Endang Sutarwan Tabib Papan Selancar Sekaligus Pelestari Budaya
Peselancar lokal dan asing tak perlu khawatir saat papan selancar mereka rusak ketika digunakan menunggai ombak di Pesisir Barat, Lampung. Selama ada Endang Sutarwan alias Nanang (33), papan selancar yang rusak bisa kembali fit untuk digunakan.
OLEH ANGGER PUTRANTO
Sebuah gubuk kecil berbahan dasar kayu berdiri di tengah tanah lapang yang ada di kawasan Pantai Tanjung Setia, Kabuoaten Pesisir Barat, Lampung. Hamparan rumput yang tumbuh ditambah rimbunnya pepohonan kelapa menghadirkan suasana sejuk di sekitar gubuk.
Di dalam gubuk itu tersimpan puluhan papan selancar dalam berbagai kondisi. Aneka perkakas dan perlengkapan bengkel lengkap tersedia disana. Obeng, ampelas, gergaji, tang, lem, resin, dan lainnya terserak begitu saja. Walaupun begitu, Nanang tak pernah kesulitan mencari perkakas-perkakas tersebut saat dibutuhkan untuk memperbaiki papan selancar yang rusak.
Kecintaannya pada dunia selancar sudah tumbuh sejak Nanang duduk di bangku sekolah dasar. Lelaki kelahiran Sukabumi itu sempat merasakan sulitnya bermain selancar saat papa selancarnya rusak.
“Saya tak punya uang untuk memperbaiki papan selancar. Saya hanya bisa memperbaiki sedikit-sedikit. Dari sana perlahan saya semakin mahir dan terinspirasi untuk membuka Ding Repair (bengkel papan selancar),” ujarnya.
Setelah menyelesaikan pendidikan di bangku sekolah menengah atas, Nanang memutuskan untuk pergi meninggalkan kampung halamannya dan merantau ke Pesisir Barat. Berbekal informasi dari mesin pencari Google, ia mengetahui bahwa Pesisir Barat memiliki alam yang indah dan ombak yang luar biasa.
Sejumlah peselancar asing menilai ombak Pesisir Barat setara dengan ombak di Hawaii. Sebab, ombak dari perairan Samudra Hindia itu memiliki garasi ombak yang panjang denga ketinggian mencapai 6 meter hingga 8 meter.
Buka bengkel
Sejak meninggalkan Sukabumi, Nanang tahu tujuannya ke Pesisir Barat ialah untuk dunia selancar. Selain ingin melampiaskan kegemarannya bermain ombak, petualangannya kali ini untuk membuka bengkel papan selancar.
“Saya tidak meneruskan kuliah karena lebih tertarik berbisnis. Awalnya banyak orang mencibir dan mengatakan saya tidak bakal sukses, tetapi buktinya saya sekarang bisa membiayai keluarga besar,” ujar suami Indriani itu.
Sejak tahun 2005, Nanang mulai tinggal di Pesisir Barat. Ia menyewa dua gubuk kayu di sekitar Pantai Tanjung Setia. Satu gubuk ia gunakan sebagai tempat tinggal, sementara gubuk lainnya ia jadikan tempat praktik reparasi papan selancar.
Sebelum ia membuka bengkel selancar, papan selancar yang rusak ketika dipakai bermain di Pesisir Barat harus dibawa ke Bali untuk diperbaiki. Namun, kini para peselancar tak perlu repot bolak-balik Lampung – Bali – Lampung hanya untuk reparasi dan kembali berburu ombak, di Pesisir Barat.
Peselancar yang mengalami kerusakan papan bisa langsung memperbaiki di Ding Repair Sumatera milik Nanang. Dalam sehari ada sekitar 40 papan selancar yang masuk ke bengkel itu. Sebanyak 30 papan akan diperbaiki hari itu juga, sedangkan 10 papan sisanya selalu disisakan untuk digarap esok hari.
“Kerusakan yang dialami bermacam-macam tergantung ombak. Kerusakan paling banyak papan patah, ganti pelat, dan dudukan fin (sirip di bawah papan yang berfungsi untuk mengarahkan laju papan). Biaya reparasi berbeda-beda, Rp 600.000 untuk reparasi bergaransi dan Rp 400.000 untuk reparasi tidak bergaransi,” ujarnya.
Sebagian besar wisatawan asing yang biasa menghabiskan waktu berbulan-bulan di Pesisir Barat lebih memilih reparasi dengan garansi. Sebab, jika mereka mengalami kerusakan papan, Nanang tidak akan memungut biaya lagi.
Pelayanan ini menjadikan nilai lebih bengkel selancar milik Nanang. Hasil garapan Nanang juga terkenal halus dan sempurna. Tak heran, para peselancar asing yang pernah menjadi “pasiennya” masih kerap mengirim papan seluncur dari berbagai belahan dunia untuk diperbaiki Nanang.
“Para peselancar Eropa dan Australia masih sering mengirim papannya yang rusak untuk diperbaiki disini. Dimana pun mereka berselancar, kalau ada kerusakan, mereka pasti mengirim kemari. Kalau sudah seperti itu, saya hanya mengandalkan saling percaya saja,” tuturnya.
Kini pemuda berambut gondrong ikal itu menyebut dirinya sendiri sebagai orang sukses. Kesuksesan yang ia raih berawal dari 1 kilogram resin dan sedikit modal usaha. Ayah satu anak tersebut kini bisa memperoleh keuntungan bersih Rp 40 juta. Keuntungan itu sudah dipotong upah untuk 5 karyawannya masing-masing Rp 2 juta per bulan.
Berkat keterampilannya itu, Nanang sudah memiliki lahan sawit seluas 4 hektar dan berencana membuka sebuah rumah toko yang menjual aksesori selancar.
Tak hanya berkutat pada usaha reparasi papan selancar, Nanang ternyat juga memiliki ketertarikan pada budaya Lampung. Keterkaitan tersebut ia tuangkan dalam sebuah produksi fin. Sekitar lima tahun lalu, Nanang memberanikan diri menjadi produsen fin dengan motif batik Lampung.
“Saya tertarik dengan motif Lampung yang menampilkan Siger (mahkota pengantin wanita Lampung), Gajah, dan Tapis. Kelebihan fin buatan saya ialah cita rasa klasik. Kalau fin produksi luar negeri biasanya hanya polos, punya saya ada motifnya,” kata Nanang bangga.
Produksi fin dengan motif Lampung milik Nanang mulai merambah pasar internasional. Australia dan Hawaii menjadi pasar terbesar produksi tersebut. Kendati awalnya hanya memasarkan fin, secara tidak langsung usaha Nanang juga merupakan bentuk promosi budaya Lampung.
Produksi fin motif Lampung milik Nanang terus berjalan di tengah kesibukan melayani reparasi papan selancar yang rusak. Dalam satu hari Nanang dan rekan-rekannya bisa menyelesaikan 5 set fin (15 buah).
Guna mengatasi mahalnya biaya ekspor, Nanang hanya melayani ekspor minimal 5 set fin dalam sekali kirim. Dalam satu tahun setidaknya ada 200 set fin yang dikirim ke sejumlah negara pemesan.
Nanang berharap produk Indonesia bisa lebih diterima pasar Internasional dan juga lokal. Ia mengatakan, saat ini banyak penggemar selancar Indonesia lebih memilih produk luar negeri.
“Banyak orang berpikir, yang lebih mahal itu lebih baik. Hal itu yang membuat hasil karya anak negeri tidak dihargai. Padahal, saat ini orang asing lebih menghargai produk Indonesia. Percayalah, produk Indonesia tidak kalah kualitasnya,” ungkap Nanang.
ENDANG SUTARWAN/NANANG/NANUNG
▪ Lahir : Sukabumi, 16 Juni 1982
▪ Pendidikan : D Marinjung Sukabumi
- SMP Cilosok, Sukabumi
- SMA Pelabuhan Ratu, Sukabumi
▪ Nama Istri : Indriani (23)
▪ Nama Anak : Muhammad Rail (8)
Lihat Video Terkait
“Tabib Papan Selancar”
di kompasprint.com/vod/tabibselancar
UC Lib-Collect
Kompas. Senin. 22 Juni 2015. Hal. 16