Asrul Datuk Kodo Penjaga Terakhir Seni Sijobang
Pernah dianggap gila saat mulai mempelajari Sijobang, dia kini menjadi penjaga terakhir salah satu dendang khas Minangkabau itu. Saat usianya bertambah, sementara tak ada generasi muda yang mau mempelajari Sijobang, keresahan menyelimuti Asrul Datuk Kodo (63). Seni ini suatu hari akan kehilangan penerus.
OLEH ISMAIL ZAKARIA
Pertengahan Mei lalu, di sebuah warung di Nagari Simpang Sugiran, Kecamatan Guguk, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat, beberapa warga duduk santai sambil menikmati kopi. Asrul salah satu diantaranya. Pada siang yang sejuk di wilayah di bawah deretan perbukitan, Asrul mengenakan celana hitam dan batik coklat. Peci hitam tidak tertinggal.
“Saya belum tidur dari semalam. Ada pertunjukan randai (teater tradisional Minangkabau) hingga larut malam. Tapi tak masalah, saya masih tetap bersemangat bicara tentang Sijobang,” kata Asrul setelah menyeruput kopi hitamnya sebagai penahan kantuk.
Asrul lalu mengambil satu kotak korek api yang dibeli dari warung samping rumahnya. Dia mengeluarkan sebagian isinya. Katanya, kalau penuh, kotak korek api itu tidak akan bisa berbunyi.
Kotak korek api tidak penuh itu penting karena dalam membawakan seni dendang khas Minangkabau itu, Asrul menggunakan bunyi korek api sebagai pengiring. Menurut dia, Sijobang juga bisa diiringi dengan alat musik lain seperti kecapi dan rebab (alat musik gesek).
Seperti siang itu, Asrul memegang korek api dengan tiga jarinya, kemudian mengentakkannya ke lantai kayu. Pergesekan antara batang korek api di dalam kotak menghasilkan bunyi. Bersamaan dengan gerakan korek api, ia mulai berdendang. Dia juga mengentakkan kaki kanannya ke lantai sehingga tercipta alunan yang padu dengan bunyi korek api dan dendang.
“Kisah Anggun Nan Tongga memang tidak sebentar. Karena itu, dendang ini dinamakan Sijobang yang berarti cerita yang panjang. Tahun 1975 sampai 1976, dendang ini pernah direkam Prof Nigel Phillips dari Universitas Cambridge dan menghabiskan 64 buah kaset,” tutur Asrul.
Asrul menceritakan, dia mulai belajar Sijobang tahun 1970 pada usia 18 tahun. Keinginannya muncul karena warga memintanya menghidupkan kembali Sijobang. Di kampungnya, Nagari Sungai Talang , Kecamatan Guguk, tidak ada lagi Tukang Sijobang, sebutan untuk pendendang Sijobang. Tukang Sijobang terakhir di sana adalah Pak Etek (paman) yang meninggal pada 1950.
“Saya berguru kepada Tukang Si Jobang yang tinggal di Nagari Kuranji, sekitar 6 kilometer dari kampung saya. Beliau kebetulan murid almarhum paman saya,” kenang Asrul.
Kala itu, untuk mempelajari Sijobang, sejumlah syarat harus dibawanya seperti kain putih 1 helai, beras 1,8 kilogram, pisau tajam, cabe 1 kilogram, garam dan ayam putih. Benda-benda itu bukan sekadar syarat, tetapi memiliki makna masing-masing.
Kain putih, melambangkan hubungan yang tulus antara guru dan murid. Pisau tajam agar ilmunya mempan dan bermanfaat. Beras agar apa yang dipelajarinya berkembang. Ayam agar rajin ia terus berlatih. Cabe dan garam agar dendangnya punya rasa. Ayam putih yang dibawa disimpan untuk dipelihara sang guru dan tidak boleh dijual.
“Saya belajar dua kali seminggu, Rabu dan Sabtu malam. Dendangnya tak pernah saya tulis. Tapi harus dihafal. Jadi sistemnya, guru bercerita dan saya mendengar. Jadi benar-benar harus fokus. Kalau tidak, bisa terlewat pelajarannya,” lanjut Asrul.
Agar tak lupa, begitu pulang dari rumah sang guru, Asrul mengulang apa yang di dengarnya. Setiap hari ia mendengarkannya. Di tempat tidur, di kamar mandi, di jalan, hingga di warung-warung. Kebiasaannya yang hampir setiap hari berdendang Sijobang membuat sebagian warga menyebutnya gila.
“Kalau tiba di kedai kopi atau di keramaian, pasti ada yang bilang ‘Ayo nyanyi’. Kalau di Minangkabau, itu bukan permintaan, melainkan ejekan. Tapi saat itu saya tidak peduli dengan ejekan warga. Tiap diminta, saya akan langsung berdendang,” lanjutnya.
Sebutan “gila” karena Sijobang sempat membuat sang ayah melarang kegemarannya berdendang.
Setelah masa jaya
Setelah belajar satu tahun bersama sang guru, Asrul kemudian diajak berkeliling mengikuti pentas sang guru. Sijobang kala itu menjadi iburan wajib bagi acara pesta pernikahan, sunatan, dan lainnya. Berkeliling bersama guru berlangsung selama empat tahun.
“Pada tahun 1973, saya berkesempatan tampil untuk pertama kali pada salah satu acara di Tiakar Payobasung, Kabupaten Limapuluh Kota. Saya sempat ragu, tapi karena sang guru memberikan kepercayaan. Saya ambil dan pertunjukannya lancar semalam suntuk,” tutur Asrul tersenyum.
Sejak saat itu, Asrul rutin mendapat undangan untuk membawakan Sijobang. Undangan semakin banyak saat sang guru menyatakan tak mau lagi menjadi Tukang Sijobang karena faktor usia. Tahun 1976, sang guru meninggal dunia dan membuat Asrul menjadi satu-satunya Tukang Sijobang.
“Saat itu, saya benar-benar laris manis. Pernah satu bulan saya tidak tidur di rumah karena harus berkeliling. Kondisi itu berlangsung hingga awal tahun 2000-an,”kenangnya.
Asrul menuturkan, untuk satu kali tampil yang dimulai dari pukul 21.00 hingga pukul 05.00, dia dibayar Rp 15.000. Angka yang besar untuk tahun 1976. Dengan bayaran sebanyak itu, Asrul bisa menghidupkan keluarga, membeli sawah, dan lainnya.
“Saya bisa hidup dan bertahan dengan sebuah korek api. Dasri sana saya belajar, mengerjakan sesuatu jangan tanggung-tanggung. Apa pun usaha, pekerjaan, harus tekun,”kata Asrul yang diundang tampil di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) tahun 2000.
Asrul menuturkan, ketekunanya pada Sijobang tidak hanya bisa untuk menafkahi keluarga. Dari kisah “Anggun Nan Tongga”, ia menemuka banyak pelajaran hidup.
“Kisah dalam Sijobang sangat kaya kaan nilai moral. Dia (Sijobang) mengajarkan tentang kecerdikan, keberanian, tanggung jawab, kasih sayang sesama manusia, dan lainnya,”kata Asrul.
Asrul kini resah. Tidak sekadar soal berkurangnya undangan untuk menampilkan Sijobang seiring makin banyaknya pilihan musik yang lebiih instan. Asrul resah karena keberlanjutan seni yang dikuasainya hampir 45 tahun itu.
“Saya terbuka bagi siapapun yang mau belajar serius. Tapi sampai sekarang, tidak ada yang mau belajar. Sempat ada mahasiswa yang datang danbilang mau belajar. Namun hanya semalam, setelah itu tidak kembali lagi. Anak pria saya juga bilang mau belajar, tapi sama saja. Untuk hal itu, saya tidak bisa memaksa dia juga,” kata Asrul.
Asrul juga sudah mengusulkan ke sejumlah kampus seperti Universitas Andalas dan Institut Seni Padang Panjang agar seni Sijobang dimasukkan dalam kurikulum. Sayang, sejauh ini belum ada tanggapan.
“Seni Sijobang mungkin akan bernasib seperti peribahasa, mati tidak ada kuburnya, hilang tidak tentu hutannya. Karena itu, selagi saya masih hidup, kalau ada yang mau belajar, silakan. Saya akan sangat senang,” tuturnya.
ASRUL DATUK KODO
▪ Kelahiran : Tahun 1952
▪ Istri : Nur Baiti (Almarhumah)
▪ Anak :
- Armiati (43)
- Andrianto (39)
▪ Pendidikan : Sekolah Rakyat (SR) tahun 1958
UC Lib-Collect
Kompas. Kamis. 4 Juni 2015. Hal. 16