetic

Lebih lanjut Beben menuturkan, berdasarkan pengetahuan tentang penyebab setiap orang berbeda itu, ilmuan meneliti  gen  yang menyebabkan penyakit, lalu mencari mekanisme terjadinya penyakit, sehingga bisa mendiagnosis serta menemukan cara pengobatanannya.

Selain publikasi di jurnal ilmiah, Beben juga pernah meminpin sebuah konsorsium penelitian-genetika yang terdiri atas 70 peneliti mancanegara, termasuk di dalamnya ilmuan yang berasal dari Amerika dan Inggris.

“Walau menyita waktu dan pikiran, pengatahuan saya ketika meminpin sebuah konsorsium itu merupakan hal yang sangat berharga,” ujar pria yang selalu menjaga kesehatan dengan berolahraga minimal 1 jam per hari.

“Olahraga apa saja, mulai dari lari, tenis, badminton, dan naik sepeda statis. Bagusnya naik sepeda statis, saya bisa sambil baca jurnal atau menonton video perkuliahan. Jadi waktu tak terbuang ,” ujar Beben yang baru saja menyelesaikan untuk amal City2south sejauh 14 kilometer.

Walau demikian, ayah dua anak ini mengaku tak pernah bercita-cita menjadi ahli genetika.

Semuanya mengalir begitu saja. Saya mulai tertarik bidang genetika ketika mengikuti kuliah genetika dan statistika di Fakultas peternakan IPB (Institut Pertania Bogor). Dosen-dosen yang mengajarkan mata kuliah tersebut sangat piawai,” ujar Beben yang sangat berterimakasih kepada sejumlah orang yang dianggapnya amat  berjasa mendorong ketertarikannya ada dunia genetika.

“saya sangat berterimakasih kepada prof Muladno, Prof Ronny Racman Noor yang menjadi pembing skripsi saya, dan prof Asep Saefuddin. Mereka yang membuat saya terpincut pada bidang ini,” Ujar Beben yang setelah menamatkat pendidikan sarjana di IPB melanjutkan pendidikan ke Australia dan Inggris.

Semakin Personal

Saat ini, ilmua sedang berlombah-lombah untuk menemukan gen-gen yang menyebabkan berbagai penyakit. Nantinya, pada masa depan, bisang kedokteran tidak lagi bisa dipisahkan dari genetika. Pasalnya, pelayanan kesehatan akan dilakukan secara pribadi.

“Sekarang pun, istilah-istilah personalized medicine ( personalia perawatan) ataupun precision medicine, yang intinya penggunaan informasi genetika  dalam bidang kedokteran , sudah mulai diaplikasikan di negara-negara maju,”ujarnya.

Itu sebabnya, Beben berharap, masyarakat keluar dari pemikiran yang membenturkan genetic dan lingkungan, menjadi pemikiran  agar genetic dan lingkungan itu bisa dipadukan secara serasi.

“Keduanya pentik dalam membentuk seorang manusia,” ucapnya.

Dalam tiga tahun terakhir, fokus penelitian Beben tertuju pada gen yang  menyebabkan penyakit kejiwaan dan saraf.

“saya berharap penelitian saya bisa memberikan sumbangan bagi pencegahan penyakit, dengan cara memprediksi risiko. Mendiagnosis penyakit serta pengobatannya,” ujar Beben  yang mengungkapkan, di Indonesia, jumlah penelitian seperti ini masih terbatas karena selain biayanya mahal kondisi infrastruktur risetnya juga masih terbatas.

“ dari penelitian nature-nature yang dipublikasikan  di paper kita, tidak ditemukan publikasi dari Indonesia ,” ujar Beben yang sudah memperoleh dana sekitar Rp 20 miliar untuk penelitian dan beasiswanya.

Di samping itu, penelitian gentika yang dipublikasikan  mayoritas dilakukan di populasi Eropa, kondisi ini belum tentu bisa diaplikasikan  langsung oleh masyarakat Indonesia . menurut Beben, selain karena perbedaan secara genetic, faktor linkungan yang memenuhi penyakit tersebut juga bisa berbeda.

“jadi, kalau kita tak ikut melakukan penelitian seperti ini dengan sampel dari Indonesia, dunia kedokteran kita akan ketinggalan,” ujarnya.

Namun, Beben  berdiam diri. Ia dan mahasiswanya bekerja sama dengan peneliti Indonesia di Rumah sakil Cipto Mangunkusumo  Universitas Indonesia  dan universitas lain di Australia, melakukan penelitaian  unttuk mencari gen yang memengaruhi pengakit skizofrenia.

HARRY BHASKARA

Koresponden Kompas di Brisbane, Australia

 

BEBEN BENYAMIN

Lahir: Rajapolah, Tasikmalaya 12 oktober 1976

Istri: Ike Herwidi(38)

Anak: Tiara  Kinanti (10), Elang Dewantara (6)

Pendidikan: SD/ MI: Pasanggrahan, Rajapolah, Tasikmalaya (1992)

SMP/MTs: Pasanggrahan, Rajapola, Tasikmalaya(1992)

SMA:Ciawi, Tasikmalaya(1995)

S-1: sarjana peternakan, institute pertanian Bogor, Indonesia (2000)

S-2: master of agriculture di bidang genetika, Unversitas of Sydney, Australia (2000)

S-3: PhD di bidang genetika statistic, University of Edinburgh,Skotlandia, Uk (2007)

Pekerjaan: 2015- sekarang: NHMRC (Australia National Health and Medical Research Council) Career Development Fellow, University of Queesland, Brisbane

2012-2014: research fellow, University of Queesland, Brisbane

2010-2011: senior research officer, QIMR Berghofer medical research Institute, Brisbane

2007-2010: Research officer, QIMR Brighofer Medical research Institute, Brisbane

Publikasi: Sebanyak 38 paper dalam bidang genetika yang berhubungan dengan kedokteran dan penyakit. Sepertika paper-nya dipublikasikan  di jurnal prestisius.

Prestasi dan penghargaan;

Mendapat beasiswa NHMRC Career Development Fellowship (2015-2018)NHMRC Peter Doherty  fellowship (2009-2012).

Final Australian Sociaty for Medicial Research Category Postdoctoral Research Award.

UQ Indonesia Partnership Award, sebuah program untuk menjajaki kerja sama dengan Universitas dan lembaga penelitian di Indonesai.

Majalah “Nature Genetis” terbitan mei 2015 memasukkan paper Beben dan timnya kerangking ke dua dan top lima persen versi Altmeltric yang menjadi ukuran untuk menilai sejauh mana sebuah paper diliput dalam  pemberitaan media, blog, twitter,dan lainnya. Itu berarti paper Beben dan timnya berada di urutan 1.500-an dari sekitar empat juta paper.

Sumber: Kompas.-2-Juli-2015.Hal_.16

Sobat Dewel Sinarbulung Pelestari Mandau Suku Dayak Kalteng

Pelestari-Mandau-Suku-Dayak-Kalteng.-Kompas.-10-Juli-2015.Hal.16

Sobat Dewel Sinarbulung (46) miris ketika melihat masyarakat suku Dayak di Kalimantan Selatan. Berbekal keahlian mengukir kayu dan tanduk rusa, menganyam rotan, serta menempa besi yang diwarisi dari nenek moyangnya, sobatpun mengabdikan hidupnya dengan menekuni pekerjaan membuat mandau.

OLEH WILIBRORKUS

MEGANDIKA WICAKSONO

Mandau adalah pusaka suku dayak yang menjadi jati diri dan ciri khas bahwa seseorang itu adalah suku Dayak.” Kata sobat saat ditemui, selasa (7/7), di rumahnya di Komplek G Obos Permai, Palangkaraya, Kalimantan Tengah.

Sebagai pusaka, layaknya keris bagi masyarakat suku Jawa, menurut sobat, Mandau harus dibuat dari bahan-bahan berkualitas dan digarap dengan sepenuhi hati serta kesabaran.

“ Semakin halus dan rumit ukirannya, Mandau semakin bagus dan bernilai tinggi. Orang akan bangga dan senang menyimpan barang yang bagus dan yang tidak dikerjakan dengan tidak setengah-setengah,”ujarnya.

Kesungguhan dan kecintaannya pada Mandau ditunjukkan sobat dengan berhati-hati dan tidak buru-buru  dalam menyelesaikan pembuatan sebuah Mandau.  Untuk menyelesaikan sebuah Mandau berukuran 58 senti meter, misalnya, sobat membutuhkan waktu minimal satu bulan. Adapun untuk merampungkan Mandau dengan ukuran mencapai 1 meter, sobat butuh waktu hingga tiga bulan.

Mandau terdiri atas tiga bagian, mata Mandau yang dibuat dari baja, pegangan Mandau atau biasa disebut “pulang” yang dibuat dari tanduk rusa, serta sarung Mandau yang disebut “kumpang” yang dibuat dari kayu muhur serta berhias anyaman rotan dan kulit binatang. “ Proses yang paling lama adalah membuat kumpang karena bisa sampai 20 hari untuk mengukir kayu dan menganyam rotan,” ujar sobat.

Selain itu, proses mengukir tanduk rusa untuk bisa dijadikan “pulang” atau gagang Mandau juga memakan waktui hingga seminggu. Adapun untuk penempa baja yang didapat dari sisa-sisa mesin truk atau per mobil, sobat dibantu tukang pandai besi rekannya yang dipanggil Abah Arjun.

“Untuk menempah besi perlu waktu sekitar  satu hari. Saya tinggal  melakukan finishing mata mandaunya, misalnya menghaluskan dan mempertajam,” ujarnya.

 Motif ukiran

Sobat menyebutkan, setidaknya ada tiga jenis motif ukiran dari Mandau suku Dayak di Kalimantan Tengah, yaitu motif Tambun atau sosok naga yang disakralkan  masyarakat suku Dayak, motif burung Tingang, dan Muang atau ulat.

“Tambun adalah sosok penjaga manusia. Demikian juga dengan Mandau, manusia bisa menjaga dirinya sendiri  dari ancaman bahaya,”kata sobat.

Motif burung Tingang, sobat melanjutkan, merupakan simbol kepemimpinan, sedangkan motif Muang atau ulat adalah lambang kesaktian.

“ Sesuai nasihat dan pesan para leluhur, setidaknya setiap keluarga  suku  Dayak harus memiliki sebuah Mandau yang disimpan di dalam kamar tidur dan tidak boleh diletakkan diruang tamu,”katanya.

Maksud dari menyimpan Mandau di dalam kamar tidur, menurut sobat, untuk pertahanan diri jika ada pencuri atau penjahat yang masuk ke dalam rumah. Jika Mandau diletakkan dirung tamu, bisa terjadi justru pencurilah yang menguasai Mandau tersebut.

Untuk memberi kesan hidup, Mandaupun diberi hiasan berupa rambut yang berasal dari ekor kerbau, kuda, domba.

Dahulu kala, Mandau dipakai sebagai senjata untuk berperang melawan musuh dan mengayau atau memegal kepala musuh. Saat ini Mandau disimpan sebagai pusaka dan dipakai  untuk sejumlah upacara adat, terlebih dipakai ketua adat serta mantir adat.

Upacara adat tersebut antara lain upacara tiwah atau memindahkan tukabg kerangka leluhur ked= dalam suatu rumah atau tempat yang di sebut sandung, upacara menyambut tamu atau potong pantan, upacara pernikahan, dan juga dipakai sebagai aksesori dalam tari Mandau.

“Saat ini minat orang terhadap Mandau semakin sedikit. Penurunan minat itu diduga  karena tergerus mordernitas. Orang muda disinipun belum tentu bisa memakai atau mengeluarkan Mandau dari kumpangnya secara benar,” Kata pemilik industrirumah tangga  bernama Kahias Atei hati yang ulet itu.

Karena butuh keuletan  dan kesabaran itulah, kata sobat,minat orang untuk membuat Mandau semakin sedikit.

“Saya bersedia mengajarkan dan mewariskan cara membuat Mandau, tetapi sulit menemukan orang yang mau,” ucap sobat.

Sobat mendapatkan keahlian membuat Mandau dari sang ayah, almarhum Dewel Sinarbulung. Keahlian itu diwariskan turun-temurun dari nenek moyangnya yang merupakan seorang datuk di Desa Tumbang Tambirah, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Sang datuk bernama Singa Anggen.

Sobat merupakan keturunan generasi keenam dari Datuk Singa Anggen.

Meskinpun sobaat tidak memasarkan Mandau buatannya ditoko-toko suvenir sekitar Palangkaraya, orang-orang yang berminat memiliki Mandau buatan sobat bisa datang kerumahnya. Pembeli mengetahui keahlian sobat dari perbincangan satu sama lain. Selain dipesan  pejabat dan kepala dinas  setempat, Mandau buatan sobat jua diminati pembeli dari Makassar, Yogyakarta, dan Banjarmasin.

Di tempat tinggal yang dijadikan sebagai benkel pembuatan Mandau inilah sobat mencoba melestarikan  sebagai budaya Kalimantan Tengah.

Setidaknya sejak 2005 sobat mulai fokus membuat Mandau. Sebelumnya sobat juga menjadi perajin kayu biasa membuat tombak, lesung, dan keluir atau alat masak dari kayu.

“ ada panggilan hati untuk terus membuat Mandau agar tetap lestari,” kata sobat yang telah membuat sekitar 500 mandau.

Sebuah Mandau karya sobat harganya sekitas Rp 3 juta- Rp 5 juta untuk ukuran 58 senti meter. Adapun Mandau ukuran 1 meter harganya bisa mencapai Rp 25 juta.

Hasil penjualan terutama dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari  dan menyekolahkan anak semata wayangnya, Krendison(21).

“Saya tidak mengejar uang, kalau Cuma mengejar uang atau keuntungan hasilnya tidak baik,” kata sobat yang juga memelihara sejumlah hewan peliharaan untuk memenuhi kehidupan sehari hari.

SOBAT DEWEL SINARBULUNG

  • Lahir; Gunung Mas, Kalimantan Tengah, 14 April 1969
  • Pendidikan: SMPn $ Palangkaraya ( 1986), STMN 1 Palangkaraya (1990)
  • Istri: Susiana P Ontoi (44)
  • Anak: Krendison (21)

Sumber: Kompas.-10-Juli-2015.Hal_.16

Tia Maulana Nasi Bungkus untuk Sesama

Nasi Bungkus untuk Sesama. Kompas. 7 Juli 2015.Hal.16

Tia Maulana (34) tak ragu berbagi makanan dengan mereka yang masih terjaga, bekerja,  atau tinggal di luar rumah atau di luar keluarganya pada malam hari. Ia berbagi kebahagiaan dengan mereka yang masih berada di jalan, saat sebagian besar orang sudah tertidur pulas. Tidak banyak yang tahu, tetapi komunitas sego Bungkus tetap bergerak.

OLEH DAHLIA IRAWATI

Semangat berbagi inilah yang ingin ditularkan Tia Maulana, pendiri komunitas Sego Bungkus di Malang Kepada masyarakat. Dengan semangat itu pula, Tia bersama Komunitas Sego Bungkus yang dibentuknya rutin membangikan Sego (nasi) bungkus pada gelandangan atau pengemis, tukang becak, tukang sapu, satpan, kuli panggul, atau siapa saja yang tidur dijalan pada malam hari.

Waktu berbagi nasi bungkus pun tidak wajar karena diberikan pada tengah malam atau dini hari . sekarang, tiap kamis pukul 23.00-24.00 menjadi waktu rutin bagi komunitas tersebut untuk bergerak membagikan nasi bungkus kepada mereka yang membutuhkan.

“ kami memberikan nasi bungkus itu kepada mereka yang kurang beruntung. Ketika sebagian orang sudah terlelap ditempat tidurnya yang empuk dirumah, mereka masih berada dijalanan entah untuk bekerja atau memang tidak punya rumah dan tidur dijalanan,” ujarnya.

Lantas, kok dibagikan malam hari? Tia Maulana pun punya maksud agar nasi ini bisa menjadi bekal” sarapan” mereka sebelum beraktivitas keesokan harinya.

Sebagian besar penerima pembagian nasi bungkus komunitas ini adalah tukang becak atau kuli panggul di sekitar Pasar Besar Malang. Mereka sudah bersiap dipasar tersebut karena pada saat dini hari sudah mulai bekerja mengangkut dan menurunkan sayuran.

Di luar waktu rutin mingguan, komunitas sego bungkus juga berbagi nasi bungkus dengan anak-anak yatim non-panti asuhan. Komunitas sego bungkus rutin menggelar sahur dan buka bersama dengan anak-anak yatim non-panti asuhan tersebut.

Tia pun bercerita, anak-anak yatim yang tidak berada di panti asuhan ini dipilih karena menurut pengamatan komunitasnya, anak-anak yatim tersebut paling jarang mendapatkan perhatian masyarakat. Perhatian biasanya tercurah pada anak yatim piatu yang berada di panti asuhan kerena jelas keberadaan mereka  dan tidak perlu bersusah paya untuk mencari anak yatim tersebut. Sementara untuk menemukan anak yatim non panti dimasyarakat, dibutuhkan usaha ekstra. Komunitas ini pun harus mencari dan mendatangi ke desa-desa.

Nasi bungkus yang dibagikan biasanya berupa nasi putih dangan lauk ayam goreng dan sambal, atau nasi dengan lauk mi dan telur. Jika dirupiahkan nasi bungkus yang dibagikan Rp 5.000 per bungkus. Harga tersebut bisa dicapai karena komunitas tersebut memasak sendiri nasi yang akan dibagikan.

Dana untuk berbagi nasi bungkus tersebut saat ini berasal dari donasi banyak orang. sebagian donasi berasal dari komunitas itu sendiri dan sejumlah donatur. Donatur yang selama ini memberikan dukungan merupakan rekan Tia sesame pengusaha warung makan, dan pekerja kantoran yang pernah menjadi pelanggan warungnya. Selain itu, ada juga sejumlah pihak yang tertarik dan bersimpati dengan kegiatan mereka.

Untuk membagikan nasi bungkus, Tia tidak sendiri. Ia dibantu mahasiswa anggota komunitas sego bungkus. Anggata komunitas tersebut tidak pernah terdata resmi karena memang bukan organisasi yang memiliki keanggotaan tetap. Tidak heran jika anggotanyapun  datang dan pergi. Namun, setidaknya  ada ribuan orang selama ini membantu gerakan ini. Baik dengan menyumbang tenaga mauapun menyisihkan sebagian uangnya.

“sengaja organisasi ini tidak dibuat menjadi lembaga atau yayasan. Jika diresmikan, maka yang ada kami akan menghabiskan dana untuk membiayai yaysan. Lebih baik dana diwujudkan menjadi nasi bungkus agar bisa bermanfaat abgi mereka yang membutuhkan tutur ibu dua anak tersebut.

Tidak sengaja

Kominitas sego Bungkus terbentuk tahun 2011. Kisa komunitas itu bermulah dari kebiasaan Tia maulana, pemilik warung nasi”Ayam bakar kanjeng Mommy” dijalan kendalsari, malang, yang membagi bagikan nasi yang tak terjual kepada orang sekitar. Saat itu, Tia membagikan 10-20 bungkus nasi.

Berangkat dari ketidaksengajaan itu, tia berfikir untuk menjadikan kegiatan berbagi nasi itu sebagai kegiatan yang disengaja, dan paling tidak bisa dilakukanseminggu sekali. apalagi, di kota Malang. Tia melihat begitu banyak orang tidur di jalanan.

Sejak itulah, kegiatan membagi nasi bungkus pun mulai di rutinkan seminggu sekali. untuk membagikan nasi bungkus, Tia dibantu beberapa kenalan dan mahasiswa yang sering datang kewarungnya, dimulai dengan membagikan 10-20 bungkus nasi dengan harga rp 5.000 per bungkus, lama-lama komunitas tersebut kini bisa membagikan ratusan nasi bungkus kepada warga malang.

Bahkan kegiatan ini berkembang hingga keberbagai kota lain, sperti solo, Yogyakarta,Bandung, Jakarta, Bengkulu, Makassar, dan berbagai kota lain dengan nama tidak jauh berbeda, tetapi intinya berbagi nasi bungkus.

“ meski hanya sebungkus nasi  dengan niali hanya Rp 5.000, itu sangat berarti buat mereka yang membutuhkan. Mereka yang tidur dijalanan adalah mereka yang tidak seberuntung kita,” ujar perempuan yang juga memiliki usaha manajemen artis tersebut.

Meski demikian, menurut Tia, membagi-bagikan makanan di jalanan tidaklah semudah yang dibayangkan bayak orang. komunitas itu sudah biasa dikejar-kejar  orang gila, yang marah karena merasa terganngu. Atau ada juga anggota komunitas yang tertipu dengan kisah gelandangan yang dibuat sesedih mungkin.

“Tapi saya yakin, sebagian besar mereka yang tidur di jalanan adalah mereka yang benar-benar membutuhkan. Makanya, kami tak akan berhenti berbagi nasi bungkus hanya karena tertipu sekali dua kali. Lama kelamaan, kami semakin  tahu, mana mereka yang membutuhkan dan mana yang hanya menipu,: kata permpuan asal Solo itu.

TIA MAULANA

Lahir : solo, 5 september 1981

Pendidikan: public relation Universitas Diponegoro Semarang

Suami: Maulana

Anak: Aditya Atala Maulana(7)

Kaiser Aqila Maulana (3).

Sumber: Kompas.-7-Juli-2015.Hal_.16

Sarwidi Mendidik Warga Agar Sadar Gempa

Mendidik-Warga-Agar-Sadar-Gempa.-Kompas.3-Juli-2015.HAl.16

Anak –anak duduk bersila diruang tengah rumah yang telah yang telah diubah menjadi museum. Sebagian anak mengamati alt peraga, foto, dan gambar, berisi cara membangun rumah tahan gempa. Suasana di dalam ruamh riuh rendah. Namun, begitu film animasi tentang gempah bumi diputar, mereka menyimak.

OLEH AHMAD ARIF

Film itu dimulai dari penjelasan tentang kondisi Bumi uang tersusun dari beberapa lempeng yang terus bergerak, tetapi saling mengunci. Gempah bumi tercipta ketika energi  yang tersimpan dari pergerakan  lempeng itu terlepas. Dijelaskan, Indonesia yang berada zona tumbukan tiga lempeng bumi yang sangat aktif merupakan negeri yang rebtan gempa bumi.

Adegan berikutnya berupa penjelasan tentang apa yang harus dilakukan jika terjadi gempa bumi dan upaya untuk mengurangi resiko akibat bencana.

“ Filmnya menarik dan mudah dipahami. Sekarang saya baru mengerti negara kita ternyata sangat rentan sehingga kita harus membangun rumah tahan gempa,” kata Doni Kurniawan (13). Siswa kelas 1 SMP Negeri Turi, Sleman, seusai menonton film yang di putar di Museum Gempa Prof Dr Sarwidi di malangyudo, kota wisata kaliurang Yogyakarta.

Museum swasta itu tak bisa dipisahkan dari sarwidi (55), Guru besar dari Fakultas Teknik Sipil. Universitas  Islam  Indonesia (UII), Yogyakarta. Rumah yang difungsiukan sebagai museum itu merupakan rumah keluarga. Minggu pagi itu, sarwidi turut serta menyambut  anak-anak dari sejumlah sekolah  di sleman yang datang ke museumnya.

Sejak 1991, Sarwidi mulai mempelajari  bangun tahan gempa karena melihat banyak rakyat roboh akibat gempa. Dai lalu mendalaminya saat kuliah pascasarjana dan doctoral di Rensselaer polytechnic institute, New York, Amerika Serikat. Sekitar 10 tahun lalu,ia menemukan sistem barrataga (Bangunan Rumah Rakyat Tahan Gempa) dengan menggunakan teknik bantalan pasir pada fondasi. Sistem itu telah diakuai sebagai salah satu model rumah tahan gempa.

Namun Sarwidi merasa bahwa pengguanaan rumah tahan gempa masih terbatas. Terbukti, setiap terjadi gempa bumi diIndonesia, korban tewas atau cedera tetap tinggi, termasuk gempah yang melanda Yogyakarta pada 2006 yang menewaskan 6.234 orang. padahal, kekuatan gempa saat itu skala menengah, yaitu 6,2 skala richter. Banyaknya korban terutama karena rumah rakyat dibangun tak tahan gempa.

“saya yakin inovasi rekaya dan teknologi bangunan bisa berperan dalam pengurangan resiko bencana gempa bumi. Namun penting lagi adalah menyosialisasikan temuan-temuan itu kemasyarakat,” Ujarnya.

Jika akademik hanya mengandalkan ruang kelas dan seminar untuk menyampaikan ilmunya, transportasi keilmuan ke masyarakat akan amat lambat.

Mendidik tukang

Gagasan untuk mengajar di luar ruang kuliah telah dijalankan sarwidi sejak awal tahun 2004 dengan melatih tukang di Yogyakarta dan jawa Tengah tentang teknik membangun rumah tahan gempa. Hingga kini sudah sekitar 400 orang  yang dilatih sarwidi.

Saat gempah melanda Yogyakarta pada 27 mei 2006, beberapa rumah yang dibangun tukan didikan Sarwidi tetap bertahan, sedangkan rumah-rumah disekitarnya ambruk. Hak itu misalnya terjadi dirumah Goizun, warga desa Jejera,plered, Bantul.

Dalam kesaksiannya, yang diliris dijejaringmedia sosial Toutube, Goizun akhirnya mendpata penjelasan  dari tukang yang membangun rumahnya, Choirul Anam. Dijelaskan Choirul, rumah Goizun dibangun tahan gempa yang tekninya dipelajari setelah mengikuti pelatihan dari Sarwidi.

Sejak kejadian itu, tukang-tukang yang dilatih Sarwidi banyak mendapat proyek agar membangunkan rumah yang tahan gempa. Namun, seiring waktu, banyak tukang yang mengaku tak lagi membangun rumah yang tahan gempa. Masyarakat mulai lupa pentingnya rumah tahan gempa.

“Tukang hanya bisa ngikut mandor atau pemilik rumah. Kalau mandor atau pemilik rumah belum menyadari pentingnya membangun rumah tahan gempa, tukang tak berdaya,” kata sarwidi, apalagi biaya untuk membangun rumah tahan gempa lebih mahal sekitar 15 persen dibandingkan rumah yang biasa dibangun masyarakat.

Seharusnya yang menjadi patokan harga rumah yang dibangun tahan gempa. Namun, cara berfikir masyarakat kita tak seperti itu. Sementara pemenrintah tak berbuat banyak untuk menertibkan soal standar bangunan tahan gempa ini. Akhirny, saya berfikir, yang sangat penting adalah menyadarkan  pentingnya membangun rumah tahan gempa,; ucap sarwidi.

Membangun museum

Maka ketika sah seorang rekannya, Dani Samardani, menawarkan gagasan untuk  membangun museum edukatif tentang kegempaan, sarwidipun langsung menyetujuinya.  Awalnya museum menempati ruang 3 meter x 4 meter dikampus UII.

Karena ruangannya dianggap terlalu kecil, museum itu lalu dipindahkan kerumah Dome di Prambanan, bantuan salah satu lembaga internasional untuk korban gempa Yogyakarta.

“Namun infrastruktur dan masyarakatnya belum siap. Akhirnya museum mati, hanya dikunjungi satu dua orang. komunitasnya juga belum siap,” ujarnya.

Museum itu lalu dipindahkan dirumah kontrakan diploso kuning dengan dukungan dana dari lembaga organisasi internsional Cefeds. Namun , selama tiga tahun museum itu tidak berkembang sehingga dipindah ke Gentan dijalan kaliuarang.

Sarwidi tidak menyerah. Awal tahun 2015 museum itu akhirnya dipindahkan  kekampung halamannya dilokasi wisata kaliurang. Sarwidi juga menggandeng komunitas setempat sehingga pengelolaannya lebih professional. Konsepnya diubah lebih menarik buat anak-anak, termasuk film dibuat lebih mudah dipahami.

Musuh utama kesiapsiagaan bencan ialah ingatan pendek. Sarwidi berharap museum gempa yang dibangun  bisa merawat ingatan warga tentang bencana. Dengan cara ini, ia berharap bisa menggerakkan kesadaran untuk membangun rumah tahan gempa.

PROF SARWIDI

Lahir: Sleman,24 agustus 1960

Pekerjaan: Dosen/guru besar program studi Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP) UII

Jabatan nasionalyang pernah sipegang: ketua harian unsur pengarah BNPB periode 2010-2014

Penghargaan: 50 tokoh alimni UII(2015)

Dosen berprestasi terbaik dan karya ilmiah terproduktif di program studi teknik sipil,FTSP UII tahun akademik 2012/2013

Tokoh konstruksi banguan tahan gempa yang pedulikepada masyarakat dari asosiasi tenaga ahli konstruksi Indonesia.

Sumber: Kompas.3-Juli-2015.HAl_.16

Syarief Jujur, Kunci dalam Bekerja

Jujur-Kunci-dalam-Bekerja.-Kompas.6-Juli-2015.Hal.16

Jujur dan rajin, itulah yang membuat Syarief (65) bertahan menjadi pengecer sejumlah Koran terbitkan Ibu Kota, termasuk harian “Kompas” yang pada 28 Juni genap berusia 50 tahun, dan Koran local selama 48 tahun. Kakek tiga cucu ini dan juga loper koran boleh dibilang ujung tombaknya sebuah perusahaan penerbitan perusahaan penerbitan media cetak. Melalui mereka, Koran sampai kepada pelanggan tetap dan pembeli eceran.

Syarief, warga Ciheuleut, Gang Salim, Kecamatan Bogor, ini merupakan salah satu pengecer koran yang usianya di atas 60 tahun dan cukup lama “jam terbangnya, yakni 48 tahun, menjadi pengecer Koran. Sebagian rekannya sudah tidak lagi jualan dan meninggal dunia. Kalau tiap hari saya jalan kaki sekiar 5 kilometer menjajakan dan mengantar koran, selama 48 tahun panjang jalan yang saya tempuh mungkin sepanjang Bogor, Indonesia, ke Amerika ya, “katanya sambil tertawa terkekeh-kekeh sehingga terlihar giginya ompong, sabtu pekan lalu.

Sejak 48 tahun yang lalu sampai sekarang, Syarief  kalau jualan Koran dan mengirim koran kepada pelanggannya jalan kaki. Menurut dia, selama itu, dia telah berjalan kaki sejauh (48 tahun x12 bulan = 576 bulan- 7 bulan tidak jualan karena sakit = 569 bulan x 30 hari = 17.070 hari x 5 km = 85.350) 85.000-an km. Jarak sepanjang itu dia lukiskan sepanjang Bogor, Indonesia-Amerika, tidak lagi dilukiskan dengan panjang Anyaer-Panarukan yang 1.000 km.

Dengan nada serius, Syarief mengatakan, selain rajin mencari pelanggan dan mengetahui dimana lokasi banyak calon pembeli eceran, jadi pengecer koran juga harus jujur. “Kalau tidak jujur, tidak akan bertahan lama menjadi pengecer. Sebab, langsung dicopot oleh agen Koran. Tak diberi koran lagi. Kalau pindah agen, cepat atau lambat pasti diketahui ketidakjujurannya, kata Syarief. Ia menambahkan, ketidakjujuran pengecer nakal itu adalah ambil Koran tetapi tidak setor hasil penjualannya kepada agen.

Ketika tahun 1967 saya pindah ke agen Endang Suleman, pertama yang ditanya punya utang atau tidak pada agen yang lama dan bisa jujur gak. Kalau bisa, silakan ambil koran pada saya, kata Syarief menirukan ucapan Endang Suleman (almarhum) yang dulu kios korannya di pasar Bogor.

Pengasong makanan

            Syarief, yang dulu orangtuanya buruh tani ini, setelah lulus SD di Cipaku tahun 1964, dia ikut Emad, pamannya yang tinggal di daerah belakang Rumah Sakit PMI, Kota Bogor. Dia membantu pamannya jualan makanan. Kalau hari libur dan minggu, Syarief menjadi penjual asongan makanan dan minuman di Kebun Raya Bogor dengan teman-temannya. Suatu hari, Syarief ingin menjadi pengecer Koran seperti teman-teman sepermainannya, Sidik dan Karna. Awalnya, Syarief ambil koran ke agen Abdullah di Stasiun Bogor. Dua bulan kemudian Syarief pindah kea gen Endang Suleman dan bergabung dengan dua temannya itu.

Lokasi jualan Syarief seputar daerah Pasar Bogor terus ke Jalan Merdekda dan Jalan Ciwaringin, Jalan Mayor Oking ke Gang Bojong Neros ujung Jalan Juanda pergi pulang jalan kaki. Kalau koran lagi laku karena ada berita hangat, dia bisa berkali-kali ambil Koran di agen. Sejak agen Endang Suleman berhenti tahun 1990-an, tidak ada yang meneruskan, maka Syarief pindah kea gen di seputaran stasiun kereta api dan Taman Topi. Sebanyak 7 agen Koran yang menjadi rekannya. Namun, dari 7 agen itu, 2 tutup, 3 bangkrut, dan 2 yang masih menjadi tempatnya mengambil Koran untuk dijual saat ini. Dari ketujuh agen itu, Syarief mengenal betul karakter agen tersebut.

Hanya agen Endang Suleman yang besar perhatiannya kepada pengecer. Menjelang bulan puasa, pertengahan puasa, dan menjelang akhir bulan puasa memasuki lebaran ia selalu memberi bingkisan makanan dan uang” kata Syarief mengenang sikap almarhum Endang Suleman kepada para pengecer Koran dan lopernya yang kala itu mencapai 30-an orang. Dari dulu sampai sekarang, lokasi penjualan eceran dan langganan bulanan Syarief tak berubah. Setiap pengecer sudah punya lokasi dan tidak berebutan.

Kami juga tak saling menguasai lokasi jualan, seperti kalau hari minggu saya bersama teman sama-sama jualan di depan Katedral Bogor di Jalan Kapten Muslihat. Masing-masing sudah punya pelanggan. Saya dan teman saya tidak mengejar-ngejar pembeli, tetapi pembelilah yang menghampiri kami dimana kami menunggu pelanggan keluar dari gereja usai mengikuti misa, “kata Syarief.

Tahu diri

            Sejalan dengan usianya yang sudah 60 tahun ke atas, jam kerja Syarief pun mulai pukul 08.00 sampai 13.00. “Kalau masih muda, pukul 06.30 sudah jualan. Sekarang anak-anak muda yang jualan pagi-pagi. Yang tua mah tahu diri, tenaga sudah berkurang jadi muncul siang, “kata Syarief. Dulu menurut Syarief, tenagan masih ada koran yang mau dijual sudah habis. Sekarang tenaga sudah habis korannya masih menumpuk di agen.

Sejak saya jualan 48 tahun yang lalu sampai sekarang, ya kompas paling banyak terjual. Kata Syarief. Ia menambahkan, berita tentang Malari, peristiwa Tanjung Priok, kerusuhan tahun 1998, sampai Soeharto lengser, dan berita tentang piala dunia, harian kompas termasuk paling laku dibandingkan dengan Koran terbitan ibu kota lainnya. Syarief bersyukur, dari keuntungan Koran yang diperoleh bisa untuk hidup sehari-hari bersama cucunya. Dia pernah selama dua bulan menjadi sub agen ambil Koran di dua agen dan mempunyai pengecer lima orang. Saya hentikan karena pengecernya lama kelamaan nakal, enggak pada setor sehingga saya jadi tekor. Langsung saya berhenti dan kembali menjadi pengecer kembali, kata Syarief.

Selama 48 tahun menjadi pengecer Koran, Syarief mengaku sekali dimaki-maki pembeli Koran dan sekali ditendangi pembeli Koran yang marah saat ditagih pembayaran Koran setelah keliling mengantar Koran. Dua pengalaman tak menyenangkan itu tak lagi saya harapkan, “katanya.

Syarief sudah diminta oleh tiga anaknya untuk berhenti menjadi pengecer Koran lagi. Namun, dia tidak mematuhi permintaan anak-anaknya itu. Selagi saya masih kuat jalan, saya tidak berhenti menjadi pengecer Koran, “katanya sambil titip ucapan selamat kepada pemimpin kompas yang baru merayakan 50 tahun harian kompas.

Sumber: Kompas, Senin, 6 Juli 2015.

Bowo Leksono Gerilyawan Industri Film “Ngapak”

Gerilyawan-Industri-Film-Ngapak.-Kompas.-1-Juli-2015.Hal.16

Bagi Bowo Leksono (39), film identic dengan panggung teater. Lekat dengan emosi, intrik, dan drama. Tiga elemen itu pula yang menjadi napas baginya menyusuri jalan gerilya, menggelorakan atmosfer sinema di purbalingga. Tak semata hiburan, di tangannya, film menjelma sebagai media perjuangan anti korupsi dan kontrol terhadap penguasa.

Setelah memarkir motor dan mengucap salam, dua remaja berpakaian putih abu-abu, kamis (18/6) siang, masuk kerumah kontrakan di satu gang kecil di pusat kota Purbalingga, Jawa Tengah. Dinding kontrakan tersebut penuh poster film dan foto. Sejenak duduk lesehan di atas karpet, diskusi ringan dengan tuan rumah mulai mengalir. Ini tempat keseharian Bowo di markas Cinema Lovers Community (CLC), satu komunitas pegiat film di Purbalingga. Diskusi kecil dengan siswa SMP dan SMA menjadi pemantik ide penggarapan film pendek yang sarat kritik tetapi tetap menarik.

Bowo, yang juga Direktur CLC, meyakini pembuat film harus memiliki cara unik memandang masalah di sekitarnya sedari remaja. Ruang diskusi dibuka lebar untuk merangkai konsep tontonan yang lebih dekat dengan masalah sehari-hari dan berkelindan dengan budaya local Banyumasan. “Saya kadang yang ngomporin mereka untuk berkelahi” soal ide. Kalau debatnya baru saat pengambilan gambar, film tidak akan pernah jadi, “kata ayah satu anak ini. Dari diskusi kecil itu, siswa SMP dan SMA di Purbalingga hasil gemblengan CLC mampu menyabet penghargaan di tingkat loyal regional, nasional, bahkan internasional. Purbalingga, kota kecil yang hanya jadi lintasan kendaraan dari Purwokerto menuju Semarang itu, tak ubahnya kawah candradimuka bagi sineas-sineas remaja.

Bermula dari teater

            Semuanya berawal dari kecintaan Bowo pada teater. Di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, lelaki asli Purbalingga itu membidani lahirnya Komuitas Teater Themis. Ketertarikan Bowo pada film kian nyata ketika berkenalan dengan pegiat film ketika tahun 2001 bekerja sebagai wartawan bidang budaya disebuah surat kabar di Jakarta, namun, ia tak bisa mengingkari panggilan dunia seni di kampung halaman.

“Akhirnya, saya putuskan berhenti jadi wartawan dan pulang, mbabat alas, kata pengagum karya-karya novelis Ahmad Tohari itu. Seiring geliat film independen awal 2000-an, dia mulai menggandeng beberapa kenalannya untuk ikut membuat film pendek. Dia yakin public mulai jenuh dengan dominasi film berlatar belakang Jakarta dengan dialog lu-gue. Berbekal kamera analog S-VHS, Bowo memulai produksi film pertamanya berjudul Orang Buta dan Penuntunnya di bawah bendera Laeli Leksono Film. Dia pun tak malu menimba ilmu dari semua orang, termasuk belajar teknik pengambilan gambar dari sejumlah pengelola jasa video pernikahan di Purbalingga. Soal penyutradaraan, dia mengadopsi ilmu teaternya.

Semua ilmu otodidak yang didapat itu diwujudkan dalam karya film berikutnya, Peronika (2004). Film soal gagap teknologi di kalangan masyarakat desa itu berhasil melambungkan namanya karena dianggap sebagai film independen berkualitas bernapaskan lokalitas. Demi mempermudah penyebaran virus cinta film, Bowo dan beberapa temannya sepakat membentuk komunitas yang dinamai Cinema 2006. Bersama CLC, Bowo mulai mengirim proposal ke sekolah-sekolah di Purbalingga.

Akan tetapi, hanya segelintir sekolah yang antusias. Sebagian lain masih alergi terhadap hal-hal baru. Namun, dari roadshow itu, Bowo menjaring beberapa pelajar yang berminat pada dunia sunematografi. Meski sekolah tak mengizinkan ekskul film, mereka getol menyambangi markas CLC untuk belajar. Pada akhir 2006, CLC menggelar nonton film bareng bulanan bertajuk “Bioskop Kita” di ruang pertemuan Pemerintah Kabupaten Purbalingga. Tak disangka, respons public positif. Pemutaran film karya anak Purbalingga itu selalu disesaki penonton.

Namun, konflik dengan penguasa mulai muncul. Setelah sempat diputar tiga bulan, pemerintah kabupaten menghentikan kegiatan itu. Enggan patah arang, Bowo mantap mengambil jalan bawah tanah. Mereka bergerilya memutar film melalui layar tancap di desa-desa. Tak hanya di Purbalingga, juga wilayah lain di Banyumas Raya meliputi Cilacap, Banyumas, dan Banjarnegara. Pada 2007, CLC besutan Bowo akhirnya menggelar Parade Film Purbalingga dengan memutar 30 film produksi sendiri. Festival itu berubah menjadi Purbalingga Film Festival tahun 2008 dan kemudian Festival Film Purbalingga pada 2010. Festival ini menjadi ajang pemutaran film, pertemuan pegiat senema, dan kompetisi film pelajar se-Banyumas Raya.

Media perjuangan

            Sedari awal, Bowo mengarahkan remaja asuhan CLC untuk kritis menyikapi persoalan sosial. Film diyakini harus berperan jadi media control terhadap penguasa di bidang politik, kemasyarakatan, tatanan ekonomi, dan sosial. Dalam Festival Film Purbalingga 2015, misalnya, muncul sejumlah film dengan ide segar nan menggelitik. Film Sugeng Rawuh Pak Bupati karya siswa SMPN 4 Satu Atap Karangmoncol, misalnya, mengangkat fenomena kedatangan pejabat yang selalu membuat warga heboh dan repot sendiri.

Adapun fil Gugat Pegat karya siswa SMA 1 Bukateja mengangkat fenomena perceraian di Purbalingga. Perceraian itu banyak dipicu melimpahnya pengangguran pria karena pabrik rambut palsu lebih butuh tenaga kerja wanita. Tiga tahun terakhir, bekerjasama dengan Komisi Pemberantas Korupsi. CLC juga rutin menggelar roadshow festival film anti korupsi. Di satu titik, Bowo sadar, menggelorakan perfilman local butuh akar pendidikan. Jaringan pun dibangun guna merintis lahirnya akademi perfilman di Bayumas Raya. Bagi Bowo, gerilya ini bukan soal film semata, melainkan perjuangan memanggungkan budaya local Banyumasan yang selama ini terpinggirkan.

Sumber: Kompas, Rabu, 1 Juli 2015