Cucu Panji Suherman Setia pada Tradisi “Bebegig”
Jika hanya di lihat hitam putih dari sudut ekonomi semata, kesenian tradisional tidak bisa di andalkan untuk menopang kehidupan para penggiatnya. Namun, komuitas Baladdewa di Desa Sukamantri, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, yang di kelola Cucu Panji Suherman (47) berpandang lain.
Para anggota Baladdewa setia menjadi pekerja seni bebegig Nyeker Sukamantri karena Cucu Panji berhasil meyakinkan mereka bahwa seni tradisi karuhun (leluhur) merupakan warisan yang harus di jaga, di pelihara, dan di sebarkan. “kalau tidak oleh kita sendiri, lalu oleh siapa lagi?” tutur singkatnya, tetapi bermakna luas.
Pandangan itu di dukung oleh fakta kehidupan pertanian warga Sukamantri yang memang terkait erat dengan tradisi bebegig yang sudah tumbuh lebih dari 100 tahun, “kami manggung rata-rata sebulan sekali dengan imbalan Rp 7 juta,” kata Cucu saat di temui di Sukamantri, Selasa lalu
Imbalan dari pagelaran itu di bagi untuk 12-16 penari topeng, 10 penari pendamping, ditambah 10 pemain musik pengiring, serta onglos angkut pergi-pulang ke tempat pengundang. Setelah di bagi-bagi, uang sebesar itu sebenarnya hanya pas-pasan.
Meski bebegig tak menyajikan keuntungan ekonomi, Cucu nekat meninggalkan pekerjaannya sebagai montir di sebuah bengkel mobil di Kota Bandung tahun 2003. Selanjutnya, ia pulang ke kampung halaman untuk mengembangkan bebegig Sukamantri. Ia pun mengumpulkan dan membina anak-anak muda seraya melatihnya membuat kreasi topeng bebegig.
Dengan kemauan keras, upayah itu tidak mendapatkan hambatan berarti karena masyarakat Sukamantri memang sudah memiliki modal sosial. Secara turun temurun, keluarga Cucu juga temasuk turunan pelaku seni bebegig. Berkat sentuhan tangan dinginnya, tahun 2006, rombongan helaran bebegig Sukamantri berhasil meraih juara umum dan peserta favorit Kemilau Nusantara di Bandung.
Sukamantri merupakan kawasan paling utara Kabupaten Ciamis yang berbatasan dengan Kabupaten Majalengka. Desa yang terletak pada ketinggian 700-950 meter di atas permukaan laut ini merupakan sumber air bagi wilayah pertanian di bawahnya.
Situasi itu diperkuat dengan keberadaan hutan larangan yang di sebut Tawang Gantung, yakini sepenggal hutan keramat dan angker di sebelah utara Sukamantri. Siapa yang berani masuk dan menggangu tanaman dan pohon di hutan seluas 3,5 hektar ia bakalan kualat dan hidupnya tidak bakalan selamat atau terkena mamala (sunda).
Bukit ini memang ada dengan bukit-bukit lainnya. Selain agak menonjol, terdapat tiga parit besar (parigi) yang melingkar bagian bawah bukit. Di hilirnya terdapat lereng terjal yang di sebut oleh warga setempat Panggeleseran. Di bawah Panggeleseran itu ada sungai yang bersumber dari mata air di sekitar perbukitan dan mengalirkan air jernih.
Asal mula “bebegig”
Leluhur Sukamantri, yakini Prabu Sampulur, yang menjadi penguasa wilayah ratusan tahun lalu, khawatir sumber air itu di ganggu oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Lalu ia membuat bebegig, berupa topeng dengan karakter mahluk menyeramkan. Rambutnya terbuat dari ijuk kawung (aren) yang terurai panjang ke bawah, dilengkapi mahkota dari bunga tanaman hutan bubuay dan daun waregu (sejenis palem hutan) yang tersusun rapi di atas topeng.
Selanjutnya, topeng-topeng kulit kayu itu di pasang di pohon-pohon besar yang ada di sekitar Tawung Gantung. Konon, karena kesakitan Sang Prabu, orang yang berniat jahat akan melihat topeng itu seolah-olah bagikan makhluk tinggi besar menyeramkan yang siap menerkam. Orang jahat pun ketakutan. “sejak itu, keturunan Eyang Prabu melanjutkan tradisi tersebut sehinngga tumbuhlah seni tradisi bebegig Sukamantri,” tutur Cucu.
Bebegig atau orang-orangan sawah yang terbuat dari rangkaian tanaman kering sudah di kenal pelosok daerah pertanian Jawa Barat. Orang-orangan itu biasanya di tancapkan di tengah sawah dan di gerakkan menggunakan tali yang di bentangkan ke saung sawah di pematang atau daratan. Penampilan “mahkluk” itu diharapkan dapat menakuti kawanan burung yang menggangu tanaman padi, terutama menjelang panen.
Bebegig Sukamantri dulunya memang di gunakan untuk menakut-nakuti manusia. Menurut Cucu, sampai saat ini tidak ada nama yang spesifik yang membedakan antara bebegig sawah dan bebegig seni. Untuk mempermudah menyebutnya, cukup dengan nama bebegig Sukamantri. Di luar itu ada tambahan nama bebegig nyeker karena pemainnya tidak mengunakan alas kaki (nyeker)
Bentu dan karakteristik bebegig Sukamantri unik karena memiliki tampilan menyeramkan dan menyiratkan kesan kepurbaan. Itu karena bahan-bahan untuk membuat bebegig hapir semuanya di ambil dai hutan yang ada di sekitar Sukamantri sampai ke Gunung Sawal, seperti ijuk kawung, bubuay ,kembang hahapaan, dan daun waregu.
Sepintas bentuk kepalanya seperti reog ponorogo. Bedanya bidang atas bebegig Sukamantri membentuk segitiga terbalik. Rangka di dalamnya terbuat dari bambu yag di beri penopang untuk di panggul. Kepala bebegig merupakan bagian yang terberat dan terbesar proporsinya.
Dilestarikan
Menurut cerita rakyat Sukamantri, Prabu Sampulur tidak lama menempati wilayah Tawang Gantungan. Dia selanjutnya di gantikan orang kepercayaanya. Margadati, pemimpin baru itu berusaha memperbaiki keadaan. Masyarakat mulai mandiri dan perlahan menuju kemakmuran dari pertanian yang berkelanjutan karena di dukung oleh pengairan yang baik.
Wilayah Tawang Gantung pun berganti nama menjadi Karang Gantung. Kesenian bebgig pun di lestarikan. Awalnya di gelar saat warga mendapatkan hewan buruan, seni itu lalu di helat saat panen tiba. Sejak zaman kemerdekaan Republik Indonesia, tradisi itu digelar setiap HUT Proklamasi 17 Agustus.
Topeng bebegig dengan raut rasaksa jahat yang terbuat dari kayu yang di tatah atau di pahat. Semula untuk membuat topeng ukuran 60 x 50 sentimeter di ambil dari bahan kayu sisa penggergajian . seiring dengan perjalanan waktu. Topeng bebegig di buat dari kayu gelondongan, terutama jeni mahoni dan albasia. Saat ini motif raut dan karakternya mulai meniru tokoh wayang golek Sunda.
Walaupun tidak ada pakem khusus sebelum di pertontonkan, para pembuat kedok atau topeng bebegig pergi ke makan keramat demi memperoleh suasana seram. Pengguna akan menyimpan kedok bebegig di makam hingga selama 3 hari. Ratusan orang mengeluarkan topeng-topeng bebegig dari pemakaman dan mengarakanya keliling desa.
Kini ,selain di helat pada acara khitanan dan 17 Agustus, bebegig Sukamantri sering di ungang pada HUT kabupaten atau kota di Jawa Barat. “untuk bulan Februari, ada dua undangan yang sudah kami terima, yakini dari pemerintah Kabupaten Garut dan Ciamis, “ ujar Cucu.
Seniman itu yakin, seni rakyat ini bakal mampu bertahan di tengah perubahan zaman. Di tengah berbagai bentuk seni pertunjukan moderen, masyarakat masih merindukan tradisi bebegig Sukamantri yang bersahaja, unik, dan menghibur.
UC Lib-Collect
KOMPAS, SABTU 13 Februari 2016