Pulus Bambang W. S. Selamat Jalan dan Selamat Datang

Selamat-Jalan-dan-Selamat-Datang.SWA-eds-09.-XXXI.30Apr-11Mei.2015.pg-102

Oleh Paulus Bambang WS

Perjalanan dari Semarang ke Ambarawa bukan perjalanan panjang, bahkan boleh dibilang perjalanan jarak pendek untuk ukuran jaringan jalan urban-rurai pada saat ini. Namun, sudah jamak, jarak pendek bukan berati waktu pendek, kemacetan membuat jarak pendek itu harus saya tempuh hampir 90 menit.

Dengan kondisi merayap, saya bisa menikmati pemandangan sekitar yang sudah lama tidak saya perhatikan. Kali ini, saya berupaya merasakan apa yang berubah di antara dua kota ini setelah sekian lama tak saya kunjungi.

Tiba-tiba mata tertuju pada suatu tanda yang sudah sejak dulu terpampang besar di jalan, yakni gapur ucapan “Selamat Jalan” begitu meninggalkan Semarang disertai ucapan terimakasih sudah mengunjunginya. Tidak berapa jauh, muncul gapura lain dengan ucapan “Selamat Datang” di Ungaran untuk menyambut para pelancong atau pelewat yang akan memasuki kota kecil ini.

Kedua ucapan tersebut mendadak hidup di pikiran saya. Walaupun ucapan ini sangat standard an hampir selalu ada di perbatasan kota mana pun dengan bahasa yang mungkin berbeda tapi substansinya sama.

Kalau itu sebuah perjalanan wisata, sangat mudah karena memang itu yang dimaui. Meninggalkan yang lama dan memasuki yang baru. Akan tetapi, kalau merupakan perjalanan karier apalagi jabatan empuk, kata ini menjadi “kata keramat” bagi yang menginginkannya.

Bayangkan, perjalanan kursi kepemimpinan adalah peralanan siklus hidup para pemimpin. Satu datang dan satu pergi. Selalu begitu dengan harapan yang menggantikannya bisa membawa kesegaran yang lebih baik karena mereka lebih muda, lebih terdidik, lebih siap menghadapi tantangan di era baru yang berbeda dari zaman pendahulu. Namun nyatanya, banyak yang tidak mau atau tidak berani mengucapkan “selamat jalan” dan “terima kasih”.

Bagi pejabat yang sudah enak dengan kursi pemimpin – yang selalu dipuja-puji bagai dewa – meninggalkan tahta kegelimangan harta dan kuasa dengan mengucap “selamat jalan”, akan membuat nestapa. Apalagi kalau yakin bahwa kursi baru yang akan diduduki di perjalanan selanjutnya bukanlah kursi promosi, ia akan berusaha sekuat tenaga mempertahankan kursinya selama mungkin sampai ia melihat ada kursi “selamat datang” yang lebih terhormat, lebih besar, lebih enak, dan lebih tinggi.

Lebih ironis lagi, mereka bukannya malu melainkan malahan bangga ketika tidak ada satu pun kader atau calon lain yang ia rasa bisa menggantikannya saat ini. Dengan berbagai alas an da justifikasi, pemimpin macam begini yang saya anggap tidak “sukses” – karena tidak bisa menyiapkan “suksesi”-nya – berusaha menduduki kembali dengan menggalang cara aklamasi, musyawarah mufakat bulat, untuk menyambut lagi teriakan “selamat datang”. Tidak berani beradu laga, dengan alasan akan memecah belah kesatuan, padahal di hati yang paling dalam ia tidak berani melihat calon pesaing yang muncul.

Itu sebabnya, banyak yang terus berusaha bertahan, bahkan yang sudah pernah menduduki dan menyerahkan ke generasi berikutnya, masih ada pula yang menginginkan kembali ucapan “selamat datang” di kursi yang sama.

Kalau itu terjadi di organisasi privat atau perusahaan keluarga, kondisi ini masih dapat dipahami, tetapi kalau ini terjadi di perusahaan publik, organisasi massa dan pejabat, sungguh merupakan lampu kuning. Kematangan kader dan pemimpin menjadi pertanyaan besar.

Saya jadi miris dan bertanya-tanya, ini yang salah pemimpin atau yang dipimpin? Bahwa selalu ada keraguan untuk memberikan tongkat estafet kepada pemimpin baru adalah wajar, tetapi bukan berarti tongkat itu tidak dipindahtangankan. Kemandekan aliran “selamat jalan” dan “selamat datang” menyebabkan kemandekan kaderisasi yang digadang-gadang sebagai salah satu pilar kuat untuk menghasilkan organisasi yang kuat dan sehat.

Karena tidak ada kesadaran pribadi untuk meneriakkan “selamat datang” kepada calon penggantinya, maka banyak organisasi yang memutus rantai kesinambungan tidak sehat ini dengan aturan hanya dua periode atau satuan waktu tertentu. Ini akan membuat pemimpin memikirkan regenerasi pada jabatan di periode terakhir. Ini jauh lebih baik dibanding tidak.

Nah, sayangnya tidak semua organisasi memiliki disiplin ini, akibatnya organisasi jadi mundur. Kalau ini terjadi di level nasional, sungguh memiriskan apalagi kalau menjangkit di hampir semua organisasi besar yang katanya professional dan modern.

Sebaiknya, ketika terjadi revolusi mental di level pimpinan, maka akan terjadi paradigm yang sehat ketika mereka didaulat dengan ucapan selamat datang. Ketika ia datang, ia sudah merancang kapan ia mau pergi. Ketika ia disumpah menjabat, sudah memikirkan siapa calon penggantinya. Ketika ia mulai merancang 100 hari pertama, ia sudah pula memikirkan 100 hari terakhir ketika ia harus mengucapkan salam selamat tinggal. Ketika ia tahu, ia tidak mampu, ia akan segera mencari calon lain yang mampu. Ketika ia sadar, kinerjanya jauh dari harapan, ia merancang gapura selamat datang bagi calon penggantinya.

Kalau revolusi mental ini jadi “terpental”, yang tidak siap dengan ucapan selamat jalan akan mengacak-acak, mengobok-obok, mengobrak-abrik organisasi yang membesarkannya, menyedihkan sekali. Perpecahan terjadi, hanya karena ego maka yang dikorbankan organisasi dan rakyat banyak.

Semoga revolusi mental ini bukan angan-angan. Kalau tidak, harga yang harus kita bayar terlalu mahal hanya untuk melihat ego bermain di level atas sana.

Memang, kita masih harus belajar sabar untuk menyadarkan lagi para pemimpin untuk arti “selamat jalan” dan “selamat datang”.

Sumber : SWA, April 2015

Febriarti Khairunnisa Untuk Lombok yang Bersih

Untuk-Lombok-yang-Bersih.Femina-eds-Mei.2015.pg-66-67

Merangkul 125.000 WARGA

Lombok punya banyak tujuan wisata yang bisa dikembangkan, “Seperti Bali, Lombok punya banyak pantai yang indah. Akan tetapi, tidak sedikit yang kondisinya kotor karena sampah,” ujar gadis kelahiran 22 Februari 1984 ini. Tak hanya kondisi lingkungan kotor yang menjadi kegelisahannya, akan tetapi juga tingkat kehidupan social dan ekonomi masyarakatnya.

“Indeks pembangunan manusia di Lombok sangat rendah. Dari segi ekonomi, pendidikan dan kesehatan masih belum berkembang. Dari segi pendidikan, angka putus sekolah masih tinggi, begitu pula dengan tingkat pengangguran,” tutur Febri.

Melihat fakta ini, ia memutuskan untuk tidak tinggal diam. Pengalamannya pernah tinggal di Kota Gibson, Kanada, saat mengikuti program pertukaran pemuda Kanada – Indonesia yang diadakan Kemenpora tahun 2005, telah membuka matanya.

“Saya kagum karena hampir semua penduduknya mengonsumsi makanan organic. Gibson punya mata air bersih sehingga mereka bisa minum di air keran. Masyarakatnya sangat menjaga air dari alam. Mereka memilah sampah dengan baik dan menghindari pemakaian bahan kimia,” ujar lulusan Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Mataram, Lombok, ini.

Kembali ke Lombok, Febri sedih menyaksikan banyak orang yang masa bodoh, buang sampah seenaknya ke sungai dan laut. “Di sini, sungai seperti sudah dilupakan fungsinya.”

Bersama suaminya, Syawaludin (33), ia membentuk bank sampah yang diberi nama Bintang Sejahtera NTB, berlokasi di Tanak Awu, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah. “Tentu, sebelum mulai terjun, kami harus memastikan feasibility bisnisnya ada,” cerita Febri. Sampah seperti plastic, kardus, kertas, besi, dan aluminium, punya nilai ekonomi dan bisa dijual lagi.

Setelah yakin ada pasar yang bisa menerima olahan sampah daur ulang, Febri dan suaminya mulai membangun system, yakni dengan memberi insentif berupa pinjaman untuk masyarakat. Besarnya, dari Rp100.000, Rp200.000, sampai Rp500.000. Masyarakat cukup membayar pinjaman itu dengan sampah.

Tapi, baru beberapa waktu berjalan, Febri menghadapi kredit macet. “Para nasabah mulai banyak yang nakal. Mereka ambil pinjaman di kami, tapi sampahnya mereka jual ke orang lain. Kami rugi sangat banyak, hampir Rp100-an juta. Gara-gara merugi, kami pun set back,” kenang Febri.

Mulai lagi dari nol, Febri pun memutuskan untuk mengubah system pinjaman menjadi system tabungan tidak ada lagi yang boleh meminjam. Ia pun mengajak orang untuk menabung di bank sampahnya, atau cash and carry. Mereka bisa langsung mendapatkan pembayaran dari sampah yang disetorkan. Tapi untuk itu, Febri juga harus bekerja keras menyebarkan edukasi dan penyadaran kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan.

Dari sampah yang dikumpulkan itulah, dalam sebulan, Febri bisa mengirim sampah plastik untuk didaur ulang, sekitar 27-35 ton. Omzetnya? Mencapai Rp150 juta.

Kendati demikian, Febri mengaku tidak ingin menyebut bank sampahnya ini sebagai bisnis, melainkan kewirausahaan social. “Orientasinya bukan untuk keuntungan pribadi, tapi bisnis yang menguntungkan masyarakat. Segala keuntungan yang kami dapat, kami kembalikan ke masyarakat,” tuturnya. Ia berharap, dari aktivitasnya ini bisa menggerakkan roda ekonomi lokal.

Selain nasabah, ada pula yang memang menjadi pekerja di bank sampah, terlibat dalam proses pengumpulan, pengangkutan, penggilingan, penjemuran, dan gudang. Untuk itu, mereka mendapat gaji. Jumlah mereka yang mendapat penghasilan di bank sampah Febri, ada sekitar 150-175 orang.

Di luar itu, ada komunitas-komunitas yang dirangkul untuk ikut bekerja sama, antara lain terdiri dari karang taruna, posyandu, dan desa. Belum lagi, sekolah-sekolah yang terlibat, ada sekitar 50 sekolah. Meurut Febri, kalau ditotal bisa 125.000 warga yang terjaring program ini.

Khusus untuk sekolah-sekolah, Febri melakukan program edukasi, bekerja sama dengan Kak Wawan dari Kerajaan Dongeng, juara dongeng nasional asal NTB.

Selain sekolah, Febri juga berkeliling melakukan edukasi ke komunitas RT, kader PKK, posyandu, dan karang taruna. “Saya memutar video tentang bahayanya sampah. Ada banyak sekali zat dan logam berat beracun yang disebabkan oleh sampah. Saya ingin membongkar mindset mereka. Bukan asal yang penting sampah hilang dari mata mereka. Saya ajak mereka berpikir, ke mana sampah itu dibawa dan apa yang terjadi setelahnya,” tutur Febri.

Melepas Karier Mapan

Fokus Febri pada dunia pengolahan sampah juga karena terinspirasi dari suami. Berasal dari latar belakang keluarga yang penuh keterbatasan. Orang tua Syawaludin yang berasal dari kawasan Lombok Tengah bagian selatan sering menghadapi paceklik. Mereka tidak bisa menanam sawah, dan akhirnya hidup dari mengumpulkan sampah.

Suami Febri bertekad ingin memutus mata rantai kemiskinan. Dari hasil memulung sampah, Syawaludin akhirnya berhasil mengenyam kuliah di Fakultas Ekonomi, Universitas Mataram.

Kagum pada kegigihan suami, Febri mengatakan pada Syawaludin. “Kalau kakak berhasil sekolah tinggi dari memulung sampah, kenapa tidak dibagi cerita ini. Jadi, tidak ada alas an bagi orang tua untuk tidak menyekolahkan anaknya. Tidak ada alasan bagi anak untuk putus asa dengan kondisi seperti itu,” cerita Febri.

Setelah lulus kuliah, Febri beruntung mendapatkan pekerjaan bergaji lumayan di sebuah lembaga asing, Jerman Internasional Coorperation (GIZ) yang bertempat di Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi NTB. Selain itu, ia sempat bekerja di Badan Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (BP3AKB) NTB.

Begitu pula Syawaludin, sempat bekerja sebagai staff ahli di DPRD Provinsi NTB. “Dari segi finansial, tidak ada masalah. Tapi, ini semua berawal dari keresahan, mau sampai kapan fenomena seperti ini terus terjadi dan Lombok makin kotor,” ujar Febri

Di Juni 2010, tak mau menunda-nunda lagi, Febri dan suaminya memulai dengan mengumpulkan apa yang mereka punya. Seluruh tabungan dan cincin maskawin mereka jual. Febri juga mengajak temannya, 3 pasang suami-istri, menginisiasi program bank sampah bersama-sama.

Namun, seiring waktu, karena kesibukan yang lain, praktis yang aktif di bank sampah tinggal Febri dan suaminya. “Kami pun berpikir, ini harus digeluti secara full. Saya pun memutuskan untuk tidak lagi bekerja di GIZ. Suami juga resign dari kantor dewan,” ujarnya.

Tak bisa dipungkiri, melepas karier demi bank sampah, sempat membuat Febri dan suaminya dianggap tidak waras. “Saya sering ditanya orang dan diremehkan. ‘Kalian ini lulusan S-1, ngapain ngurus sampah. Tetangga juga heran, ‘Kalian pasangan suami istri gila!’ Sdah dapat pekerjaan bagus, kok, malah ditinggal,” kenang Febri. Tentangan itu tak hanya datang dari orang-orang sekitar mereka, tapi juga dari keluarga yang mempertanyakan keputusan mereka.

Setelah 4 tahun berjalan, barulah mulai banyak yang paham. Ternnyata, sampah itu bisa, kok, dikelola dengan baik, tanpa membuat orang yang mengelola tampak hina. Bahkan, perubahannya bisa dirasakan.

“Dari cakupan paling kecil di kawasan RT dan sekolah, sekarang terlihat lebih bersih dan terkelola,” tutur Febri, yang pada Maret lalu memperoleh penghargaan Indonesia Women of Change 2015 dari Kedubes Amerika Serikat.

Febri juga percaya, perubahan itu dimulai dari tataran rumah tangga. “Dengan cara yang simple, tiap rumah bisa menerapkan pemilahan sampah. Kalau di rumah sudah terkelola, akan jauh mengurangi volume sampah yang diangkut.

Sumber : Femina , Juli 2015

Prof dr R Hariadi SpOG (K) Dokter Spesialis Kandungan Pegang Jabatan Tertinggi di Rumah Sakit

Dokter-Spesialis-Kandungan-Pegang-Jabatan-Tertinggi-di-Rumah-Sakit.-Kompas.25-Mei-2015.Hal.34

Bekerja dengan hati ikhlas, sabar, setia, serta selalu bersyukur adalah prinsip Prof dr R Hariadi SpOG (K) dalam menjalankan tugas.

Tidak pernah terbersit dalam angan pria kelahiran Malang tahun 1936 ini untuk menjadi CEO salah satu rumah sakit terenama di Surabaya. Pada usia belia, ia justru berkeinginan untuk berprofesi menjadi seorang guru. Namun, seiring berjalannya waktu, ketika telah tiba saatnya melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi pada 1956, Hariadi mengikuti saran kakak tertuanya yang kala itu menanggung biaya sekolah, untuk mendaftar di jurusan S-1 Pendidikan Dokter di Universitas Airlangga.

Meskipun telah mengenyam pendidikan di sekolah kedokteran, impiannya menjadi seorang guru bisa terwujud. Pada tahun 1963, ia diangkat menjadi dosen Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Kariernya terbilang sukses hingga mengantarkannya sampai posisi Guru Besar. “Saat diberi tugas, harus dilakukan sebaik-baiknya. Dengan begitu, semua kesukaran akan teratasi,” ujar Hariadi berbagi tips sukses saat ditemui Selasa (19/5).

Perjalanan karier anak kedua dari Sembilan bersaudara ini, ternyata tidak berhenti sampai di situ. Pada 2007, sesaat setelah pension sebagai dosen, Ia justru diberi amanah mengemban tugas menadi CEO RS Husada Utama yang berlokasi tak jauh dari gedung FK Unair. Meski tidak mempunyai dasar menjadi seorang direktur, ia mengaku tak lekas berputus asa menjalani sesuatu yang baru. Baginya menjadi CEO RS Husada Utana merupakan pengalaman yang berkesan. Pasalnya, ia dihadapkan pada pengalaman baru dan dituntut untuk belajar menguasai bidang tersebut. Kekompakan, kerja sama, dan komunikasi yang baik terjalin antar pegawai di RS Husada Utama, yang membuatnya merasa senang menduduki jabatannya hingga kini.

“Dokter merupakan profesi yang mulia dan terhormat karena tugasnya mengabdikan hidupnya untuk kepentingan masyarakat. Jangan melihat dari sudut pandang berapa besar materi yang akan didapat. Seorang dokter harus mempunyai jiwa mengabdi dan tulus memberi,” pesannya. Kini, di usianya yang tak lagi muda, ia masih menyempatkan diri bersantai dengan keluarga di tengah kesibukannya mengelola RS Husada Utama.

Sumber : Kompas , 25 Mei 2015

Endang Sutarwan Tabib Papan Selancar Sekaligus Pelestari Budaya

Tabib-Papan-Selancar-Sekaligus-pelestari-Budaya.-Kompas.22-Juni-2015.Hal.16

Peselancar lokal dan asing tak perlu khawatir saat papan selancar mereka rusak ketika digunakan menunggai ombak di Pesisir Barat, Lampung. Selama ada Endang Sutarwan alias Nanang (33), papan selancar yang rusak bisa kembali fit untuk digunakan.

OLEH ANGGER PUTRANTO

Sebuah gubuk kecil berbahan dasar kayu berdiri di tengah tanah lapang yang ada di kawasan Pantai Tanjung Setia, Kabuoaten Pesisir Barat, Lampung. Hamparan rumput yang tumbuh ditambah rimbunnya pepohonan kelapa menghadirkan suasana sejuk di sekitar gubuk.

Di dalam gubuk itu tersimpan puluhan papan selancar dalam berbagai kondisi. Aneka perkakas dan perlengkapan bengkel lengkap tersedia disana. Obeng, ampelas, gergaji, tang, lem, resin, dan lainnya terserak begitu saja. Walaupun begitu, Nanang tak pernah kesulitan mencari perkakas-perkakas tersebut saat dibutuhkan untuk memperbaiki papan selancar yang rusak.

Kecintaannya pada dunia selancar sudah tumbuh sejak Nanang duduk di bangku sekolah dasar. Lelaki kelahiran Sukabumi itu sempat merasakan sulitnya bermain selancar saat papa selancarnya rusak.

“Saya tak punya uang untuk memperbaiki papan selancar. Saya hanya bisa memperbaiki sedikit-sedikit. Dari sana perlahan saya semakin mahir dan terinspirasi untuk membuka Ding Repair (bengkel papan selancar),” ujarnya.

Setelah menyelesaikan pendidikan di bangku sekolah menengah atas, Nanang memutuskan untuk pergi meninggalkan kampung halamannya dan merantau ke Pesisir Barat. Berbekal informasi dari mesin pencari Google, ia mengetahui bahwa Pesisir Barat memiliki alam yang indah dan ombak yang luar biasa.

Sejumlah peselancar asing menilai ombak Pesisir Barat setara dengan ombak di Hawaii. Sebab, ombak dari perairan Samudra Hindia itu memiliki garasi ombak yang panjang denga ketinggian mencapai 6 meter hingga 8 meter.

 

Buka bengkel

Sejak meninggalkan Sukabumi, Nanang tahu tujuannya ke Pesisir Barat ialah untuk dunia selancar. Selain ingin melampiaskan kegemarannya bermain ombak, petualangannya kali ini untuk membuka bengkel papan selancar.

“Saya tidak meneruskan kuliah karena lebih tertarik berbisnis. Awalnya banyak orang mencibir dan mengatakan saya tidak bakal sukses, tetapi buktinya saya sekarang bisa membiayai keluarga besar,” ujar suami Indriani itu.

Sejak tahun 2005, Nanang mulai tinggal di Pesisir Barat. Ia menyewa dua gubuk kayu di sekitar Pantai Tanjung Setia. Satu gubuk ia gunakan sebagai tempat tinggal, sementara gubuk lainnya ia jadikan tempat praktik reparasi papan selancar.

Sebelum ia membuka bengkel selancar, papan selancar yang rusak ketika dipakai bermain di Pesisir Barat harus dibawa ke Bali untuk diperbaiki. Namun, kini para peselancar tak perlu repot bolak-balik Lampung – Bali – Lampung hanya untuk reparasi dan kembali berburu ombak, di Pesisir Barat.

Peselancar yang mengalami kerusakan papan bisa langsung memperbaiki di Ding Repair Sumatera milik Nanang. Dalam sehari ada sekitar 40 papan selancar yang masuk ke bengkel itu. Sebanyak 30 papan akan diperbaiki hari itu juga, sedangkan 10 papan sisanya selalu disisakan untuk digarap esok hari.

“Kerusakan yang dialami bermacam-macam tergantung ombak. Kerusakan paling banyak papan patah, ganti pelat, dan dudukan fin (sirip di bawah papan yang berfungsi untuk mengarahkan laju papan). Biaya reparasi berbeda-beda, Rp 600.000 untuk reparasi bergaransi dan Rp 400.000 untuk reparasi tidak bergaransi,” ujarnya.

Sebagian besar wisatawan asing yang biasa menghabiskan waktu berbulan-bulan di Pesisir Barat lebih memilih reparasi dengan garansi. Sebab, jika mereka mengalami kerusakan papan, Nanang tidak akan memungut biaya lagi.

Pelayanan ini menjadikan nilai lebih bengkel selancar milik Nanang. Hasil garapan Nanang juga terkenal halus dan sempurna. Tak heran, para peselancar asing yang pernah menjadi “pasiennya” masih kerap mengirim papan seluncur dari berbagai belahan dunia untuk diperbaiki Nanang.

“Para peselancar Eropa dan Australia masih sering mengirim papannya yang rusak untuk diperbaiki disini. Dimana pun mereka berselancar, kalau ada kerusakan, mereka pasti mengirim kemari. Kalau sudah seperti itu, saya hanya mengandalkan saling percaya saja,” tuturnya.

Kini pemuda berambut gondrong ikal itu menyebut dirinya sendiri sebagai orang sukses. Kesuksesan yang ia raih berawal dari 1 kilogram resin dan sedikit modal usaha. Ayah satu anak tersebut kini bisa memperoleh keuntungan bersih Rp 40 juta. Keuntungan itu sudah dipotong upah untuk 5 karyawannya masing-masing Rp 2 juta per bulan.

Berkat keterampilannya itu, Nanang sudah memiliki lahan sawit seluas 4 hektar dan berencana membuka sebuah rumah toko yang menjual aksesori selancar.

Tak hanya berkutat pada usaha reparasi papan selancar, Nanang ternyat juga memiliki ketertarikan pada budaya Lampung. Keterkaitan tersebut ia tuangkan dalam sebuah produksi fin. Sekitar lima tahun lalu, Nanang memberanikan diri menjadi produsen fin dengan motif batik Lampung.

“Saya tertarik dengan motif Lampung yang menampilkan Siger (mahkota pengantin wanita Lampung), Gajah, dan Tapis. Kelebihan fin buatan saya ialah cita rasa klasik. Kalau fin produksi luar negeri biasanya hanya polos, punya saya ada motifnya,” kata Nanang bangga.

Produksi fin dengan motif Lampung milik Nanang mulai merambah pasar internasional. Australia dan Hawaii menjadi pasar terbesar produksi tersebut. Kendati awalnya hanya memasarkan fin, secara tidak langsung  usaha Nanang juga merupakan bentuk promosi budaya Lampung.

Produksi fin motif Lampung milik Nanang terus berjalan di tengah kesibukan melayani reparasi papan selancar yang rusak. Dalam satu hari Nanang dan rekan-rekannya bisa menyelesaikan 5 set fin (15 buah).

Guna mengatasi mahalnya biaya ekspor, Nanang hanya melayani ekspor minimal 5 set fin dalam sekali kirim. Dalam satu tahun setidaknya ada 200 set fin yang dikirim ke sejumlah negara pemesan.

Nanang berharap produk Indonesia bisa lebih diterima pasar Internasional dan juga lokal. Ia mengatakan, saat ini banyak penggemar selancar Indonesia lebih memilih produk luar negeri.

“Banyak orang berpikir, yang lebih mahal itu lebih baik. Hal itu yang membuat hasil karya anak negeri tidak dihargai. Padahal, saat ini orang asing lebih menghargai produk Indonesia. Percayalah, produk Indonesia tidak kalah kualitasnya,” ungkap Nanang.

ENDANG SUTARWAN/NANANG/NANUNG

▪ Lahir : Sukabumi, 16 Juni 1982

▪ Pendidikan : D Marinjung Sukabumi

  • SMP Cilosok, Sukabumi
  • SMA Pelabuhan Ratu, Sukabumi

▪ Nama Istri : Indriani (23)

▪ Nama Anak : Muhammad Rail (8)

 

Lihat Video Terkait

“Tabib Papan Selancar”

di kompasprint.com/vod/tabibselancar

 

UC Lib-Collect

Kompas. Senin. 22 Juni 2015. Hal. 16

 

Sri Widodo Rumpun Bambu Penyangga Wayang

Rumpun-Bambu-Penyangga-Wayang.-Kompas.-9-Juni-2015.-Hal.16

Berpegang pada falsafah bambu, Sri Widodo (40), dalang asal Desa Balamoa, Kecamatan Pangkah, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, mencipta wayang pring atau wayang bambu dan menjadikannya sebagai salah satu khazanah budaya di Indonesia. Pantas wayang pring menjadi media penyampai pesan moral kepada masyarakat.

OLEH SIWI NURBIAJANTI

 

Lahir di Kabupaten Tegal pada 3 September 1974, Widodo memperoleh bakat seni dari sesepuhnya. Kakeknya, mendiang Ki Suwati, merupakan dalang wayang kulit yang terkenal di Tegal. Begitu pula ayahnya, Ki Gunawan, juga seorang dalang. Ayahnya adalah kakak kandung dalang wayang suket, mendiang Ki Slamet Gundono.

Tumbuh di lingkungan seniman, sejak kecil Widodo telah memiliki kecintaan pada dunia seni karawitan dan wayang. Saat sekolah dasar, dia bergabung dengan kelompok karawitan di sekolahnya.

Karena itu, selepas sekolah menengah pertama (SMP) pada 1992, dia memilih melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) di Solo. Lepas dari SMKI, dia melanjutkan pendidikan ke Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta dengan mengambil jurusan karawitan.

Selain menempa kemampuan berkesenian di sekolah, Widodo juga menempa kemampuannya dengan membantu pamannya, mendiang Ki Slamet Gundono, yang tinggal di Solo. Sejak 1998 hingga 2010, dia aktif dalam pementasan wayang suket. Dia ikut menjadi pengrawit dan sesekali membantu mendiang Ki Gundono mendalang.

“Jadi, saat itu ada dalang besar dan dalang kecil,” ujarnya saat ditemui Selasa (19/5). Dalang kecil menunjuk kepada dirinya.

Di sela-sela kegiatannya, Widodo berupaya menggali kemampuannya yang lain. Saat hendak memenuhi tugas untuk ujian kelulusan jenjang S-1 pada 2003, dia membuat kreasi bunyi gamelan dari perpaduan karet dan bambu.

Dari situlah, dia menemukan ide membuat wayang dari bambu. Widodo melihat falsafah yang kuat dari tanaman ini. Setiap batang bambu, lanjutnya, selalu memberikan kesempatan kepada batang lain untuk tumbuh sendiri. “Jadi, kalau sudah ada tunas atau rebung yang tumbuh, tidak akan ada tunas lain yang tumbuh di tempat yang sama,” katanya.

Meskipun demikian, bambu tidak pernah hidup sendiri, tetapi bergerombol dalam satu kelompok.  Batang bambu yang menjulang tinggi tidak akan pernah bisa roboh ke tanah karena disangga batang-batang bambu lain di kelompok itu. Meskipun tumbuh satu-satu, tanaman bambu bisa kuat karena hidup bersama dan saling menyangga.

 

Memori masa kecil

Memori masa kecilnya ikut mempengaruhi semangatnya membuat wayang bambu. Dahulu, saat dia masih kecil, dia kerap ingin bermain wayang kulit seperti kakek dan ayahnya. Namun, karena harga wayang mahal, dia tidak diperbolehkan memegang wayang asli.

Akhirnya dia dibuatkan wayang dari bambu secara sederhana oleh kakek dari ibunya, mendiang Mbah Sebat. Mbah Sebat kala itu juga merupakan dalang, tetapi dalang wayang golek. “Saat itu wayang pring buatan simbah, kepalanya belum bisa digerakkan,” katanya.

Desember 2014, saat Aceh dilanda tsunami, untuk pertama kalinya Widodo serius mementaskan wayang pring. Bersama teman-temannya di Solo, dia mendalang dari satu kelurahan ke kelurahan lain untuk menggalang dana bagi korban tsunami. Saat itu terkumpul lebih dari Rp 4 juta.

Pada 11 Maret 2005, untuk pertama kalinya wayang pring mendapat kesempatan pentas di Taman Budaya Surakarta. Aktivitas pementasan pun terus berjalan. Hingga pada 2007, kelompok wayang pring vakum karena pengiringnya kembali ke daerah masing-masing.

Pada 2010, Widodo kembali ke Tegal dan menghidupkan kembali wayang pring. Hingga kini, dia terus mementaskan wayang pringndalam berbagai kesempatan. Widodo membentuk Komunitas Wayang Pring Tegal dengan personel antara lain guru dan pegawai tata usaha di SMP Negeri 1 Bojong, Kabupaten Tegal, dan alumni sekolah tersebut.

Untuk menarik penonton, Widodo memodifikasi wayang pring sehingga kepala wayang itu bisa digerakkan ke kanan dan ke kiri seperti wayang golek. Upaya mempercantik wayang dengan membentuk wajah dan hiasan pada bagian kepala wayang terus dilakukan.

Pernah berkolaborasi dengan mendiang Ki Gundono, mau tidak mau berpengaruh terhadap gaya mendalang Widodo. Dia mendalang dengan gaya santai dan keluar dari pakem wayang yang ada.

Namun, bagi Widodo, keluar dari pakem bukan dosa dalam berkesenian. Menurut dia, dahulu saat wayang masih berada dalam fase wayang purwo, para dalang juga mencari bentuk pementasan. Ibarat fase yang berputar kembali, dia pun mencari bentuk baru pementasan wayang pring. “Roda itu berputar, cokro manggilingan,” tuturnya.

Justru jangan keluar dari pakem. Wayang pring tidak sekadar menjadi pertunjukan seni biasa. Wayang pring bisa jadi media pembelajaran dan media berkegiatan sosial. Karena tidak terikat pakem ketat, dia bisa lebih leluasa menyisipkan pesan-pesan moral kepada penonton, termasuk yang dilakukannya ketika mementaskan lakon Rama Bhargawa  di hadapan siswa SMP Negeri 1 Bojong pada 19 Mei lalu.

Cerita mengenai perselingkuhan dalam lakon Rama Bhargawa bisa dialihkan menjadi pesan kepada siswa agar tidak mencontek dan agar patuh kepada orangtua. Hal itu karena mencontek dan bohong kepada orangtua bisa diartikan sebagai pengingkaran pada nilai kejujuran dan kesetiaan. Tokoh-tokoh yang dipentaskan pun disesuaikan dengan situasi penonton sehingga lebih mengena.

Dalang dalam pementasan wayang pring juga tidak menjadi tokoh yang diagung-agungkan. Dalam setiap pementasan dengan personel sekitar 14 orang, Widodo ikut mengangkut dan menggotong peralatan yang akan digunakan untuk pentas. “Seperti falsafah bambu, kita saling menyangga,” tambahnya.

Sri Widodo tidak ingin berhenti dengan karyanya saat ini. Ayah dua anak yang juga bekerja sebagai pegawai honorer di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Tegal tersebut terus berupaya berinovasi dalam menggarap lakon dan iringan musik. Dia ingin wayang pring bisa diterima lebih luas oleh masyarakat dalam berbagai situasi dan kondisi. Dengan diterima, masyarakat bisa juga ikut menyangga seperti rumpun bambu.

 

SRI WIDODO

▪ Lahir : Tegal, 3 September 1974

▪ Istri : Wahyuningsih (34)

▪ Anak :

  • Galuh Widyaningtyas (10)
  • Nimas Galih Cahyaningtyas (5)

▪ Pendidikan :

  • SD 2 Balamoa Kabupaten Tegal
  • SMP 1 Kedungbanteng Kabupaten Tegal (lulus 1992)
  • SMKI Surakarta (lulus 1995)
  • STSI Surakarta Jurusan Karawitan (lulus 2003)

▪ Prestasi :

  • Juara I Lomba Monolog Tradisi Lisan Tingkat Jawa Tengah di Borobudur tahun 2014
  • Juara I Pengiring Tari untuk Lomba Seni Tari Tradisi di Surabaya pada 2001 (Sri Widodo berkelompok sebanyak lima orang)

UC Lib-Collect

Kompas. Selasa. 9 Juni 2015. Hal.16

Iman Romdiana Pelestari Motif Batik Garutan

Pelestari-Motif-Batik-Garutan.-Kompas.1-Juni-2015.Hal.16

Domba Garut yang tanduknya khas melingkar hingga ke bawah telinga menjadi inspirasi bagi Iman Romdiana (43) untuk membuat satu motif batik tulis asli Garut, Jawa Barat. Pelestari motif batik tulis dari Gang Gunung Kasur, Jalan Ciledug, Garut Kota, ini selalu menggali potensi alam Garut, mulai dari binatang hingga tanaman, untuk membuat ratusan motif batik “Beken” yang dikembangkannya.

Oleh Dedi Muhtadi

Merak Ibing ( Burung Merak Menari), bulu hayam (bulu ayam), mojang (gadis) Priangan, atau kurung hayam (kurung ayam) merupakan empat dari sepuluh lebih motif asli Garut yang dikembangkan Iman. Ayah beranak satu ini juga mengembangkan turunan motif dari 420 motif batik yang ada di Jawa Barat. Iman hampir hafal du luar kepala ke 420 motif yang dikembangkannya itu.

Nama Beken itu sendiri merupakan pemberian Ketua Yayasan Batik Jawa Barat Sendy Ramania Dede Yusuf. Semula keluarga Iman menamakan batiknya adalah Buken yang merupakan singkatan dari ibu K Sukaenah , ibunya Iman yang meneruskan tradisi batik dari leluhurnya. “ lebih keren kalau namanya batik beken agar terkenal ke mana-mana. Sejak itulah nama Beken kami pakai,” kenang Iman saat istri wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf (2008-2013) memberinya nama itu lima tahun lalu.

Keluarga ibu K Sukaenah merupakan satu dari puluhan keluarga yang hingga kini melestarikan tradisi batik garutan, sebutan untuk batik asli Garut. Sejarah batik garut, menurut keluarga Sukaenah, seperti tertulis dalam situs Batikgarutku.com merupakan warisan turun temurun dan telah berkembang sebelum masa kemerdekaan. Setelah kemerdekaan, batik garut makin populer dengan sebutan batik tulis garutan dan mengalami masa jaya tahun 1967-1985.

Seiring dengan berbagai keterbatasan, mulai dari bahan baku kain dasar,modal, dan lemahnya pemasaran, kegiatan para penerus atau generasi batik garut mengalami pasang surut. Ditambah munculnya persaingan cukup kuat dari produsen batik lain yang menggunakan teknik modern, seperti mesin printing, aktivitas pelestari batik tradisional makin tersisih.

Potensi batik tradisional tumbuh kembali setelah mendapat angin segar dari “tradisi batik Jumat”, yakni penggunaan seragam batik olek para karyawan, terutama pegawai negeri sipil. Kondisi itu juga mengimbas pada usaha batik tulis Garut asli yang digeluti keluarga ibu K Sukaenah.

Dari Alam Garut

Iman mencoba tampil dengan membuat motif batik asli Garut dan mengembangkan motif yang sudah ada di pasaran. Lagipula Teh Ani, putri sulung Ibu K Sukaenah yang juga kakak Iman, lebih tertarik menjualkan batik

“Saya hanya bertugas menunggui stan dan menjual batik kepada pengunjung. Yang membuat, termasuk merancang motifnya,adalah adik saya,Iman,” ujar Teh Ani saat mengikuti pameran di halaman pendopo Kabupaten Garut, awal Mei lalu.

Menurit Teh Ani, adiknya lebih cepat memahami dan membuat motif batik jika ada orang yang memesan.

Di kalangan pembatik tulis, batik sering diartikan “menulis titik” yang diambil dari gabungan kata amba dan titik dalam bahasa Jawa. Zaman dahulu, batik hanya ditulis dan dilukis menggunakan daun lontar dengan motif yang dominan adalah binatang dan tumbuhan. Corak batik sendiri mempunyai filosofi dari setiap daerah itu berasal sehingga setiap daerah mempunyai motif dan corak yang berbeda.

Begitu pula batik-batik yang dikembangkan Iman adalah motif yang berasal dari alam sekitar Garut. Ketrampilan membuat motif batik awalnya hanya belajar sendiri. Iman tidak belajar khusus batik dari sekolah formal karena pendidikannya hanya sampai di SMP. Namun, ia “dikuliahkan” untuk mendalami berbagai motif batik oleh sejumlah instansi di Garut, sperti Dinas Perindustrian atau Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah.

“saya sampai delapan kali dikuliahkan oleh Dinas Perindustran Garut.” Ujarnya.

Dinas-dinas itu menguliahkan Iman karena melihat keterampilah membuat motif batik yang dimiliki anak kedua ibu K Sukaenah ini. Bertahun-tahun hasil pelatihan itu diperlukan untuk melatih para pembatik lain yang masih memproduksi batik tulis di kabupaten ini.

Kini tugas Iman selain membuat motif batik untuk dikembangkan oleh keluarganya juga melatih pembatik tradisional yang ada di lingkungan Kabupaten Garut. Di rumahnya, sekitar 20 potong batik tulis diproduksi setiap bulannya.

Batik tulis merupakan jenis batik yang cara pembuatannya menggunakan tangan dan dihiasi dengan corak dan tekstur tertentu. Waktu pengerjaannya memakan waktu rata-rata satu bulan per potong dan dijual sekitar 1,5 juta per potong.

Keluarga Iman juga membuat batik cap, jenis batik yang waktu pengerjaannya lebih cepat dari pembuatan batik tulis. Batik cap ini sehari bisa dibuat sampai 2 kodi (1 kodi 20 potong) dan dipasarkan ke sejumlah pedagang dan produsen batik di Bandung dan Jakarta, batik garutan yang dibuat keluarga Iman sudah dipasarkan ke Singapura dan Malaysia.

Pameran

Untuk mengenalkan batik tradisional ini keluarga Iman kerap mengikuti berbagai pameran baik yang diselenggarakan pemerintah daerah dan mal. Pamerannya berkeliling, mulai dari Garut, Bandung,Jakarta, hingga ke Bali. “kami pernah diikutsertakan pameran di Istana Negara di Jakarta”, ungkapnya.

Keluarga ini juga menerima pesanan motif batik sesuai keinginan pemesannya. Biasanya pemesan membawa gambar tertentu untuk dibuatkan kain batiknya. Iman lalu menggambar dan merancang motifnya, kemudian pembatik menuliskan motif itu pada kain. Motif-motif batik jenis ini biasanya eksklusif karena tidak ada persamaannya di pasaran.

Awal Mei lalu, misalnya Iman mendapat pesanan membuat batik bermotifkan putri keraton dari Yogyakarta. Motif putri keraton itu ingin dibuatkan dengan batik garutan.

Setelah bergelut dengan pmbuatan batik selama lebih dari 25 tahun, Iman juga membuat model baju batik yang coraknya divariasikan atau diberi sentuhan kreatif sesuai perkembangan mode terkini. Ini didasarkan pada fungsi kain batik yang makin meluas, Batik tidak hanya digunakan pemakainya untuk menghadiri acara resmi dan tertentu, tetapi biasa digunakan untuk kegiatan sehari-hari, seperti menjadi salah satu seragam kerja pada hari Kamis atau Jumat.

Bahkan tidak sedikit pihak dan komunitas batik secara terus menerus mencanangkan penggunaan batik. Tentu saja Iman bersukacita karena semangat ini sangat membantu upaya melestarikan tradisi batik.

 

Kompas , Senin 01 Juni 2015

Ipatmie Kreatif Mengolah Singkong

Kreatif-Mengolah-Singkong.-Kompas.22-Mei-2015.Hal.16

Sabtu (9/5) sekitar pukul 09.00, Ipatmie (51) tiba di hotel batu suli, palangkaraya, diantar Dereksen Demen (61), suaminya, menggunakan sepeda motor. Ada tiga plastic besar berisi peralatan memasak dan bahan membuat aneka kue. Di pendopo hotel, telah menunggu 20 ibu peserta pelatihan pengelolaan produk berbasis hasil pertanian yang digelar dinas perindustrian dan perdagangan provinsi Kalimantan tengah.

Ipatmie, pemilik industry rumah tangga “griya jawau melin” dipercaya melatih peseerta sesame pelaku usaha industri rumah tangga yang berasal dari 13 kabupaten/1 kota di Kalimantan tengah untuk member pelatihan membuat aneka kue menggunakan tepung mocaf (modified cassava flour), yaitu tepung yang diolah dari singkong. Saat itu, Ipatmie melatih membuat brownies. “jawau dalam bahasa dayak artinya singkong dan melin adalah anak saya” kata Ipatmie menjelaskan arti nama industry rumah tangganya. Kedekatan dan keterampilannya mengolah singkong menjadi bahan makanan didapat Ipatmie sejak kecil. Perempuan kelahiran desa bereng rambang, kabupaten pulang pisau, 3 september 1964, dan dibesarkan di kelurahan panjehang, kecamatan rakumpit,palangkaraya, belajar dari ibunya, uni mahar. Sang ibu, selalu membuatkan beras singkong atau oleh masyarakat dayak dikenal beras kupu saat musim kemarau berkepanjangan. Saat kemarau,air sungai surut san kapal pembawa sembako tidak dapat menjangkau desanya.  Beras kupu dibuat dengan mengolah singkong. Setelah dikupas dan dicuci, singkong direndam dalam baik sekitar 3 hari. Setelah lembut, hasil rendaman itu disebut kupu. “rendaman itu disaring untuk diambil patinya. Lalu digiling dan di sangria, kemudian dijemur” kata Ipatmie sambil menunjukkan beras kupu dalam kemasan 700 gram yang dijual 15000. Untuk memasaknya,lanjut Ipatmie, beras kupu dicuci bersih dan direndam dalam sekitar 5 menit. Setelah itu ditiriskan dan diangin anginkan sekitar 15 menit. “kemudian, beras kupu dikukus dengan diberi sedikit garam untuk menambah rasa. Beras ini baik untuk penderita diabetes karena rendah gula” papar Ipatmie. Dari pengalaman dan juga pelatihan pembuatan tepung mocaf memang rumit. Setelah singkong dikupas dan diserut,lalu dicuci, dan diperas. Patinya dipisah ampasnya untuk dijadikan tepung mocaf setelah direndam satu malam” katanya. Ipatmie mengawali usaha catering danpembuatan kue kue berbasis olahan singkong sejak 2001, saat dirinya menjadi ketua kelompok usaha peningkatan pendapatan keluarga sejahtera (UPPKS) lestari. Kelompok usaha beranggota lima orang itu, memanfaatkan tempat tinggalnya yang lama dijalan lumba lumba, palangkaraya. Setelah pindah rumah ke jalan sapan pada 2010, usahanya tetap berlanjut dan dibantu anak dan saudaranya. Baik bersama UPPKS lestari, kelompok pembinaan kesejahteraan keluarga (PKK), maupun secara personal, Ipatmie berulang kali juara dalam lomba memasak masakan tradisional berbasis tanaman local dari tingkat kota palangkaraya, provinsi Kalimantan tengah,hingga nasional. Pada 2013, misalnya, Ipatmie meraih juara 2 dalam parade pangan nusantara di malang,jatim. Saat itu jenis makanan yang dilombakan adalah masakan serba jagung dan singkong. Usaha dan keuletan Ipatmie semakin dikenal orang dan juga mendapatkan apresiasi dari pemerintah. Hal itu ditunjukkan dengan pemberian bantuan peralatan penepung singkong dan perajang singkong dari badan ketahanan pangan provinsi Kalimantan tengah pada 2013. Ipatmie pun mendapatkan kredit dari BRI Rp 20 juta selama dua tahun untuk mengembangkan usahanya. Selain itu, ada juga bantuan dari PT Telkom sebesar Rp 25 juta. Saat ini, untuk memenuhi permintaan produksi olahan singkongnya, Ipatmie memerlukan 300 kg singkong per minggu atau lebih dari 1 kuintal singkong perbulan. Singkong itu didapatnya dari petani di desa mintin, kabupaten pulang pisau, kalteng, dengan harga rp 1800 per kg. Dari 300kg singkong itu, 100kg singkong bisa diolah  menjadi 50kg tepung mocaf yang dijualnya rp 12500 per kg. sebanyak 100kg yang lain untuk menghasilkan 60kg beras kupu, adapun 100kg singkong sisanya dipakai untuk membuat tepung mocaf yang digunakan untuk membuat aneka kue. Pemasaran tepung mocaf dan beras kupu produksinya tidak sekadar di kota palangkaraya, tetapi juga sampai ke kabupaten di Kalimantan tengah, misalnya di kabupaten lamandau dan kota waringin barat. Dalam menekuni pengolahan singkong tersebut,kendala utama yang dihadapi adalah masalah pengeringan olahan singkong. “jika musim hujan, terik matahari sangat minim. Akibatnya singkong berubah menjadi kebiru biruan dan rusak. Dulu pernah sampai rugi rp 2 juta” ujarnya.

Inovasi

Tidak berhenti pada pembuatan aneka kue tradisional, Ipatmie juga mencoba berinovasi membuat brownies umbut rotan yang menjadi salah satu tanaman khas di Kalimantan tengah. Ide membuat brownies umbut rotan didapatnya dari konsultasi dengan desainer grafis rumah kemasan Kalimantan tengah, bramita andriana. “brownies kalakai, labu kuning, ubi ungu dan pisang sudah bisa. Tapi untuk brownies rotan saya jadi tertantang untuk memanfaatkan tanaman khas kalteng. Saya berpikir bagaimana caranya jenis sayur ini dijadikan kue” katanya. Setelah beberapa kali mencoba akhirnya Ipatmie pun berhasil membuat resep brownies umbut rotan. Umbut merupakan bagian ujung rotan. Umbut rotan yang telah dikupas kemudian diiris dan direbus. Setelah ditiriskan kemudian diblender dan dicampur santan kental. “lalu dimasak di api atau disangrai untuk membuang kadar airnya. Sesudah itu dicampur ke adonan margarine, cokelat, tepung mocaf,telur,gula dan vanili. Lalu dibakar dioven sampai 30 menit” paparnya. Selain brownies rotan, Ipatmie juga mengolah ikan gabus yang masih banyak ditemukan disungai untuk dijadikan abon. Dari satu kilogram daging ikan gabus, bisa dihasilkan 2 ons abon. Ia pun terus tertantang untuk mengembangkan jenis penganan tradisional lain.

 

Sumber: kompas,jumat 22 mei 2015

Hj Ramlah Keterbatasan yang Tidak Membatasi

Keterbatasan-yang-Tidak-Membatasi.-Kompas.26-Mei-2015.Hal.16

Kalau mau, ramlah bisa saja duduk berpangku tangan dan hanya berharap dari orang tuanya yang berkecukupan. Atau dia bisa saja mencari pembenaran dan berharap belas kasih sebagai penyandang disabilitas.

Namun, dia tak melakukan itu. Menjadi bisu dan tuli sejak kecil, tak membuatnya pasrah. Dia melakukan banyak hal yang melampaui keterbatasannya. Membantu berdagang baju di pasar sentral Makassar,menjadi kasir, menjual kue dan kae yang terbilang sukses. Merintis usaha kue donat yang di mulai dengan menitip di toko toko dengan jumlah puluhan donat perhari, pernah merugi, menghadapi pembeli yang bingung karena keterbatasannya, tetapi semua itu tak membuat ibu dua anak ini putus asa. Sebaliknya, semangatnya makin terlecut untuk belajar dan terus berusaha. Kalau kini dia sudah memiliki usaha kue dan kafe, mempekerjakan belasan penyandang disabilitas, menjual 1000 hingga 5000 donat perhari, itu merupakan buah kerja keras dan ketekunannya. Baginya, memiliki keterbatasan tak berarti langkah mesti terbatas. “saya ingin menunjukkan kepada orang orang bahwa saya pun bisa mandiri. Perbedaan saya dan orang lain hanya sebatas saya bisu dan tuli, diluar itu, sama saja. Bahkan saya juga selalu berusaha agar bisa berkomunikasi dengan normal pula yang membuat ramlah memajang poster besar di kafe miliknya yang berisi panduan simbol-simbol jari yang menjadi bahasa isyarat penyandang disabilitas. Tersedia pula dalam bentuk lembaran yang kerap di bagi kepada pengunjung yang datang. “pengunjung disini umumnya orang normal dan kami di kafe ini ingin memperkenalkan kepada mereka bahasa isyarat kami. Selain itu, kami ingin tetap bisa berkomunikasi dengan pengunjung” kata ramlah. Rupanya hal ini justru menjadi salah satu daya tarik. Selain kekaguman orang kepada ramlah dan semua pegawainya yang selalu penuh senyum dan semangat, banyak yang datang berkunjung karena juga ingin belajar bahasa isyarat.

Mandiri

Sore awal Maret, saat ditemui di Kafe Mella miliknya di jalan hari sunu, Makassar, adalah pertemuan setelah tiga kali janji dijadwal ulang. Kesibukan ramlah dan kebiasaannya tetap terjun ke dapur walau memiliki belasan pegawai membuatnya kerap cukup sulit ditemui. Selain sibuk mengelola usaha kuenya, dia juga aktif di sejumlah perkumpulan atau organisasi disabilitas. Di organisasi, dia aktif member motivasi kepada sesame penyandang disabilitas atau kebutuhan khusus. Dia member pelatihan agar mereka bisa mandiri dan hidup sejahtera. Lahir normal, ramlah tumbuh besar menjadi bisu dan tuli setelah menderita panas tinggi saat kecil. Sulung dari enam bersauadara ini sempat sedih saat melihat teman sebayanya bisa berbicara dan dia tidak. Namun, kesedihan itu hanya selintas. Dia lebih memilih mensyukuri bagian tubuh lain yang normal. Lalu, dia berusaha tumbuh seperti orang normal lainnya waktu tetap harus bersekolah di SD,SMP, SMU luar biasa. Berada dalam keluarga yang sangat berkecukupan, kedua oarng tuanya tak mengajarinya manja. Ramlah pun ingin menunjukkan bahwa keterbatasannya tak membatasinya untuk mandiri. Sejak usia 15 tahun, dia “bekerja” kepada kedua orangtuanya, membantu menjual kain dan pakaian dipasar sentral. Dia mendapat upah dari jerih payah menjual. Uangnya dia tabung. Ingin merasakan dan belajar pekerjaan lain, saat masih belajar di SMU, dia meminta izin menjadi kasir di kafe orangtuanya. Seperti sebelumnya diapun digaji untuk pekerjaannya. Ramlah tak minder walau pengunjung kafe sebagian besar remaja seusianya.

Jatuh bangun dan bangkit

Tahun 1995, ramlah bertemu Irwansyah, temannya semasa sekolah dan sesama penyandang disabilitas, lalu memutuskan menikah. Seusai menikah, dia tetap bekerja menjadi kasir di kafe milik orangtuanya sepanjang sore-malam dan membantu menjual kain pagi-siang. Ingin menambah pengalaman, dia beralih membantu iparnya membuat donat. Bekerja beberapa tahun kepada iparnya, rupanya dimanfaatkan ramlah untuk belajar dan akhirnya tertarik membuat sendiri dan menjual. Ada pun suaminya, membantu usaha orangtuanya. “tahun 2009, saya berbicara sama suami dan dia setuju. Untuk modal awal, kami sepakat menjual kendaraan. Lalu, ditambah dengan uang tabungan saya dan tabungan suami. Lalu saya beli peralatan dan bahan membuat kue. Saya akhirnya memberanikan diri membuat sendiri. Awalnya 50-100 biji” kata ibu dua anak ini. Kue yang dibuat sendiri itu semula dititipkan ditoko toko penjual kue. Ketika produksi makin banyak,dia pun mempekerjakan dau rekan sesama penyandang disabilitas. Usaha ini sempat merugi,tetapi dia tak berputus asa. Dia terus belajar hingga akhirnya mulai berpikir untuk menjual di tempat sendiri. “saya meminta izin sama orang tua untuk meminjam teras dan membangun sedikit tempat untuk menjual. Awalnya hanya tempat kecil, dan khusus menjual untuk dibawa pulang. Tapi lama lama ternyata makin banyak pembeli. Lalu, saya merenovasi teras orangtua dan menata menjadi kafe” katanya. Usahanya membuahkan hasil, kafe milknya makin ramai. Dia tak lagi sekedar berurusan dengan orang yang datang membeli dan membawa pulang atau yang duduk di kafe, tetapi juga pesanan yang kadang hingga  5000 donat perhari. Usahanya makin maju, bahkan mulai mempekerjakan sesama penyandang diabilitas. Kini pegawainya berjumlah 15 orang. Kegigihannya dan aktivitasnya menjadi motivator membuat ramlah dipercaya menjadi ketua DPD gerakan untuk kesejahteraannya tunarungu Indonesia (gerkatin) Sulses selama 13 tahun hingga tahun ini. Dia juga aktif dan menjadi pengurus di organisasi persatuan penyandang disabilitas Indonesia (PPDI) Sulsel dan himpunan wanita disabilitas Indonesia (HWDI) Sulsel.

 

Sumber: kompas, selasa 26 mei 2015

Sulistyo Triantono Putro Jagoan Kredit Jamban Probolinggo

Jagoan-Kredit-Jamban-Probolinggo.-Kompas.18-Juni-2015.Hal.16

Tidak pernah terpikirkan oleh Sulistyo Triantono Putro (40), ia akan berkutat dengan limbah pabrik hingga kotoran yang dihasilkan manusia. Sanitarian di Puskemas Wonoasih, Kota Probolinggo, tersebut tidak hanya mengurusi kesehatan masyarakat. Lebih jauh lagi, kini ia lebih banyak mengurusi persoalan buang air besar orang lain

Oleh Dahlia Irawati

Seusai lulus kuliah, Anton, panggilan akrab Sulistyo Triantono Putro, melamar kerja di berbagai institusi. Ia bekerja di beberapa tempat. Terakhir , ia bekerja di PT Sasa Inti, Probolinggo, di bagian pengolahan limbah.

Bekerja selama lebih kurang 10 tahun di perusahaan bumbu masak tersebut, Anton mulai goyah. Situasi perusahaan, menurut dia , tidak lagi bisa membuat Anton berkembang sehingga ia memutuskan keluar dari pekerjaan itu pada 2009. Saat itu, Anton sudah menduduki jabatan supervisor.

Selepas dari perusahaan swasta tersebut, Anton dan istrinya mencoba melamar kerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Ketika itu, Anton hanya berniat menemani istrinya melamar kerja sebagai PNS. Namun, nasib berkata lain karena justru Anton yang diterima sedangkan sang istri tidak. Anton diangkat sebagai sanitarian di Puskemas Wonoasih.

Sebagai sanitarian, ia bertugas memberikan penyuluhan di klinik sanitasi Puskemas Wonoasih. Setiap warga datang ke Puskemas dengan kasus diare, DBD, cacing, TBC dan sakit mata, maka mereka akan dirujuk ke klinik sanitasi tersebut.

Di klinik ini, Anton bertugas menggali keterangan dari masyarakat mengenai kondisi tempat tinggal pasien,lingkungan sekitar, dan  melakukan kunjungan ke rumah untuk mengetahui kondisi lapangan. Dengan data yang diperoleh, Anton akhirnya bertugas mencarikan solusi agar warga tersebut bisa terhindar dari penyakit tersebut untuk kedua kalinya.

“rata-rata banyak kasus diare berulang. Setelah diteliti, rupanya memang kondisi sanitasi mereka masih memprihatinkan. Mereka masih BAB di sembarang tempat, termasuk di sungai dekat rumah mereka. Sedikit banyak perilaku BAB sembarang ini menjadi salh satu penyebab sakit mereka.” Ujar Anton.

Anton pun berpikir harus ada perubahan dalam perilaku masyrakat agar tidak mudah terserang diare. Salah satunya dengan memperbaiki sanitasi mereka.

Pelatihan

Secara kebetulan, pada 2011, Anton dikirim untuk mengikuti pelatihan dari Indonesia Urban Water Sanitation and Hygiene (IUWASH) USAID dalam program sanitasi total berbasis masyarakat (STBM).

Di sini, Anton dilatih untuk bisa memicu masyarakat memperbaiki perilaku BAB sembarang mereka. Selain itu, ia juga diarahkan untuk bisa menjadi wirausaha bidang sanitasi dengan mengusahakan jamban sehat bagi warga. Anton dilatih cara membuat jamban sehat, memanajemeni usaha pembuatan jamban,hingga mengatur sistem keuangan usaha tersebut.

“selama ini masalah warga tidak memiliki jamban karena terbentur persoalan biaya. Mereka takut pembuatan jamban butuh biaya besar, makanya,saya memakai sistem kredit agar bisa diakses banyak orang,”ujar ayah tiga anak tersebut.

Utang

Anton mulai memberikan kredit pembuatan jamban pada 2012. Usaha Anton ini dibantu empat orang teknisi lapangan dan sejumlah kolektor uang ( biasanya tokoh masyarakat setempat).

Modal Anton untuk memulai usaha jamban sehat adalah dengan menyisihkan uang Rp. 20 Juta, yang disisihkan dari peminjaman bank untuk membangun rumahnya. Kini, aset yang dimiliki Anton sudah berkembang hingga empat kali lipat dari modal awal tersebut.

Nasabah kredit pembuatan jamban yang diberikan Anton biasanya membayar uang muka Rp 300. 000. Selanjutnya, mereka mencici Rp. 100. 000 per bulan. Penagihannya dilakukan setiap minggu sebesar Rp. 250. 000.

Bentuk dan varian jamban sehat ala Anton bermacam-macam, mulai dari harga Rp. 1,5 juta, Rp.1,7 Juta, hingga Rp.2,2 Juta (memakai sistem filter modern).

Saat ini, nasabaj kredit jamban Anton mencapai sekitar 500 orang se kecamatan Wonoasih. Nasabah terbanyak masih di Kecamatan Wonoasih.

“ini hanya salah satu cara mengajak orang menuruti omongan saya. Saya tidak boleh hanya bisa omong , tetapi tidak bisa memberikan solusi. Kredit jamban ini adalah solusi bagi warga yang berat membayar tunai untuk membangun jamban,” ujar Anton.

Cara Anton mendekati warga bukanlah sekadar dengan ceramah. Ia mengajak warga memantau sungai secara langsung. Ia mengajak warga melihat lokasi BAB dan menegok “ampas-ampas” BAB secara langsung hingga mereka jijik bahkan muntah. Upaya tersebut sedikit banyak membuat warga mau diajak BAB di jamban.

“Saking seringnya warga melihat saya bicara tentang jamban, mereka pun menyebut saya master jamban. Saya senang, setidaknya masyarakat mulai menghargai jamban,” ujar suami Umi Wijayanti tersebut.

Upaya Anton menggeluti sanitasi masyarakat tidak lepas dari keprihatinannya pada perilaku masyarakat yang masih tradisional dalam BAB. Selama ini sejak kecil warga Probolinggo terbiasa BAB di sungai. Dan itu terbawa hingga turun-temurun.

Anton mengungkapkan, di kecamatan Wonoasih masih ada 4085 keluarga yang belum memiliki jamban dan ada 3009 keluarga buang air besar di sembarang tempat. Adapun tingkat akses sanitasi di Kecamatan Wonoasih masih sekitar 55,19 persen.

Di tingkat kota, tercatat masih terdapat 16,749 keluarga di kota Probolinggo belum memiliki jamban. Adapun 14.253 keluarga masih BAB di sembarang tempat , termasuk di sungai.

“Saya akan terus mengampanyekan sanitasi sehat. BAB di jamban jauh lebih sehat daripada BAB di sungai atau tempat lain. Saya ingin Probolinggo berubah. Dari kota kecil yang semula memiliki masalah sanitasi , menjadi kota percontohan sanitasi sehat. Ini bisa dilakukan kalau semua masyarakatnya mau mengubah perilaku dan kebiasaan,” ujar Anton.

Cita-cita Anton tersebut diakui tidak mudah. Ia harus terus bergerak mendekati warga untuk mendorong perubahan perilaku. Jika rata-rata PNS akan beristirahat dari kerjanya pada sore hari, Anton terus bergerak. Ia menghadiri sejumlah acara di masyarakat hingga tengah malam. Sasarannya satu, mendengungkan sanitasi sehat setiap saat.

 

Kompas, Kamis, 18 Juni 2015

Sugiharto Ternak Kambing Mengubah Hidupnya

Ternak-Kambing-Mengubah-Hidupnya.-Kompas.3-Juni-2015.Hal.16

 

Sebagai generasi muda yang lekat dengan internet, Sugiharto (39) memakai jejaring dunia maya sebagai sarana untuk menjalankan usaha beternak dan berdagang kambing peranakan ettawa. Meninggalkan transaksi konvensional di pasar tradisional, sejak tahun 2008 hingga sekarang, Sugiharto melayani permintaan transaksi jual beli dengan pelanggan melalui blog pribadinya.

OLEH REGINA RUKMORINI

 

Sugiharto lahir dan tinggal di salah satu desa di sentra peternakan kambing peranakan ettawa (PE), tepatnya di Desa Donorejo, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Sekalipun baru terjun pada usaha beternak kambing tahun 2001, Sugiharto bisa melaju. Ia tidak menjual kambing melalui pedagang, seperti yang dilakukan tetangga dan rekan-rekannya.

“Saya memilih tidak menjual ternak ke pasar lokal karena pemasaran dan penjualan ternak melibatkan rantai perdagangan yang sangat panjang dengan nominal keuntungan yang kurang maksimal bagi peternak,” ujarnya.

Dari blog pribadinya itu, kini dia mampu menjual 50 ekor hingga 150 ekor kambing PE per bulan, dengan capaian omzet Rp 25 juta hingga Rp 30 juta. Pembeli pun datang dari berbagai penjuru di seluruh Indonesia.

Sugiharto mengatakan, semuanya bermula tanpa sengaja. Berawal dari sekadar ingin berbagi informasi tentang cara beternak kambing PE, dia kemudian menerima banyak pertanyaanm konsultasi, yang akhirnya berlanjut pada permintaan ternak kambingnya sendiri.

Tahun 2008, ketika baru memulai membuat blog, dia sudah menjual 40 ekor kambing, dan pada tahun 2009, angka penjualan mencapai 117 ekor kambing. Tahun ini, sejak Januari hingga pertengahan Mei saja, dia sudah menjual 556 ekor kambing PE ke Pekanbaru, Lubuk Linggau, Gorontalo, dan Lombok.

Kepiawaian memanfaatkan internet untuk berbagi informasi dan berdagang ini membuat Sugiharto meraih penghargaan Internet Sehat Blog Award pada tahun 2010, dan akhirnya kerap diundang menjadi pembicara tentang blogpreneur di sejumlah tempat.

 

Cara berbeda

Dengan latar belakang pendidikan sarjana teknik elektro, dan punya pengalaman di organisasi penyelamatan satwa, serta jaringan relasi yang baik dengan dokter hewan, Sugiharto juga menempuh perawatan ternaknya dengan cara berbeda. Dia lagi-lagi memanfaatkan internet untuk konsultasi tentang perawatan ternak, termasuk konsultasi dengan dokter hewan.

Cara beternak yang berbeda bisa dibuktikan dengan datang langsung ke lokasi kandangnya, yang berada di samping rumah tinggalnya. Ada puluhan ekor kambing PE dalam kandang, tetapi keberadaan mereka sama sekali tidak mengeluarkan bau tidak sedap khas kambing, atau yang dalam bahasa Jawa sering disebut prengus. Bau ini dapat dicegah dengan cara menambahkan zat probiotik dalam makanan ternak.

Cara tidak biasa lain dilakukannya dalam hal mengatasi luka koreng pada kambing. Jika cara tradisional biasanya menggunakan belerang, Sugiharto menggunakan perhidrol, obat yang biasanya digunakan untuk menyembuhkan luka-luka pada penderita diabetes.

“Saya mendaoatkan ide memakai perhidrol setelah melihat perawat menggunakan obat itu untuk menanngani luka-luka penderita diabetes di rumah sakit,” ujarnya. Pemakaian perhidrol akhirnya baru diterapkan setelah dirinya berkonsultasi dengan dokter.

Pemberian pakan pun dilakukan dengan cara  berbeda. Ia mengolah pakan kering. Berbagai jenis bahan yang sudah mengering, seperti jagung, sisa tanaman padi, dan beragam tanaman lainnya, disimpan dalam tempat tertutup dan difermentasi dengan cara ditambahkan garam atau gula dengan takaran tertentu.

Pakan kering ini, menurut dia, menjadi cadangan pangan sepanjang tahun, terutama musim kemarau. Dengan melakukan ini, dia pun tidak pernah mengalami krisis pakan, dan tidak perlu melakukan apa yang kerap dilakukan petani lainnya, yaitu menjual ternak dengan harga murah saat musim kemarau.

 

Keluar dari pekerjaan

Setelah hanya berinvestasi, bermitra dengan petani plasma untuk mengurus ternaknya, pada tahun 2007 Sugiharto memfokuskan diri pada usaha peternakan. Dia pun keluar dari pekerjaan yang sudah digeluti selama delapan tahun di sebuah perusahaan mekanika elektronik.

Saat itu, salah satu alasan Sugiharto ingin berwiraswasta sebagai peternak kambing ialah karena dia ingin memenuhi keinginan ibunya, untuk berkumpul bersama keluarga di rumah.

“Dulu, ibu selalu mengingatkan bahwa percuma memiliki gaji besar jika akhirnya saya jauh dari keluarga, jauh dari anak dan isati,” ujar Sugiharto yang mengungkapkan bahwa ketika bekerja di Jakarta, anak dan istrinya tetap tinggal di kampung halaman, di Desa Donorejo.

Perlahan, permintaan sang ibu akhirnya bisa dipenuhi karena prospek usaha beternak kambing, setelah dihitung matang, juga cukup menggiurkan. Dulu, dengan memiliki 20 ekor kambing yang dipelihara oleh petani plasma saja, Sugiharto mampu mendapatkan penghasilan tambahan Rp 4,3 juta, sekitar separuh dari penghasilannya bekerja di Jakarta.

“Waktu itu, saya Cuma berpikr, kalau saya menambah investasi dengan menambah jumlah ternak kambing, maka saya bisa mendapatkan penghasilan sama besarnya dengan gaji di Jakarta. Sekaligus, saya bisa berkumpul bersama keluarga di kampung,” ujarnya.

Ia sempat putus asa saat mulai mandiri, tetapi akhirnya dia urungkan, apalagi ketika ada badan usaha milik negara (BUMN) yang ingin melakukan program corporate social responsibility (CSR), dengan melakukan pelatihan usaha peternakan di rumahnya selama enam bulan. Dari kegiatan inilah, nama Sugiharto semakin dikenal. Selanjutnya, banyak perusahaan, instansi, sekolah, dan universitas akhirnya ramai melakukan program pelatihan, penelitian, di rumahnya.

Tahun 2014, di kabupaten Purworejo, dia mendirikan unit usaha yang baru diberinya nama CV Gunungkelir Cipta Mandiri. Ini adalah perusahaan bergerak di bidang agrikultur, tetapi sekaligus juga sebagai event organizer.

Tidak hanya itu, dia pun perlahan mulai merancang paket wisata dan membantu mengembangkan desanya menjadi desa wisata. Setiap Kamis, setiap orang yang datang bisa menkmati wisata panglipuran atau penghiburan dengan minum kopi dan menikmati alunan musik gamelan di gubuk yang dibuat di halaman rumahnya sendiri. Kopi yang disajikan adalah kopi asli dari petani di sekitarnya.

Dengan melibatkan siswa SMP dan SMA di desanya sebagai pemandu wisata, dia juga mengembangkan ragam wisata lainnya, seperti trekking, melihat matahari terbit, bird watching, paket wisata dengan berkemah, serta paket wisata menyusuri Perbukitan Menoreh dengan jip, motor trail, atau dengan sepeda gunung. Ada juga paket wisata caving, menjelajag goa-goa yang ada di sekitar Kecamatan Kaligesing.

Sejak memulai program desa wisata pada tahun 2012, saat ini jumlah wisatawan yang datang ke Desa Donorejo mencapai 200 orang, termasuk peneliti yang datang untuk meneliti goa dan lapisan karst.

SUGIHARTO

▪ Lahir : Purworejo, 24 Februari 1976

▪ Pendidikan : Sarjana Teknik Elektro Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

▪ Istri : Sujiyem (38)

▪ Anak :

  • Nurin Maulia Arsi (13)
  • Fathan Maulana Arsi (5)

UC Lib-Collect

Kompas. Rabu. 3 Juni 2015. Hal. 16