Asrul Datuk Kodo Penjaga Terakhir Seni Sijobang

Penjaga-Terakhir-Seni-Sijobang.-Kompas.-4-Juni-2015.-Hal.16

Pernah dianggap gila saat mulai mempelajari Sijobang, dia kini menjadi penjaga terakhir salah satu dendang khas Minangkabau itu. Saat usianya bertambah, sementara tak ada generasi muda yang mau mempelajari Sijobang, keresahan menyelimuti Asrul Datuk Kodo (63). Seni ini suatu hari akan kehilangan penerus.

OLEH ISMAIL ZAKARIA

Pertengahan Mei lalu, di sebuah warung di Nagari Simpang Sugiran, Kecamatan Guguk, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat, beberapa warga duduk santai sambil menikmati kopi. Asrul salah satu diantaranya. Pada siang yang sejuk di wilayah di bawah deretan perbukitan, Asrul mengenakan celana hitam dan batik coklat. Peci hitam tidak tertinggal.

“Saya belum tidur dari semalam. Ada pertunjukan randai (teater tradisional Minangkabau) hingga larut malam. Tapi tak masalah, saya masih tetap bersemangat bicara tentang Sijobang,” kata Asrul setelah menyeruput kopi hitamnya sebagai penahan kantuk.

Asrul lalu mengambil satu kotak korek api yang dibeli dari warung samping rumahnya. Dia mengeluarkan sebagian isinya. Katanya, kalau penuh, kotak korek api itu tidak akan bisa berbunyi.

Kotak korek api tidak penuh itu penting karena dalam membawakan seni dendang khas Minangkabau itu, Asrul menggunakan bunyi korek api sebagai pengiring. Menurut dia, Sijobang juga bisa diiringi dengan alat musik lain seperti kecapi dan rebab (alat musik gesek).

Seperti siang itu, Asrul memegang korek api dengan tiga jarinya, kemudian mengentakkannya ke lantai kayu. Pergesekan antara batang korek api di dalam kotak menghasilkan bunyi. Bersamaan dengan gerakan korek api, ia mulai berdendang. Dia juga mengentakkan kaki kanannya ke lantai sehingga tercipta alunan yang padu dengan bunyi korek api dan dendang.

“Kisah Anggun Nan Tongga memang tidak sebentar. Karena itu, dendang ini dinamakan Sijobang yang berarti cerita yang panjang. Tahun 1975 sampai 1976, dendang ini pernah direkam Prof Nigel Phillips dari Universitas Cambridge dan menghabiskan 64 buah kaset,” tutur Asrul.

Asrul menceritakan, dia mulai belajar Sijobang tahun 1970 pada usia 18 tahun. Keinginannya muncul karena warga memintanya menghidupkan kembali Sijobang. Di kampungnya, Nagari Sungai Talang , Kecamatan Guguk, tidak ada lagi Tukang Sijobang, sebutan untuk pendendang Sijobang. Tukang Sijobang terakhir di sana adalah Pak Etek (paman) yang meninggal pada 1950.

“Saya berguru kepada Tukang Si Jobang yang tinggal di Nagari Kuranji, sekitar 6 kilometer dari kampung saya. Beliau kebetulan murid almarhum paman saya,” kenang Asrul.

Kala itu, untuk mempelajari Sijobang, sejumlah syarat harus dibawanya seperti kain putih 1 helai, beras 1,8 kilogram, pisau tajam, cabe 1 kilogram, garam dan ayam putih. Benda-benda itu bukan sekadar syarat, tetapi memiliki makna masing-masing.

Kain putih, melambangkan hubungan yang tulus antara guru dan murid. Pisau tajam agar ilmunya mempan dan bermanfaat. Beras agar apa yang dipelajarinya berkembang. Ayam agar rajin ia terus berlatih. Cabe dan garam agar dendangnya punya rasa. Ayam putih yang dibawa disimpan untuk dipelihara sang guru dan tidak boleh dijual.

“Saya belajar dua kali seminggu, Rabu dan Sabtu malam. Dendangnya tak pernah saya tulis. Tapi harus dihafal. Jadi sistemnya, guru bercerita dan saya mendengar. Jadi benar-benar harus fokus. Kalau tidak, bisa terlewat pelajarannya,” lanjut Asrul.

Agar tak lupa, begitu pulang dari rumah sang guru, Asrul mengulang apa yang di dengarnya. Setiap hari ia mendengarkannya. Di tempat tidur, di kamar mandi, di jalan, hingga di warung-warung. Kebiasaannya yang hampir setiap hari berdendang Sijobang membuat sebagian warga menyebutnya gila.

“Kalau tiba di kedai kopi atau di keramaian, pasti ada yang bilang ‘Ayo nyanyi’. Kalau di Minangkabau, itu bukan permintaan, melainkan ejekan. Tapi saat itu saya tidak peduli dengan ejekan warga. Tiap diminta, saya akan langsung berdendang,” lanjutnya.

Sebutan “gila” karena Sijobang sempat membuat sang ayah melarang kegemarannya berdendang.

 

Setelah masa jaya

Setelah belajar satu tahun bersama sang guru, Asrul kemudian diajak berkeliling mengikuti pentas sang guru. Sijobang kala itu menjadi iburan wajib bagi acara pesta pernikahan, sunatan, dan lainnya. Berkeliling bersama guru berlangsung selama empat tahun.

“Pada tahun 1973, saya berkesempatan tampil untuk pertama kali pada salah satu acara di Tiakar Payobasung, Kabupaten Limapuluh Kota. Saya sempat ragu, tapi karena sang guru memberikan kepercayaan. Saya ambil dan pertunjukannya lancar semalam suntuk,” tutur Asrul tersenyum.

Sejak saat itu, Asrul rutin mendapat undangan untuk membawakan Sijobang. Undangan semakin banyak saat sang guru menyatakan tak mau lagi menjadi Tukang Sijobang karena faktor usia. Tahun 1976, sang guru meninggal dunia dan membuat Asrul menjadi satu-satunya Tukang Sijobang.

“Saat itu, saya benar-benar laris manis. Pernah satu bulan saya tidak tidur di rumah karena harus berkeliling. Kondisi itu berlangsung hingga awal tahun 2000-an,”kenangnya.

Asrul menuturkan, untuk satu kali tampil yang dimulai dari pukul 21.00 hingga pukul 05.00, dia dibayar Rp 15.000. Angka yang besar untuk tahun 1976. Dengan bayaran sebanyak itu, Asrul bisa menghidupkan keluarga, membeli sawah, dan lainnya.

“Saya bisa hidup dan bertahan dengan sebuah korek api. Dasri sana saya belajar, mengerjakan sesuatu jangan tanggung-tanggung. Apa pun usaha, pekerjaan, harus tekun,”kata Asrul yang diundang tampil di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) tahun 2000.

Asrul menuturkan, ketekunanya pada Sijobang tidak hanya bisa untuk menafkahi keluarga. Dari kisah “Anggun Nan Tongga”, ia menemuka banyak pelajaran hidup.

“Kisah dalam Sijobang sangat kaya kaan nilai moral. Dia (Sijobang) mengajarkan tentang kecerdikan, keberanian, tanggung jawab, kasih sayang sesama manusia, dan lainnya,”kata Asrul.

Asrul kini resah. Tidak sekadar soal berkurangnya undangan untuk menampilkan Sijobang seiring makin banyaknya pilihan musik yang lebiih instan. Asrul resah karena keberlanjutan seni yang dikuasainya hampir 45 tahun itu.

“Saya terbuka bagi siapapun yang mau belajar serius. Tapi sampai sekarang, tidak ada yang mau belajar. Sempat ada mahasiswa yang datang danbilang mau belajar. Namun hanya semalam, setelah itu tidak kembali lagi. Anak pria saya juga bilang mau belajar, tapi sama saja. Untuk hal itu, saya tidak bisa memaksa dia juga,” kata Asrul.

Asrul juga sudah mengusulkan ke sejumlah kampus seperti Universitas Andalas dan Institut Seni Padang Panjang agar seni Sijobang dimasukkan dalam kurikulum. Sayang, sejauh ini belum ada tanggapan.

“Seni Sijobang mungkin akan bernasib seperti peribahasa, mati tidak ada kuburnya, hilang tidak tentu hutannya. Karena itu, selagi saya masih hidup, kalau ada yang mau belajar, silakan. Saya akan sangat senang,” tuturnya.

 

ASRUL DATUK KODO

▪ Kelahiran : Tahun 1952

▪ Istri : Nur Baiti (Almarhumah)

▪ Anak :

  • Armiati (43)
  • Andrianto (39)

▪ Pendidikan : Sekolah Rakyat (SR) tahun 1958

UC Lib-Collect

Kompas. Kamis. 4 Juni 2015. Hal. 16

Yehezkiel Kase Penjaga Nalar di Pedalaman Timor

Penjaga Nalar di Pedalaman Timor. Kompas.11 Juni 2015

Yehezkiel Kase (56) berdiri tegar di antara puluhan siswa sekolah dasar peserta ujian nasional 2015 di Desa Linam Nutu, Kecamatan Batu Putih, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Selama 35 tahun menjadi guru Matematika dan kepala sekolah di lima sekolah dasar di pesisir selatan Timor Tengah Selatan, dia meletakkan dasar-dasar matematika yang kokoh kepada siswa SD pedalaman Timor yang kerap tak terjamah.

OLEH KORNELIS KEWA AMA

Siswa SD di pedalaman dengan infrastruktur jalan, perpustakaan sekolah, dan listrik yang terbatas, dan tingkat penguasaan teknologi informasi tidak perlu memahami Matematika seperti anak-anak di kota. Meski siswa SD pedalaman tetap mengikuti UN seperti anak kota, bagi Kase, dasar-dasar Matematika harus lebih diprioritaskan bagi anak-anak desa.

Ketika ditemui di Desa Linam Nutu, 145 kilometer arah timur Kota Kupang, Minggu (24/5), dia terus memberi dorongan dan motivasi kepada siswa didiknya. Dia yakin, pelajaran Matematika yang diujikan dua hari sebelumnya tidak menyulitkan peserta UN.

“Saya Kepala SD Inpres Munu, Kecamatan Oebeba, tetap diberi tanggung jawab penuh mengawasi UN disini. Di tiga sekolah itu, saya pernah mengajar. Di kalangan anak-anak di pedalaman Timor, terutama pesisir selatan Timor Tengah Selatan yang pernah saya ajar, cukup paham tentang dasar-dasar Matematika,” kata Kase.

Lulusan sekolah pendidikan guru, yang kemudian mengambil Program Diploma Matematika Universitas Nusa Cendana Kupang, 1984, ini menyebut, dedikasi para guru seusianya lebih tinggi daripada lulusan guru tahun 2000-an. Menurut pengalamannya, guru-guru muda sekarang kurang peduli pada tugas dan pengabdian kepada siswa dan masyarakat sekitar.

Desa-desa di pedalaman sulit mendapatkan sinyal telepon seluler, tidak ada listrik dan air bersih. Kendaraan pun sulit masuk sehingga membuat guru muda tidak betah di desa itu. Ini menjadi penghalang bagi sebagian besar lulusan sarjana saat ini mengabdi di desa.

Kondisi ini berbeda dengan semangat pengabdian guru-guru kelahiran 1950-1960-an. Kase, misalnya, lebih mengutamakan pengabdian dan pelayanan kepada siswa dan masyarakat. Keterampilan dan kemampuan menghitung di kalangan anak SD, yakni tambah, kurang, perkalian, dan pembagian, dengan menggunakan contoh-contoh yang mudah dipahami siswa.

Ia menilai, perhitungan dasar ini sangat penting bagi para siswa untuk pendidikan lebih lanjut. Sejumlah sekolah di pedalaman NTT meluluskan siswa SD, tetapi tidak tahu membaca danmenulis, apalagi menghitung. Bahkan, lulusan SMP pun demikian.

 

Keterampilan hidup

Keterampilan menghitung di sebagian besar masyarakat Timor masih sangat rendah. Padahal, menghitung merupakan dasar untuk berbisnis, menganalisis masalah hidup, kemampuan berargumentasi, dan memanfaatkan sumber daya alam di sekitar untuk kesejahteraan hidup.

“Saya menyebut menghitung lewat penjumlahan, pengurangan, penambahan, pembagian, dan perkalian adalah dasar-dasar Matematika, bahkan disebut ilmu dasar, yang menjembatani ilmu-ilmu lain. Dengan memahami dasar-dasar Matematika, anak dengan mudah memahami Fisika dan Kimia di jenjang pendidikan sekolah menengah,” kata Kase.

Masih banyak siswa SD yang takut mengikuti pelajaran Matematika. Namun, Kase punya cara membuat siswa SD senang dan mencintai Matematika, yakni semua siswa memahami secara fasih perhitungan dasar tersebut. Kemampuan ini sangat sederhana bagi masyarakat kota, tetapi bagi siswa SD di pedalaman tidak mudah.

Di kelas empat dan kelas lima, semua siswa harus sudah hafal perkalian, pembagian, pengurangan, dan penjumlahan. Kalau mereka tidak paham, tidak naik kelas. Perkalian, pembagian, pengurangan, dan penjumlahan merupakan matematika dasar, pijakan untuk mempelajari ilmu matematika lebih lanjut.

Seharusnya pria Timor, yang suka mengunyah sirih dan pinang sampai giginya merah kehitaman ini, pensiun pada 2014 di usia 55 tahun. Akan tetapi, karena dedikasi, pengabdian, pengorbanan, dan paling utama adalah keterampilan dan pengetahuan matematika yang dimiliki dan dikembangkan selama 35 tahun mengajar, dia dipertahankan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Timor Tengah Selatan menjadi kepala sekolah sampai 2017. Tahun itu, ia akan berusia 58 tahun.

Dalam rentang waktu 35 tahun itu, ratusan anak didik Kase sudah menjadi sarjana. Mereka menjadi guru, anggota DRPD, dosen, dokter, perawat, anggota TNI, dan polisi. Kase menyesal banyak di antara anak didiknya yang lebih mengejar karier, uang, dan jabatan dibandingkan dengan semangat pengabdian, dan pelayanan sehingga tidak sedikit yang terlibat kasus korupsi kemudian masuk penjara.

Pada UN SD 2015, Kase ditunjuk sebagai penanggung jawab penyelenggaraan UN di tiga SD yang terpusat di SDI Oetamo. Selama lima hari pelaksanaan UN SD itu, dia selalu ada diantara 98 peserta UN. Anak-anak itu datang bersama orangtua dan menetap di gedung bekas base camp  Balai DAS Noelmina yang terletak di Desa Linam Nutu.

“Kami mendiskusikan setiap soal seusai pelaksanaan UN di  base camp ini. Dari hasil diskusi itu, sebagian siswa dari sekolah yang sama sangat fasih dan paham mengenai soal UN yang baru dikerjakan, tetapi beberapa siswa dari sekolah lain tidak tahu sama sekali. Di situ saya paham sekolah mana yang serius mengemban tugas dengan baik dan mana yang tidak,” tutur Kase.

Ia menilai, cukup banyak lulusan sarjana matematika mengajar SD di pedalaman, tetapi banyak siswa mengaku bingung dengan apa yang disajikan guru-guru itu. Hal ini disebabkan guru-guru Matematika itu belum kreatif mendalami materi. Selain itu, mereka juga tidak mampu mengaplikasikan pelajaran dengan kehidupan konkret siswa.

Lagipula, lulusan sarjana matematika saat ini umumnya tidak betah tinggal di desa pedalaman karena berbagai keterbatasan daerah itu. Para guru itu lebih suka berada di kota kecamatan atau kabupaten. Desa bukan pilihan bagi mereka. “Ketika ditempatkan sebagai guru SD di desa terpencil, paling hanya 10-15 hari mereka bertahan di dalam kelas, selebihnya berada di kota kabupaten atau kecamatan,” ujar Kase.

Tidak heran jika sejumlah lulusan SD bahkan SMP/sederajat di pedalaman NTT tidak bisa membaca, menulis, apalagi menghitung. Padahal, mereka diluluskan dengan nilai sangat memuaskan. Setelah ditelusuri, mereka sengaja diluluskan hanya karena para guru itu takut mendapat kecaman dari orang tua. Kualitas lulusan dikorbankan. Hal ini yang membuat Kase terus menyediakan diri untuk pengabdian menjaga nalar di pedalaman.

 

YEHEZKIEL KASE :

▪ Lahir : Soe, 15 MARET 1959

▪ Pendidikan : Diploma 3 Matematika Undana, Kupang

▪ Istri : Regina Boymau

▪ Anak :

  • Yusti (32)
  • Serli (30)
  • Miatri (29)
  • Tanti (16)
  • Kevin (11)

▪ Jabatan : Kepala SD Inpres Munu

▪ Penghargaan : Guru Teladan Tingkat Provinsi NTT 2001 dan 2009

 

UC Lib-Collect

Kompas. Kamis. 11 Juni 2015. Hal. 16

Abdul Malik Penggerak Pelestarian Penyu Pulau Sembilan

Penggerak-Pelestarian-Penyu-Pulau-Sembilan.-Kompas.-10-Juni-2015.Hal.16

Terlahir sebagai anak kepulauan, Abdul Malik (37) sangat akrab dengan laut dan beraneka ragam kehidupan di laut. Hampir tiap saat, ia menyaksikan penyu naik ke pulau kecil yang bibir pantainya berpasir lembut untuk melepaskan telurnya. Namun lambat laun, jumlah penyu yang naik ke pantai untuk bertelur semakin berkurang. Kegelisahan mulai mengganggunya.

OLEH JUMARTO YULIANUS

Kemanakah penyu-penyu di Pulau Sembilan? Malik lalu menghela napas. Setidaknya hingga umur 18 tahun, ia turut menyebabkan penyu di kampung halamannya berkurang. Pulau sembilan adlaah sebuah kecamatan di Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan, yang berupa gugusan pulau-pulau kecil dengan luas wilayah 4,76 kilometer persegi.

“Di sini, telur penyu diambil untuk dikonsumsi dan diperjualbelikan secara bebas. Tak jarang pula, induknya ditangkap dan dijadikan lauk,” kata Malik saat ditemui di Pulau Marabatuan, pusat Kecamatan Pulau Sembilan, akhir  Mei lalu. Pusat kecamatan pulau terluar ini terletak di selatan Kotabaru dengan jarak 82 mil laut (152 kilometer). Untuk mencapai pulau terluar ini, perlu waktu sekitar 10 jam dari Kotabaru ke Marabatuan dengan menumpang kapal laut (kapal perintis).

Malik mengatakan, dirinya baru mengetahui sedikit tentang penyu sebagai kelompol reptil yang dilindungi undang-undang pada 1996. Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, perdagangan satwa dilindungi seperti penyu, penjual maupun pembeli bisa dihukum penjara 5 tahun dan denda Rp 100 juta.

Setelah mengetahui keberadaan penyu sebagai hewan yang dilindungi, kata Malik, ia memutuskan untuk tidak lagi mengonsumsi daging maupun telur penyu. Padahal, bagi masyarakat di pulau terluar Kalimantan Selatan, itu mengonsumsi daging dan telur penyu adalah hal biasa. “Saya lalu mencari tahu lebih banyak tentang penyu,” ucapnya.

Dengan bertambahnya wawasan tentang penyu, Malik semakin menaruh perhatian pada kelestarian penyu di daerahnya. Tahun 2006, ia mengenal ProFaunda, lalu bergabung disitu sebagai suporter. ProFauna merupakan sebuah lembaga independen nonprofit berjaringan internasional yang bergerak di bidang perlindungan dan pelestarian satwa liar dan habitatnya.

Berselang satu tahun setelah menjadi suporter ProFauna, Malik berkesempatan mengikuti diklat perlindungan dan pelestarian satwa liar dan habitatnya yang diadakan lembaga tersebut di Samarinda, Kalimantan Timur. “Saat mengikuti diklat selama empat hari, saya lebih fokus pada sesi perlindungan dan pelestarian penyu,” kata guru SD ini.

 

Membuat gerakan

Sepulang dari Samarinda, Malik mulai mengumpulkan rekan-rekan guru angkatan muda di wilayah Pulau Sembilan dan mengajak mereka berbuat sesuatu demi kelestarian penyu. Para guru, anak-anak kepulauan setempat yang merupakan generasi muda terdidik, akhirnya sepakat membuat gerakan pelestarian penyu.

Menurut Malik, dua jenis penyu yang dijumpai di Pulau Sembilan, yakni penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata), sudah makin berkurang jumlahnya. Pulau-pulau kecil di wilayah Pulau Sembilan, seperti Pulai Danauwan, Pamalikan, dan Kalambau, yang merupakam surga bagi penyu untuk bertelur dan berkembang biak sudah tidak seramai dulu. “Dulu, setiap hari, bisa dijumpai 10-20 ekor penyu yang bertelur di pantai. Sekarang, paling banyak 5-7 ekor saja,” tuturnya.

Pada dasarnya, kata Malik, masyarakat kepulauan menyadari bahwa jumlah penyu yang bertelur di pantai terus berkurang setiap tahun. Namun, mereka tidak berpikir aktivitas mengambil telur penyu sebagai salah satu penyebabnya. “Menurut mereka, penyu berkurang karena masih ada nelayan luar yang memburu dan menangkapnya meski mereka sendiri sudah berhenti menangkap penyu,” ungkapnya.

Adanya pandangan masyarakat yang demikian, membuat Malik dan rekan-rekannya mencoba memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa pemanfaatan penyu secara langsung diambil daging ataupun telurnya akan menyebabkan populasi penyu berkurang. “Kami mengajak masyarakat menangkarkan sebagian dari telur agar penyu tetap bisa berkembang biak,” katanya.

 

Tak dihiraukan

Namun, ajakan Malik dan 11 rekannya sering kali tak dihiraukan. Sebagian warga menganggap kelompok guru muda ini sebagai tukang usik atau pengganggu kehidupan nelayan. “Saat kami menyuarakan pentingnya konservasi penyu, kami dibilang hanya akan menghilangkan penghasilan mereka,” ujarnya.

Beberapa nelayan yang setiap hari menikati hasil penjualan telur penyu, karena penyu bertelur di areal kebun mereka, lalu menunjukkan sikap tidak suka. Dialog dan pendekatan dari hati ke hati sering kali menemukan jalan buntu. Malik dan rekan-rekannya bukan hanya tak dihiraukan, melainkan juga ditentang warga kepulauan.

Menghadapi warga kepulauan, yang sejatinya keluarganya sendiri, Malik bersama rekan-rekannya tak bisa frontal. Mereka pun membuat gerakan diam-diam. “Akhir pekan, kami biasanya bermalam di pulau, tempat penyu bertelur. Setlah penyu naik dan bertelur, kami biasanya menghilangkan jejaknya atau memindahkan telurnya ke tempat yang aman,” katanya.

Selain itu, secara swadaya, Malik mengajak rekannya membuat kaus bergambar penyu dengan kalimat imbauan untuk menjaga kelestarian penyu. Kaus tidak hanya untuk dipakai kalangannya sendiri, tetapi juga dibagikan secara gratis kepada motoris kapal nelayan, yang biasa mengantar-jemput penumoang dari dermaga ke kapal perintis yang sedang sandar. “Dengan melihat kaus itu, kami berharap muncul kesadaran masyarakat untuk menjaga kelestarian penyu,” ucapnya.

Menurut Malik, kelompok mereka akan tetap hidup menyuarakan pelestarian penyu meskipun sampai sekarang tidak memiliki struktur organisasi yang jelas, dan tidak juga mendapat dukungan dari aparatur desa maupun kecamatan. Di tengah berbagai tantangan, Malik bersama rekannya berupaya mencari solusi terbaik, yakni bagaimana kelestarian penyu tetap terjaga, tetapi masyarakat tidak kehilangan mata pencarian.

 

ABDUL MALIK

▪ Lahir : Marabatuan, Pulau Sembilan, 21 Maret 1978

▪ Pendidikan:

  • SD Negeri 1 Tengah, Marabatuan, Pulau Sembilan (1984-1990)
  • SMP PGRI Saijaan, Marabatuan, Pulau Sembilan ( 1990-1993)
  • SMA Negeri 1 Kusan Hilir, Tanah Bumbu (1993-1996)
  • D-2 Pendidikan Guru Sekolah Dasar Akademi Keguruan Paris Barantai, Kotabaru (2000-2003)
  • S-1 Pendidikan Bahasa Indonesia STKIP Paris Barantai, Kotabaru (lulus 2013)

▪ Pekerjaan :

  • Guru PNS di SD Negeri Teluk Sungai, Matasirih, Pulau Sembilan (2003-2008)
  • Guru PNS di SD Negeri 1 Tengah, Marabatuan, Pulau Sembilan (2008-sekarang)

▪ Organisasi : Suporter ProFauna Indonesia

 

 

UC Lib-Collect

Kompas. Rabu. 10 Juni 2015. Hal 16

Abdul Latip Adiwijaya Pelantun Kidung Sunda dari Sungai Citanduy

Pelantun-Kidung-Sunda-dari-Sungai-Citanduy.-Kompas.5-Juni-2015.Hal.16

Di sela-sela melantunkan kidung Sunda, ia menyela, “Maaf, nama saya ujungnya P, ‘peuyeum’, bukan filter,” ujar Bah Latip (59) sambil menunjuk tulisan pada buku catatan kecil yang dipegang “Kompas”. Juru kunci makan petilasan Ratu Galuh Sanghyang Prabu Cipta Permana di Dusun Tunggal Rahayu, Desa/Kecamatan Cimaragas, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, lalu meneruskan kidungnya. “Urang Sunda geus sawawa, geura hudang tur areling…”

OLEH DEDI MUHTADI

Selain gemercik aliran Sungai Cintanduy, musik pengiring kidung itu adalah banbaraan, yakni alat musik sederhana yang terbuat dari sebilah bambu kecil mirip potongan untuk rangkaian bambu angklung. Selain bangbaraan, bambu yang berfungsi sebagai “melodi”, juga ada cemplung indung dan cemplung anak sebagai bas besar dan kecil atau gong. Di samping itu, ada musik pelengkap berupa kempringan dan kecrek.

Melodi bangbaraan suaranya mirip dangungan kumbang besar berwarna hitam (Sunda : bangbara) yang biasa mengisap bunga-bunga tanaman. Alat musik ini memang dibuat untuk menirukan suara kumbang karena merupakan simbol penyerbukan pada bunga tanaman. “Saat kumbang itu mengisap madu bunga tanaman, ia pun melakukan penyerbukan sehingga tanaman itu berbuah,” papar Bah Latip.

Buah-buah tanaman itu merupakan kebutuhan pangan, baik bagi hewan maupun manusia penghuni alam, yang membentuk suatu ekosistem kehidupan berkelanjutan. Menurut Bah Latip, musik pengiring siloka (simbol) ini dibuat secara turun-temurun oleh leluhur Galuh sebagai pesan pelestarian dan keserasian pada kehidupan manusia (sun, ingsun) dan alam (da) yang secara umum terangkai dalam kata Sunda.

Mengapa terbuat dari bambu? Tangkal awi ahur (bambu) merupakan tanaman multiguna yang mampu berfungsi secara ekologi, ekonomi, dan sosial. Pohon bambu mampu menjaga lingkungan/tebing-tebing dari bahaya banjir dan longsir sekaligus menjadi sumber air pada areal tangkapan air. Pohon-pohon bambu juga mampu menyebarkan suhu yang sejuk pada lingkungan sekitar.

Karena itu, leluhur Sunda Galuh meminta keturunannya melestarikan alam melalui pepatah lamping gancang awian  (tebing cepat tanami bambu). Bambu juga bisa digunakan untuk bahan bangunan dan keperluan lain, mulai alat minum hingga alat musik seperti angklung. Di zaman dahulu, bambu merupakan bahan pembuatan galah dan rakit yang menjadi alat trasnportasi di sungai-sungai.

 

Pepeling

Filosofi alat musik tradisional bambu ini serasi dengan kidung yang dilantunkannya, yakni berisi pepatah (pepeling) terhadap keturunan Sunda Galuh untuk membangun kehidupan yang sejahtera lahir batin. Tatanan kehidupan yang gemah ripah loh jinawi, subur makmur kerta raharja, bru di juru, bro dina panto ngalayah di tengah imah (sejahtera lahir batin).

Seperti pantun yang dilantunkannya di atas, “urang Sunda geus sawawa, geura harudang tur areling,” mengingatkan kepada keturunan Sunda kini sudah dewasa, banyak yang pintar, dan mampu mengolah negara. Karena itu, segeralah bangun (geura harudang) dan sadar (areling), jangan terlena bahwa mengolah zaman (politik, ekonomi, sosial, dan lain-lain) memerlukan kerja keras  dan cerdas.

Kidung buhun pepeling (pepatah) itu makin relevan dengan kondisi kekinian urang Sunda. Setelah berpuluh tahun merdeka dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), urang Sunda yang tinggalnya paling dekat dengan pusat kekuasaan, DKI Jakarta justru termarjinalisasi dalam setiap aspek pembangunan.

Tidak hanya di bidang infrastruktur, sumber daya manusia, atau sosial ekonomi di lemah cai (provinsi), urang  Sunda justru tertinggal dibandingkan dengan provinsi lain yang letaknya jauh dari Ibu Kota. Sebagian besar industri manufaktur (54 persen) nasional berada di Tatar Sunda, tetapi jumlah penduduk miskin paling banyak juga berada di provinsi ini.

Sebagai pusat pertumbuhan ekonomi nasional, Tatar Sunda juga pemasok tenaga kerja ke luar negeri paling banyak. Kondisi pendidikan juga sangat memprihatinkan. Peringkat pendidikan di Tatar Sunda (Jawa Barat), seperti SMP dan SMA, masih di bawah 10 besar dari 34 provinsi di Indonesia.

Malah mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh pernah menyebutkan, untuk meningkatkan indeks pembangunan manusia terkait pendidikan di Jawa Barat lebih sulit dibandingkan dengan Papua. Benar-benar ironis.

 

Sejuk

Petilasan karuhun Sunda Galuh seluas satu hektar itu terletak persis di pinggir Citanduy, sungai sepanjang 150 kilometer yang bermuara di Laguna Pulau Nusakambangan, Jawa Tengah. Di petilasan yang dinyatakan sebagai situs purbakala itu, Abdul Latip Adiwijaya, nama lengkapnya, membuat padepokan seni. Di padepokan sederhana itu ia membuat alat musik bangbaraan sekaligus melestarikan seni Sunda lewat kelompok Seni Banda Haur.

Sepenggal hutan di sisi Citanduy itu merupakan petilasan dan makan Keturunan Raja Galuh, yakni Prabu Cipta Permana. Menurut penyusun buku Kerajaan Galuh, Djadja Sukardja (1999), Prabu Cipta Permana (1595-1618) merupakan Ratu Galuh yang pertama masuk Islam karena Sang Prabu menikah dengan Tanduran Tanjung, putri Maharaja Mahadikusumah, penguasa di Kawali.

Sekitar 1570 Masehi, Kerajaan Sunda Galuh di Kawali di bawah Cirebon. Sebelum 1569, Kesultanan Cirebon belum terikat dengan Kerajaan Mataram. Bahkan, daerah Ciamisutara, yakni di utara Sungai Citanduy, sudah di bawah kekuasaan Cirebon, termasuk Panjalu. Baru setelah 1618, Mataram menjajah Galuh yang dimulai dengan gelar raja yang tadinya bergelar ratu atau sanghyang diganti dengan gelar adipati, yaitu bupati di bawah jajahan Mataram.

Petilasan Prabu Cipta yang terletak sekitar 10 kilometer timur kota Ciamis disebut juga Situs Salawe Galuh Gara Tengah. Di tengah rimbunan pepohonan bambu yang sejuk terdapat struktur petilasan keraton dengan empat gerbangm lengkap dengan singgasana raja yang terbuat dari susunan batu. Pohon besar yang berusia ratusan tahun masih tumbuh. Ada juga yang sudah tumbang dan dibiarkan tergeletak.

“Tempat ini sudah dinyatakan sebagai cagar budaya sehingga benda-benda yang ada disini tidak boleh dipindah,” ujar Bah Latip.

Seni Buhun yang dilestarikan Bah Latip, selain tampil pada acara-acara ritual, juga pernah tampil pada pergerlaran seni tradisi di Bali tahun lalu. Kelompok seni yang dipimpinnya itu juga suka tampil pada upacara hari jadi Kabupaten Ciamis.

Senin (25/5), suhu udara di kota Ciamis terasa panas menyengat. Namun, begitu sampai ke Situs Salawe, suasana dingin sejuk terasa menyegarkan. Di tengah kesunyian yang damai itulah Bah Latip menyepi seraya menjalankan nilai-nilai tradisi luhur leluhur Sunda Galuh.

 

ABDUL LATIP ADIWIJAYA

▪ Lahir : Ciamis, 4 Juli 1956

▪ Istri : Hj Masitoh

▪ Anak : Isdianto T

▪ Pendidikan :

  • SD Cimaragas, Ciamis (1969)
  • SMP Banjar (1972)
  • SMEA Ciamis (1975)
  • Akademi Ilmu Keuangan dan Perbankan Tasikmalaya (1979)

▪ Pekerjaan : Juru Kunci Situs Salawe Galuh Gara Tengah, Ciamis

 

UC Lib-Collect

Kompas. Jumat. 5 Juni 2015. Hal. 16

Stanley Harsha Menjembatani Peradaban AS-Indonesia

Menjembatani-Peradaban-AS-Indonesia.-Kompas.27-Mei-2015.Hal.16

Disanjung sebagai jembatan dua peradaban Indonesia-amerika, spontan dia berkata “kesimpulan yang terlalu cepat”. Seorang pengelana budaya? Tidak juga. Lantas apa? Katanya “saya hanya membuat catatan pengalaman seorang mantan diplomat AS yang pernah bekerja di Indonesia selama 12 tahun sebagian dari 28 tahun sebagai diplomat”

Bertemu dan ngobrol bersama Stanley harsha (58),panggilan akrabnya,Stanley, stan, atau harsha. Kami diperkaya makna idiom “jatuh hati”. Serba tenggang rasa, tidak bergaya jagoan layak orang amerika. Kata Stanley “saya toh,seorang American” yang rendah hati dan jatuh hati pada Indonesia. Berkat istrinya, henny mangoendipoero, yang muslimah solo, Stanley menikah secara islam dengan latar belakang kebudayaan keturunan ningrat jawa yang kental? Berkat karier sebagai diplomat? Berkat bawaan hatinya yang menempatkan sesame bangsa dan sesame manusia sebagai sesame ciptaan? Wah katanya,mungkin berkat semuanya! Stanley lebih dikenal public terutama setelah terbit bukunya seperti bulan dan matahari. Indonesia dalam catatan seorang diplomat amerika. Dalam peluncuran dan bedah buku itu, akhir mei, prof azyumardi azra yang sekaligus menulis kata pengantar, mengapresiasinya tidak hanya sebagai catatan pribadi. Lebih dari itu. Buku Stanley merupakan refleksi pengembaraan dua peradaban AS dan Indonesia. Kedua negara yang sama sama berlatar belakang serba majemuk. Idiom klasik e pluribus unum (dari keragaman menjadi satu) atau semboyan bhinneka tunggal ika oleh empu tantular, mewujud dalam praksis kenegaraan/kebangsaan AS dan Indonesia. Ungkapan “seperti matahari dan bulan” dia pungut dari lebih tepat disodorkan istrinya. Judul itu menggambarkan sepasang kekasih yang tampan dan cantik. Menggambarkan kiasan idealisasi kedekatan hubungan AS dan Indonesia. Pengembaraan Stanley menjadi lengkap ketika jiwa raganya dipersatukan dengan mempersunting henny, henny berasal dari lingkungan keraton solo, putri seorang pejabat, padmosawego mangoendipoero,buyut pujangga keraton solo, ki padmosoesastro. Judul buku,kata Stanley dibuat dan ditemukan bersama istrinya. Istrinya pula yang menerjemahkan, sebab naskah asli ditulisnya dalam bahasa inggris. Beberapa hari kemudian, baru terbit dalam bahasa inggris (naskah asli) berjudul like the moon and the sun. Indonesia in the words of an American diplomat.

Diluar dugaan

Bulan dan matahari,ibarat yin dan yang dalam filsafat china klasik, member terang sekelilingnya (kemajemukan sebagai realitas serba alami). Stanley tidak menyangka bukunya diapresiasi banyak orang. Analisisnya jauh dari kedalaman catatan mantan dubes AS untuk Indonesia,marshall green, yang berjudul Indonesia: crisis and transformation. Buku berisi catatan pengalaman green, khususnya kondisi Indonesia tahun 1965-1968, periode sejak adegan akhir pemerintahan soekarno dan babak awal soeharto menancapkan kekuasaan represifnya. Sebuah catatan politik. Tentang serangan AS terhadap irak,bagian penting dari perang AS melawan terorisme, sejak awal Stanley tidak setuju. Cap umum negative amerika sebagai  “polisi dunia” kadang ada benarnya. Bahkan, standar dobel dia lihat sebagai cara kerja perpolitikan amerika terhadap sejumlah negara di dunia sepanjang sejarah. “kasus Vietnam, kasus perang teluk,kasus memerangi terorisme dilator belakangi kondisi dan kepentingan yang berbeda beda” kata Stanley pada kami beberapa hari yang lalu. Bagaimana dengan kehadiran amerika deng CIA nya,diisukan terlibat dalam berbagai pergolakan politik diindonesia? Menurut Stanley, kadang amerika dan Indonesia menemukan musuh yang sama. Taruhlah kasus timor timur, dimana marisme sebagai doktrin yang menjadi musuh bersama amerika dan Indonesia, membawa amerika ikut menyetujui serangan ke timor timur yang sedang bergejolak. Kekhawatiran efek domino menjadi kekhawatiran amerika dan Indonesia. Stanley tidak ingin memasuki wilayah sensitive politik, padahal niscaya dia kaya dengan pengetahuan dan pengalaman perpolitikan hubungan Indonesia dan amerika. Stanley mendapatkan catatan diplomasi sebagai warna warni perjuangan peradaban manusia. Taruhlah tentang hubungan budaya amerika dan Indonesia, yang baginya ibarat bulan dan matahari,tanpa dipertegas siapa matahari siapa bulan. Bagi Stanley, kedua entitas itu dirasakan sebagai personifikasi perjalanan hidupnya: orang amerika yang menyatu dengan Indonesia dengan tetap mempertahankan keunikan budaya masing masing, saling melengkapi dan memperkaya, dari berbagai keragaman menjadi satu. Latar belakang pendidikan dari tiga universitas yang berbeda beda, university of Colorado, Universidad de costa rica dan Universidad de mexico, pernah bekerja sebagai wartawan di amerika dan Venezuela, berkarier sebagai diplomat 12 tahun diantaranya di Indonesia, dari “sono”nya Stanley sudah pluralis. Bapaknya berasal dari irlandia dan ibunya amerika. Nama harsha itu nama eropa,dipupuk dalam pproses pendidikan serta kariernya tanpa sadar Stanley memang menjadi “jembatan” pemersatu berbagai kebudayaan.

Tanah air kedua

Kecintaannya pada Indonesia,sekaligus karena tugasnya di Indonesia, termasuk sebagai dubes sementara amerika di timor leste (2007) bagi Stanley nyaris tidak ada peristiw peristiwa penting di Indonesia yang luput dari amatannya. Indonesia menjadi tanah air keduanya, lebih konkret dengan menikahi henny mangoendipoero pada 1987 dan dianugerahi dua anak, annisa gevievieve dan sean Ralph. Kini kegiatan dan tugasnya tidak jauh dari apa yang sudah dijalani selama ini: jembatan dua kebudayaan, Indonesia dan amerika. Kecintaannya pada Indonesia, termasuk khususnya aceh dan jawa, membuat  dia prihatin mendalam dengan terjadinya musibah tsunami aceh akhir tahun 2006. Menjadi jembatan itu terus berlanjut,seiring tugas pasca purnakarya, yakni mempromosikan hubungan antara perguruan tinggi di amerika dan Indonesia. Di hari hari mendatang, dia berencana bertemu dengan sejumlah perguruan tinggi di sumatera. Berbagi waktu tinggal di Colorado dan Indonesia, dia terus berusaha mencintai Indonesia dengan kebudayaan, dengan agama yang dianut sebagian besar rakyat Indonesia.

Sumber: Kompas, Rabu 27 Mei 2015

Amrul Sadik Daga “Memulung” Limbah Menjaga Kehidupan

Memulung-limbah-Menjaga-Kehidupan.-Kompas.17-Juni-2015.Hal.16

Awalnya, Amrul Sadik Daga (45) berkarya di bidang kesehatan masyarakat hanya sekedar mengejar status pegawai negeri sipil. Namun, setelah melihat banyak limbah kesehatan teronggok tak terurus dan menjadi tempat bermain berbahaya bagi anak-anak, ia memantapkan pilihan.

OLEH CORNELIUS HELMY

 

Saya ingin berguna bagi masyarakat. Mungkin saya diberi jalan lewat limbah kesehatan,” kata Amrul saat ditemui di rumahnya di siang yang panas di Kelurahan Sangaji Utara, Kota Ternate, Maluku Utara, akhir pekan lalu.

Pertemuannya dengan limbah kesehatan tak terurus pertama kali saat banting setir dari karyawan hotel menjadi sukarelawan di Puskesmas Kota Ternate pada 2001. Dengan alasan moral, ia meninggalkan penghasilan Rp 400.000 per bulan menjadi hanya Rp 16.000 per bulan.

Bertugas di bagian administrasi, perlahan ia mulai terusik tumpukan limbah kesehatan tak terurus disekitar puskesmas. Jarum suntik bekas, labu infus bekas, hingga kain kasa ternoda darah menjadi area bermain anak-anak. Ia gerah, tetapi tak tahu harus berbuat apa.

Sinar terang didapat saat petugas Kementrian Kesehatan datang ke Kota Ternate memberikan bantuan insinerator limbah kesehatan. Puskesmas Kota Ternate menjadi satu dari empat puskesmas yang mendapat bantuan insinerator bervolume 100 liter.

Akan tetapi, insinerator itu membutuhkan listrik yang besar. Akibatnya, insenerator  kerap tidak terpakai sehingga onderdilnya lekas aus dan rusak. Hanya insenerator di Puskesmas Sikko yang masih bertahan pada 2004.

“Saya menawarkan diri menjadi sukarelawan pengangkut dan pembakar limbah. Setiap dua kali seminggu, saya keliling ambil limbah dari Puskesmas Kota Ternate, Kalumata, dan Kalumpang, menuju Puskesmas Sikko,”katanya.

Namun, hanya dalam waktu dua tahun, insenerator di Sikko rusak akibat dipakai melebihi kapasitas. Karena tidak punya tempat menjauhkan limbah kesehatan dari masyarakat, Amrul menguburnya di hutan dataran tinggi Merikurubu, Kota Ternate.

“Saat itu, saya benar-benar bingung karena tak punya  tempat. Ketimbang berserakan dekat pemukiman masyarakat, terpaksa saya gali lubang di dalam hutan. Keterbatasan ilmu itu juga yang membuat saya ingin melanjutkan sekolah agar punya pengetahuan baru,” katanya.

Selama dua tahun ia menempuh pendidikan lanjutan di Manado, Sulawesi Utara. Saat pulang ke Ternate dua tahun kemudian, ia menemukan fakta ada sekitar 400 liter per minggu limbah kesehatan menunggu dimusnahkan.

 

Biaya sendiri

Kali ini ia meninggalkan Marikurubu dan memilih Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Buku Deru-Deru yang berjarak 32 kilometer dari pusat Kota Ternate. Dengan baya sendiri, ia membuat insenerator sederhana berbiaya Rp 2,5 juta. Setiap dua kali seminggu, ia menggunakan sepeda motor butut pinjaman dari Puskesmas Kota Ternate menuju TPA Buku Deru Deru  sembari membawa limbah plastik dalam kantong plastik hitam.

Usahanya tidak mudah. Salah satu pengalamannya ketika kewalahan ditampar hujan deras saat membawa setumpuk limbah kesehatan. Ia sempat berpikir pulang membawa jarum suntik dan infus bekas. Namun, ia mengurungkan niat itu mengingat risikonya snagat berbahaya.

Akhirnya ia tiba di TPA Buku Deru Deru saat sore. Ia mendapat kejutan. Beberapa pemulung ternyata sudah menantinya untuk bersama-sama menghancurkan limbah kesehatan.

“Ternyata saya tidak sendirian,” katanya.

Pemulung TPA Buku Deru Deru menjadi mitra utama Amrul. Dari pemulung, ia mendapat informasi asal muasal limbah kesehatan baru.

“Informasi itu digunakan sebagai langkah awal mencari dari mana limbah kesehatan itu berasal. Saya lantas menawarkan pengangkutan dan pemusnahan bersama di TPA,” katanya.

Lewat pendekatan dan informasi kesehatan, sebanyak 162 pemulung bisa diajak bekerja sama. Dari membuat pos pemantauan limbah kesehatan, penyediaan sepatu dan pelindung tangan, hingga membuat insenerator manual sederhana. Hampir semua biaya dikeluarkan Amrul dari kantongnya sendiri.

“Sesungguhnya kami ini sama, sama-sama pemulung. Hal itu membuat kerja sama kami langgeng hingga kini,” katanya.

Perlahan, peran Amrul semakin dikenal. Pemerintah Kota Ternate melirik pengabdiannya dengan menyediakan satu unit insenerator bervolume 250 liter pada 2008. Satu unit mobil bekas dipinjamkan pengganti motor butut pengangkut limbah. Mobil yang pernah rusak akibat kerusuhan pertandingan sepak bola itu diberi nama “si putih” merujuk pada warna catnya. Amrul mencetak kata biohazard  besar di tubuh “si putih”.

Amrul semakin gencar mempromosikan kegiatannya ke daerah tetangga seperti Halmahera Selatan, Halmahera Utara, Halmahera Tengah, Halmahera Barat, dan Pulau Tidore. Lewat bantuan tiga tukang ojek, limbah antar pulau itu dijemput 1-2 kali setiap minggu di Pelabuhan Ternate.

Untuk meringankan beban berat pengolahan limbah yang meningkat 2-3 kali lipat dari semula, Amrul memilah sampah sejak dini. Jarum suntik dan infus bekas dimusnahkan ke insenerator tercanggih dengan suhu 1.000 derajat celcius. Insenerator buatannya dengan suhu di bawah 1.000 derajat celcius cukup membakar selang infus atau kapas kasa  bekas.

Perlakuan berbeda dilakukan pada botol infus atau spet suntikan. Amrul memilih merendamnya dengan cairan kaporit untuk mematikan kuman sebelum kemudian dijual lagi. Dalam sebulan, barang daur ulang laku hingga Rp 600.000 hingga Rp 800.000. Semua hasil penjualan dinikmati tiga rekannya.

 

Tularkan Ilmu

Siang itu, Amrul kembali menularkan ilmu di beranda rumahnya. Akhir pekan tidak membuatnya menolak kedatangan beberapa mahasiswa di Politeknik Kesehatan (Poltekes) Ternate, tempatnya menjadi dosen tamu sejak setahun terakhir.

Ada banyak hal yang mereka bahas. Mulai dari pembuatan insenerator sederhana hingga potensi sampah memicu penyakit berbahaya seperti TBC.

Rahmat Mahmud (21), mahasiswa Jurusan Kesehatan Lingkungan di Poltekes Ternate, terang-terangan mengidolakan Amrul. Bersama rekan-rekannya, ia sudah menerapkan ilmu pembuatan insenerator sampah rumah tangga ala Amrul di kampung pemulung Sulamadaha, Kota Ternate.

Tidak hanya Rahmat yang terinspirasi. Tahun 2014, Kementrian Lingkungan Hidup memberikan penghargaan Kalpataru kepada Amrul. Perannya dianggap sebagai terobosan menjaga lingkungan dan kesehatan masyarakat.

 

AMRUL SADIK DAGA

▪ Lahir : Ternate, 20 Februari 1970

▪ Istri : Rini Mahda (45)

▪ Anak : 3 anak

▪ Pendidikan :

  • SD Kenari Tinggi II Ternate (Lulus 1985)
  • SMP I Ternate (Lulus 1988)
  • SMA I Ternate (Lulus 1991)
  • Diploma 1 Sekolah Pembantu Penilik Agen (Lulus 1996)
  • Diploma 3 Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan Manado (Lulus 2006)
  • Strata 1 Jurusan Kesehatan Lingkungan Universitas Veteran, Makassar (Lulus 2013)

UC Lib-Collect

Kompas. Rabu. 17 Juni 2015. Hal. 16

Kesetiaan Latifah

Kesetiaan-Latifah-.Kompas.-30-Mei-2015.-Hal.-16

Wamena dan warga kota kecil di Pegunungan Tengah Papua tersebut cukup mengenal Latifa Anum Siregar (47) yang biasa dipanggil Anum, perempuan kecil, tetapi berhati baja. Anum kerap datang ke Wamena untuk memberikan bantuan hokum, mempromosikan kesetaraan dan demokrasi, hingga mengadvokasi berbagai persoalan terkait hak asasi manusia, terutama bagi warga Papua.

Sama sekali tak ada yang menyangka, pada pertengahan September 2014, ketika tengah mendampingi Areki Wanimbo, tokoh kampung yang diduga terlibat kasus makar, dan menerima dua wartawan asing asal Perancis, Anum diserang oleh dua orang saat keluar dari hotel tempatnya menginap.

Salah satu dari dua orang itu menusuk tangan kiri Anum dan merebut tas yang berisi sejumlah dokumen. Serangan seperti itu baru pertama kali dialaminya sejak ia mulai aktif mendampingi terdakwa kasus makar tahun 2000. Namun, hal itu tak menyurutkan niat dan semangatnya untuk terus memberi pembelaan kepada Areki. Apalagi, Cacha, keponakannya, mengirim pesan singkat yang berbunyi, “dear Amo, selamat untuk kelulusan nya, semoga Amo selalu dikuatkan dan hebat seperti biasanya. Semoga tangan segera sembuh dan Amo tetap semangat berjuang mengurus banyak orang, terutama di Wamena, karena banyak orang su menyerah urus dorang. Sayang selalu.”

Penyerangan itu memang terjadi sebelum Anum meraih magister hukum dari Universitas Cendrawasih Jayapura.

”Saya tidak akan mundur,” kata Anum, anak ke-9 dari 12 bersaudara itu.

Kata-kata yang sama yang selalu diucapkannya setiap kali ancaman muncul ketika ia memberi pendampingan hokum. Akhirnya upayanya membuahkan hasil optimal.

Majelis hakim yang diketahui diketuai Benjamin Nuboba menyatakan, Areki tidak terbukti bersalah atas semua pasal yang didakwakan kepadanya. Hakim juga meminta negara merehabilitasi nama Areki dan segera membebaskan Areki setelah putusan itu dinyatakan. Anum pun lega. Hakim menggunakan semua argumentasi hukum yang diajukannya.

Meskipun kasus yang dihadapi cukup berat, Anum yakin hakim akan melihat perkara itu secara objektif. Hal tersebut menunjukkan sikap keseharian Anum yang selalu menghargai rekan kerjanya, siapapun mereka.

”Itulah Anum,” kata Pater John Jonga, sesama pegiat hak asasi manusia di Papua dan peraih penghargaan Yap Thiam Hien 2010. John mengagumi Anum karena keuletan, keberanian, kesetiaan, dan kesetiakawanannya.

”Semua kliennya adalah orang-orang yang dianggap separatis, dianggap OPM. Ia selalu mau mendampingi kasus-kasus yang tidak banyak pengacara mau tangani. Hal itu menunjukan motivasi dan komitmennya. Ia setia membela mereka yang tidak lagi memiliki suara,” kata John Jonga.

Pernyataan tersebut menegaskan sejarah advokasi yang dilakukan Anum sejak tahun 2000 ketika ia untuk pertama kali mendampingi terpidana kasus dugaan makar. Kala itu, ia menjadi pengacara bagi tujuh anggota Presidium Dewan Papua yang diketahui diketuai almarhum Theys H Eluway, tokoh Papua yang dibunuh aparat pada 2001. Ia pun menjadi pengacara bagi para terdakwa kasus Wamena, seperti Kimanus Wenda dan Linus Hiluka, yang beberapa waktu lalu mendapat grasi dari Presiden Joko Widodo.

Bahkan, apa yang dilakukannya kerap melebihi tanggung jawabnya sebagai pengacara. Ketika Kimanus Wenda sakit dan perlu pengobatan di Jayapura, Anda merogoh kantongnya untuk memberi makanan tambahan bagi Kimanus. Setiap hari, selama Kimanus dalam perawatan, Anum dibantu dibantu pegawai di lembaga yang dipimpinnya, Aliansi Demokrasi untuk Papua, memasak umur petani yang dikenai pasal makar itu.

Penghargaan

Sebagai seseorang yang pernah duduk menjadi anggota DPRD Papua pada 1995-1997 dan menjadi staf ahli komisi hukum DPR Papua pada 2007-2012, kepiawaian Anum tentu dapat menghantarkannya pada posisi yang lebih prestisius. Kepadanya pernah ditawarkan sejumlah kasus dengan dugaan korupsi dan kemungkinan untuk kembali ke kursi DPR. Namun, ia memilih menolaknya.

“Sebagai pengacara, ada dua alasan untuk menolak. Pertama, kasus yang diajukan bukan keahlianya. Alasan kedua, bertentangan dengan hati nurani,” kata Anum menjelaskan sikapnya.

Ketika 17 Mei lali ia mendapat Gwangju Prize for Human Right 2015 di Korea Selatan terkait upayanya memperjuangkan hak dasar orang Papua, rekannya dalam Jaringan Damai Papua, Neles Tebay, menyatakan Anum memang layak mendapatkannya. Neles mengatakan, Anum setia mendampingi para korban dan memberi pembelaan serta bekerja di wilayah yang terisolasi dari media.

Ia tekun mendampingi orang orang Papua dan menunjukkan lewat pekerjaannya bahwa ada persoalan serius di Papua yang harus segera diselesaikan. Di sisi lain, apa yang dilakukan Anum, menurut Neles, mengandung ajakan agar pada masa depan tidak ada lagi pelanggaran terhadap hak hak dasar orang Papua dan mereka harus diperlakukan secara sebagai warga negara.

Anum dengan rendah hati melihat penghargaan itu sebagai tanggung jawab. Semangat tersebut mungkin mewarisi semangat almarhum Amir Husein Siregar, ayahnya, yang pernah bertugas menjadi perwira hukum dan oditur militer di Kodam Cenderawasih, Papua. Namun, tak dapat dipungkiri penghargaan bergengsi itu seakan menegaskan sikapnya sendiri sebagaimana disebutkan oleh Cacha dalam pesan pendek yang dikirimkan kepada Anum, yaitu setia mendampingi warga Papua, terutama warga Wamena, tempat banyak orang yang sudah menyerah.

Kondisi geografis wilayah itu memang sulit. Banyak sekali perkara yang melibatkan sejumlah warga Wamena tergolong sensitive. Tak jarang, Anum harus membiayai sendiri tiket pesawat pergi pulang Sentani-Wamena.

Kesetiaannya mendampingi mereka yang lemah menghadirkan simpati warga. Ketika ia menerima kasus Yosep Siep yang diduga polisi terlibat dalam kasus pembuatan bom dan rencana penggagalan pemilu, mama-mama Papua mengumpulkan uang dari penjualan betatas (ubi jalar) untuk membiayai Anum.

Keterlibatan itu membuat masyarakat Papua begitu dekat dan menjadikan Anum sebagai bagian dari komunitas mereka. Tak heran, pada 29 Mei, warga Wamena menggelar upacara adat bakar batu untuk merayakan pembebasan Areki Winambo dan penghargaan yang diterima Anum. “Mereka menyebut Anum pahlawan,” kata John Jonga.

Sumber: Kompas, Mei 2015

Lamri Idris Hijaukan Penyangga Ujung Kulon

Hijaukan-Penyangga-Ujung-Kulon.-Kompas.-28-Mei-2015.Hal.16

Lamri idris (44) tak pernah letih menebarkan semangat untuk menanam pohon. Terpaksa bermigrasi karena karut marut politik, lamri malah jatuh cinta dengan lingkungan baru dan menghijaukannya. Paling tidak, sudah 10 tahun terakhir dia senantiasa menggerakkan warga untuk menanam pohon.

Warga desa tamanjaya, kecamatan sumur, kabupaten pandeglang, banten, ini berinisiatif menggerakkan pelajar dari Sembilan sekolah pada pertengahan april 2015. Prakarsa lamri mendapatkan sambutan hangat  balai taman nasional ujung kulon (TNUK) dan pemerintah kabupaten pandeglang. Pelajar dari 6 sekolah dasar dan 3 sekolah menengah pertama di kecamatan sumur itu juga menggerakkan pelajar untuk menanam sekitar 1000 pohon. Setidaknya, sudah sejak tahun 2005 lamri menggalakkan penghijauan. Saat itu, lamri bekerja sama dengan pengelola pulau umang untuk menanam 1000 pohon. “pada 2015, sekitar 100.000 pohon ditargetkan untuk ditanam. Program yang melibatkan siswa dilakukan secara berkelanjutan” katanya. Penanaman mencakup tiga desa di kecamatan sumur, yakni tamanjaya, cigorondong dan tunggaljaya,  yang menjadi daerah penyangga TNUK. Lamri yang juga mendirikan taman kanak kanak islam cakra nusantara di desa tamanjaya mewajibkan orang tua siswa sekolah itu menanam pohon. Jumlah siswa TK yang didirikan sejak tahun 2001 itu 50 orang. Artinya, setiap tahun ada 50 pohon baru yang ditanam. Lamri tak hirau, sudah berapa kali dia mengadakan penanaman, hingga ia tak ingat jumlah pohon yang di tanam. Namun, setiap tahun lamri tak pernah alpa. Lamri pun tak segan berbicara lantang agar mereka yang merusak pepohonan di tindak. Di depan bupati pandeglang erwan kurtubi saat hari hutan internasional tahun 2015 di desa tamanjaya, misalnya, lamri meminta polisi mengenakan sanksi terhadap perusak pohon. Lamri juga senantiasa mengingatkan orangtua untuk menjaga dan menghargai pohon pohon yang ditanam. Itu adalah jerih payah anak anak. Lamri mencetuskan pendidikan lingkungan hidup disekolahnya sebagai muatan local sekaligus menjadi guru mata pelajaran tersebut. Penanaman pohon merupakan realisasi pendidikan lingkungan hidup. Pada awal tahun ajaran, murid di minta membawa lima batang bamboo untuk membuat rangka sederhana pelindung pohon. “guru guru menyediakan paku. Kami swadaya saja untuk pemeliharaan. Kalau menunggu anggaran, kami juga punya keterbatasan” katanya. Perlindungan pohon sangat penting karena banyak gangguan,  seperti ternak yang dilepas tanpa pengawasan penggembala, tangan tangan jahil, abrasi dan cuaca buruk. “dulu, tepi pantai di desa tamanjaya belum diberi penahan sehingga gelombang mudah mengempas pohon” katanya. Lantaran dirawat, pohon pohon bisa tumbuh dengan baik. Dalam dua tahun, pohon umumnya sudah tumbuh hampir 2 meter. Pohon yang ditanam umumnya jenis butun (barringtonia asiatica). Butun atau biasa juga disebut pohon keben, songgom, patut laut atau pohon perdamaian itu mudah tumbuh di daerah pesisir. Tingginya bisa mencapai 30 meter. ”setelah 6 tahun, pohon sudah berbuah. Lalu bijinya ditanam lagi. Terpenting, siswa meresapi makna dari pelestarian lingkungan” ucapnya. Setiap punya kesempatan, lamri selalu memanfaatkannya, seperti melalui mata pelajaran, kerja sama dengan balai TNUK dan kegiatan pramuka, untuk merawat pohon. Lamri menekankan kepada murid bahwa mencintai alam tercantum didalam dasa dharma pramuka. Pohon ditanam pada musim hujan dan dirawat saat kemarau. “kontroversi jangan sekadar teori, tetapi harus diaplikasikan dengan menanam pohon, bagaimana sejak dini tertanam dalam benak siswa mampu melestarikan alam” ujarnya.

Sejak mahasiswa

Lamri menghabiskan masa kecilnya di timor timur yang kini telah menjadi negara timor leste. Di daerah asalnya, kabupaten lospalos, lamri akrab dengan hutan. Minat lamri mempelajari alam bersambut saat dia melanjutkan pendidikannya di sekolah tinggi keguruan dan ilmu pendidikan (STKIP) gorontalo. “saya mengambil jenjang S1 jurusan mipa (matematika dan ilmu pengetahuan alam) program studi biologi. Waktu itu saya ikut program tunjangan ikatan dinas” katanya. Lamri yang semasa sekolah menengah atas tergolong berprestasi dikirim ke gorontalo untuk kuliah. Dia juga mendirikan biosfer, yaitu kelompok mahasiswa STKIP gorontalo yang menaruh perhatian terhadap kelestarian lingkungan. “saya lalu kembali ke timor timur karena kuliah dibiayai pemerintah daerah. Namun, gejolak politik kemudian terjadi di timor timur. Saya harus mengambil sikap” katanya. Bukan karena hidup melarat lamri lantas memutuskan angkat kaki ke jawa. Namun, sang saka merah putih tetap bersemayam di hatinya. “kepada negara kesatuan RI saya mengabdi. Saya jadi guru di desa tamanjaya sudah 16 tahun. Pernah jadi kepala SMP negeri 3 sumur sejak tahun 2009” katanya. Selanjutnya, lamri menjadi kepala SMP Negeri 2 sumur sejak tahun 2011. Antusias lamri tak disebarkan dilembaga pendidikan saja. “saya malah ingin ada kelompok guru pecinta lingkungan hidup. Itu sekelompok guru dibawah PGRI. Saya sedang merancang itu” ucapnya. Lamri yang sudah sangat kerasan di desa tamanjaya tak berniat pindah ke daerah lain hingga akhir hayatnya. Jika sudah pension dan tak jadi guru lagi, lamri bertekad untuk tetap semangat menanam pohon. Dia tak peduli dampak positif penghijauan baru dinikmati anak cucunya kelak. Kepala balai TNUK M haryono mengatakan, inisiatif lamri menggalakkan penanaman pohon membuat kagum, membanggakan dan perlu di apresiasi. Jika dilakukan di kota kota besar, penanaman dianggap sudah biasa karena pohon semakin sedikit. Di TNUK hutannya masih rimbun. “namun,pohon tetap ditanam. Lamri adalah guru yang konsisten menananmkan kecintaan terhadap alam kepada anak anak didiknya” ujar haryono. Desa tamanjaya yang terletak di pelosok berjarak sekitar 150 kilometer dari ibukota pandeglang dengan waktu tempuh empat jam. Sebagai praktisi pendidikan, lamri juga prihatin terhadap kondisi pendidikan di lingkungannya yang dinilai mirip dengan timor timur dulu. “anak mau sekolah susah. Selain kendala sumber daya manusia, infrastruktur rusak dan SMA tergolong jauh” kata lamri yang berharap didesa tamanjaya ada SMA.

 

Sumber: Kompas, Kamis 28 Mei 2015

Samuel Laufa Kamus Hidup Budaya Alor

Kamus-Hidup-Budaya-Alor.-Kompas.21-Mei-2015.Hal.16

Pendidikan resmi semuel laufa lebih bersentuhan dengan ekonomi. Dua tahap lanjutan setelah SD adalah SMEP dan SMEA. Program setahun pendidikan guru sekolah lanjutan pertama pun jurusan tata buku. Namun kiprahnya lebih sebagai budayawan. Bahkan disebut pula kamus hidup khusus aspek kebudayaan daerah kelahirannya, alor. Semuel laufa adalah warga kelahiran atoita desa waisika kecamatan alor timur laut kabupaten alor, nusa tenggara timur. Usianya dua versi. Riilnya 65 tahun atau 61 tahun berdasarkan catatan ijazah. “ya, kisahnya dulu itu hanya untuk memenuhi syarat usia agar bisa masuk sekolah” kenang semuel laufa yang akrab disapa sem tentang dua versi usianya itu, dikediamannya di kawasan oebobo kota kupang. Kamis(14/5). Menurut catatan kompas, leonard nahak yang kini kepala unit pelaksana teknis arkeologi,sejarah, dan nilai tradisional dinas pendidikan, pemuda dan olahraga NTT, merupakan pejabat pertama yang meyebut sem sebagai kamus hidup khusus untuk kebudayaan alor. “kalau mau belajar atau menulis berbagai hal tentang kebudayaan alor, narasumber andalnya sem laufa” tutur leonard nahak yang mantan kepala museum NTT di kupang. Rabu(13/5). Penyebutan itu tidak berlebihan. Salah satu contohnya, sem bisa secara detail dan mengalir mengisahkan asal usul moko atau nekara beserta maknanya bagi masyarakat alor. Kata dia, kisah tentang moko itu memang unik. Tidak ada orang alor sejak leluhur hingga sekarang pernah menjadi perajin moko. Namun, benda kuno mirip gendang yang terbuat dari perunggu, telah menjelma menjadi status social. Benda sacral hingga ikon alor. Hingga sekarang pula, keberadaan moko tidak tergantikan sebagai mas kawin atau mahar yang disebut belis oleh masyarakat setempat. Sem menyebutkan, moko pada awalnya masuk ke alor antara abad 18 dan 19. Kebetulan Karena alor dan sejumlah pulau disekitarnya merupakan bagian dari jalur pelayaran perdagangan internasional yang menghubungkan asia dengan kawasan samudra pasifik. Ada dua kelompok moko yang tersimpan dirumah warga di alor. Moko awal merupakan peninggalan zaman perundagian dari kebudayaan dongson. Lainnya kelompok moko berusaha lebih muda hasil karya perajin logam di gresik (jawa timur), awal abad 20. “moko susulan yang didatangkan dari gresik itu sebenarnya siasat politik colonial belanda guna memperkokoh posisinya di daerah jajahan baru” kata sem. Tidak hanya berkisah. Ayah empat anak itu juga meninggalkan pemahamannya tentang kebudayaan daerahnya dengan menulis buku. Dua karyanya itu masing masing berjudul mengenal obyek situs dan benda sejarah purbakala alor (2008) dan moko alor: bentuk, ragam hias dan nilai berdasarkan urutan (2009). Selain itu, sem selalu menjadi narasumber utama untuk penelitian ilmiah terkait  kebudayaan alor. Oleh periset dalam negeri atau asing. Diantaranya penelitian antropologi budaya allor oleh Emilia,antropolog  asal swedia (2013). Menyusul, penyusunan kamus bahasa kemang salah satu rumpun bahasa alor oleh antonetasaper asal belanda dan penulisan linguistic sastra daerah dalam upacara kematian di alor oleh oce langkameng lainnya. Editor buku: pembelajaran bahasa abui salah satu rumpun bahasa alor untuk mulok siswa kelas iv di alor,narasumber buuku:system pemerintahan tradisional alor, serta buku: moko dalam tatanan kehidupan masyarakat adat alor, karya made purna (2013). Dalam buku terakhir itu,sem bahkan disebutkan sebagai narasumber ahli.

Menentang saima

Leonard nahak dan sejumlah komunitas sehabitatnya dikupang menyebut sem juga sebagai budayawan alor. Begitu kuat minat sem terhadap kebudayaan daerahnya, tentu saja bukan karena pendidikan resminya yang jauh dari ranah budaya. Ternyata minatnya itu berawal dari kisah masa kecil hingga usia sekolah dasar di kampungnya,atoita. Ketika itu, ia sering diajak ayahnya karel falau (alm) menghadiri berbagai acara adat di kampong kampong sekitarnya. Tugas sem adalah menentang saima, wdah khusus berisi sirih pinang , seperti dipedesaan lain di ntt,tradisi makan sirih bagi masyarakat alor adalah bagian tidak terpisahkan dalam interaksi social termasuk mengawali berbagai ritual adat. “kisah masa lalu it uterus membekas kuat menjadi pendorong untuk semakin memahami bahkan mengawal berbagai kearifan local peninggalan leluhur” demikian sem mengakui. Selain sering menjadi penenteng saima, sem kecil sudah pandai menabuh perangkat gong dalam upacara adat. Disekolahnya, ia termasuk anggota kelompok music bumbu sebagai peniup kani, suling kecil untuk nada melodi. Meski pendidikan resminya tidak mendukung, ketika menjadi pegawai negeri sipil tahun 1976 ia ditempatkan dibagian kesenian kanwil depdikbud ntt dikupang. Selama berstatus pns hingga pension tahun 2010, sem terus bersentuhan dengan bidang kebudayaan. Termasuk jabatan terakhir sebagao kepala bidang sejarah dan kepurbakalaan dinas ppo alor. Sem sering terlibat dalam berbagai kegiatan berkesenian. Namun yang paling berkesan adalah ketika dirinya bersama sejawatnya djony thedeens memadukan pementasan music tradisi onal ntt dari jenis sasando,music bamboo dan perangkat gong. Pementasan yang berlangsung dihotel ina boi kupang tahun 1989 khusus memeriahkan penyambutan kunjungan mendikbud ketika itu,fuad Hassan. “kami sangat bangga karena bapak menteri ketika itu sampai turun dari podium untuk menyaksikan dari dekat pementasan music tradisional kami” kenangnya. Sem sudah lima tahun menjalani masa pension tetapi tetap menekuni minatnya termasuk menjadi narasumber berbagai penelitian kebudayaan alor. Ternyata semangatnya yang tak pernah pudar itu juga didorong kesaksiannya kalau kearifan local kini sedang terancam punah. Salah satu sumber penyebabnya adalah sikap kaum remaja beranggapan berbagai bentuk kebudayaan peninggalan leluhur mereka itu sesuatu yang kuno dan memalukan.

 

Sumber: Kompas, Kamis 21 Mei 2015

Deden Syarif Hidayat Pilihan Ditengah Keterbatasan

Pilihan di Tengah Keterbatasan. Kompas.4 Mei 2015.Hal.16

Warga sekitar Karst Citatah di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, pernah hidup tanpa banyak pilihan. Itu sebabnya, saat kesempatan itu datang, mereka tidak ingin melewatkannya.

Obrolan hangat di saung penyimpanan panen jambu batu di kKampung Cidadap, Desa Padalarang, Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, tiba-tiba terganggu suara ledakan dari sekitar kawasan Karst Gunung Hawu.

Deden Syarif Hidayat tak menunggu lama. Ia segera menaiki sepeda motornya menuju titik ledakan, sekitar 2 km dari saung bamboo.

“Bummmm…..,” bunyi ledakan kedua terdengar saat Deden baru saja menarik tuas gas sepeda motor.

Tak menghiraukan jalan berkelok dan berbatu yang dibangun petani jambu, Deden lincah mengendarai sepeda motor. Di tengah jalan, ia kembali disambut ledakan ketiga. Ia turun dari sepeda motornya ketika berjarak 1 km dari ledakan. Ia masih melihat batuan kapur berhamburan ke udara seperti air mancur. Reruntuhan kecil masih luruh dari Gunung Hawu.

”Sebelumnya saya sudah lega. Sudah 6 bulan tidak ada ledakan bom di Gunung Hawu, tapi sekarang….,” ujarnya.

Belum selesai bicara, konsentrasi Deden dibuyarkan tiupan peluit dan sirene seperti ambulans. Samar-samar terdengar orang berteriak. Entah apa yang diucapkan orang itu. Namun, Deden tahu itu isyarat aka nada ledakan selanjutnya. Sekitar 15 menit kemudian, dugaan itu benar. Bunyi ledakan keempat terjadi tepat di depan matanya.

“Bummmm….”

Deden kembali tidak bisa berbuat apa-apa. Matanya nanar. Hatinya remuk seperti tebing kapur yang runtuh.

Di dekatnya, Iim (60), petani setempat yang baru saja kemarin memanen jambunya, tersenyum kecut. Iim juga tak menyangka akan ada ledakan lagi.

”Bapak tos cape nambang. Mending ayeuna mah melak jambu ieu we (Bapak sudah lelah menambang. Lebih baik sekarang menanam jambu),” kata Iim, seperti menenangkan hati Deden yang galau.

Mendengar itu, Dadang terdiam. Hatinya sedih sekaligus lega. Diantara deru penambangan yang terus berjalan, pendampingan yang dilakukan bersama Forum Pemuda Peduli Karst Citatah (FP2KC) menjadi semangat kecil bagi warga untuk mempertahankan hidup. Budi daya jambu batu hanya salah satu alternatif yang terus didukung.

Keras

Ingatan Deden melayang pada 6 tahun lalu di Tebing 125, salah satu titik vital di Karst Citatah, Kabupaten Bandung Barat. Kecintaan pada panjat tebing membawanya kerap melatih kekuatan jari jarinya di sana, yang berjarak 1 km dari kediamannya di Kampung Cidadap.

Saat itu, kegembiraannya terganggu. Ketika asik menguras keringat menapaki tebing, konsentrasinya terganggu suara gaduh. Aktivitas penambangan, seperti garukan alat berat hingga ledakan menghancurkan tebing kapur, membuatnya khawatir.

Beragam pertanyaan berputar di kepalanya. Bagaimana jika penambangan menghancurkan Tebing 125, atau apa yang terjadi jika Karst Citatah yang ampuh menyimpan air rusak. Padahal, kawasan Karst yang berusia 20-30 juta tahun itu lama hidup bersama warga di sekitarnya.

Karst Citatah adalah salah satu kawasan kapur penting di Jabar. Di sini, kehidupan manusia prasejarah pernah tinggal. Sumber air bersih juga mengalir di rongga kapur bawah tanah. Namun, kini beberapa gunung kapur penting, seperti Pabesan, Karang Panganten, dan Pasir Manik, dipaksa mengorbankan tubuhnya digerus penambangan sejak 1970-an.

Darah mudanya bergolak. Bersama kawan-kawannya, Deden membentuk FP2KC tidak lama kemudian. Ia memimpin banyak aksi menentang penambangan. Dalam setiap aksinya, ia selalu berteriak tutup penambangan dan pabrik kapur.

Tak heran ia sering mendapatkan ancaman melalui pesan singkat. Tawaran rupiah asal Deden dan rekan-rekannya di FP2KC mengerikan aksinya juga bermunculan.

Meski demikian, seiring waktu berjalan, bukan ancaman yang membuatnya berpikir mengubah strategi. Minimnya partisipasi masyarakat hingga masih tingginya ketergantungan warga pada tambang membuatnya harus memutar otak.

”Harus ada pemahaman baru atau keterampilan baru yang melibatkan masyarakat. Aksi harus tetap jalan, tetapi harus diimbangi dengan pendidikan masyarakat,” katanya.

Ia pun mendirikan Rumah Alam 125. Letaknya di kaki Tebing 125. Remaja setempat diajak beraktivitas bersama, mulai diskusi lingkungan, pelatihan panjat tebing dan pembuatan proses produk berbasis sampah, pelatihan seni budaya, hingga siaran radio terbatas.

”Ada juga pesantren alam dengan titik berat pada penjagaan nilai lingkungan. Keterlibatan masyarakat sangat tinggi,” katanya.

Minat masyarakat itu pula yang mendorongnya menggagas program Kelompok Pemberdayaan Masyarakat (pokdarwis). Masyarakat diminta membuat kelompok khusus untuk menjaga, sekaligus mendapatkan keuntungan ekonomi dari potensi wisata di sekitar Karst Citatah. Dengan harapan, Karst tetap terjaga dan warga bisa mendapatkan penghasilan.

Kelompok pertama muncul di kampung Girimulya, Desa Gunung Masigit. Di kampung tersebut, warga diajak mengelola taman batu yang dibentuk alam sejak ratusan juta tahun lalu.

Secara swadaya, masyarakat mengumpulkan uang untuk membuat jalan yang layak bagi pengunjung. Warga juga mencari sendiri sumber mata air dan paralon untuk menyalurkan air bagi sarana-prasarana pendukung kawasan. Pelatihan bagi 70 pemandu wisata juga dilakukan. Pengunjung diminta membayar Rp3000 per orang untuk biaya perawatan kawasan, kebersihan, dan asuransi.

”Perbaikan pelayanan ini sedikit banyak berkontribusi bagi kunjungan ke Taman Batu. Tidak jarang, dalam sepekan kunjungan wisatawan hingga 1000 orang. Mayoritas pengunjung adalah pelajar dan mahasiswa,” katanya.

Sukses di Taman Batu menginspirasi berdirinya tiga pokdarwis lain di Padalarang. Pokdarwis Kampung Cinangsi Desa Gunung Masigit, sekitar Gunung Puteri; Pokdarwis Kampung Pamucatan, desa Padalarang, mendampingi area panjat Tebing 125; dan Pokdarwis Kampung Cidadap, Desa Padalarang, yang menjaga Gunung Hawu-pabeasan. Tidak sedikit anggota pokdarwis adalah mantan petambang.

”Pilihan yang dimiliki warga Ini hanya salah satu dari sekian jalan yang muncul setelah menjaga Karst. Masih banyak pilihan yang tidak disadari justru mengharumkan nama Bandung Barat,” katanya.

Sumber: Kompas, Mei 2015