Yatin Merawat Kehidupan di Gunung Merapi
Menjadi kepala desa di desa kecil di lereng Merapi, Yatin (42) menyadari seruannya menolak penambangan pasir bagai suara lirih. Namun, dia tetap maju dengan keyakinannya. Menolak aktivitas tambang baginya jadi bagian dari komitmen untuk menjaga sumber air dan lingkungan yang sekaligus juga dimaknainya sebagai upaya menjaga kehidupan.
Oleh Regina Rukmorini
Desa Ngargomulyo, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, pernah rusak oleh aktivitas penambangan pasir dan batu. Erupsi Gunung Merapi yang memuntahkan material pasir dan batu sekaligus menjadikan kawasan di sekitar gunung sebagai daerah potensial untuk penambangan.
Bertahun-tahun setelah erupsi berakhir, 10 alur sungai yang berhulu dari gunung ini selalu di banjiri petambang, baik manual maupun alat berat, berizin ataupun ilegal. Kondisi ini ada di hampir semua desa di lereng Gunung Merapi.
Namun, dengan keyakinannya, Yatin bersikeras agar hal tersebut tidak berulang terjadi di desanya. Sejak 2005, Yatin berhasil menghentikan aktvitas penambangan dengan alat berat di desanya. Selain terus melakukan pendekatan dan komunikasi lisan, ketegasan sikap menolak penambangan ini dituangkan dalam peraturan Desa (Perdes) Nomor 3 tahun 2009 tentang pengelolaan lingkungan.
Di dalam perdes ini ditetapkan aturan bagi siapa pun untuk menjaga lingkungan Desa Ngargomulyo dan larangan menambang, terutama dengan menggunakan alat berat. Cita-citanya membersihkan Desa Ngargomulyo, 59 mata air tersebut juga mengalirkan air sepanjang tahun.
“Di musim kemarau sekering atau sepanjang apa pun, kini kami tidak pernah lagi mengalami kesulitan untuk mendapatkan air bersih,” ujarnya.
Tidak hanya menghidupi warga Desa Ngargomulyo, 59 mata air tersebut juga menjadi penyedia kebutuhan air bagi dua desa tetangga, yaitu Desa Ngargosuko dan Desa Tegalrandu di Kecamatan Srumbung.
Berubah
Aktivitas penambangan di Desa Ngargomulyo dimulai pada 1990-an. Ketika itu, datang pihak dari luar desa ingin membangun pabrik batako dan membutuhkan tanah di lereng Gunung Merapi sebagai bahan bakunya. Namun, belakangan, yang di lakukan semata-mata aktivitas penambangan pasir dan batu. Penambangan dilakukan di alur Sungai Senowo, sungai yang bermuara di Gunung Merapi.
Penambangan tersebut menggunakan banyak alat berat dengan jumlah truk yang terus bertambah setiap hari. Perlahan, penambangan melibatkan semakin banyak orang, termasuk dari warga Desa Ngargomulyo pun berubah. Suasana desa yang sebelumnya bersih, teduh, hijau, dengan udara segar, berangsur berubah menjadi gersang, kotor, dan dipenuhi asap truk serta debu dari pasir yang dibawa berlalu lalang.
Penambangan yang tidak terkendali akhirnya juga merusak sebagian kawasan hutan yang semula menjadi kawasan konservasi. Pengerukan tanah dan pasir yang terlalu dalam dan sembarangan berdampak buruk terhadap sumber air yang ada di sekitar sungai. Sebagian sumber air akhirnya mengalami pernurunan debit dan sebagian di antaranya bahkan mati. Dengan kondisi tersebut, warga di lereng Gunung Merapi, yang semula berkelimpahan air, akhirnya mengalami krisis air.
Saya selalu menjelaskan bahwa penambangan sama sekali tidak pro rakyat.
“setiap musim kemarau, kami tidak lagi bisa bertani karena tidak tersedia air untuk irigasi. Untuk kebutuhan air minum, kami pun terpaksa harus mencari air dari sumber-sumber air di desa lain,” ujarnya.
Tidak hanya berdampak pada lingkungan, perilaku masyarakat pun berubah. Anak-anak dan remaja yang semula menjalani rutinitas sekolah dan membantu orangtua di sawah mulai ikut menambang. Sebagian di antaranya bahkan memilih membolos sekolah dan lebih mengutamakan pekerjaan menambang pasir.
Pekerja anak-anak dan remaja tersebut akhirnya terseret dalam pergaulan dengan pekerja lain yang berusia lebih tua.
“banyak anak dan remaja akhirnya memiliki kebiasaan berjudi, main kartu, dan minum minuman keras,” ujarnya.
Sikap hidup masyarakat Desa Ngargomulyo yang semula guyub rukun pun terusik. Persaingan kerja di lokasi penambangan dan pengaruh minuman keras acap kali menimbulkan pertengkaran dan perkelahian, bahkan beberapa kali kerusuhan yang akhirnya menimbulkan konflik berkepanjangan.
Menghadapi petambang
Memasuki tahun 2000, Yatin yang sejak semula gerah melihat aktivitas penambangan aktif dalam gerakan protes menolak penambangan bersama Romo V Kirjito, rohaniwan di Gereja Paroki Santa Maria Lourdes di Desa Sumber, Kecamatan Dukun. Yatin pun mengampanyekan dampak buruk penambangan bagi desanya. Langkahnya semakin intens ketika ia terpilih sebagai Ketua Badan Permusyaratan Desa (BPD) Ngargomulyo pada 2003.
“Dalam kesempatan apa pun, saya selalu menjelaskan bahwa penambangan sama sekali tidak pro rakyat,” ujarnya.
Yatin pun menggandeng para kiai dan pemuda gereja untuk menyuarakan tentang dampak buruk penambangan bagi desanya dalam setiap kegiatan agama.
Usaha tersebut pun berhasil. Banyak warga yang semula pro penambangan berangsur tersadarkan. Dukungan menolak penambangan yang semakin besar dari warga secara otomatis mendorong pekerja tambang dan pemilik modal perlahan menyingkir dari Desa Ngargomulyo.
Pada 2005, aktivitas penambangan dengan alat berat di Desa Ngargomulyo benar-benar berhenti. Pada 2006, jalan desa yang rusak diperbaiki oleh Pemerintah Kabupaten Magelang. Kini, Ngargomulyo menjadi salah satu jalan desa di kawasan Merapi yang tetap terjaga halus, mulus, tanpa dilewati truk pasir.
Pada 2007, Yatin terpilih sebagai Kepala Desa Ngargomulyo. Ia pun membentuk kelompok tani dan kelompok pecinta alam. Dari kelompok-kelompok inilah kembali tumbuh kesadaran untuk kembali menanam dan bertani.
Dengan cara ini, dia berupaya membuat warga kembali ke pola hidupnya yang lama sebagai petani, peternak, atau sesekali terlibat sebagai buruh bangunan.
Terkait dengan penambangan, di masa jabatannya yang kedua ini, Yatin akan segera bermusyawarah dengan masyarakat untuk merumuskan aturan tentang pengendalian aktivitas penambangan manual. Aturan tersebut direncanakan selesai akhir tahun ini. Ke depan, dia pun berharap agar langkah-langkahnya ini bisa mendapatkan dukungan dari pemerintah daerah.
Sumber: Kompas. Kamis, 31 Desember 2015. Hal 16.