Endang Sutarwan Tabib Papan Selancar Sekaligus Pelestari Budaya

Tabib-Papan-Selancar-Sekaligus-pelestari-Budaya.-Kompas.22-Juni-2015.Hal.16

Peselancar lokal dan asing tak perlu khawatir saat papan selancar mereka rusak ketika digunakan menunggai ombak di Pesisir Barat, Lampung. Selama ada Endang Sutarwan alias Nanang (33), papan selancar yang rusak bisa kembali fit untuk digunakan.

OLEH ANGGER PUTRANTO

Sebuah gubuk kecil berbahan dasar kayu berdiri di tengah tanah lapang yang ada di kawasan Pantai Tanjung Setia, Kabuoaten Pesisir Barat, Lampung. Hamparan rumput yang tumbuh ditambah rimbunnya pepohonan kelapa menghadirkan suasana sejuk di sekitar gubuk.

Di dalam gubuk itu tersimpan puluhan papan selancar dalam berbagai kondisi. Aneka perkakas dan perlengkapan bengkel lengkap tersedia disana. Obeng, ampelas, gergaji, tang, lem, resin, dan lainnya terserak begitu saja. Walaupun begitu, Nanang tak pernah kesulitan mencari perkakas-perkakas tersebut saat dibutuhkan untuk memperbaiki papan selancar yang rusak.

Kecintaannya pada dunia selancar sudah tumbuh sejak Nanang duduk di bangku sekolah dasar. Lelaki kelahiran Sukabumi itu sempat merasakan sulitnya bermain selancar saat papa selancarnya rusak.

“Saya tak punya uang untuk memperbaiki papan selancar. Saya hanya bisa memperbaiki sedikit-sedikit. Dari sana perlahan saya semakin mahir dan terinspirasi untuk membuka Ding Repair (bengkel papan selancar),” ujarnya.

Setelah menyelesaikan pendidikan di bangku sekolah menengah atas, Nanang memutuskan untuk pergi meninggalkan kampung halamannya dan merantau ke Pesisir Barat. Berbekal informasi dari mesin pencari Google, ia mengetahui bahwa Pesisir Barat memiliki alam yang indah dan ombak yang luar biasa.

Sejumlah peselancar asing menilai ombak Pesisir Barat setara dengan ombak di Hawaii. Sebab, ombak dari perairan Samudra Hindia itu memiliki garasi ombak yang panjang denga ketinggian mencapai 6 meter hingga 8 meter.

 

Buka bengkel

Sejak meninggalkan Sukabumi, Nanang tahu tujuannya ke Pesisir Barat ialah untuk dunia selancar. Selain ingin melampiaskan kegemarannya bermain ombak, petualangannya kali ini untuk membuka bengkel papan selancar.

“Saya tidak meneruskan kuliah karena lebih tertarik berbisnis. Awalnya banyak orang mencibir dan mengatakan saya tidak bakal sukses, tetapi buktinya saya sekarang bisa membiayai keluarga besar,” ujar suami Indriani itu.

Sejak tahun 2005, Nanang mulai tinggal di Pesisir Barat. Ia menyewa dua gubuk kayu di sekitar Pantai Tanjung Setia. Satu gubuk ia gunakan sebagai tempat tinggal, sementara gubuk lainnya ia jadikan tempat praktik reparasi papan selancar.

Sebelum ia membuka bengkel selancar, papan selancar yang rusak ketika dipakai bermain di Pesisir Barat harus dibawa ke Bali untuk diperbaiki. Namun, kini para peselancar tak perlu repot bolak-balik Lampung – Bali – Lampung hanya untuk reparasi dan kembali berburu ombak, di Pesisir Barat.

Peselancar yang mengalami kerusakan papan bisa langsung memperbaiki di Ding Repair Sumatera milik Nanang. Dalam sehari ada sekitar 40 papan selancar yang masuk ke bengkel itu. Sebanyak 30 papan akan diperbaiki hari itu juga, sedangkan 10 papan sisanya selalu disisakan untuk digarap esok hari.

“Kerusakan yang dialami bermacam-macam tergantung ombak. Kerusakan paling banyak papan patah, ganti pelat, dan dudukan fin (sirip di bawah papan yang berfungsi untuk mengarahkan laju papan). Biaya reparasi berbeda-beda, Rp 600.000 untuk reparasi bergaransi dan Rp 400.000 untuk reparasi tidak bergaransi,” ujarnya.

Sebagian besar wisatawan asing yang biasa menghabiskan waktu berbulan-bulan di Pesisir Barat lebih memilih reparasi dengan garansi. Sebab, jika mereka mengalami kerusakan papan, Nanang tidak akan memungut biaya lagi.

Pelayanan ini menjadikan nilai lebih bengkel selancar milik Nanang. Hasil garapan Nanang juga terkenal halus dan sempurna. Tak heran, para peselancar asing yang pernah menjadi “pasiennya” masih kerap mengirim papan seluncur dari berbagai belahan dunia untuk diperbaiki Nanang.

“Para peselancar Eropa dan Australia masih sering mengirim papannya yang rusak untuk diperbaiki disini. Dimana pun mereka berselancar, kalau ada kerusakan, mereka pasti mengirim kemari. Kalau sudah seperti itu, saya hanya mengandalkan saling percaya saja,” tuturnya.

Kini pemuda berambut gondrong ikal itu menyebut dirinya sendiri sebagai orang sukses. Kesuksesan yang ia raih berawal dari 1 kilogram resin dan sedikit modal usaha. Ayah satu anak tersebut kini bisa memperoleh keuntungan bersih Rp 40 juta. Keuntungan itu sudah dipotong upah untuk 5 karyawannya masing-masing Rp 2 juta per bulan.

Berkat keterampilannya itu, Nanang sudah memiliki lahan sawit seluas 4 hektar dan berencana membuka sebuah rumah toko yang menjual aksesori selancar.

Tak hanya berkutat pada usaha reparasi papan selancar, Nanang ternyat juga memiliki ketertarikan pada budaya Lampung. Keterkaitan tersebut ia tuangkan dalam sebuah produksi fin. Sekitar lima tahun lalu, Nanang memberanikan diri menjadi produsen fin dengan motif batik Lampung.

“Saya tertarik dengan motif Lampung yang menampilkan Siger (mahkota pengantin wanita Lampung), Gajah, dan Tapis. Kelebihan fin buatan saya ialah cita rasa klasik. Kalau fin produksi luar negeri biasanya hanya polos, punya saya ada motifnya,” kata Nanang bangga.

Produksi fin dengan motif Lampung milik Nanang mulai merambah pasar internasional. Australia dan Hawaii menjadi pasar terbesar produksi tersebut. Kendati awalnya hanya memasarkan fin, secara tidak langsung  usaha Nanang juga merupakan bentuk promosi budaya Lampung.

Produksi fin motif Lampung milik Nanang terus berjalan di tengah kesibukan melayani reparasi papan selancar yang rusak. Dalam satu hari Nanang dan rekan-rekannya bisa menyelesaikan 5 set fin (15 buah).

Guna mengatasi mahalnya biaya ekspor, Nanang hanya melayani ekspor minimal 5 set fin dalam sekali kirim. Dalam satu tahun setidaknya ada 200 set fin yang dikirim ke sejumlah negara pemesan.

Nanang berharap produk Indonesia bisa lebih diterima pasar Internasional dan juga lokal. Ia mengatakan, saat ini banyak penggemar selancar Indonesia lebih memilih produk luar negeri.

“Banyak orang berpikir, yang lebih mahal itu lebih baik. Hal itu yang membuat hasil karya anak negeri tidak dihargai. Padahal, saat ini orang asing lebih menghargai produk Indonesia. Percayalah, produk Indonesia tidak kalah kualitasnya,” ungkap Nanang.

ENDANG SUTARWAN/NANANG/NANUNG

▪ Lahir : Sukabumi, 16 Juni 1982

▪ Pendidikan : D Marinjung Sukabumi

  • SMP Cilosok, Sukabumi
  • SMA Pelabuhan Ratu, Sukabumi

▪ Nama Istri : Indriani (23)

▪ Nama Anak : Muhammad Rail (8)

 

Lihat Video Terkait

“Tabib Papan Selancar”

di kompasprint.com/vod/tabibselancar

 

UC Lib-Collect

Kompas. Senin. 22 Juni 2015. Hal. 16

 

Sri Widodo Rumpun Bambu Penyangga Wayang

Rumpun-Bambu-Penyangga-Wayang.-Kompas.-9-Juni-2015.-Hal.16

Berpegang pada falsafah bambu, Sri Widodo (40), dalang asal Desa Balamoa, Kecamatan Pangkah, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, mencipta wayang pring atau wayang bambu dan menjadikannya sebagai salah satu khazanah budaya di Indonesia. Pantas wayang pring menjadi media penyampai pesan moral kepada masyarakat.

OLEH SIWI NURBIAJANTI

 

Lahir di Kabupaten Tegal pada 3 September 1974, Widodo memperoleh bakat seni dari sesepuhnya. Kakeknya, mendiang Ki Suwati, merupakan dalang wayang kulit yang terkenal di Tegal. Begitu pula ayahnya, Ki Gunawan, juga seorang dalang. Ayahnya adalah kakak kandung dalang wayang suket, mendiang Ki Slamet Gundono.

Tumbuh di lingkungan seniman, sejak kecil Widodo telah memiliki kecintaan pada dunia seni karawitan dan wayang. Saat sekolah dasar, dia bergabung dengan kelompok karawitan di sekolahnya.

Karena itu, selepas sekolah menengah pertama (SMP) pada 1992, dia memilih melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) di Solo. Lepas dari SMKI, dia melanjutkan pendidikan ke Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta dengan mengambil jurusan karawitan.

Selain menempa kemampuan berkesenian di sekolah, Widodo juga menempa kemampuannya dengan membantu pamannya, mendiang Ki Slamet Gundono, yang tinggal di Solo. Sejak 1998 hingga 2010, dia aktif dalam pementasan wayang suket. Dia ikut menjadi pengrawit dan sesekali membantu mendiang Ki Gundono mendalang.

“Jadi, saat itu ada dalang besar dan dalang kecil,” ujarnya saat ditemui Selasa (19/5). Dalang kecil menunjuk kepada dirinya.

Di sela-sela kegiatannya, Widodo berupaya menggali kemampuannya yang lain. Saat hendak memenuhi tugas untuk ujian kelulusan jenjang S-1 pada 2003, dia membuat kreasi bunyi gamelan dari perpaduan karet dan bambu.

Dari situlah, dia menemukan ide membuat wayang dari bambu. Widodo melihat falsafah yang kuat dari tanaman ini. Setiap batang bambu, lanjutnya, selalu memberikan kesempatan kepada batang lain untuk tumbuh sendiri. “Jadi, kalau sudah ada tunas atau rebung yang tumbuh, tidak akan ada tunas lain yang tumbuh di tempat yang sama,” katanya.

Meskipun demikian, bambu tidak pernah hidup sendiri, tetapi bergerombol dalam satu kelompok.  Batang bambu yang menjulang tinggi tidak akan pernah bisa roboh ke tanah karena disangga batang-batang bambu lain di kelompok itu. Meskipun tumbuh satu-satu, tanaman bambu bisa kuat karena hidup bersama dan saling menyangga.

 

Memori masa kecil

Memori masa kecilnya ikut mempengaruhi semangatnya membuat wayang bambu. Dahulu, saat dia masih kecil, dia kerap ingin bermain wayang kulit seperti kakek dan ayahnya. Namun, karena harga wayang mahal, dia tidak diperbolehkan memegang wayang asli.

Akhirnya dia dibuatkan wayang dari bambu secara sederhana oleh kakek dari ibunya, mendiang Mbah Sebat. Mbah Sebat kala itu juga merupakan dalang, tetapi dalang wayang golek. “Saat itu wayang pring buatan simbah, kepalanya belum bisa digerakkan,” katanya.

Desember 2014, saat Aceh dilanda tsunami, untuk pertama kalinya Widodo serius mementaskan wayang pring. Bersama teman-temannya di Solo, dia mendalang dari satu kelurahan ke kelurahan lain untuk menggalang dana bagi korban tsunami. Saat itu terkumpul lebih dari Rp 4 juta.

Pada 11 Maret 2005, untuk pertama kalinya wayang pring mendapat kesempatan pentas di Taman Budaya Surakarta. Aktivitas pementasan pun terus berjalan. Hingga pada 2007, kelompok wayang pring vakum karena pengiringnya kembali ke daerah masing-masing.

Pada 2010, Widodo kembali ke Tegal dan menghidupkan kembali wayang pring. Hingga kini, dia terus mementaskan wayang pringndalam berbagai kesempatan. Widodo membentuk Komunitas Wayang Pring Tegal dengan personel antara lain guru dan pegawai tata usaha di SMP Negeri 1 Bojong, Kabupaten Tegal, dan alumni sekolah tersebut.

Untuk menarik penonton, Widodo memodifikasi wayang pring sehingga kepala wayang itu bisa digerakkan ke kanan dan ke kiri seperti wayang golek. Upaya mempercantik wayang dengan membentuk wajah dan hiasan pada bagian kepala wayang terus dilakukan.

Pernah berkolaborasi dengan mendiang Ki Gundono, mau tidak mau berpengaruh terhadap gaya mendalang Widodo. Dia mendalang dengan gaya santai dan keluar dari pakem wayang yang ada.

Namun, bagi Widodo, keluar dari pakem bukan dosa dalam berkesenian. Menurut dia, dahulu saat wayang masih berada dalam fase wayang purwo, para dalang juga mencari bentuk pementasan. Ibarat fase yang berputar kembali, dia pun mencari bentuk baru pementasan wayang pring. “Roda itu berputar, cokro manggilingan,” tuturnya.

Justru jangan keluar dari pakem. Wayang pring tidak sekadar menjadi pertunjukan seni biasa. Wayang pring bisa jadi media pembelajaran dan media berkegiatan sosial. Karena tidak terikat pakem ketat, dia bisa lebih leluasa menyisipkan pesan-pesan moral kepada penonton, termasuk yang dilakukannya ketika mementaskan lakon Rama Bhargawa  di hadapan siswa SMP Negeri 1 Bojong pada 19 Mei lalu.

Cerita mengenai perselingkuhan dalam lakon Rama Bhargawa bisa dialihkan menjadi pesan kepada siswa agar tidak mencontek dan agar patuh kepada orangtua. Hal itu karena mencontek dan bohong kepada orangtua bisa diartikan sebagai pengingkaran pada nilai kejujuran dan kesetiaan. Tokoh-tokoh yang dipentaskan pun disesuaikan dengan situasi penonton sehingga lebih mengena.

Dalang dalam pementasan wayang pring juga tidak menjadi tokoh yang diagung-agungkan. Dalam setiap pementasan dengan personel sekitar 14 orang, Widodo ikut mengangkut dan menggotong peralatan yang akan digunakan untuk pentas. “Seperti falsafah bambu, kita saling menyangga,” tambahnya.

Sri Widodo tidak ingin berhenti dengan karyanya saat ini. Ayah dua anak yang juga bekerja sebagai pegawai honorer di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Tegal tersebut terus berupaya berinovasi dalam menggarap lakon dan iringan musik. Dia ingin wayang pring bisa diterima lebih luas oleh masyarakat dalam berbagai situasi dan kondisi. Dengan diterima, masyarakat bisa juga ikut menyangga seperti rumpun bambu.

 

SRI WIDODO

▪ Lahir : Tegal, 3 September 1974

▪ Istri : Wahyuningsih (34)

▪ Anak :

  • Galuh Widyaningtyas (10)
  • Nimas Galih Cahyaningtyas (5)

▪ Pendidikan :

  • SD 2 Balamoa Kabupaten Tegal
  • SMP 1 Kedungbanteng Kabupaten Tegal (lulus 1992)
  • SMKI Surakarta (lulus 1995)
  • STSI Surakarta Jurusan Karawitan (lulus 2003)

▪ Prestasi :

  • Juara I Lomba Monolog Tradisi Lisan Tingkat Jawa Tengah di Borobudur tahun 2014
  • Juara I Pengiring Tari untuk Lomba Seni Tari Tradisi di Surabaya pada 2001 (Sri Widodo berkelompok sebanyak lima orang)

UC Lib-Collect

Kompas. Selasa. 9 Juni 2015. Hal.16

Iman Romdiana Pelestari Motif Batik Garutan

Pelestari-Motif-Batik-Garutan.-Kompas.1-Juni-2015.Hal.16

Domba Garut yang tanduknya khas melingkar hingga ke bawah telinga menjadi inspirasi bagi Iman Romdiana (43) untuk membuat satu motif batik tulis asli Garut, Jawa Barat. Pelestari motif batik tulis dari Gang Gunung Kasur, Jalan Ciledug, Garut Kota, ini selalu menggali potensi alam Garut, mulai dari binatang hingga tanaman, untuk membuat ratusan motif batik “Beken” yang dikembangkannya.

Oleh Dedi Muhtadi

Merak Ibing ( Burung Merak Menari), bulu hayam (bulu ayam), mojang (gadis) Priangan, atau kurung hayam (kurung ayam) merupakan empat dari sepuluh lebih motif asli Garut yang dikembangkan Iman. Ayah beranak satu ini juga mengembangkan turunan motif dari 420 motif batik yang ada di Jawa Barat. Iman hampir hafal du luar kepala ke 420 motif yang dikembangkannya itu.

Nama Beken itu sendiri merupakan pemberian Ketua Yayasan Batik Jawa Barat Sendy Ramania Dede Yusuf. Semula keluarga Iman menamakan batiknya adalah Buken yang merupakan singkatan dari ibu K Sukaenah , ibunya Iman yang meneruskan tradisi batik dari leluhurnya. “ lebih keren kalau namanya batik beken agar terkenal ke mana-mana. Sejak itulah nama Beken kami pakai,” kenang Iman saat istri wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf (2008-2013) memberinya nama itu lima tahun lalu.

Keluarga ibu K Sukaenah merupakan satu dari puluhan keluarga yang hingga kini melestarikan tradisi batik garutan, sebutan untuk batik asli Garut. Sejarah batik garut, menurut keluarga Sukaenah, seperti tertulis dalam situs Batikgarutku.com merupakan warisan turun temurun dan telah berkembang sebelum masa kemerdekaan. Setelah kemerdekaan, batik garut makin populer dengan sebutan batik tulis garutan dan mengalami masa jaya tahun 1967-1985.

Seiring dengan berbagai keterbatasan, mulai dari bahan baku kain dasar,modal, dan lemahnya pemasaran, kegiatan para penerus atau generasi batik garut mengalami pasang surut. Ditambah munculnya persaingan cukup kuat dari produsen batik lain yang menggunakan teknik modern, seperti mesin printing, aktivitas pelestari batik tradisional makin tersisih.

Potensi batik tradisional tumbuh kembali setelah mendapat angin segar dari “tradisi batik Jumat”, yakni penggunaan seragam batik olek para karyawan, terutama pegawai negeri sipil. Kondisi itu juga mengimbas pada usaha batik tulis Garut asli yang digeluti keluarga ibu K Sukaenah.

Dari Alam Garut

Iman mencoba tampil dengan membuat motif batik asli Garut dan mengembangkan motif yang sudah ada di pasaran. Lagipula Teh Ani, putri sulung Ibu K Sukaenah yang juga kakak Iman, lebih tertarik menjualkan batik

“Saya hanya bertugas menunggui stan dan menjual batik kepada pengunjung. Yang membuat, termasuk merancang motifnya,adalah adik saya,Iman,” ujar Teh Ani saat mengikuti pameran di halaman pendopo Kabupaten Garut, awal Mei lalu.

Menurit Teh Ani, adiknya lebih cepat memahami dan membuat motif batik jika ada orang yang memesan.

Di kalangan pembatik tulis, batik sering diartikan “menulis titik” yang diambil dari gabungan kata amba dan titik dalam bahasa Jawa. Zaman dahulu, batik hanya ditulis dan dilukis menggunakan daun lontar dengan motif yang dominan adalah binatang dan tumbuhan. Corak batik sendiri mempunyai filosofi dari setiap daerah itu berasal sehingga setiap daerah mempunyai motif dan corak yang berbeda.

Begitu pula batik-batik yang dikembangkan Iman adalah motif yang berasal dari alam sekitar Garut. Ketrampilan membuat motif batik awalnya hanya belajar sendiri. Iman tidak belajar khusus batik dari sekolah formal karena pendidikannya hanya sampai di SMP. Namun, ia “dikuliahkan” untuk mendalami berbagai motif batik oleh sejumlah instansi di Garut, sperti Dinas Perindustrian atau Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah.

“saya sampai delapan kali dikuliahkan oleh Dinas Perindustran Garut.” Ujarnya.

Dinas-dinas itu menguliahkan Iman karena melihat keterampilah membuat motif batik yang dimiliki anak kedua ibu K Sukaenah ini. Bertahun-tahun hasil pelatihan itu diperlukan untuk melatih para pembatik lain yang masih memproduksi batik tulis di kabupaten ini.

Kini tugas Iman selain membuat motif batik untuk dikembangkan oleh keluarganya juga melatih pembatik tradisional yang ada di lingkungan Kabupaten Garut. Di rumahnya, sekitar 20 potong batik tulis diproduksi setiap bulannya.

Batik tulis merupakan jenis batik yang cara pembuatannya menggunakan tangan dan dihiasi dengan corak dan tekstur tertentu. Waktu pengerjaannya memakan waktu rata-rata satu bulan per potong dan dijual sekitar 1,5 juta per potong.

Keluarga Iman juga membuat batik cap, jenis batik yang waktu pengerjaannya lebih cepat dari pembuatan batik tulis. Batik cap ini sehari bisa dibuat sampai 2 kodi (1 kodi 20 potong) dan dipasarkan ke sejumlah pedagang dan produsen batik di Bandung dan Jakarta, batik garutan yang dibuat keluarga Iman sudah dipasarkan ke Singapura dan Malaysia.

Pameran

Untuk mengenalkan batik tradisional ini keluarga Iman kerap mengikuti berbagai pameran baik yang diselenggarakan pemerintah daerah dan mal. Pamerannya berkeliling, mulai dari Garut, Bandung,Jakarta, hingga ke Bali. “kami pernah diikutsertakan pameran di Istana Negara di Jakarta”, ungkapnya.

Keluarga ini juga menerima pesanan motif batik sesuai keinginan pemesannya. Biasanya pemesan membawa gambar tertentu untuk dibuatkan kain batiknya. Iman lalu menggambar dan merancang motifnya, kemudian pembatik menuliskan motif itu pada kain. Motif-motif batik jenis ini biasanya eksklusif karena tidak ada persamaannya di pasaran.

Awal Mei lalu, misalnya Iman mendapat pesanan membuat batik bermotifkan putri keraton dari Yogyakarta. Motif putri keraton itu ingin dibuatkan dengan batik garutan.

Setelah bergelut dengan pmbuatan batik selama lebih dari 25 tahun, Iman juga membuat model baju batik yang coraknya divariasikan atau diberi sentuhan kreatif sesuai perkembangan mode terkini. Ini didasarkan pada fungsi kain batik yang makin meluas, Batik tidak hanya digunakan pemakainya untuk menghadiri acara resmi dan tertentu, tetapi biasa digunakan untuk kegiatan sehari-hari, seperti menjadi salah satu seragam kerja pada hari Kamis atau Jumat.

Bahkan tidak sedikit pihak dan komunitas batik secara terus menerus mencanangkan penggunaan batik. Tentu saja Iman bersukacita karena semangat ini sangat membantu upaya melestarikan tradisi batik.

 

Kompas , Senin 01 Juni 2015

Ipatmie Kreatif Mengolah Singkong

Kreatif-Mengolah-Singkong.-Kompas.22-Mei-2015.Hal.16

Sabtu (9/5) sekitar pukul 09.00, Ipatmie (51) tiba di hotel batu suli, palangkaraya, diantar Dereksen Demen (61), suaminya, menggunakan sepeda motor. Ada tiga plastic besar berisi peralatan memasak dan bahan membuat aneka kue. Di pendopo hotel, telah menunggu 20 ibu peserta pelatihan pengelolaan produk berbasis hasil pertanian yang digelar dinas perindustrian dan perdagangan provinsi Kalimantan tengah.

Ipatmie, pemilik industry rumah tangga “griya jawau melin” dipercaya melatih peseerta sesame pelaku usaha industri rumah tangga yang berasal dari 13 kabupaten/1 kota di Kalimantan tengah untuk member pelatihan membuat aneka kue menggunakan tepung mocaf (modified cassava flour), yaitu tepung yang diolah dari singkong. Saat itu, Ipatmie melatih membuat brownies. “jawau dalam bahasa dayak artinya singkong dan melin adalah anak saya” kata Ipatmie menjelaskan arti nama industry rumah tangganya. Kedekatan dan keterampilannya mengolah singkong menjadi bahan makanan didapat Ipatmie sejak kecil. Perempuan kelahiran desa bereng rambang, kabupaten pulang pisau, 3 september 1964, dan dibesarkan di kelurahan panjehang, kecamatan rakumpit,palangkaraya, belajar dari ibunya, uni mahar. Sang ibu, selalu membuatkan beras singkong atau oleh masyarakat dayak dikenal beras kupu saat musim kemarau berkepanjangan. Saat kemarau,air sungai surut san kapal pembawa sembako tidak dapat menjangkau desanya.  Beras kupu dibuat dengan mengolah singkong. Setelah dikupas dan dicuci, singkong direndam dalam baik sekitar 3 hari. Setelah lembut, hasil rendaman itu disebut kupu. “rendaman itu disaring untuk diambil patinya. Lalu digiling dan di sangria, kemudian dijemur” kata Ipatmie sambil menunjukkan beras kupu dalam kemasan 700 gram yang dijual 15000. Untuk memasaknya,lanjut Ipatmie, beras kupu dicuci bersih dan direndam dalam sekitar 5 menit. Setelah itu ditiriskan dan diangin anginkan sekitar 15 menit. “kemudian, beras kupu dikukus dengan diberi sedikit garam untuk menambah rasa. Beras ini baik untuk penderita diabetes karena rendah gula” papar Ipatmie. Dari pengalaman dan juga pelatihan pembuatan tepung mocaf memang rumit. Setelah singkong dikupas dan diserut,lalu dicuci, dan diperas. Patinya dipisah ampasnya untuk dijadikan tepung mocaf setelah direndam satu malam” katanya. Ipatmie mengawali usaha catering danpembuatan kue kue berbasis olahan singkong sejak 2001, saat dirinya menjadi ketua kelompok usaha peningkatan pendapatan keluarga sejahtera (UPPKS) lestari. Kelompok usaha beranggota lima orang itu, memanfaatkan tempat tinggalnya yang lama dijalan lumba lumba, palangkaraya. Setelah pindah rumah ke jalan sapan pada 2010, usahanya tetap berlanjut dan dibantu anak dan saudaranya. Baik bersama UPPKS lestari, kelompok pembinaan kesejahteraan keluarga (PKK), maupun secara personal, Ipatmie berulang kali juara dalam lomba memasak masakan tradisional berbasis tanaman local dari tingkat kota palangkaraya, provinsi Kalimantan tengah,hingga nasional. Pada 2013, misalnya, Ipatmie meraih juara 2 dalam parade pangan nusantara di malang,jatim. Saat itu jenis makanan yang dilombakan adalah masakan serba jagung dan singkong. Usaha dan keuletan Ipatmie semakin dikenal orang dan juga mendapatkan apresiasi dari pemerintah. Hal itu ditunjukkan dengan pemberian bantuan peralatan penepung singkong dan perajang singkong dari badan ketahanan pangan provinsi Kalimantan tengah pada 2013. Ipatmie pun mendapatkan kredit dari BRI Rp 20 juta selama dua tahun untuk mengembangkan usahanya. Selain itu, ada juga bantuan dari PT Telkom sebesar Rp 25 juta. Saat ini, untuk memenuhi permintaan produksi olahan singkongnya, Ipatmie memerlukan 300 kg singkong per minggu atau lebih dari 1 kuintal singkong perbulan. Singkong itu didapatnya dari petani di desa mintin, kabupaten pulang pisau, kalteng, dengan harga rp 1800 per kg. Dari 300kg singkong itu, 100kg singkong bisa diolah  menjadi 50kg tepung mocaf yang dijualnya rp 12500 per kg. sebanyak 100kg yang lain untuk menghasilkan 60kg beras kupu, adapun 100kg singkong sisanya dipakai untuk membuat tepung mocaf yang digunakan untuk membuat aneka kue. Pemasaran tepung mocaf dan beras kupu produksinya tidak sekadar di kota palangkaraya, tetapi juga sampai ke kabupaten di Kalimantan tengah, misalnya di kabupaten lamandau dan kota waringin barat. Dalam menekuni pengolahan singkong tersebut,kendala utama yang dihadapi adalah masalah pengeringan olahan singkong. “jika musim hujan, terik matahari sangat minim. Akibatnya singkong berubah menjadi kebiru biruan dan rusak. Dulu pernah sampai rugi rp 2 juta” ujarnya.

Inovasi

Tidak berhenti pada pembuatan aneka kue tradisional, Ipatmie juga mencoba berinovasi membuat brownies umbut rotan yang menjadi salah satu tanaman khas di Kalimantan tengah. Ide membuat brownies umbut rotan didapatnya dari konsultasi dengan desainer grafis rumah kemasan Kalimantan tengah, bramita andriana. “brownies kalakai, labu kuning, ubi ungu dan pisang sudah bisa. Tapi untuk brownies rotan saya jadi tertantang untuk memanfaatkan tanaman khas kalteng. Saya berpikir bagaimana caranya jenis sayur ini dijadikan kue” katanya. Setelah beberapa kali mencoba akhirnya Ipatmie pun berhasil membuat resep brownies umbut rotan. Umbut merupakan bagian ujung rotan. Umbut rotan yang telah dikupas kemudian diiris dan direbus. Setelah ditiriskan kemudian diblender dan dicampur santan kental. “lalu dimasak di api atau disangrai untuk membuang kadar airnya. Sesudah itu dicampur ke adonan margarine, cokelat, tepung mocaf,telur,gula dan vanili. Lalu dibakar dioven sampai 30 menit” paparnya. Selain brownies rotan, Ipatmie juga mengolah ikan gabus yang masih banyak ditemukan disungai untuk dijadikan abon. Dari satu kilogram daging ikan gabus, bisa dihasilkan 2 ons abon. Ia pun terus tertantang untuk mengembangkan jenis penganan tradisional lain.

 

Sumber: kompas,jumat 22 mei 2015

Hj Ramlah Keterbatasan yang Tidak Membatasi

Keterbatasan-yang-Tidak-Membatasi.-Kompas.26-Mei-2015.Hal.16

Kalau mau, ramlah bisa saja duduk berpangku tangan dan hanya berharap dari orang tuanya yang berkecukupan. Atau dia bisa saja mencari pembenaran dan berharap belas kasih sebagai penyandang disabilitas.

Namun, dia tak melakukan itu. Menjadi bisu dan tuli sejak kecil, tak membuatnya pasrah. Dia melakukan banyak hal yang melampaui keterbatasannya. Membantu berdagang baju di pasar sentral Makassar,menjadi kasir, menjual kue dan kae yang terbilang sukses. Merintis usaha kue donat yang di mulai dengan menitip di toko toko dengan jumlah puluhan donat perhari, pernah merugi, menghadapi pembeli yang bingung karena keterbatasannya, tetapi semua itu tak membuat ibu dua anak ini putus asa. Sebaliknya, semangatnya makin terlecut untuk belajar dan terus berusaha. Kalau kini dia sudah memiliki usaha kue dan kafe, mempekerjakan belasan penyandang disabilitas, menjual 1000 hingga 5000 donat perhari, itu merupakan buah kerja keras dan ketekunannya. Baginya, memiliki keterbatasan tak berarti langkah mesti terbatas. “saya ingin menunjukkan kepada orang orang bahwa saya pun bisa mandiri. Perbedaan saya dan orang lain hanya sebatas saya bisu dan tuli, diluar itu, sama saja. Bahkan saya juga selalu berusaha agar bisa berkomunikasi dengan normal pula yang membuat ramlah memajang poster besar di kafe miliknya yang berisi panduan simbol-simbol jari yang menjadi bahasa isyarat penyandang disabilitas. Tersedia pula dalam bentuk lembaran yang kerap di bagi kepada pengunjung yang datang. “pengunjung disini umumnya orang normal dan kami di kafe ini ingin memperkenalkan kepada mereka bahasa isyarat kami. Selain itu, kami ingin tetap bisa berkomunikasi dengan pengunjung” kata ramlah. Rupanya hal ini justru menjadi salah satu daya tarik. Selain kekaguman orang kepada ramlah dan semua pegawainya yang selalu penuh senyum dan semangat, banyak yang datang berkunjung karena juga ingin belajar bahasa isyarat.

Mandiri

Sore awal Maret, saat ditemui di Kafe Mella miliknya di jalan hari sunu, Makassar, adalah pertemuan setelah tiga kali janji dijadwal ulang. Kesibukan ramlah dan kebiasaannya tetap terjun ke dapur walau memiliki belasan pegawai membuatnya kerap cukup sulit ditemui. Selain sibuk mengelola usaha kuenya, dia juga aktif di sejumlah perkumpulan atau organisasi disabilitas. Di organisasi, dia aktif member motivasi kepada sesame penyandang disabilitas atau kebutuhan khusus. Dia member pelatihan agar mereka bisa mandiri dan hidup sejahtera. Lahir normal, ramlah tumbuh besar menjadi bisu dan tuli setelah menderita panas tinggi saat kecil. Sulung dari enam bersauadara ini sempat sedih saat melihat teman sebayanya bisa berbicara dan dia tidak. Namun, kesedihan itu hanya selintas. Dia lebih memilih mensyukuri bagian tubuh lain yang normal. Lalu, dia berusaha tumbuh seperti orang normal lainnya waktu tetap harus bersekolah di SD,SMP, SMU luar biasa. Berada dalam keluarga yang sangat berkecukupan, kedua oarng tuanya tak mengajarinya manja. Ramlah pun ingin menunjukkan bahwa keterbatasannya tak membatasinya untuk mandiri. Sejak usia 15 tahun, dia “bekerja” kepada kedua orangtuanya, membantu menjual kain dan pakaian dipasar sentral. Dia mendapat upah dari jerih payah menjual. Uangnya dia tabung. Ingin merasakan dan belajar pekerjaan lain, saat masih belajar di SMU, dia meminta izin menjadi kasir di kafe orangtuanya. Seperti sebelumnya diapun digaji untuk pekerjaannya. Ramlah tak minder walau pengunjung kafe sebagian besar remaja seusianya.

Jatuh bangun dan bangkit

Tahun 1995, ramlah bertemu Irwansyah, temannya semasa sekolah dan sesama penyandang disabilitas, lalu memutuskan menikah. Seusai menikah, dia tetap bekerja menjadi kasir di kafe milik orangtuanya sepanjang sore-malam dan membantu menjual kain pagi-siang. Ingin menambah pengalaman, dia beralih membantu iparnya membuat donat. Bekerja beberapa tahun kepada iparnya, rupanya dimanfaatkan ramlah untuk belajar dan akhirnya tertarik membuat sendiri dan menjual. Ada pun suaminya, membantu usaha orangtuanya. “tahun 2009, saya berbicara sama suami dan dia setuju. Untuk modal awal, kami sepakat menjual kendaraan. Lalu, ditambah dengan uang tabungan saya dan tabungan suami. Lalu saya beli peralatan dan bahan membuat kue. Saya akhirnya memberanikan diri membuat sendiri. Awalnya 50-100 biji” kata ibu dua anak ini. Kue yang dibuat sendiri itu semula dititipkan ditoko toko penjual kue. Ketika produksi makin banyak,dia pun mempekerjakan dau rekan sesama penyandang disabilitas. Usaha ini sempat merugi,tetapi dia tak berputus asa. Dia terus belajar hingga akhirnya mulai berpikir untuk menjual di tempat sendiri. “saya meminta izin sama orang tua untuk meminjam teras dan membangun sedikit tempat untuk menjual. Awalnya hanya tempat kecil, dan khusus menjual untuk dibawa pulang. Tapi lama lama ternyata makin banyak pembeli. Lalu, saya merenovasi teras orangtua dan menata menjadi kafe” katanya. Usahanya membuahkan hasil, kafe milknya makin ramai. Dia tak lagi sekedar berurusan dengan orang yang datang membeli dan membawa pulang atau yang duduk di kafe, tetapi juga pesanan yang kadang hingga  5000 donat perhari. Usahanya makin maju, bahkan mulai mempekerjakan sesama penyandang diabilitas. Kini pegawainya berjumlah 15 orang. Kegigihannya dan aktivitasnya menjadi motivator membuat ramlah dipercaya menjadi ketua DPD gerakan untuk kesejahteraannya tunarungu Indonesia (gerkatin) Sulses selama 13 tahun hingga tahun ini. Dia juga aktif dan menjadi pengurus di organisasi persatuan penyandang disabilitas Indonesia (PPDI) Sulsel dan himpunan wanita disabilitas Indonesia (HWDI) Sulsel.

 

Sumber: kompas, selasa 26 mei 2015

Sulistyo Triantono Putro Jagoan Kredit Jamban Probolinggo

Jagoan-Kredit-Jamban-Probolinggo.-Kompas.18-Juni-2015.Hal.16

Tidak pernah terpikirkan oleh Sulistyo Triantono Putro (40), ia akan berkutat dengan limbah pabrik hingga kotoran yang dihasilkan manusia. Sanitarian di Puskemas Wonoasih, Kota Probolinggo, tersebut tidak hanya mengurusi kesehatan masyarakat. Lebih jauh lagi, kini ia lebih banyak mengurusi persoalan buang air besar orang lain

Oleh Dahlia Irawati

Seusai lulus kuliah, Anton, panggilan akrab Sulistyo Triantono Putro, melamar kerja di berbagai institusi. Ia bekerja di beberapa tempat. Terakhir , ia bekerja di PT Sasa Inti, Probolinggo, di bagian pengolahan limbah.

Bekerja selama lebih kurang 10 tahun di perusahaan bumbu masak tersebut, Anton mulai goyah. Situasi perusahaan, menurut dia , tidak lagi bisa membuat Anton berkembang sehingga ia memutuskan keluar dari pekerjaan itu pada 2009. Saat itu, Anton sudah menduduki jabatan supervisor.

Selepas dari perusahaan swasta tersebut, Anton dan istrinya mencoba melamar kerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Ketika itu, Anton hanya berniat menemani istrinya melamar kerja sebagai PNS. Namun, nasib berkata lain karena justru Anton yang diterima sedangkan sang istri tidak. Anton diangkat sebagai sanitarian di Puskemas Wonoasih.

Sebagai sanitarian, ia bertugas memberikan penyuluhan di klinik sanitasi Puskemas Wonoasih. Setiap warga datang ke Puskemas dengan kasus diare, DBD, cacing, TBC dan sakit mata, maka mereka akan dirujuk ke klinik sanitasi tersebut.

Di klinik ini, Anton bertugas menggali keterangan dari masyarakat mengenai kondisi tempat tinggal pasien,lingkungan sekitar, dan  melakukan kunjungan ke rumah untuk mengetahui kondisi lapangan. Dengan data yang diperoleh, Anton akhirnya bertugas mencarikan solusi agar warga tersebut bisa terhindar dari penyakit tersebut untuk kedua kalinya.

“rata-rata banyak kasus diare berulang. Setelah diteliti, rupanya memang kondisi sanitasi mereka masih memprihatinkan. Mereka masih BAB di sembarang tempat, termasuk di sungai dekat rumah mereka. Sedikit banyak perilaku BAB sembarang ini menjadi salh satu penyebab sakit mereka.” Ujar Anton.

Anton pun berpikir harus ada perubahan dalam perilaku masyrakat agar tidak mudah terserang diare. Salah satunya dengan memperbaiki sanitasi mereka.

Pelatihan

Secara kebetulan, pada 2011, Anton dikirim untuk mengikuti pelatihan dari Indonesia Urban Water Sanitation and Hygiene (IUWASH) USAID dalam program sanitasi total berbasis masyarakat (STBM).

Di sini, Anton dilatih untuk bisa memicu masyarakat memperbaiki perilaku BAB sembarang mereka. Selain itu, ia juga diarahkan untuk bisa menjadi wirausaha bidang sanitasi dengan mengusahakan jamban sehat bagi warga. Anton dilatih cara membuat jamban sehat, memanajemeni usaha pembuatan jamban,hingga mengatur sistem keuangan usaha tersebut.

“selama ini masalah warga tidak memiliki jamban karena terbentur persoalan biaya. Mereka takut pembuatan jamban butuh biaya besar, makanya,saya memakai sistem kredit agar bisa diakses banyak orang,”ujar ayah tiga anak tersebut.

Utang

Anton mulai memberikan kredit pembuatan jamban pada 2012. Usaha Anton ini dibantu empat orang teknisi lapangan dan sejumlah kolektor uang ( biasanya tokoh masyarakat setempat).

Modal Anton untuk memulai usaha jamban sehat adalah dengan menyisihkan uang Rp. 20 Juta, yang disisihkan dari peminjaman bank untuk membangun rumahnya. Kini, aset yang dimiliki Anton sudah berkembang hingga empat kali lipat dari modal awal tersebut.

Nasabah kredit pembuatan jamban yang diberikan Anton biasanya membayar uang muka Rp 300. 000. Selanjutnya, mereka mencici Rp. 100. 000 per bulan. Penagihannya dilakukan setiap minggu sebesar Rp. 250. 000.

Bentuk dan varian jamban sehat ala Anton bermacam-macam, mulai dari harga Rp. 1,5 juta, Rp.1,7 Juta, hingga Rp.2,2 Juta (memakai sistem filter modern).

Saat ini, nasabaj kredit jamban Anton mencapai sekitar 500 orang se kecamatan Wonoasih. Nasabah terbanyak masih di Kecamatan Wonoasih.

“ini hanya salah satu cara mengajak orang menuruti omongan saya. Saya tidak boleh hanya bisa omong , tetapi tidak bisa memberikan solusi. Kredit jamban ini adalah solusi bagi warga yang berat membayar tunai untuk membangun jamban,” ujar Anton.

Cara Anton mendekati warga bukanlah sekadar dengan ceramah. Ia mengajak warga memantau sungai secara langsung. Ia mengajak warga melihat lokasi BAB dan menegok “ampas-ampas” BAB secara langsung hingga mereka jijik bahkan muntah. Upaya tersebut sedikit banyak membuat warga mau diajak BAB di jamban.

“Saking seringnya warga melihat saya bicara tentang jamban, mereka pun menyebut saya master jamban. Saya senang, setidaknya masyarakat mulai menghargai jamban,” ujar suami Umi Wijayanti tersebut.

Upaya Anton menggeluti sanitasi masyarakat tidak lepas dari keprihatinannya pada perilaku masyarakat yang masih tradisional dalam BAB. Selama ini sejak kecil warga Probolinggo terbiasa BAB di sungai. Dan itu terbawa hingga turun-temurun.

Anton mengungkapkan, di kecamatan Wonoasih masih ada 4085 keluarga yang belum memiliki jamban dan ada 3009 keluarga buang air besar di sembarang tempat. Adapun tingkat akses sanitasi di Kecamatan Wonoasih masih sekitar 55,19 persen.

Di tingkat kota, tercatat masih terdapat 16,749 keluarga di kota Probolinggo belum memiliki jamban. Adapun 14.253 keluarga masih BAB di sembarang tempat , termasuk di sungai.

“Saya akan terus mengampanyekan sanitasi sehat. BAB di jamban jauh lebih sehat daripada BAB di sungai atau tempat lain. Saya ingin Probolinggo berubah. Dari kota kecil yang semula memiliki masalah sanitasi , menjadi kota percontohan sanitasi sehat. Ini bisa dilakukan kalau semua masyarakatnya mau mengubah perilaku dan kebiasaan,” ujar Anton.

Cita-cita Anton tersebut diakui tidak mudah. Ia harus terus bergerak mendekati warga untuk mendorong perubahan perilaku. Jika rata-rata PNS akan beristirahat dari kerjanya pada sore hari, Anton terus bergerak. Ia menghadiri sejumlah acara di masyarakat hingga tengah malam. Sasarannya satu, mendengungkan sanitasi sehat setiap saat.

 

Kompas, Kamis, 18 Juni 2015

Sugiharto Ternak Kambing Mengubah Hidupnya

Ternak-Kambing-Mengubah-Hidupnya.-Kompas.3-Juni-2015.Hal.16

 

Sebagai generasi muda yang lekat dengan internet, Sugiharto (39) memakai jejaring dunia maya sebagai sarana untuk menjalankan usaha beternak dan berdagang kambing peranakan ettawa. Meninggalkan transaksi konvensional di pasar tradisional, sejak tahun 2008 hingga sekarang, Sugiharto melayani permintaan transaksi jual beli dengan pelanggan melalui blog pribadinya.

OLEH REGINA RUKMORINI

 

Sugiharto lahir dan tinggal di salah satu desa di sentra peternakan kambing peranakan ettawa (PE), tepatnya di Desa Donorejo, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Sekalipun baru terjun pada usaha beternak kambing tahun 2001, Sugiharto bisa melaju. Ia tidak menjual kambing melalui pedagang, seperti yang dilakukan tetangga dan rekan-rekannya.

“Saya memilih tidak menjual ternak ke pasar lokal karena pemasaran dan penjualan ternak melibatkan rantai perdagangan yang sangat panjang dengan nominal keuntungan yang kurang maksimal bagi peternak,” ujarnya.

Dari blog pribadinya itu, kini dia mampu menjual 50 ekor hingga 150 ekor kambing PE per bulan, dengan capaian omzet Rp 25 juta hingga Rp 30 juta. Pembeli pun datang dari berbagai penjuru di seluruh Indonesia.

Sugiharto mengatakan, semuanya bermula tanpa sengaja. Berawal dari sekadar ingin berbagi informasi tentang cara beternak kambing PE, dia kemudian menerima banyak pertanyaanm konsultasi, yang akhirnya berlanjut pada permintaan ternak kambingnya sendiri.

Tahun 2008, ketika baru memulai membuat blog, dia sudah menjual 40 ekor kambing, dan pada tahun 2009, angka penjualan mencapai 117 ekor kambing. Tahun ini, sejak Januari hingga pertengahan Mei saja, dia sudah menjual 556 ekor kambing PE ke Pekanbaru, Lubuk Linggau, Gorontalo, dan Lombok.

Kepiawaian memanfaatkan internet untuk berbagi informasi dan berdagang ini membuat Sugiharto meraih penghargaan Internet Sehat Blog Award pada tahun 2010, dan akhirnya kerap diundang menjadi pembicara tentang blogpreneur di sejumlah tempat.

 

Cara berbeda

Dengan latar belakang pendidikan sarjana teknik elektro, dan punya pengalaman di organisasi penyelamatan satwa, serta jaringan relasi yang baik dengan dokter hewan, Sugiharto juga menempuh perawatan ternaknya dengan cara berbeda. Dia lagi-lagi memanfaatkan internet untuk konsultasi tentang perawatan ternak, termasuk konsultasi dengan dokter hewan.

Cara beternak yang berbeda bisa dibuktikan dengan datang langsung ke lokasi kandangnya, yang berada di samping rumah tinggalnya. Ada puluhan ekor kambing PE dalam kandang, tetapi keberadaan mereka sama sekali tidak mengeluarkan bau tidak sedap khas kambing, atau yang dalam bahasa Jawa sering disebut prengus. Bau ini dapat dicegah dengan cara menambahkan zat probiotik dalam makanan ternak.

Cara tidak biasa lain dilakukannya dalam hal mengatasi luka koreng pada kambing. Jika cara tradisional biasanya menggunakan belerang, Sugiharto menggunakan perhidrol, obat yang biasanya digunakan untuk menyembuhkan luka-luka pada penderita diabetes.

“Saya mendaoatkan ide memakai perhidrol setelah melihat perawat menggunakan obat itu untuk menanngani luka-luka penderita diabetes di rumah sakit,” ujarnya. Pemakaian perhidrol akhirnya baru diterapkan setelah dirinya berkonsultasi dengan dokter.

Pemberian pakan pun dilakukan dengan cara  berbeda. Ia mengolah pakan kering. Berbagai jenis bahan yang sudah mengering, seperti jagung, sisa tanaman padi, dan beragam tanaman lainnya, disimpan dalam tempat tertutup dan difermentasi dengan cara ditambahkan garam atau gula dengan takaran tertentu.

Pakan kering ini, menurut dia, menjadi cadangan pangan sepanjang tahun, terutama musim kemarau. Dengan melakukan ini, dia pun tidak pernah mengalami krisis pakan, dan tidak perlu melakukan apa yang kerap dilakukan petani lainnya, yaitu menjual ternak dengan harga murah saat musim kemarau.

 

Keluar dari pekerjaan

Setelah hanya berinvestasi, bermitra dengan petani plasma untuk mengurus ternaknya, pada tahun 2007 Sugiharto memfokuskan diri pada usaha peternakan. Dia pun keluar dari pekerjaan yang sudah digeluti selama delapan tahun di sebuah perusahaan mekanika elektronik.

Saat itu, salah satu alasan Sugiharto ingin berwiraswasta sebagai peternak kambing ialah karena dia ingin memenuhi keinginan ibunya, untuk berkumpul bersama keluarga di rumah.

“Dulu, ibu selalu mengingatkan bahwa percuma memiliki gaji besar jika akhirnya saya jauh dari keluarga, jauh dari anak dan isati,” ujar Sugiharto yang mengungkapkan bahwa ketika bekerja di Jakarta, anak dan istrinya tetap tinggal di kampung halaman, di Desa Donorejo.

Perlahan, permintaan sang ibu akhirnya bisa dipenuhi karena prospek usaha beternak kambing, setelah dihitung matang, juga cukup menggiurkan. Dulu, dengan memiliki 20 ekor kambing yang dipelihara oleh petani plasma saja, Sugiharto mampu mendapatkan penghasilan tambahan Rp 4,3 juta, sekitar separuh dari penghasilannya bekerja di Jakarta.

“Waktu itu, saya Cuma berpikr, kalau saya menambah investasi dengan menambah jumlah ternak kambing, maka saya bisa mendapatkan penghasilan sama besarnya dengan gaji di Jakarta. Sekaligus, saya bisa berkumpul bersama keluarga di kampung,” ujarnya.

Ia sempat putus asa saat mulai mandiri, tetapi akhirnya dia urungkan, apalagi ketika ada badan usaha milik negara (BUMN) yang ingin melakukan program corporate social responsibility (CSR), dengan melakukan pelatihan usaha peternakan di rumahnya selama enam bulan. Dari kegiatan inilah, nama Sugiharto semakin dikenal. Selanjutnya, banyak perusahaan, instansi, sekolah, dan universitas akhirnya ramai melakukan program pelatihan, penelitian, di rumahnya.

Tahun 2014, di kabupaten Purworejo, dia mendirikan unit usaha yang baru diberinya nama CV Gunungkelir Cipta Mandiri. Ini adalah perusahaan bergerak di bidang agrikultur, tetapi sekaligus juga sebagai event organizer.

Tidak hanya itu, dia pun perlahan mulai merancang paket wisata dan membantu mengembangkan desanya menjadi desa wisata. Setiap Kamis, setiap orang yang datang bisa menkmati wisata panglipuran atau penghiburan dengan minum kopi dan menikmati alunan musik gamelan di gubuk yang dibuat di halaman rumahnya sendiri. Kopi yang disajikan adalah kopi asli dari petani di sekitarnya.

Dengan melibatkan siswa SMP dan SMA di desanya sebagai pemandu wisata, dia juga mengembangkan ragam wisata lainnya, seperti trekking, melihat matahari terbit, bird watching, paket wisata dengan berkemah, serta paket wisata menyusuri Perbukitan Menoreh dengan jip, motor trail, atau dengan sepeda gunung. Ada juga paket wisata caving, menjelajag goa-goa yang ada di sekitar Kecamatan Kaligesing.

Sejak memulai program desa wisata pada tahun 2012, saat ini jumlah wisatawan yang datang ke Desa Donorejo mencapai 200 orang, termasuk peneliti yang datang untuk meneliti goa dan lapisan karst.

SUGIHARTO

▪ Lahir : Purworejo, 24 Februari 1976

▪ Pendidikan : Sarjana Teknik Elektro Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

▪ Istri : Sujiyem (38)

▪ Anak :

  • Nurin Maulia Arsi (13)
  • Fathan Maulana Arsi (5)

UC Lib-Collect

Kompas. Rabu. 3 Juni 2015. Hal. 16

Asrul Datuk Kodo Penjaga Terakhir Seni Sijobang

Penjaga-Terakhir-Seni-Sijobang.-Kompas.-4-Juni-2015.-Hal.16

Pernah dianggap gila saat mulai mempelajari Sijobang, dia kini menjadi penjaga terakhir salah satu dendang khas Minangkabau itu. Saat usianya bertambah, sementara tak ada generasi muda yang mau mempelajari Sijobang, keresahan menyelimuti Asrul Datuk Kodo (63). Seni ini suatu hari akan kehilangan penerus.

OLEH ISMAIL ZAKARIA

Pertengahan Mei lalu, di sebuah warung di Nagari Simpang Sugiran, Kecamatan Guguk, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat, beberapa warga duduk santai sambil menikmati kopi. Asrul salah satu diantaranya. Pada siang yang sejuk di wilayah di bawah deretan perbukitan, Asrul mengenakan celana hitam dan batik coklat. Peci hitam tidak tertinggal.

“Saya belum tidur dari semalam. Ada pertunjukan randai (teater tradisional Minangkabau) hingga larut malam. Tapi tak masalah, saya masih tetap bersemangat bicara tentang Sijobang,” kata Asrul setelah menyeruput kopi hitamnya sebagai penahan kantuk.

Asrul lalu mengambil satu kotak korek api yang dibeli dari warung samping rumahnya. Dia mengeluarkan sebagian isinya. Katanya, kalau penuh, kotak korek api itu tidak akan bisa berbunyi.

Kotak korek api tidak penuh itu penting karena dalam membawakan seni dendang khas Minangkabau itu, Asrul menggunakan bunyi korek api sebagai pengiring. Menurut dia, Sijobang juga bisa diiringi dengan alat musik lain seperti kecapi dan rebab (alat musik gesek).

Seperti siang itu, Asrul memegang korek api dengan tiga jarinya, kemudian mengentakkannya ke lantai kayu. Pergesekan antara batang korek api di dalam kotak menghasilkan bunyi. Bersamaan dengan gerakan korek api, ia mulai berdendang. Dia juga mengentakkan kaki kanannya ke lantai sehingga tercipta alunan yang padu dengan bunyi korek api dan dendang.

“Kisah Anggun Nan Tongga memang tidak sebentar. Karena itu, dendang ini dinamakan Sijobang yang berarti cerita yang panjang. Tahun 1975 sampai 1976, dendang ini pernah direkam Prof Nigel Phillips dari Universitas Cambridge dan menghabiskan 64 buah kaset,” tutur Asrul.

Asrul menceritakan, dia mulai belajar Sijobang tahun 1970 pada usia 18 tahun. Keinginannya muncul karena warga memintanya menghidupkan kembali Sijobang. Di kampungnya, Nagari Sungai Talang , Kecamatan Guguk, tidak ada lagi Tukang Sijobang, sebutan untuk pendendang Sijobang. Tukang Sijobang terakhir di sana adalah Pak Etek (paman) yang meninggal pada 1950.

“Saya berguru kepada Tukang Si Jobang yang tinggal di Nagari Kuranji, sekitar 6 kilometer dari kampung saya. Beliau kebetulan murid almarhum paman saya,” kenang Asrul.

Kala itu, untuk mempelajari Sijobang, sejumlah syarat harus dibawanya seperti kain putih 1 helai, beras 1,8 kilogram, pisau tajam, cabe 1 kilogram, garam dan ayam putih. Benda-benda itu bukan sekadar syarat, tetapi memiliki makna masing-masing.

Kain putih, melambangkan hubungan yang tulus antara guru dan murid. Pisau tajam agar ilmunya mempan dan bermanfaat. Beras agar apa yang dipelajarinya berkembang. Ayam agar rajin ia terus berlatih. Cabe dan garam agar dendangnya punya rasa. Ayam putih yang dibawa disimpan untuk dipelihara sang guru dan tidak boleh dijual.

“Saya belajar dua kali seminggu, Rabu dan Sabtu malam. Dendangnya tak pernah saya tulis. Tapi harus dihafal. Jadi sistemnya, guru bercerita dan saya mendengar. Jadi benar-benar harus fokus. Kalau tidak, bisa terlewat pelajarannya,” lanjut Asrul.

Agar tak lupa, begitu pulang dari rumah sang guru, Asrul mengulang apa yang di dengarnya. Setiap hari ia mendengarkannya. Di tempat tidur, di kamar mandi, di jalan, hingga di warung-warung. Kebiasaannya yang hampir setiap hari berdendang Sijobang membuat sebagian warga menyebutnya gila.

“Kalau tiba di kedai kopi atau di keramaian, pasti ada yang bilang ‘Ayo nyanyi’. Kalau di Minangkabau, itu bukan permintaan, melainkan ejekan. Tapi saat itu saya tidak peduli dengan ejekan warga. Tiap diminta, saya akan langsung berdendang,” lanjutnya.

Sebutan “gila” karena Sijobang sempat membuat sang ayah melarang kegemarannya berdendang.

 

Setelah masa jaya

Setelah belajar satu tahun bersama sang guru, Asrul kemudian diajak berkeliling mengikuti pentas sang guru. Sijobang kala itu menjadi iburan wajib bagi acara pesta pernikahan, sunatan, dan lainnya. Berkeliling bersama guru berlangsung selama empat tahun.

“Pada tahun 1973, saya berkesempatan tampil untuk pertama kali pada salah satu acara di Tiakar Payobasung, Kabupaten Limapuluh Kota. Saya sempat ragu, tapi karena sang guru memberikan kepercayaan. Saya ambil dan pertunjukannya lancar semalam suntuk,” tutur Asrul tersenyum.

Sejak saat itu, Asrul rutin mendapat undangan untuk membawakan Sijobang. Undangan semakin banyak saat sang guru menyatakan tak mau lagi menjadi Tukang Sijobang karena faktor usia. Tahun 1976, sang guru meninggal dunia dan membuat Asrul menjadi satu-satunya Tukang Sijobang.

“Saat itu, saya benar-benar laris manis. Pernah satu bulan saya tidak tidur di rumah karena harus berkeliling. Kondisi itu berlangsung hingga awal tahun 2000-an,”kenangnya.

Asrul menuturkan, untuk satu kali tampil yang dimulai dari pukul 21.00 hingga pukul 05.00, dia dibayar Rp 15.000. Angka yang besar untuk tahun 1976. Dengan bayaran sebanyak itu, Asrul bisa menghidupkan keluarga, membeli sawah, dan lainnya.

“Saya bisa hidup dan bertahan dengan sebuah korek api. Dasri sana saya belajar, mengerjakan sesuatu jangan tanggung-tanggung. Apa pun usaha, pekerjaan, harus tekun,”kata Asrul yang diundang tampil di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) tahun 2000.

Asrul menuturkan, ketekunanya pada Sijobang tidak hanya bisa untuk menafkahi keluarga. Dari kisah “Anggun Nan Tongga”, ia menemuka banyak pelajaran hidup.

“Kisah dalam Sijobang sangat kaya kaan nilai moral. Dia (Sijobang) mengajarkan tentang kecerdikan, keberanian, tanggung jawab, kasih sayang sesama manusia, dan lainnya,”kata Asrul.

Asrul kini resah. Tidak sekadar soal berkurangnya undangan untuk menampilkan Sijobang seiring makin banyaknya pilihan musik yang lebiih instan. Asrul resah karena keberlanjutan seni yang dikuasainya hampir 45 tahun itu.

“Saya terbuka bagi siapapun yang mau belajar serius. Tapi sampai sekarang, tidak ada yang mau belajar. Sempat ada mahasiswa yang datang danbilang mau belajar. Namun hanya semalam, setelah itu tidak kembali lagi. Anak pria saya juga bilang mau belajar, tapi sama saja. Untuk hal itu, saya tidak bisa memaksa dia juga,” kata Asrul.

Asrul juga sudah mengusulkan ke sejumlah kampus seperti Universitas Andalas dan Institut Seni Padang Panjang agar seni Sijobang dimasukkan dalam kurikulum. Sayang, sejauh ini belum ada tanggapan.

“Seni Sijobang mungkin akan bernasib seperti peribahasa, mati tidak ada kuburnya, hilang tidak tentu hutannya. Karena itu, selagi saya masih hidup, kalau ada yang mau belajar, silakan. Saya akan sangat senang,” tuturnya.

 

ASRUL DATUK KODO

▪ Kelahiran : Tahun 1952

▪ Istri : Nur Baiti (Almarhumah)

▪ Anak :

  • Armiati (43)
  • Andrianto (39)

▪ Pendidikan : Sekolah Rakyat (SR) tahun 1958

UC Lib-Collect

Kompas. Kamis. 4 Juni 2015. Hal. 16

Yehezkiel Kase Penjaga Nalar di Pedalaman Timor

Penjaga Nalar di Pedalaman Timor. Kompas.11 Juni 2015

Yehezkiel Kase (56) berdiri tegar di antara puluhan siswa sekolah dasar peserta ujian nasional 2015 di Desa Linam Nutu, Kecamatan Batu Putih, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Selama 35 tahun menjadi guru Matematika dan kepala sekolah di lima sekolah dasar di pesisir selatan Timor Tengah Selatan, dia meletakkan dasar-dasar matematika yang kokoh kepada siswa SD pedalaman Timor yang kerap tak terjamah.

OLEH KORNELIS KEWA AMA

Siswa SD di pedalaman dengan infrastruktur jalan, perpustakaan sekolah, dan listrik yang terbatas, dan tingkat penguasaan teknologi informasi tidak perlu memahami Matematika seperti anak-anak di kota. Meski siswa SD pedalaman tetap mengikuti UN seperti anak kota, bagi Kase, dasar-dasar Matematika harus lebih diprioritaskan bagi anak-anak desa.

Ketika ditemui di Desa Linam Nutu, 145 kilometer arah timur Kota Kupang, Minggu (24/5), dia terus memberi dorongan dan motivasi kepada siswa didiknya. Dia yakin, pelajaran Matematika yang diujikan dua hari sebelumnya tidak menyulitkan peserta UN.

“Saya Kepala SD Inpres Munu, Kecamatan Oebeba, tetap diberi tanggung jawab penuh mengawasi UN disini. Di tiga sekolah itu, saya pernah mengajar. Di kalangan anak-anak di pedalaman Timor, terutama pesisir selatan Timor Tengah Selatan yang pernah saya ajar, cukup paham tentang dasar-dasar Matematika,” kata Kase.

Lulusan sekolah pendidikan guru, yang kemudian mengambil Program Diploma Matematika Universitas Nusa Cendana Kupang, 1984, ini menyebut, dedikasi para guru seusianya lebih tinggi daripada lulusan guru tahun 2000-an. Menurut pengalamannya, guru-guru muda sekarang kurang peduli pada tugas dan pengabdian kepada siswa dan masyarakat sekitar.

Desa-desa di pedalaman sulit mendapatkan sinyal telepon seluler, tidak ada listrik dan air bersih. Kendaraan pun sulit masuk sehingga membuat guru muda tidak betah di desa itu. Ini menjadi penghalang bagi sebagian besar lulusan sarjana saat ini mengabdi di desa.

Kondisi ini berbeda dengan semangat pengabdian guru-guru kelahiran 1950-1960-an. Kase, misalnya, lebih mengutamakan pengabdian dan pelayanan kepada siswa dan masyarakat. Keterampilan dan kemampuan menghitung di kalangan anak SD, yakni tambah, kurang, perkalian, dan pembagian, dengan menggunakan contoh-contoh yang mudah dipahami siswa.

Ia menilai, perhitungan dasar ini sangat penting bagi para siswa untuk pendidikan lebih lanjut. Sejumlah sekolah di pedalaman NTT meluluskan siswa SD, tetapi tidak tahu membaca danmenulis, apalagi menghitung. Bahkan, lulusan SMP pun demikian.

 

Keterampilan hidup

Keterampilan menghitung di sebagian besar masyarakat Timor masih sangat rendah. Padahal, menghitung merupakan dasar untuk berbisnis, menganalisis masalah hidup, kemampuan berargumentasi, dan memanfaatkan sumber daya alam di sekitar untuk kesejahteraan hidup.

“Saya menyebut menghitung lewat penjumlahan, pengurangan, penambahan, pembagian, dan perkalian adalah dasar-dasar Matematika, bahkan disebut ilmu dasar, yang menjembatani ilmu-ilmu lain. Dengan memahami dasar-dasar Matematika, anak dengan mudah memahami Fisika dan Kimia di jenjang pendidikan sekolah menengah,” kata Kase.

Masih banyak siswa SD yang takut mengikuti pelajaran Matematika. Namun, Kase punya cara membuat siswa SD senang dan mencintai Matematika, yakni semua siswa memahami secara fasih perhitungan dasar tersebut. Kemampuan ini sangat sederhana bagi masyarakat kota, tetapi bagi siswa SD di pedalaman tidak mudah.

Di kelas empat dan kelas lima, semua siswa harus sudah hafal perkalian, pembagian, pengurangan, dan penjumlahan. Kalau mereka tidak paham, tidak naik kelas. Perkalian, pembagian, pengurangan, dan penjumlahan merupakan matematika dasar, pijakan untuk mempelajari ilmu matematika lebih lanjut.

Seharusnya pria Timor, yang suka mengunyah sirih dan pinang sampai giginya merah kehitaman ini, pensiun pada 2014 di usia 55 tahun. Akan tetapi, karena dedikasi, pengabdian, pengorbanan, dan paling utama adalah keterampilan dan pengetahuan matematika yang dimiliki dan dikembangkan selama 35 tahun mengajar, dia dipertahankan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Timor Tengah Selatan menjadi kepala sekolah sampai 2017. Tahun itu, ia akan berusia 58 tahun.

Dalam rentang waktu 35 tahun itu, ratusan anak didik Kase sudah menjadi sarjana. Mereka menjadi guru, anggota DRPD, dosen, dokter, perawat, anggota TNI, dan polisi. Kase menyesal banyak di antara anak didiknya yang lebih mengejar karier, uang, dan jabatan dibandingkan dengan semangat pengabdian, dan pelayanan sehingga tidak sedikit yang terlibat kasus korupsi kemudian masuk penjara.

Pada UN SD 2015, Kase ditunjuk sebagai penanggung jawab penyelenggaraan UN di tiga SD yang terpusat di SDI Oetamo. Selama lima hari pelaksanaan UN SD itu, dia selalu ada diantara 98 peserta UN. Anak-anak itu datang bersama orangtua dan menetap di gedung bekas base camp  Balai DAS Noelmina yang terletak di Desa Linam Nutu.

“Kami mendiskusikan setiap soal seusai pelaksanaan UN di  base camp ini. Dari hasil diskusi itu, sebagian siswa dari sekolah yang sama sangat fasih dan paham mengenai soal UN yang baru dikerjakan, tetapi beberapa siswa dari sekolah lain tidak tahu sama sekali. Di situ saya paham sekolah mana yang serius mengemban tugas dengan baik dan mana yang tidak,” tutur Kase.

Ia menilai, cukup banyak lulusan sarjana matematika mengajar SD di pedalaman, tetapi banyak siswa mengaku bingung dengan apa yang disajikan guru-guru itu. Hal ini disebabkan guru-guru Matematika itu belum kreatif mendalami materi. Selain itu, mereka juga tidak mampu mengaplikasikan pelajaran dengan kehidupan konkret siswa.

Lagipula, lulusan sarjana matematika saat ini umumnya tidak betah tinggal di desa pedalaman karena berbagai keterbatasan daerah itu. Para guru itu lebih suka berada di kota kecamatan atau kabupaten. Desa bukan pilihan bagi mereka. “Ketika ditempatkan sebagai guru SD di desa terpencil, paling hanya 10-15 hari mereka bertahan di dalam kelas, selebihnya berada di kota kabupaten atau kecamatan,” ujar Kase.

Tidak heran jika sejumlah lulusan SD bahkan SMP/sederajat di pedalaman NTT tidak bisa membaca, menulis, apalagi menghitung. Padahal, mereka diluluskan dengan nilai sangat memuaskan. Setelah ditelusuri, mereka sengaja diluluskan hanya karena para guru itu takut mendapat kecaman dari orang tua. Kualitas lulusan dikorbankan. Hal ini yang membuat Kase terus menyediakan diri untuk pengabdian menjaga nalar di pedalaman.

 

YEHEZKIEL KASE :

▪ Lahir : Soe, 15 MARET 1959

▪ Pendidikan : Diploma 3 Matematika Undana, Kupang

▪ Istri : Regina Boymau

▪ Anak :

  • Yusti (32)
  • Serli (30)
  • Miatri (29)
  • Tanti (16)
  • Kevin (11)

▪ Jabatan : Kepala SD Inpres Munu

▪ Penghargaan : Guru Teladan Tingkat Provinsi NTT 2001 dan 2009

 

UC Lib-Collect

Kompas. Kamis. 11 Juni 2015. Hal. 16

Abdul Malik Penggerak Pelestarian Penyu Pulau Sembilan

Penggerak-Pelestarian-Penyu-Pulau-Sembilan.-Kompas.-10-Juni-2015.Hal.16

Terlahir sebagai anak kepulauan, Abdul Malik (37) sangat akrab dengan laut dan beraneka ragam kehidupan di laut. Hampir tiap saat, ia menyaksikan penyu naik ke pulau kecil yang bibir pantainya berpasir lembut untuk melepaskan telurnya. Namun lambat laun, jumlah penyu yang naik ke pantai untuk bertelur semakin berkurang. Kegelisahan mulai mengganggunya.

OLEH JUMARTO YULIANUS

Kemanakah penyu-penyu di Pulau Sembilan? Malik lalu menghela napas. Setidaknya hingga umur 18 tahun, ia turut menyebabkan penyu di kampung halamannya berkurang. Pulau sembilan adlaah sebuah kecamatan di Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan, yang berupa gugusan pulau-pulau kecil dengan luas wilayah 4,76 kilometer persegi.

“Di sini, telur penyu diambil untuk dikonsumsi dan diperjualbelikan secara bebas. Tak jarang pula, induknya ditangkap dan dijadikan lauk,” kata Malik saat ditemui di Pulau Marabatuan, pusat Kecamatan Pulau Sembilan, akhir  Mei lalu. Pusat kecamatan pulau terluar ini terletak di selatan Kotabaru dengan jarak 82 mil laut (152 kilometer). Untuk mencapai pulau terluar ini, perlu waktu sekitar 10 jam dari Kotabaru ke Marabatuan dengan menumpang kapal laut (kapal perintis).

Malik mengatakan, dirinya baru mengetahui sedikit tentang penyu sebagai kelompol reptil yang dilindungi undang-undang pada 1996. Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, perdagangan satwa dilindungi seperti penyu, penjual maupun pembeli bisa dihukum penjara 5 tahun dan denda Rp 100 juta.

Setelah mengetahui keberadaan penyu sebagai hewan yang dilindungi, kata Malik, ia memutuskan untuk tidak lagi mengonsumsi daging maupun telur penyu. Padahal, bagi masyarakat di pulau terluar Kalimantan Selatan, itu mengonsumsi daging dan telur penyu adalah hal biasa. “Saya lalu mencari tahu lebih banyak tentang penyu,” ucapnya.

Dengan bertambahnya wawasan tentang penyu, Malik semakin menaruh perhatian pada kelestarian penyu di daerahnya. Tahun 2006, ia mengenal ProFaunda, lalu bergabung disitu sebagai suporter. ProFauna merupakan sebuah lembaga independen nonprofit berjaringan internasional yang bergerak di bidang perlindungan dan pelestarian satwa liar dan habitatnya.

Berselang satu tahun setelah menjadi suporter ProFauna, Malik berkesempatan mengikuti diklat perlindungan dan pelestarian satwa liar dan habitatnya yang diadakan lembaga tersebut di Samarinda, Kalimantan Timur. “Saat mengikuti diklat selama empat hari, saya lebih fokus pada sesi perlindungan dan pelestarian penyu,” kata guru SD ini.

 

Membuat gerakan

Sepulang dari Samarinda, Malik mulai mengumpulkan rekan-rekan guru angkatan muda di wilayah Pulau Sembilan dan mengajak mereka berbuat sesuatu demi kelestarian penyu. Para guru, anak-anak kepulauan setempat yang merupakan generasi muda terdidik, akhirnya sepakat membuat gerakan pelestarian penyu.

Menurut Malik, dua jenis penyu yang dijumpai di Pulau Sembilan, yakni penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata), sudah makin berkurang jumlahnya. Pulau-pulau kecil di wilayah Pulau Sembilan, seperti Pulai Danauwan, Pamalikan, dan Kalambau, yang merupakam surga bagi penyu untuk bertelur dan berkembang biak sudah tidak seramai dulu. “Dulu, setiap hari, bisa dijumpai 10-20 ekor penyu yang bertelur di pantai. Sekarang, paling banyak 5-7 ekor saja,” tuturnya.

Pada dasarnya, kata Malik, masyarakat kepulauan menyadari bahwa jumlah penyu yang bertelur di pantai terus berkurang setiap tahun. Namun, mereka tidak berpikir aktivitas mengambil telur penyu sebagai salah satu penyebabnya. “Menurut mereka, penyu berkurang karena masih ada nelayan luar yang memburu dan menangkapnya meski mereka sendiri sudah berhenti menangkap penyu,” ungkapnya.

Adanya pandangan masyarakat yang demikian, membuat Malik dan rekan-rekannya mencoba memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa pemanfaatan penyu secara langsung diambil daging ataupun telurnya akan menyebabkan populasi penyu berkurang. “Kami mengajak masyarakat menangkarkan sebagian dari telur agar penyu tetap bisa berkembang biak,” katanya.

 

Tak dihiraukan

Namun, ajakan Malik dan 11 rekannya sering kali tak dihiraukan. Sebagian warga menganggap kelompok guru muda ini sebagai tukang usik atau pengganggu kehidupan nelayan. “Saat kami menyuarakan pentingnya konservasi penyu, kami dibilang hanya akan menghilangkan penghasilan mereka,” ujarnya.

Beberapa nelayan yang setiap hari menikati hasil penjualan telur penyu, karena penyu bertelur di areal kebun mereka, lalu menunjukkan sikap tidak suka. Dialog dan pendekatan dari hati ke hati sering kali menemukan jalan buntu. Malik dan rekan-rekannya bukan hanya tak dihiraukan, melainkan juga ditentang warga kepulauan.

Menghadapi warga kepulauan, yang sejatinya keluarganya sendiri, Malik bersama rekan-rekannya tak bisa frontal. Mereka pun membuat gerakan diam-diam. “Akhir pekan, kami biasanya bermalam di pulau, tempat penyu bertelur. Setlah penyu naik dan bertelur, kami biasanya menghilangkan jejaknya atau memindahkan telurnya ke tempat yang aman,” katanya.

Selain itu, secara swadaya, Malik mengajak rekannya membuat kaus bergambar penyu dengan kalimat imbauan untuk menjaga kelestarian penyu. Kaus tidak hanya untuk dipakai kalangannya sendiri, tetapi juga dibagikan secara gratis kepada motoris kapal nelayan, yang biasa mengantar-jemput penumoang dari dermaga ke kapal perintis yang sedang sandar. “Dengan melihat kaus itu, kami berharap muncul kesadaran masyarakat untuk menjaga kelestarian penyu,” ucapnya.

Menurut Malik, kelompok mereka akan tetap hidup menyuarakan pelestarian penyu meskipun sampai sekarang tidak memiliki struktur organisasi yang jelas, dan tidak juga mendapat dukungan dari aparatur desa maupun kecamatan. Di tengah berbagai tantangan, Malik bersama rekannya berupaya mencari solusi terbaik, yakni bagaimana kelestarian penyu tetap terjaga, tetapi masyarakat tidak kehilangan mata pencarian.

 

ABDUL MALIK

▪ Lahir : Marabatuan, Pulau Sembilan, 21 Maret 1978

▪ Pendidikan:

  • SD Negeri 1 Tengah, Marabatuan, Pulau Sembilan (1984-1990)
  • SMP PGRI Saijaan, Marabatuan, Pulau Sembilan ( 1990-1993)
  • SMA Negeri 1 Kusan Hilir, Tanah Bumbu (1993-1996)
  • D-2 Pendidikan Guru Sekolah Dasar Akademi Keguruan Paris Barantai, Kotabaru (2000-2003)
  • S-1 Pendidikan Bahasa Indonesia STKIP Paris Barantai, Kotabaru (lulus 2013)

▪ Pekerjaan :

  • Guru PNS di SD Negeri Teluk Sungai, Matasirih, Pulau Sembilan (2003-2008)
  • Guru PNS di SD Negeri 1 Tengah, Marabatuan, Pulau Sembilan (2008-sekarang)

▪ Organisasi : Suporter ProFauna Indonesia

 

 

UC Lib-Collect

Kompas. Rabu. 10 Juni 2015. Hal 16