Yatin Merawat Kehidupan di Gunung Merapi

Yatin Merawat Kehidupan di Gunung Merapi. Kompas. 31 Desember 2015. Hal 16

Menjadi kepala desa di desa kecil di lereng Merapi, Yatin (42) menyadari seruannya menolak penambangan pasir bagai suara lirih. Namun, dia tetap maju dengan keyakinannya. Menolak aktivitas tambang baginya jadi bagian dari komitmen untuk menjaga sumber air dan lingkungan yang sekaligus juga dimaknainya sebagai upaya menjaga kehidupan.

Oleh Regina Rukmorini

Desa Ngargomulyo, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, pernah rusak oleh aktivitas penambangan pasir dan batu. Erupsi Gunung Merapi yang memuntahkan material pasir dan batu sekaligus menjadikan kawasan di sekitar gunung sebagai daerah potensial untuk penambangan.

 

Bertahun-tahun setelah erupsi berakhir, 10 alur sungai yang berhulu dari gunung ini selalu di banjiri petambang, baik manual maupun alat berat, berizin ataupun ilegal. Kondisi ini ada di hampir semua desa di lereng Gunung Merapi.

Namun, dengan keyakinannya, Yatin bersikeras agar hal tersebut tidak berulang terjadi di desanya. Sejak 2005, Yatin berhasil menghentikan aktvitas penambangan dengan alat berat di desanya. Selain terus melakukan pendekatan dan komunikasi lisan, ketegasan sikap menolak penambangan ini dituangkan dalam peraturan Desa (Perdes) Nomor 3 tahun 2009 tentang pengelolaan lingkungan.

Di dalam perdes ini ditetapkan aturan bagi siapa pun untuk menjaga lingkungan Desa Ngargomulyo dan larangan menambang, terutama dengan menggunakan alat berat. Cita-citanya membersihkan Desa Ngargomulyo, 59 mata air tersebut juga mengalirkan air sepanjang tahun.

“Di musim kemarau sekering atau sepanjang apa pun, kini kami tidak pernah lagi mengalami kesulitan untuk mendapatkan air bersih,” ujarnya.

Tidak hanya menghidupi warga Desa Ngargomulyo, 59 mata air tersebut juga menjadi penyedia kebutuhan air bagi dua desa tetangga, yaitu Desa Ngargosuko dan Desa Tegalrandu di Kecamatan Srumbung.

Berubah

 Aktivitas penambangan di Desa Ngargomulyo dimulai pada 1990-an. Ketika itu, datang pihak dari luar desa ingin membangun pabrik batako dan membutuhkan tanah di lereng Gunung Merapi sebagai bahan bakunya. Namun, belakangan, yang di lakukan semata-mata aktivitas penambangan pasir dan batu. Penambangan dilakukan di alur Sungai Senowo, sungai yang bermuara di Gunung Merapi.

Penambangan tersebut menggunakan banyak alat berat dengan jumlah truk yang terus bertambah setiap hari. Perlahan, penambangan melibatkan semakin banyak orang, termasuk dari warga Desa Ngargomulyo pun berubah. Suasana desa yang sebelumnya bersih, teduh, hijau, dengan udara segar, berangsur berubah menjadi gersang, kotor, dan dipenuhi asap truk serta debu dari pasir yang dibawa berlalu lalang.

Penambangan yang tidak terkendali akhirnya juga merusak sebagian kawasan hutan yang semula menjadi kawasan konservasi. Pengerukan tanah dan pasir yang terlalu dalam dan sembarangan berdampak buruk terhadap sumber air yang ada di sekitar sungai. Sebagian sumber air akhirnya mengalami pernurunan debit dan sebagian di antaranya bahkan mati. Dengan kondisi tersebut, warga di lereng Gunung Merapi, yang semula berkelimpahan air, akhirnya mengalami krisis air.

Saya selalu menjelaskan bahwa penambangan sama sekali tidak pro rakyat.

“setiap musim kemarau, kami tidak lagi bisa bertani karena tidak tersedia air untuk irigasi. Untuk kebutuhan air minum, kami pun terpaksa harus mencari air dari sumber-sumber air di desa lain,” ujarnya.

Tidak hanya berdampak pada lingkungan, perilaku masyarakat pun berubah. Anak-anak dan remaja yang semula menjalani rutinitas sekolah dan membantu orangtua di sawah mulai ikut menambang. Sebagian di antaranya bahkan memilih membolos sekolah dan lebih mengutamakan pekerjaan menambang pasir.

Pekerja anak-anak dan remaja tersebut akhirnya terseret dalam pergaulan dengan pekerja lain yang berusia lebih tua.

“banyak anak dan remaja akhirnya memiliki kebiasaan berjudi, main kartu, dan minum minuman keras,” ujarnya.

Sikap hidup masyarakat Desa Ngargomulyo yang semula guyub rukun pun terusik. Persaingan kerja di lokasi penambangan dan pengaruh minuman keras acap kali menimbulkan pertengkaran dan perkelahian, bahkan beberapa kali kerusuhan yang akhirnya menimbulkan konflik berkepanjangan.

Menghadapi petambang

 Memasuki tahun 2000, Yatin yang sejak semula gerah melihat aktivitas penambangan aktif dalam gerakan protes menolak penambangan bersama Romo V Kirjito, rohaniwan di Gereja Paroki Santa Maria Lourdes di Desa Sumber, Kecamatan Dukun. Yatin pun mengampanyekan dampak buruk penambangan bagi desanya. Langkahnya semakin intens ketika ia terpilih sebagai Ketua Badan Permusyaratan Desa (BPD) Ngargomulyo pada 2003.

“Dalam kesempatan apa pun, saya selalu menjelaskan bahwa penambangan sama sekali tidak pro rakyat,” ujarnya.

Yatin pun menggandeng para kiai dan pemuda gereja untuk menyuarakan tentang dampak buruk penambangan bagi desanya dalam setiap kegiatan agama.

Usaha tersebut pun berhasil. Banyak warga yang semula pro penambangan berangsur tersadarkan. Dukungan menolak penambangan yang semakin besar dari warga secara otomatis mendorong pekerja tambang dan pemilik modal perlahan menyingkir dari Desa Ngargomulyo.

Pada 2005, aktivitas penambangan dengan alat berat di Desa Ngargomulyo benar-benar berhenti. Pada 2006, jalan desa yang rusak diperbaiki oleh Pemerintah Kabupaten Magelang. Kini, Ngargomulyo menjadi salah satu jalan desa di kawasan Merapi yang tetap terjaga halus, mulus, tanpa dilewati truk pasir.

Pada 2007, Yatin terpilih sebagai Kepala Desa Ngargomulyo. Ia pun membentuk kelompok tani dan kelompok pecinta alam. Dari kelompok-kelompok inilah kembali tumbuh kesadaran untuk kembali menanam dan bertani.

Dengan cara ini, dia berupaya membuat warga kembali ke pola hidupnya yang lama sebagai petani, peternak, atau sesekali terlibat sebagai buruh bangunan.

Terkait dengan penambangan, di masa jabatannya yang kedua ini, Yatin akan segera bermusyawarah dengan masyarakat untuk merumuskan aturan tentang pengendalian aktivitas penambangan manual. Aturan tersebut direncanakan selesai akhir tahun ini. Ke depan, dia pun berharap agar langkah-langkahnya ini bisa mendapatkan dukungan dari pemerintah daerah.

Sumber: Kompas. Kamis, 31 Desember 2015. Hal 16.

 

Susilowati Menyelamatkan Flores

Susilowati Menyelamatkan Flowres Kompas. 29 Desember 2015. Hal 16

Area seluas 3.514 meter persegi di pinggir jalur utama trans Maumere-Larantuka itu tampak hujau, rindang, dan sejuk. Di bagian kanan areal itu tampak bangunan dengan luas sekitar 700 meter persegi. Ruang ini menjadi kantor sekaligus ruang pamer hasil kreativitas Susilowati (40) yang diberi gelar “Ratu Sampah Flores”

OLEH KORNELIS KEWA AMA

Susilowati mengoordinasi relawan di daratan flores untuk mengumpulkan berbagai jenis sampaha, kemudian dikirim ke Yayasan Anak Cucu Sejahtera (YACS) yang berkantor pusat di Maumere. Kegiatan ini sebagai upaya mendukung pariwisata Flores dan menciptakan lingkungan yang bersih dan hijau.

Ia tidak hanya mempromosikan gerakan menabung sampah si bank sampah di YACS, tetapi juga gerakan menanam dan menjadikan Flores sebagai pulau yang hijau melalui program Indonesia HIjau.  Ketika ditemui di kantor YACS di Maumere, awal Desember ini, Susi demikian panggilan akrab Susilowati, baru saja membawa balasan anak difabel pulang dari pasar Alok di Maumere. Di Pasar Alok, mereka membersihkan sampah sekaligus mengajak warga Sikka menghormati dan memberikan perhatian kepada anak-anak difabel.

Ini ada keranjang dari bekas bungkusan mi instan, ada tas dari bekas bungkusan mi instans, ada dari bekas kertas Koran, kertas-kertas kantor yang tidak terpakai, dan asbak rokok dari bekas pecahan keramik. Semua yang tersimpan di show room ini adalah hasil karya anak-anak cacat yang sering dianggap tak punya kemampuan oleh orang normal.”kata Susi mengungkapkan bahwa gelar “Ratu Sampah Flores” itu diberikan oleh turis asing yang datang ke kediaman Susi pada 2012.

Saat itu rumah dipenuhi tumpukan sampah sehingga tamu sangat sulit untuk bergerak kemana-mana. Kini, setelah hadirnya bank sampah, sampah tersebut tidak berserakan lagi. Sampah yang dibawa warga ke lokasi itu langsung diolah oleh anak-anak difabel yang berada dibawah koordinasi dan bimbingan Susi. Ia menuturkan, turis mancanegara yang peduli lingkungan selalu tiba di kediaman Susi jika mereka ke Flores. Satu grup wisatawan asing peduli lingkungan terkenal dengan nama “Sawadee” asal Belanda, setiap tahun, rutin mengunjungi Flores. Mereka selalu singgah di lokasi tersebut. Selain itu, turis-turis dari Jerman, Inggris, Amerika Serikat, dan Kedubes AS juga pernah berkunjung ke YACS.

 

Bank Sampah

Bank sampah mulai terbentuk 14 Februari 2014, bertepatan dengan Hari Kasih Sayang. Pada Hari Kasih Sayang diyakini banyak kado, bungkusan, yanag berserakan dan menjadi sampah. Disebut bank karena beroperasinya mirip bank. Warga menabung sampah ke YACS. Setiap orang yang memiliki sampah membawanya ke YACS dan satu bulan kemudian mereka datang mengambil uang di YACS. Bagi mereka yang tidak ingin mengambil uang dalam waktu dekat, mereka boleh mengumpulkan sampah sebanyak mungkin dan kemudian ditimbang. Mereka bisa mengambil uangnya di saat lain ketika membutuhkannya.

“ Saya melakukan sosialisasi tentang program ini di sekolah, desa, kelurahan, dan kecamatan secara sukarela. Saya mencatat jenis sampah dan mereka juga mendapatkan selembar kertas sebagai bukti penyerahan sampah untuk mendapatkan uang setelah satu bulan,” kata Susi. Istri Hermanus Wilhelmus Koopman, warga Belanda ini mengatakan, setiap ada acara di kecamatan yang menghadirkan banyak warga, ia selalu menempatkan diri hadir. Susi pun meminta camat setempat berbicara tentang program bank sampah. Hingga saat I I, sudah Sembilan kecamatan yang terlibat. Pada sosialisasi tingkat kecamatan itu, semua kepala sekolah juga diundang. Program ini disatukan dengan pendidikan kepramukaan, yakini program “Majelis Pembimbing  Gugus Depan” Kepala sekolah sebagai majelis pembimbing ikut mengarahkan siswa untuk menjaga lingkungan agar bersih dan sehat.

Sekarang, bank sampah ini telah memiliki cabang di Larantuka, Ende, dan sejumlah kantor unit di wilayah Sikka dan sudah mempunyai 1.168 nasabah. Di antara nasabah itu ada anak-anak berusia dua tahun.  Sampah-sampah yang terkumpul di bank sampah kemudian di proses oleh kaum difabel dibawah bimbingan dan mengarahkan mereka sampai benar-benar mandiri atas pekerjaan itu. “Kami bekerja dengan prinsip ramah lingkungan, tidak hanya menyangkut lingkungan yang bersih, rindang, sejuk, dan asri, tetapi juga menyangkut perilaku dan sikab terhadap orang-orang disekitar. Yayasan ini menjadi sentra usaha kecil bagi kaum difabel sehingga tempat itu diciptakan sedemikian rupa agar benar-benar membuat kaum difabel sehingga tempat itu diciptakan sedemikian rupa agar benar-benar membuat kaum difbel betah dan merasa memiliki tempat ini. “kata Susi yang pernah menyurati Presiden Joko Widodo agar pemulung, termasuk relawan bank sampah, mendapatkan BPJS Kesehatan. Namun, surat itu belum mendapat balasan.

Sedikitnya 15 difabel bekerja di YACS, salah satunya warga yang berasal dari desa di pedalaman Sikka. Saat tiba di YACS, tangannya tidak bisa menggenggam, tetapi setelah diberi pelatihan, tangannya akhirnya bisa berfungsi normal. Kini, ia duduk di kursi roda, tetapi mampu memberikan pelatihan kepada orang-orang normal untuk membuat beberapa jenis keterampilan alat dapur dari sampah. Para difabel ini biasanya diantar orangtua ke YACS setiap pagi, kemudian dijemput pada sore hari. Di YACS, para difabel dilatih keterampilan membuat berbagai cendera mata dan souvenir berbahan baku sampah. Atas kerjaannya itu, mereka mendapat upah Rp 1 juta- Rp 1,5 juta per bulan. Saat ini, Siprianus Sadiun percaya menjadi Ketua Umum YACS. Ia juga difabel yang berjalan dengan tangan. Adapun untuk pengawas, dipercayakan kepada Karno yang juga penyandang difabel karena hanya memiliki satu tangan. Memiliki keterbatasan fisik, mereka sudah terampil mengungting, menyambung kemudian menempel dan menjahit untuk mnghasilkan souvenir yang cantik.

“Hasil karya mereka, seperti gelas, dompet, keranjang, tas, asbak rokok, dan pensil dijual ke Denpasar. Tetapi, jenis sampah yang tidak dapat di proses menjadi souvenir kami kirim ke Jawa,” Kata Susi. Sementara itu, sampah basah dari dapur, seperti potongan sayur, buah-buahan, dan makanan lain, diproses menjadi pupuk organik. Ia belajar membuat pupuk organik dari sampai basah pada 2014 di Jakarta.

Sumber: Kompas.-29-Desember-2015.-Hal-16

Sukirno Mendidik dan Mengajak Masyarakat Pakai Kompos

Mendidik dan Mengajak Masyarakat Pakai Kompas. 4 Desember 2015.Hal.16

Keterbatasan pendidikan tidak menjadikan Sukirno (35), warga Desa Pamulihan, Kecamatan Larangan, Kabupaten Brebes, rendah diri dan tertinggal dari teman-temannya. Ayah tiga anak tersebut justru mampu memberdayakan masyarakat di sekitarnya dan membuka lapangan pekerjaan bagi mereka, mulai dari anak muda hingga orang tua.

Oleh Siwi Nurbiajanti

Berbekal niat dan cita-cita ingin hidup sejahtera bersama masyarakat di lingkunganya, Sukirno mulai membuat usaha pengolahan kompos dari kotoran ternak pada 2011. Awalnya, pria yang hanya mengenyam pendidikan hingga kelas III SD tersebut bekerja sebagai pedagang hasil bumi.

Dia membeli hasil pertanian dari petani di wilayahnya dan kemudian memasarkannya. Kebanyakan masyarakat Desa Pamulihan memang bermata pencarian sebagai petani serta peternak kambing, kerbau, dan sapi.

Pada 2010, Sukirno bergabung dengan kelompok Tani Muncul, Desa Pamulihan, sebagai bendahara. Dari situlah dia mendapatkan kesempatan dari pemerintah untuk mengikuti pelatihan hortikultura di Karanganyar, Jawa Tengah. Dalam pelatihan itu, dia juga mendapatkan materi mengenai pembuatan pupuk kompos.

“saya mendapatkan materi pembuatan kompos sekitar 10 menit, tetapi saya langsung tertarik dan yakin bisa membuatnya,” kata Sukirno saat ditemui, kamis (19/11).

Sepulang dari karanganyar, dia pun kemudian mencoba membuat kompos bersama kakaknya, Sakuri, dan seorang temannya, Sakwin.

Awalnya, dia membuat kompos dari kotoran sapi sebanyak 1 ton. Proses pembuatan kompos dilakukan secara manual, tanpa menggunakan mesin giling. Kotoran sapi diperoleh dari peternak sapi di wilayahnya.

Saat itu, kompos yang dihasilkan dibagi untuk bertiga. Sakuri dan Sakwin menggunakan kompos tersebut untuk memupuk tanaman bawang merah mereka, sementara Sukirno menjual kompos tersebut karena saat itu dia belum mempunyai sawah. Hingga awal 2012, dia masih mengolah kompos secara mandiri dengan peralatan sederhana yang dimilikinya.

Pada 2012, Sukirno dan petani lain di Desa Pemulihan mendapatkan bantuan 21 kambing jawa dari, Pemerintah Kabupaten Brebes melalui program Desa Mandiri Pangan. Dengan adanya bantua itu, kemudian dibentuk kelopok peternak kambinng Mahesa Djenar 4 di desa Pamulihan yang diketuai oleh Sukirno. Saat itu, jumlah anggota kelompok ternak tersebut 10 orang. hingga 2015 ini, jumlah kambing yang dimiliki kelompok itu mencapai 121 ekor dengan jumlah anggota kelompok Peternak kambing Mahesa Djenar 4 sebanyak 12 orang. Sukirno kemudian mengajak anggota kelompoknya untuk tidak sekedar beternak kambing tetapi juga mengolah kotoran ternak itu menjadi pupuk alami. Kebetulan pada tahun yang sama, pemerintah setempat juga memberikan bantuan rumah kompos dan mesin giling kotoran ternak kepada petani dan peternak diwilayah tersebut.

Dengan kerja keras yang dilakukan Sukirno dan kawan-kawannya serta bimbingan dari pemerintah, antara lain Dinas Peternakan Kabupaten Berebes, usaha pembuatan kompos oleh Kelompok Mahesa Djenar 4 pun dari waktu ke waktu terus meningkat pada 2013, volume kompos yang dihasilkan mencapai 20 ton per bulan. Pada 2014, produksi semakin meningkat ghingga mencapai lebih dari 400 ton per tahun. Bahkan, pada semester II tahun 2014, sukirno dan kawan-kawannya mampu memenuhi pesanan pupuk secara rutin dari Bogor sebanyak 50 ton per bulan. Pada tahun 2015 pun, kapasitas pengolahan pupuk mereka semakin meningkat mencapai 70 ton per bulan.

 MEMBINA

dalam menjalankan usaha pengolahan pupuk, Sukirno membuka kesempatan kerja seluas-luasnya bagi masyarakat disekitarnya. Tidak hanya anggota kelompok Mahesa Djenar 4 yang terlibat dalam pengolahan kompos, tetapi semua petani dan peternak yang ingin bergabung juga diperbolehkan. Mereka bisa terlibat dalam pencairan bahan baku, pengolahan kompos dan pengepakan. Masyarakat juga bisa jadi kuli angkut saat penjualan pupuk. Sukirno membeli kotoran kambing dari peternak diwilayah Pamulihan Rp. 10.000 per karung isi 30 kilogram. Sebagian bahan baku kotoran kambing juga diperoleh dari daerah lain di kabupaten Brebes seharga Rp. 11.000 per karung. Selisih Rp.1.000 diberikan kepada masyarakat yang menjadi pengepul kotoran.

Masyarakat di wilayah pamulihan yang terlibat dalam pengolahan hingga pengepakan pupuk mendapatkan upah Rp. 95.000 per orang per hari. Produksi kompos 70 ton perbulan di kerjakan sekitar 30 pekerja perhari dengan masa produksi 15 hari.

Sukirno pernah mempekerjakan 86 orang selama tiga hari karena banyak warga yang ingin ikut bekerja. Meskipun, menurut Sukirno, dengan kapasitas produksi sekarang, sebetulnya tidak diperlukan tenaga kerja hingga puluhan orang. produksi kompos sekitar 70 ton per bulan sebenarnya bisa diselesaikan oleh anggota kelompok Mahesa Djenar 4 sendiri.

“Kalau dikerjakan anggota kelompok sendiri saja, dalam sebulan kami bisa produksi rutin setiap hari. Tapi saya ingin sejahtera bersama masyarakat di wilayah saya” katanya.

Bahkan karena kuatnya keinginan untuk sejahtera bersama masyarakat di desanya, tahun ini Sukirno menolak dipekerjakan oleh investor pupuk di Bogor. Padahal, dia ditawari gaji yang memadai dengan fasilitas mobil untuk aktifitasnya sehari-hari. Upaya Sukirno mengolah kompos juga mampu mengubah perilaku petani di Desa Pamulihan dari semula hanya menggunakan pupuk kimia menjadi pengguna pupuk kompos.

Meski belum 100 persen menggunakan pupuk kompos, hampir semua petani di desa itu sudah mencampurkan kompos untuk memupuk tanaman bawang merah atau jagung yang merupakan tanaman an dalan petani di desa Pamulihan.

Penggun aan pupuk kompos ini diharapkan secara bertahap bisa memperbaiki kesuburan tanah. Sukirno juga berusaha tidak pelit dengan ilmu yang dimilikinya. Dia pun mengajarkan cara membuat kompos kepada petani diwilayahnya yang ingin membuat kompos sendiri.

Sukirno emngakui saat ini mereka bermasalah soal pemasaran pupuk karena belum ada pemesanan rutin hal ini membuat penjualan kompos belum stabil. Akibatnya, tidak jarang persediaan pupuk menumpuk saat pesanan pupuk sedang sedikit. Iapun berharap petani makin banyak yang mau menggunakan pupuk kompos.

SUMBER : Kompas.-4-Desember-2015.Hal_.16

Mansentus Mendekatkan Layanan Kesehatan bagi Warga

Mansentus Mendekatkan Layanan Kesehatan bagi Warga. Kompas. 20 Desember 2015. Hal 16

Sepeda motor menjadi kendaraan sangat penting di kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Salah satunya digunakan untuk mendekatkan layanan kesehatan bagi masyarakat di pedesaan. Hanya saja, bidan dan tenaga kesehatan, sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan, umumnya tidak diberi sepeda motor oleh instasinya untuk mendukung pekerjaan mereka.

OLEH KHAERUL ANWAR

Nama Mansetus Kalimantan Balawala (42) punya terobosan untuk mengatasi persoalan. Lewat program Manajemen Sarana Transportasi Pengolahan Kerusakan Minimum (Zero Breakdown Motor cycle), yang di implementasikan melalui pinjam-pakai sepeda motor kepada bidan dan tenaga kesehatan di pedesaan, mata rantai kendala untuk semua  kesehatan itu bisa diputus. Ide tersebut muncul, kata Ketua Yayasan Kesehatan (YKS) yang bermarkas di Larantuka, ibu kota Flores Timur ini, dari tingginya kematian bayi dan ibu melahirkan yang umumnya karena perdarahan (eklamsia).

Kematian terjadi karena ibu hamil terlambat mendapat pertolongan bidan dan tenaga kesehatan yang terkendala topografi wilayah kabupaten itu yang berbukit/ bergunung. Hubungan warga antardesa ditempuh berjalan kaki melalui medan yang sulit dilalui.

Di kabupaten berpenduduk 134.879 jiwa (2014) itu, sarana dan fasilitas transportasi amat terbatas. Angkutan umum seperti mobil bak terbuka dan truk, hanya ada di pasaran. “Apabila ada pasien sakit dan perlu segera mendapat pertolongan, tidak bisa dibawa segera hari itu. Pasien harus menunggu hari pasaran,” katanya.

CARI DONATUR

Mansetus menjawab persoalan itu dengan sepeda motor. Ia menjalin hubungan dengan Simon Millward, seorang pengelana asal Inggris, yang gemar berkeliling ke sejumlah negara sekaligus menggalang dana untuk disumbangkan bagi kalangan tidak mampu. Simon memberinya 11 sepeda motor pada 2002 sebagai “modal awal”

Sepeda motor itu dipinjamkanpakaikan kepada bisan dan tenaga kesehatan yang semuanya pegawai negeri sipil. Sebagai “aturan main” YKS dan pemegang sepeda motor harus menerapkan sistem pengelolaan kerusakan minimal. Maksudnya, sepeda motor itu diservis secara berkala. Dengan cara ini, sepeda motor selalu siap pakai selama 24 jam. Perawatan dan penggantian suku cadang ditangani montir dan bengkel milik YKS. Adapun biaya pelayanan dan pembuatan surat izin mengemudi (SIM) ditanggung pemegang sepeda motor. Pemegang sepeda motor juga diberi pelatihan montir dasar agar bisa menangani sendiri jika motor mengalami kerusakan kecil. Dengan perlakuan demikian, para pemakaian sangat terbantu ketika menjalankan tugasnya di lapangan.

Disepakati pula, aspek pelayanan kesehatan menjadi “harga mati” sekaligus persyaratan penggunaan sepeda motor. Jika melanggar aturan itu, pengguna sepeda motor akan dicabut serta diambil alih oleh bidan tenaga kesehatan lain. Aturan tersebut dijalankan secara nyata terhadap tiga pemakaian yang dicabut sepeda motornya. Pasalnya, dua sepeda motor ringsek setelah masing-masing menabrak pohon serta seekor kuda dan mereka tidak melaporkannya. Satu pengguna memakai sepeda motor tersebut untuk pulang kampung selama berhari-hari.

Kerusakan itu tidak dilaporkan kepada Mansetus mungkin karena yang bersangkutan takut dan malu melaporkan. Padahal, kerusakan kecil sepeda motor harus dilaporkan agar sepeda motor segera diperbaiki sehingga pelayanan kesehatan bagi masyarakat tetap berjalan.

TERLIBAT

Dalam pelayan kesehatan itu, Mansetus bersama bidan dan petugas kesehatan, empat kali seminggu, turun lapangan untuk kegiatan penyuluhan, posyandu, pemeriksaan ibu hamil mdan bayi, imunisasi, serta mendistribusikan obat-obatan dengan menggunakan sepeda motor. Dari 21 kecamatan di flores timur, yang menjadi sarana utama pelayanan adalah Kecamatan Ile Mandiri, Adorana Barat, Solor Barat dan Lewolema. Pasalnya, tingkat kesehatan penduduk ditempat kecamatan ini adalah yang terparah di Flores Timur.

Warga cukup antusias menyambut program ini. mereka selalu menunggu petugas kesehatan datang sehingga warga tidak perlu keluar ongkos atau berjalan kaki cukup jauh untuk ke puskesmas atau rumah sakit di kota guna memeriksakan kesehatan. Jarak puskesmas dan rumah sakit cukup jauh dari desa mereka. Misalnya, puskesmas terdekat dari Desa Tagawati berada di Desa Waipukang yang berjarak sekitar 30 kilometer dan hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Begitu pun perjalanan dari Lewoleba, ibu kota Lembata, ke Larantuka ditempuh empat jam dengan perahu motor.

Meski sarana prasarana transportasi dan kesehatan di wilayah semakin baik sejak 2005, transportasi tetap menjadi persoalan. “Saat ini ada rumah sakit di lembata, tetapi pasien yang emmerlukan perawatan yang serius harus dirujuk ke rumah sakit di larantuka yang memiliki fasilitas dan peralatan lebih lengkap” katanya.

Setelah program YKS bersama bidan, tenaga kesehatan, dan kader kesehatan berjalan selama 13 tahun, hasilnya mulai terlihat. Hal ini terindikasi dari empat kecamatan yang kondisi kesehatan penduduknya terburuk. Selama Januari sampai awal Desember 2015, tidak ditemukan lagi kasus kematian ibu melahirkan dan kematian bayi. Kondisi ini amat berbeda dengan yang terjadi pada tahun 2000 saat ada 25 kasus kematian ibu, 77 kematian bayi, dan 97 kasus kematian anak.

Peran Manteus ini mengundang perhatian donator yang di tunjukkan dengan dukungan berupa sumbangan sepeda motor. Tercatat Ausaid mnyumbang 2 sepeda motor; motor Cycle Outreat, Inggris memberikan bantuan 3 sepeda motor Honda Revo. Saat ini, dari 11 sepeda motor diawal program berjalan hanya 3 sepeda motor yang “sehat” sisanya sudah dilelang karena tidak layak lagi menempuh medan berat.

Karena perannya itu, Mansetys tercatat sebagai penerima “SATU Indonesia Award” 2010 dari PT Astra International Tbk” sampai kapan Mensetus melakoni pekerjaannya? Ia menjawab “Ya, seterusnya. Saya berpedoman pada ajaran kitab suci bahwa barangsiapa berbuat paling indah untuk saudara-saudaraKu maka ia telah berbuat baik untuk Aku (TUHAN)

Sumber : Kompas, Rabu 30 desember 2015

Handi Setyanto Pr Perjumpaan Melalui Wayang Wahyu

Handi Setyanto Pr Perjumpaan Melalui Wayang Wahyu. Kompas. 28 Desember 2015. Hal 16

Wayang menjadi wahana bekerja sekaligus belajar bagi Agustinus Handi Setyanto Pr (35). Khazanah budaya Jawa itu menjadi sarana pastor di Paroki Purwokerto, Jawa Tengah, tersebut untuk mendekati umat, sekaligus mengenali dirinya sendiri melalui perjumpaan dengan manusia lain yang berbeda keyakinan.

OLEH RINI KUSTIASIH/IRENE SARWINDANINGRUM

Begitu asyiknya ia tenggelam dalam wayang, sampai-sampai Handi harus mencari-mencari waktu untuk studinya. Ia menyambut kami didepan pintu Seminari Tinggi Santo Paulus di Kentungan, Kabupaten Sleman, di Yogyakarta, Rabu (16/12) pagi. Pastor muda itu berdiri sangat tenang dalam balutan kaos hitamnya yang bertuliskan “Jesus Paints A Smile on Me” Senyumnya mengembang.

“Sudah setahun saya disini. Saya sedang kuliah lagi emngambil jurusan Performing Art Studies di universitas Gajah Mada. Ini semua berkat dorongan Uskup saya di Purwokerto yang selama ini melihat saya aktif menjadi dalang wayang wahyu,” kata Handi yang sejak 2008 menekuni wayang wahyu salah satu genre wayang yang dipakai untuk menyampaikan kisah-kisah injil kepada umat Katolik. Kamarnya di seminari tinggi itu pun lebih mirip bengkel kerja seorang seniman sebab kuas, cat, dan belasan lembar wayang kulit berserakan di meja kerjanya. Tempatnya bekerja dengan tempat tidur dikamar tersebut hanya dibatasi lemari baju. Dikamar itulah, Handi diwaktu senggangnya mewarnai wayang wahyu.

“Sampai dengan akhir tahun ini, saya tidak menerima tanggapan. Sebab, saya saya harus menyelesaikan tesis. Jika ada waktu, saya lebih memeilih untuk mewarnai wayang-wayang ini” ujarnya.  Wayang wahyu berbeda dengan wayang kulit pada umumnya karena tokoh dan sosok wayang wahyu mengikuti kisah Injil. Hadirlah sosok Yesus yang mengenakan belangkon dan disalib pada kayu yang seperti dibelit ular dari kaki hingga kedua tangannya. Personifikasi Yesus tersebut sangat “Jawa” kendati sebenarnya ada sedikit kekeliruan dalam pengerjaannya.

“Sebenarnya itu bukan belangkon. Itu adalah mahkota duri. Tetapi, perajin wayang kulit yang membuatnya salah mempersepsikan gambar pola yang saya berikan. Maka, jadilah sosok Yesus seperti itu. Namun, itu sebenarnya bisa diperbaiki dengan teknik pewarnaan sehingga nanti duri di mahkotanya bisa terlihat”. tutur Handi.

Untuk membuat wayang-wayangnya, Handi banyak berkomunikasi dengan perajin wayang kulit dan beberapa dalang kenamaan di Solo, jawa Tengah. Ia sendiri adalah anggota Paguyuban seniman wayang wahyu Ngajab Rahayu, di Solo. Pengembangan pola dan sosok wayang yang menjadi tokohnya tak luput dari sentuhan perajin dan seniman lain. Salah satunya Wakiban (45) perajin wayang kulit di desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, selama ini membantunya mewujudkan tokoh-tokoh wayang yang dikehendaki. “Ini hasil diskusi saya dengan banyak orang. sebab, wayang wahyu memang sudah ada dari dulu. Guru saya antara lain Pak Bambang Suwarno yang juga dalang dan peneliti wayang, serta Pak Bono (Blacius Subono), seorang pengrawit. Beberapa ide bentuk tokoh wayang wahyu saya peroleh dari mereka, tetapi ada juga yang saya buat sendiri. Bahkan ada juga yang hasil diskusi saya dengan Mas Wakiban,” Kata Handi.

Bungsu dari tujuh bersaudara ini mebuat tokoh Maria., ibunda Yesus, sesuai imaji Jawa. Diskusinya dengan Wakiban menghasilkan beberapa bentukan wayang yang unik. “Saya bilang, Mas, tolong saya dibuatkan wayang perempuan, tetapi ada kerudungnya. Sebab, ini Bunda Maria.’ Mas Wakiban memberi masukan, lalu jadilah Wayang Maria yang seperti ini” ungkapnya sembari menunjukkan wayang Maria.

BERTEMU GURU

Diskusi dengan Wakiban itu unik, sebab wakiban adalah seorang Muslim. Proses kreasi dan pembuatan wayang itu pun tak lepas dari sentuhan Wakiban yang memberi warna. Sekalipun bukan Katolik, wakiban berusaha memahami maksud, bahkan memberikan saran jika diperlukan.

Perjumpaan Handi dengan Wakiban sama istimewanya dengan pergulatannya dengan Sutrisno (62), seorang guru di Kroya, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah yang pertama kali mengajari Handi mendalang. Handi bertemu Sutrisno yang Muslim itu ketika ditugaskan diKroya setelah ia ditasbihkan menajdi imam, tahun 2008.

“Awalnya saya melihat seni tradisional, seperti ketoprak, wayang, dan jatilan, digemari warga pedesaan tempat saya bertugas. Saya lalu tertarik untuk mengembangkan wayang wahyu yang juga dikenal dalam tradisi Gereja. Saya meminta tolonng Pak Tugiman, tetangga Pastoran, tempat saya tinggal, untuk dikenalkan kepada orang yang bisa mendalang. Saya diantarkan kepada Pak Sutrisno yang jago mendalang tuturnya.

Selanjutnya ia berjumpa dengan Heru dan Eko, dua guru lainnya yang mengajarinya sabetan, teknik menggerakkan wayang, serta memahami suluk atau mengenali kepekaan telinga pada tembang dang ending. Setelah hampir setahun, handi dianggap menguasai ilmu pedalangan. Ia pun tampil dengan kelompoknya yang diberi nama Hamangunsih di lapangan Desa Karangmangu, Kroya, tahun 2009.” Adanya penampilan wayang wahyu yang digelar terbuka dilapangan umum itu ternyata menarik perhatian. Warga desa ramai menonton,” katanya.

HASIL IURAN

Upaya Handi mengembangkan wayang wahyu tersebut mendaptkan dukungan banyak pihak. Rekannya sesame Pastor unio (praja) Keuskupan Purwokerto pun patungan untuk membeli wayang. Uskup Sunarka SJ membelikannya seperangkat gamelan. Setelah itu, Handi menggunakan uang honor pementasannya untuk menambah anak-anak wayangnya. Ia tidak pernah menghitung jumlah uang pribadi  yang sudah digunakan untuk melengkapi dan merawat perlatan wayang wahyu ini. Mungkin bisa belasan hingga puluhan juta rupiah. Satu wayang kulit berkualitas sedang saat ini harganya sekitar 500.000. sementara harga sekotak wayang wahyu berkisar puluhan hingga ratusan juta rupiah tergantung dari kualitasnya. Bahkan, satu kotak wayang berisi 200 wayang dengan prada emas bisa berharga RP 500 juta. “Kemarin ada yang menawarkan sekotak wayang wahyu Rp 60 juta, tetapi saya terlambat merespon sudah lebih dulu dibeli oranglain, ujarnya.

Untuk menyiasatinya, Handi sering membeli bakal wayang yang disebut begingan atau wayang yang belum diwarnai dan belum diberi tangkai. Saat ini, harga gebingan sekitar Rp 300.000 itu pun yang hanya berkualitas sedang.

SUMBER : KOMPAS, SENIN, 28 DESEMBER 2015

Handoko Tak Jadi Pensiun

Hamdoko Tak Jadi Pensiun. Kompas. 26 Desember 2015

Berkali-kali dia nyaris menjadi tersangka provokator, difitnah, dan mengalami pembunuhan karakter. Namun, Handoko Wibowo (53) bergeming. Tak ada yang dia takuti selama pijakannya kebenaran dan keadilan.

OLEH MARIA HARTININGSIH

Rumah Handoko di Dusun Cepoko, Desa Tumbrep, Kecamatan Batang, Jawa Tengah, yang menjadi secretariat organisasi Omah Tani takpak meriah, Sabtu (19/12) malam. Sekitar 700 anggota Omah Tani berkumpul, membawa makanan masing-masing, untuk dimakan bersama. “Slametan ini menandai keberhasilan perjuangan petani dalam kasus redistribusi tanah,” petani nelayan, dan buruh itu. “Untuk 425 KK petani tanpa tanah, masing-masing 2.000-2.500 meter persegi.

Senin (21/12), pengukuran lahan seluas 89,9 hektar itu sudah selesai, lalu dilakukan pematokan yang diharapkan selesai sebelum penyerahan sertifikat secara simbolik akhir desember 2015. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan dikemudian hari, sertifikat diupayakan tidak individual, tetapi komunal.

Slametan itu juga menjadi pertanggungjawaban Handoko, dari Divisi Hukum Organisasi Omah tani, untuk menjelaskan kepada petani non-penggarap, buruh, dan penggarap tentang perjuangan kasus redistribusi tanah selama lebih dari 15 tahun.

Perjuangan berdarah-darah itu menemukan titik terang dengan SK Menteri Pertahanan, 18 Januari 2014, yang menetapkan lahan terlantar bekas perkebunan swasta itu sebagai obyek landreform dalam Program Reforma Agraria, dikuatkan dengan Surat Keputusan Nomor 628/KEP-33.14/XII/2015, pada 11 Desember 2015. Kedua SK itu menyusul penetapan HGU no I/Batang atas nama PT Perkebunan Tratak sebagai tanah terlantar.

Menolak Kekerasan

Untuk kasus itu, Handoko mendampingi petani penggarap sejak tahun 1998. Mereka mengalami eksploitasi dari preman penjaga lahan terlantar itu sejak 1988. “Saya bantu membentuk serikat, memilih ketua, mengajari pidato, membuat surat, melakukan aksi damai berkali-kali dan menghadapi berbagai tantangan.”

Tahun 2008 merupakan puncak kekerasan karena pihak preman mau memasukkan investor dan mengusir petani. Mereka menyerbu lahan dan menyebar teror, diantaranya dengan selebaran gelap menggunakan isu SARA.

Gerakan adalah mentransformasikan persaaan sakit, lapar, marah dan perasaan tertindas.

“Begitu ada kantongan, para ibu berangkat ke lahan dan menjaganya. Saya juga minta mereka ngaji di mushala dirumah saya tiap malam. Selama delapan tahun, shalawatan, Alhamdullilah, jalannya dilapangkan.”

Kasus itu adalah satu dari empat kasus sengketa tanah dengan swasta yang berhasil diselesaikan secara damai selama 19 tahun terakhir. Satu diantaranya berakhir melalui kesepakatan tahun 2008 dengan perhutani KPH Kendal. Petani bisa terus terang menggarap. Perhutani mendapatkan eco-label karena konfil selesai dengan win-win solution sehingga produknya bisa dijual tanpa melalui negara perantara.

Handoko mendampingi 900 KK petani penggrap dilahan 152 hektar, lokasi 107 itu sejak awal tahun 2000-an. “Saya yakinkan kepada perhutani, petani hanya mau menggarap. Kepada petani saya tegaskan pentingnya dialog dan penghormatan pada sistem,” ujar Handoko.

DIALOG

Handoko Widodo ditetapkan sebagai penerima Penghargaan Yap Thiam Hien (YTHA) 2015. Dia dinilai secara konsisten berjuang mendampingi korban-korban konflik pertahanan selama hampir 20 tahun. “handoko percaya pada jalur dialog dan menolak kekerasan. Dia meyakini keadilan untuk semua,” ujar Ketua Dewan Juri Todung Mulya Lubis, di Jakarta, Senin (14/12).

“Dia melakukan kerja pengorganisasian dan pendampingan hukum sebagai solusi konflik pertahanan.” Perjuangan membela petani tanpa tanah sangat berisiko. Selain kenyang ancaman dan teror, dia juga menghadapi fitnah dan pembunuhan karakter. Namun tak sedikit teman yang mendukung termasuk para kiai dan habib yang tahu benar yang dilakukan Handoko selama ini. “Kasus Salim Kancil terjadi karena taka da perhatian pada kasus-kasus tanah. Pemerintah tak pernah memutus mata rantai konflik tanah sejak zaman Belanda.” YTHA membuat Handoko tak jadi pensiun untuk mengurus rumah singgah bagi aktivis. Dia ingin memaknainya dengan keliling Indonesia, memberikan semangat kepada teman-teman diakar rumput agar tak lelah berjuang.

“Gerakann adalah menstransformasikanperasaan sakit, lapar, marah, dan seluruh perasaan tertindas.,” Ungkap handoko yang kini gerakannya melebar ke isu buruh.

“Kerja ini seperti main lumpur, sudah bersih dilempar lumpul lagi. Kemenangan kecil-kecil jadi kemenangan bersama.”

Kunjungan banyak pihak ke Omah Tani membuat mereka tidak merasa sendiri. Semangat terus dipupuk dengan kerja kemanusiaan dan berbagai aksi terkait kasus-kasus pelanggaran HAM.

SOSOK PENTING

Handoko adalah sosok penting dibalik perjuangan petani Batang untuk merebut kembali martabatnya. Dia seorang Kristiani, berasal dari etnis Tionghoa, yang meninggalkan kemapanannya untuk menjadi pengacara petanitanpa tanah secara gratis, mulai tahun 1997.

Sejak kecil dia sudah tahu banyak tentang kekerasan dan pengasuhnya yang pernah ditahan terkait kasus 65. Da berhadapan langsung dengan pengalaman ayahnya yang sempat ditahan, tetapi tidak dikeluarkan karena tidak terbukti menjad angota partai terlarang. Kasus-kasus pemerasan juga beberapa kali menimpa keluarganya. Handoko berasal dari keluarga kaya tahun 1960-an yang mewariskan lahan seluas 8 hektar. Tanaman sengkeh dilahan itu kini tak banyak diurus. “Saya trauma,” ungkapnya. “Sekarang saya jual ijon, untuk biaya kegiatan Oma Tanih” ucapnya.

Ayahnya bangkrut waktu zaman monopoli cengkeh tahun 1990-an. Sebagai sulung dari lima bersaudara, Handoko harus bekerja keras untuk memberesi utang keluarganya. Saya ayah mengajarinya masuk sekolah hukum saat dia terjerat mafia peradilan tahun 1974. “Saya maunya sekolah designer ke Paris. Ayah saya piker itu sekolah arsitek, tetapi tante saka kasih tahu, itu sekolah jahit. Kalau begitu, belajar saja sama Pak Ikhsan ha-ha-ha.”

Lisensi pengacara didapat tahun 1991, tetapi digunakan tahun 1994 dalam perkara PTUN Arief Budiman, bersama para pengacara senior. Setelah itu dia membuka kantor pengacara, tetapi menolak bayaran untuk kasus pidana. Sebaliknya dia sering mengunjungi para tahanan, membawakan nasi bungkus, air minum, plus kurma kalau bulan puasa. “Lulus kuliah saya tiap hari ke polres ini, polres itu, hampir tiap hari ke kantor polisi, saya jadi matang dijalan, dan banyak hal yang membuat saya tersentuh.” Handoko telah memilih jalan hidupnya yang terjal dan membiarkannya mengalir

SUMBER : KOMPAS SABTU 26 DESEMBER 2015

Avo Juhartono Menyeimbangkan Konservasi dan Kesejahteraan Warga

Avo Menyeimbangkan Konservasi dan Kesejahteraan Warga. Kompas. 23 Desember 2016. Hal 16

MENYEIMBANGKAN KONVERSI DAN KESEJAHTERAAN WARGA

Upaya konservasi lingkungan atau hutan tanpa melibatkan peran serta masyarakat hanyalah akan menjadi logan. Begitu pula jika upaya konservasi itutidak memperhatikan kesejahrataan warga disekitar hutan, maka kepedulian warga terhadap hutan akan tipis dan rasa kepemilikan terhadap hutan yang lestari hanyalah angan-angan.

OLEH RINI KUSTIASIH

Kesimpulan itu terpatri di benak Avo Juhartono (46). Bapak dua anak yang tinggal di Cigugur., Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, itu sejak remaja telah keluar masuk hutan. Selain karena menjadi anggota kelompok pecinta alam disekolahnya, SMA 2 Kuningan, ia sendiri tinggal disekitar hutan.

Rumahnya berdampingan dengan instalasi reservoir air bersih yang disalurkan dari hulu Ciremai, hanya sekitar 7 kilometer dari jalur pendakian utama Gunung Ciremai di Desa Patulungan, Kecamatan Cigugur.

“Masyarakat sekitar hutan sekarang amat butuh pemberdayaan. Tanpa adanya nilai ekonomi dari konservasi hutan dan lingkungan, mereka akan mudah masuk lagi ke hutan secara illegal. Atau kalau ada api, mereka akan abai saja” ujar Avo yang mengingatkan tentang kebakaran yang melanda Ciremai pada Agustus hingga awal Oktober lalu. Pada kejadian itu, lebih dari 127 hektar hutan ciremai terbakar.

Avo, Ketua Komunitas Hijau Kuningan, yang juga relawan Badan Penanggulang Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Kuningan, ini menjelaskan kebakaran di Ciremai itu terjadi di ketinggian 2.700 meter diatas permukaan laut (mdpl) dan terus merambat hingga mengenai hamparan Bungan edelweiss di bagian puncak gunung yang berada diatas ketinggian 3.000 mdpl. Hampir separuh kawasan edelweiss hangus terbakar dan hal itulah yang terutama membuat Avo miris dan sedih.

Selama ia aktif sebagai pegiat lingkungan yang tergabung dalam Aktivitas Anak Rimba (Akar) di Kuningan, faktor manusia menjadi penyebab dominan terjadi kebakaran dihutan. Karena itu, manusia harus jadi prioritas dalam mencegah kebakaran hutan.

Paling tidak ada tiga problem yang berkaitan dengan manusia. Pertama, karena bagian beberapa bagian hutan Ciremai berbatasan langsung dengan kebun warga sehinga ketika warga membersihkan kebunnya dengan membakar ranting dan daun-daun kering, api bisa jadi tidak terkendali dan merambat ke hutan. Kedua, kebakaran di Ciremai seringkali terjadi di jalur utama yang sering dilintasi warga sekitar hutan dan pendaki. Ketiga, problem social ekonomi yang dialami warga sekitar hutan memicu aksi untuk “merusak” hutan. Dua problem pertama mudah diatasi dengan himbauan dan larangan. Namun untuk penyabab ketiga, ada unsur kesengajaan yang dilatarbelakangi motif ekonomi. Sebagian warga ada yang melakukan itu untuk membuka lahan atau sekedar melampiaskan kekesalannya karena kesenjangan yang dialami. Untuk penyebab yang ketiga itu, himbauan saja tidak cukup harus ada pemberdayaan ekonomi. Problem ekonomi-sosial di Ciremai berawal dari perubahan pengelola hutan. Sejak 2004, pengelola hutan Ciremai beralih dari perhutani kepada Balai taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC). Peralihan itu mengubah cara hidup dan relasi antara warga sekitar hutan dan Ciremai. Saat dikelola perhutani, sistem pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) memungkinkan warga bercocok tanam di bawah tegakan pohon.

Warga sekitar Ciremai ketika itu bisa bertanam sayur dilahan hutan. Beberapa dari warga juga mengembangkan kopi dan tanaman buah-buahan. “Ketika pengelolaan dilakuan TNGC, warga dilarang menanam diantara tegakan. Warga sekitar hutan otomatis kehilangan lahan yang bisa mereka mamfaatkan. Hutan menjadi berjarak dengan mereka. “kata Avo”

Jasa Lingkungan

Kebakaran hutan yang besar pada Agustus-Oktober lalu, menurut Avo, juga dampak dari kurangnya koordinasi antara pengelola TNGC dan warga. Dengan jumlah polisi hutan yang amat terbatas, tidak jarang seorang polisi hutan bertanggung jawab atas ratusan sampai ribuan hektar lahan hutan. Misalnya, di Bantar agung, Majalengka, seorang petugas resor mengawasi 1.742 ha lahan. Akibatnya, jika terjadi kebakaran hutan, petugas tidak mampu mengawasinya pada saat seperti itu, wargalah yang dimintai tolong.

“Pada sisi ini, warga sulit bergerak karena mereka seolah taka da kepentingan dengan hutan. Boleh jadi mereka kian tak peduli dengan kondisi hutan” Kata Avo.

Itulah kondisi riil yang mesti dihadapi pengelola hutan ketika mereka tidak mampu menyinergikan kelestarian hutan dengan kesejahraan warga. Disisi lain warga disekitar hutan diwajibkan menjaga hutan dari kerusakan dan api.

Avo juga mempertanyakan fungsi jasa lingkungan dari kelestarian hutan itu sendiri. Warga di hilir menikmati air yang melimpah dari kelestarian hutan dan beberapa perusahaan swasta lokal di Cirebon dan Kuningan yang mengolah air dari Ciremai itu menjadi air mineral dalam kemasan.

Mengapa kelestarian hutan lebih menguntungkan warga di hilir, sementara warga sekitar Ciremai kurang menikmatinya? Gugatan terus mengendap dibenaknya, hingga tahun 2000 ia dan kawan-kawannya dari akar Kuningan memelopori kawasan wisata alam Lembah Cilengkrang di Desa Pajambon, Kramatmulya, Kuningan. Objek wisata tersebut dikelola warga, bekerjasama dengan perhutani., yang kini diteruskan dengan TNGC. Negara juga untung karena objek wisata ini menyumbang penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Meski  wisata tersebut hasilnya tidak sebesar jika dibandingkan dengan bertanam sayuran, warga mendapat mamfaat pengelolaan hutan. Konsep pengelolan wisata alam itu kini banyak diduplikasi warga yang bekerja sama dengan TNGC.

Hal lain yang belum dilihat pengelolaan hutan ialah potensi buah-buahan tropis disekitar hutan. Dilereng-lereng Ciremai, warga banyak menanam avokad, jambu biji, salak, kapusung, dan durian. “Andaikata diolah, Ciremai bisa menjadi sentra buah-buahan tropis diwilayah timur Jawa Barat. Bayangkan jika itu dikelola dengan promosi dan pengemasan desa wisata yang bertema buah-buahan atau terobosan lain. Misalnya, dengan tawaran kolam renang air hangat di tengah sejuknya udara Ciremai,” kata Avo.

Ide-ide terobosan tersebut berputar dikepalanya. Wajar saja ia dijuluki “Avo” kependekan dari nama ahli kimia Amadeo Avogadro yang merumuskan teori atom molekul. Teman-temannya sesame pecinta alam semasa di SMA memangilnya “Avogadro” lalu menjadi “Avo” lantara nilai kimia selalu bagus. “Nama saya sebenarnya pendek. Ju Hartono, ujarnya tertawa.

SUMBER: KOMPAS, RABU, 23 DESEMBER 2015

Fahni Ahmad Fatoni Memurnikan Ayam “Raja Galuh Ciung Wanara”

Memurnikan Ayam Raja Galuh Ciung Wanara. Kompas. 3 Desember 2015.Hal.16

Ketika banyak pihak menyilangkan berbagai jenis ayam untuk menemukan produktivitas (daging dan telur) yang tinggi, Fahni Ahmad Fatony (32) malah memurnikan ayam sentul. Peternak ayam asal kampung Karang, Desa Ciamis , Kecamatan Ciamis, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, ini dianggap aneh karena saat ayam goreng sudah tersaji di piring biasanya orang jarang menanyakan asal-usul ayam.

Oleh Dedi Muhtadi

Lulusan Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran 2007 ini bergeming saat teman-temannya mempertanyakan langkahnya. Sebaliknya , Fahni berkeyakinan, dengan meningkatnya populasi dan penampilan ayam asli yang khas, manfaat ekonomi akan mengikuti. “saya disebut belagu, tetapi saya tak peduli karena ingin menjaga keaslian turunan ayam sentul.” Ujarnya di Ciamis, Jumat (27/11).

Ayam Sentul merupakan turunan ayam hutan asal Ciamis yang telah didomestifikasi. Ciri khasnya, dominasi bulu abu-abu dengan postur mirip ayam petarung atau ayam adu. Dulu ayam adu ini disebut si Jelug. Namun, karena ayam ini sering bertengger di pohon sentul, sejenis pohon kecapi, lama-kelamaan disebut ayam sentul.

Menurut hikayat rakyat Ciamis, ayam lokal asli Tatar Galuh (Ciamis), ini disebut ayam Ciung Wanara karena terkait dengan Satria Ciung Wanara, salah satu Raja Kerajaan Galuh sekitar abad ke-8. Saat masih bayi, ia dibuang ke Sungai Citanduy oleh Paman Lengser untuk mengelabui upaya pembunuhan oleh Patih Bondan Sarati. Saat itu Bondan dititipi Kerajaan Galuh oleh Raja Permadikusumah, ayah yang meninggalkan kerajaan untuk bertapa.

Dalam perahunya, bayi itu dibekali dua telur yang kemudian ditemukan pasangan kakek nenek Balangantrang. Singkat cerita, telur tersebut menetas dan berkembang biak menjadi ayam adu dengan ciri khas warna abu-abu. Konon, karena ayam ini mengalahkan ayam raja Bondan, kerajaan Galuh pun bisa direbutnya kembali.

Usaha pemuliaan yang dilakukan Fani dimulai 2005 bersama kakaknya almarhum Edi Diana, yang meninggal awal 2015. Untuk mencari bibit ayam asli, diperoleh dari kelompok peternak ayam di Banjasari, Kabupaten Pangandaran , yang sudah bangkrut.

“Peternakannya kami beli karena tidak berkembang. Ayam-ayamnya ternyata sudah tidak terurus dan berkandang di kebun,” kenangnya.

Perindukan dan pembesaran

Malam-malam Fahni menangkap ayam satu per satu, lalu dikandangkan untuk dimurnikan. Dari hasil pemuliaan tersebut, ayam jantan ternyata ada lima warna, yaitu sentul geni, sentul batu,kelabu, emas,dan sentul debu. Di betina kebanyakan dua warna, yakni abu batu dan warna debu. Bersama almarhum kakaknya, ia membentuk Gabungan Kelompok Ternak (Gapoknak) Sentul Ciung Wanara.

Gapoknak ini sekaligus membagi peran dalam kelompok ternak lainnya, yakni bidang perindukan dan pembesaran. Fahni bersama kakaknya bergabung dalam Kelompok Ternak Unggas Barokah yang mengembangkan kedua pola pemurnian ayam sentul.

Lewat usaha yang jatuh bangun, 10 tahun kemudian keyakinannya di awal mulai membuahkan hasil. Ayam sentul pedaging banyak diminati konsumen di Bandung, Bogor, dan Jakarta. Dari ribuan permintaan, baru sekitar 1.500 ayam sentul yang bisa dikirim ke tiga kota besar itu setiap hari.

“Itu yang memicu tingginya harga ayam sentul Rp.30.000-Rp.35.000 per kg. Padahal harga ayam ras pedaging Rp.18.000-Rp.20.000 per kg,” tutur Fahni

Keunggulan ayam sentul, pertumbuhannya relatif cepat ketimbang ayam kampung biasa. Sentul jantan selama tiga bulan bisa mencapai 1 kg, sedangkan ayam betina rata-rata 0,8 kilogram. Kalau ayam kampung biasa pada usia empat bulan baru mencapai 0,8 kilogram.

Menurut data di Himpunan Peternak Unggas Lokal Indonesia (Himpuli), ayam sentul merupakan satu dari 28 jenis ayam lokal asli Indonesia.

“Dari berbagai jenis ayam asli itu, hanya ayam sentul yang layak dijadikan sebagai galur murni (pure line) untuk pengembangan selanjutnya ayam produksi,” tutur Ketua Umum Himpuli Ade M Zaulkarnain.

Namun, seiring berjalannya waktu, ayam sentul tidak berkembang biak dengan baik. Bahkan, 10 tahun lalu, populasi di daerah asalnya hanya sekitar 3000 ayam. “kelompok ternak Barokah dan dilanjutkan Gapoknak Ciung Wanara dikenal gigih melestarikan ayam sentul,” tutur Ade.

Untuk melindungi jenis ayam ini, pada 2013 Menteri Pertanian melakukan penetapan rumpun ayam sentul sebagai ayam lokal asli asal Ciamis. SK Menteri Pertanian No 689/2013 menetapkan lima jenis sentul, yakni geni, batu, kelabu, emas, dan sentul debu.

Pelestarian

Kalau dulu ayam sentul digunakan sebagai ayam adu, sekarang jenis ayam ini lebih banyak dimanfaatkan sebagai ayam pedaging. Selain pertumbuhannya lebih cepat, penampilannya juga sangat disukai pedagang dan konsumen. Namun peternak dan pedagang tetap menyebut ayam sentul sebagai ayam kampung karena keterbatasan pengetahuan genetik.

Balai Penelitian Ternak (Balitnak) Kementerian Pertanian sejak 2009 melakukan seleksi dan pemurniadn yang selanjutnya dikenal dengan ayam sensi (sentul seleksi). Hasilnya kemudian dikembangkan di Bogor dan Sukabumi setelah dilakukan MOU antara Balitnak dan Himpuli pada 19 April 2012 untuk pelestarian dan pengembangan, diseminasi hasil penelitian, penerapan teknologi , pengawalan dan pendampingan, serta pemanfaatan fasilitas bersama.

Dari kerja sama itulah selanjutnya berkembang usaha pembibitan ayam sentul dalam skala besar. Hasil daily old chicken (DOC)-nya diminati para peternak ayam lokal di seluruh Indonesia. Sarana pembibitannya cukup modern, seperti menggunakan mesin tetas digital asal Belanda dan jumlah indukan yang mencapai 20.000 ayam di satu lokasi.

Produksi 80.000-120.000 DOC setiap bulan diserap oleh peternak di sejumlah provinsi di Tanah Air , seperti kepulauan Riau, Jambi, Bangka Belitung, Banten, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Maluku Utara, dan Papua.

Sebelum adanya usaha pembibitan ayam sentul skala besar di Bogor dan Sukabumi, telah berkembang lebih dulu pembibitan ayam kampung di Cipanas, Cianjur. Pembibit ini pada 2002-2012 boleh dikatakan sebagai polopor pengembangbiakan ayam kampung terbesar di Indonesia dengan produksi sekitar 60.000 DOC setiap bulan.

Ada juga Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Jawa Barat yang menangani pembibitan ayam lokal, yaitu Balai Pembibitan Ternak Unggas (BPTU) di Jatiwangi, Majalengka. Namun, hingga kini produksinya belum signifikan. Himpuli berharap pemurnian ayam sentul ini nantinya mampu memproduksi grand parent stock (GPS) ayam lokal asli.

 

Kompas, Kamis, 03 Desember 2015