Pandu Radea Kreator Wayang Landung dari Panjalu

Pandu Radea Kreator Wayang Landung dari Panjalu. Kompas. 25 Januari 2016. Hal 16

Pandu Radea

Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, memiliki “kamonesan” atau ikon seni rakyat, yakni wayang landung, berupa wayang raksasa sejenis onde-ondel Sunda atau “badawang”. Walaupun merupakan pproyeksi dari wayang golek Sunda, wayang setinggi 3 meter-4 meter dengan berat sekitar 20 kiloram ini tidak dimainkan di panggung, tetapi digelar di jalanan dalam bentuk “helaran”.

Oleh Dedi Muhtadi

 

“Hasil karya seniman Panjalu ini mendapat apresiasi saat wayang landung tampil di Jembrana, Bali tahun 2007,” ujar Dedi Koesmana, Kepala Seksi Kebudayaan pada Dinas Pendidikan Kabupaten Ciamis, di Panjalu. Panjalu adalah nama desa dan kecamatan, 40 kilometer utara Ciamis, tempat asal kreatorny, dalang Pandu Radea (43). “Ide awalnya golek diperbesar dan diarak di jalan seperti badawang mungkin lebih menarik,” tutur Pandu.

Pandu juga terinspirasi seni tradisi bebegig Panjalu, yakni patung orang-orangan untuk menakuti-menakuti burung hama padi di sawah. Menurut cerita rakyat yang dibukukan. Djadja Sukardja (2001), Panjalu adalah bekas Kerajaan Sunda yang diperintahkan saecara turun-temurun oleh raja keturunan raja Galuh sekitar abad ke-8 Masehi (menurut catatan kebudayaan abad ke-15).

Masyarakat di desa itu menyimpan berbagai cerita dan peinggalan leluhur yang dipertahanka hingga kini. Salah satunya ritual adat upacara Nyangku, yakni membersihkan benda-benda peninggalan raja-raja Panjalu setiap bulan Maulud (Rabiulawal Hijriah). Tradisi Nyangku merupakan upaya pelestarian kearifan lokal, salah satunya menjaga air Situ Lengkong, danau seluas 67 hektar yang diyakini bekas keraton Kerajaan Panjalu.

Dari kearifan itulah, Pandu membuat wayang menggunakan bahan alami yang sudah tidak terpakai, seperti kayu kering di kebun rakyat, daun pisang kering (kararas) yang menjadi ciri khas dan dilengkapi janur (daun kelapa), dan aneka bunga. Hiasan janur yang berwarna putih/kuning digunakan untuk karakter wayang berwatak baik, sedangkan janur warna gelap digunakan untuk karakter sebaliknya.

Wayang setinggi 3 meter-4 meter ini mirip bonek besar badawang, tetapi wajahnya seperti wayang dan bisa dimainkan dalang seperti halnya wayang golek. Ada tiga jenis wayang landung, yakni untuk seni helaran, seni jugalan atau jogol, yakni cerita peperangan atau perkelahian, dan untuk cerita seperti wayang kecil. Dalam cerita itu bisa berlangsung dialog atau ngobrol lawakan antara wayang kecil dan wayang besar. Digelar di jalanan dengan musik pengiring yang fleksibel.

Heleran

Selama ini, seni helaran yang ada di Jawa Barat terkesan monoton. Seni itu juga cenderung pasif karena penonton hanya menyaksikan arak-arakan, kecuali seni tradisi sisingan, di mana penonton bisa ikut menari berkeliling mengikuti sisingaan itu berarak. “Pada wayang landung, penonton bisa berinteraksi dan mencoba mengusung wayang karena bisa dikompetisikan. Waktu gelar di Bandung, ada orang Jepang yang mencoba, tetatpi dia kealahan,” kata Pandu.

Untuk memainkan tiap wayang raksasa Ciamis ini, masing-masing butuh satu orang yang bertugas memikul. Ia masuk ke dalam tubuh wayang, lalu bergerak-gerak mengikuti alunan musik dan cerita. Landung dalam bahasa Sunda adalah tinggi semampai dan dulu disebut jalugjug, yakni seni tradisi rakyat Ciamis. Wayang-wayang itu diarak berkeliling diikuti riang gembira warga. Di sebuah lapang, wayang-wayang itu akan berlaga. Pada  atraksi jugalan, wayang itu mengadu kesaktian.

Semakin cepat iringan musik, disertai riuhnya teriakan, semakin seru pula perkelahian wayang sampai salah satunya hancur. “Kalau sudah terjatuh telentang, biasanya pengusung tidak bisa bangun karena berat, ia pun kalah. Kalau jatuhnya telungkup, dengan mudah ia banun lagi karena kedua tangannya berfungsi,” ujar Radea.

Seni ini mulai diperkenalkan tahun 2003 dalam perlahatan Internasional Kite Festival di pantai wisata Pangandaran. Tahun 2007, wayang landung tampil dalan festival seni di Jembrana, Bali. Pada Kemilau Nusantara di Bandung 2012, wayang landung juara dua setelah dalang Pandu menampilkan ceritera Babad Alas Amer, yakni kesatria Pandawa melawan pasukan pimpinan Durga.

Di setiap pergelaran, Dalang Pandu biasanya membawa gunungan wayang landung, berputar mengelilingi tempat pertunjukan dan berdoa. Gunungannya berupa tongkat dari sintung kelapa kering yang dirangkai dengan tanaman kering lainnya seperti rambut jagung. Asap kemenyan terus mengepul untuk memberikan warna dan aroma tradisi. Berikutnya, wayang masuk ke dalam arena, mereka pun saling beradu.

Filosofi wayang golek

Dalang harus bisa menguasi emosi pemain wayang yang terkadang lepas kontrol saat bergerak dan berkelahi. Berdoa kepada Yang Mahakuasa disertai mencakra tanah merupakan ritual yang harus dikerjakan sebelum pementasan. Tujuannya agar jalannya pertunjukan lancar. Pada wayang ini, Pandu tetap menyelipkan filofi wayang golek, tetapi lewat sentuhan lain. Kini, ia masih menyimpan obsesi untuk menyajikan pertunjukan wayang landung lewat cerita utuh. Diantaranya dengan menyiapkan semua karakter wayang yang dibutuhkan.

Jumlah pemain wayang landung sendiri dapat mencapai puluhan orang. Oleh karena itu, seni ini terbuka untuk menjadi alternatif pergelaran kolosal yang melibatkan banyak pihak. “Lima puluh orang pernah dilibatkannya dalam salah satu pertunjukan. Ini sesuai ide awal penciptaannya, yakni melibatkan banyak seniman,” ujarnya.

Paa saat proses kreatifnya, Pandu dibantu seniman Sunda, Eras Rosadi, untuk musik gendingnya. Adapun tata tarinya dibantu Wawan Munding. Arsiteknya oleh seniman bebeging Aan Panjalu dan penata artistiknya Mang Ganda, seniman siluet dari Panjalu juga. “Ini proyek seni bersama dengan melibatkan semua seniman dari berbagai ganre di Ciamis,” ungkap Pandu. Kaena itu pula, daerah lain yang ingin mengembangkan wayang landung akan disambut baik. Menurut dia, semakin luas wilayah pengembangannya, semakin besar pula kemungkinan kesenian ini menjadi tradisi, khususnya di Jawa Barat. Atraksi seni akan menjadi tradisi apabila sudah dipertahankan masyarakat lebih dari 100 tahun.

“Kami hanya titip bahwa titipmangsa wayang landung sebagai kesenian khas Panjalu Ciamis sesuai hak ciptanya,” tambah kreator seni yang pernah mengenalkan wayang ajen di Spanyol, Perancis, dan Korea Selatan dalam misi kesenian wayang untuk dunia ini.

Pandu Radea

Lahir                : Panjalu, Ciamis, 25 Mei 2973

Pendidikan      : SD Kawali, Ciamis (1987), SMP Kawali (1990), SMAN Kawali (1993),

STSI Bandung

 

Pekerjaan         : Dalang dan pekerjaan seni

Istri                  : Nining Sukaesih (42)

Anak               : Aria P (15) dan Pribasidar S (11)

 

Sumber: Kompas, Senin, 25 Januari 2016

Okta Saputra Pembuat Pembasmi Nyamuk Alami

Okta Saputra Pembuat Pembasmi Nyamuk Alami. Kompas. 22 Januari 2016. Hal 16

Okta Saputra

Sayang kalau kulit batang duku itu hanya dibakar di kebun. Itulah yang menginspirasi Okta Saputra (16) mengolah kulit batang duku yang selama ini dianggap sampah menjadi produk bermanfaat. Kulit batang duku ternyata bisa dijadikan pembasmi nyamuk alami yang ampuh.

Oleh Rhama Purna Jati

             Saat berlibur di kebun kakeknya di Desa Durian, kecamatan Peninjauan, Baturaja, Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, Juli 2014, Okta melihat sang kakek memungut kulit batang dari tanaman duku yang telah tua dan mengumpulkannya. Setelah terkumpul, kulit batang duku itu lalu dibakar. “Biasanya, saat tanaman duku telah tua, kulit batang akan terkelupas dengan sendirinya,” kata Okta, Rabu (13/1).

Asap yang ditimbulkan dari pembakaran kulit duku itu ternyata ampuh mengusir nyamuk yang merebak di arela kebun. Anehnya, belum banyak orang yang tahu tentang manfaat kulit batang duku sehingga masih banyak yang menyia-nyiakannya. Okta yang mengaku suka meneliti sejak SMP itu melihat peluang yang belum dimanfaatkan. “Semula, banyak nyamuk hinggap ke tubuh. Namun, saat asap menyebar, nyamuk langsung menjauh,” ucapnya.

Akan tetapi, apabila penggunaannya tetap dilakukan dengan cara dibakar, tentu akan sulit diterapkan. “Karena itu, saya membuat produk yang lebih praktis dengan merancangnya seperti parfum,” kata Okta yang kini duduk XI SMA Negeri Sumatera Selatan. Butuh waktu sekitar saru tahun untuk memformulasikan kulit batang duku menjadi produk pembasmi nyamuk yang efektif dan aman. Berbekal sarana penelitian ddi sekolah yang memadai, sejumlah jurnal terkait penelitian desinfektan, dan bimbngan guru kimianya, Nur Padmii Tyastuti, Okta berhasil mengonversikan kulit batang duku menjadi cairan layaknya pembasmi nyamuk yang banyak dikenal orang.

Dikatan Okta, ada perbedaan mendasar antara pembasmi nyamuk yang biasa dijual di pasaran dan produk ciptaannya. Karena dibuat dari bahan alami, produk ciptaannya tidak memberikan efek samping bagi tubuh apabila terhirup. Dalam kulit batang duku terkandung flavonoid dan saponin yang ampuh mengusir nyamuk. Untuk mengekstraksi kandungan itu, ada beberapa cara yang harus dilakukan. Proses dimulai dengan pengeringan kulit batang hingga tingkat kadar airnya berkutang. Lalu, kulit batang kering itu dipanggang dalam oven dengan suhu 100 derajat celsius dalam jangka waktu dua jam. Setelah itu, kulit batang diblender hingga halus. Langkah selanjutnya, maserasi (salah satu cara untuk melakukan ekstraksi) dengan mencampurkan tepung kulit batang duku dengan larutan metanol.

“Hasil penacampuran tersebut disimpn di suhu kamar dalam jnagka waktu tiga sampai lima hari. Dengan cara ini, kandungan konsentrt flavanoid dan saponin akan keluar dari kulit tersebut,” tutuur Okta. Kemudian, dilakukan penyaringan untuk memisahkan residu dengan cairab zat flavanoid dan saponin. Terkait keefektifan produk ini, Okta telah melakukan uji coba langsung. Dia mengumpulkan nyamuk dari jentik nyamuk yang dikembangkan di dalam wadah. Ada empat sampel pengujian. Setiap sampel diujikan dengan kadar flavanoid dan saponin yang berbeda.

Setelah pengujian, dalam racikan 15 gram limbah kulit batang duku dicampur dengan 150 mililiter metanol menghasilkan 100 mililiter anti nyamuk yang terbukti ampuh membasmi nyamuk dengan tingkat efektifvitas mencapai 86 persen. “Dari 20 nyamuk di dalam wadah, 17 nyamuk di antaranya mati,” ujar Okta yang bercerita-cita melanjutkan pendidikan ke Jurusan Teknik Industri Institut Teknologi Bandung.

Ikut olimpiade

Yakin dengan penemuan ini, Okta ikut dalam ajang Olimpiade Penelitian Siswa Indonesia (OPSI) yang digelar di Surabaya, Oktober lalu. Penelitian yang diberi judul “Pemanfaatan Limbah Kulit Batang Duku (Lansium Domesticum Corr) sebagai Bio Mosquito Repellent yang ramah lingkungan” ini dikirimkan ke kompetisi tersebut pada Juni 2015.

Pada September, Okta mendapat kabar bahwa penelitiannya masuk dalam 88 penelitian yang lolos ke tahap selanjutnya. Dalam olimpiade itu, Okta dan ke-87 peneliti lain harus memaparkan dan menunjukkan hasil penelitian di hadapan juri. Hasilnya, ia mendapatkan pengahargaan khusus dalam ajang yang digelar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tersebut.

Dari penelitian itu, juri menilai Okta mampu memanfaatkan potensi yang ada di daerahnya menjadi hal yan bermanfaat. Ogan Komering Ulu jug adikenal dengan komoditas buah duku. Sejumlah lahan yang ada di daerah itu juga digunakan untuk perkebunan duku. Bahkan, duku Komering telah tersohor gingga ke seluruh Nusantara.

Dalam perhitungan dia, 1 hektar tanaman duku bisa menghasilkan kulit batang duku sampai 15 kilogram. Apabila dikumpulkan dan didaur ulang menjadi pembasmi nyamuk, limbah itu tentu dapat dijadikan produk yang diedarkan secara komersial. Terkait keberhasilan dari proses penelitian ini, sebuah Universitas negeri di Sumatera Selatan menawarkan kerja sama penelitian untuk dikembangkan ke tahap selanjutnya. Menurutnya, masih ada banyak hal yang harus dibenahi, termasuk jika produk inji dijual ke pasar.

‘Namun, sampai saat ini, penelitian masih pada tahap pengembangan,” kata Okta. Tidak hanya obat pembasmi nyamuk, karena baunya yang unik dan tidak menimbulkan efek samping bagi kulit orang dewasa, penemuannya itu dapat digunakan sebagai parfum. Saat berlibur dengan teman satu asrama, Okta menyemprotkan produk tersebut pada kulitnya dan beberapa teman. Hasilnya harum dan tidak ada nyamuk yang mendekat.

Rencana penelitian tidak berhenti sampai di situ. Penasaran dengan khasiat duku. Okta berkeinginan membuat kulit duku untuk mengusir nyamuk. Dalam sejumlah jurnal, kulit duku juga dapat mengusir nyamuk. “Ke depan, saya ingin mencoba mengubah kulit duku menjadi bentuk cair dengan mekanisme penelitian yang sama. Semoga dapat mengusir nyamuk seefektif dengan kulit batang duku,” ucap sulung dari dua bersaudara ini.

 

Okta Saputra

Lahir                            : Palembang, 12 Oktober 1999

Orangtua                     : Yanto Susilo dan Rusdiana

Saudara Kandung       : Zahra Nabila

Pendidikan                  : SD Patra Mandiri I Plaju, Palembang, SMP Negeri 20 Palembang,

SMA Negeri Sumatera Selatan, Palembang

 

 Sumber: Kompas, Jumat, 22 Januari 2016

Nur Choliq Menjaga Kekayaan Laut Karimunjawa

Nur Choliq Menjaga Kekayaan Laut Karimunjawa. Kompas. 11 Januari 2016. Hal 16

Nur Choliq

Selama bertahun-yahun, Nur Choliq (44) menggerakan tema-temannya sesama nelayan menjaga kelestarian laut Kepulauan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Dia tidak hanya aktif menyosialisasikan cara mencari ikan tanpa merusak lingkungan, tetapi juga ikut menangkap nelayan nakal yang membahayakan kelestarian laut. Tak jarang, tindakan tegasnya mengundang serangan balik yang membahayakan.

Oleh Haris Firdaus

 

Nur Choliq adalah warga Desa Kemajon, Kecamatan Karimunjawa, Jepara. Selama beberapa tahu terakhir, dia menjabar Ketua Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaan (SPKP) di Desa Kemajon. Pembentukan SPKS diinisiasi Balai Taman Nasioal Karimunjawa dengan tujuan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kelestarian lingkungan.

“Di Desa Kemajon, SPKP terbentuk sejak tahun 2008. Namun, organisasi ini sempat tidak aktif sekitar dua tahun. Sejak 2010, SPKP kembali aktif,” ujar Choliq. Kepulauan Karimunjawa, yang terdiri atas 27 pulau, merupakan tempat bertemunya bnyak kepentingan. Kepulauan itu sejak lama dikenal sebagai salah satu tujuan wisata favorit di Indonesia. Selain tempat wisata, kepulauan ini juga memiliki kekayaan laut yang melimpah dan menjadi sumber penghidupan ribuan nelayan di sana. Sejak 2009, pemerintah menetapkan Karimunjawa sebagai taman nasional sehingga aktivitas di kepulauan itu harus memperhatikan kaidah pelestarian lingkungan.

Berdasarkan data Balai Taman Nasional Karimunjawa, luas Taman Nasional Karimunjawa mencapai 111.625 hektar. Taman nasional itu terdiri atas sembilan zona, yakni zona inti, zona rimba, zona perlindungan bahari, zona pemanfaatan darat, zona pemanfaatan wisata bahari, zona budidaya bahari, zona rehabilitas, zona perikanan tradisional, serta zona religi, budidaya, dan sejarah. Di setiap zona ada aturan terkait aktivitas apa saja yang boleh dilakukan dan dilarang.

Choliq menjelaskan, tugas SPKP, antara lain, menyosialisasikan pembagian zona di Taman Nasional Karimunjawa dan aturan-aturan di setiap zona. Di zona inti, masyarakat dan nelayan dilarang beraktivitas karena zona itu tidak boleh mengalami perubahan akibat aktivitas manusia. Di zona inti, aktivitas yang diperbolehkan hanyalah kegiatan penelitian, pendidikan, pemantauan, dan pengamanan.

Dia menambahkan, sebelum SPKP terbentuk, hubungan antara masyarakat dan Balai Taman Nasional Karimunjawa sempat tegang. Pasalnya, pemberlakuan zona di Karimunjawa dianggap membatasi warga mencari penghidupan. Namun, perlahan-lahan, ketegangan itu mencair. Choliq merekrut kepala dusun di Desa Kemajon untuk menjadi anggota SPKP. Dengannya, sosialisasi kepada warga menjadi lebih mudah. Selain itu, Choliq juga hadir dalam berbagai pertemuan masyarakat, misalnya pengajian dan arisan, untuk menyosialisasikan pentingnya menjaga kekayaan laut Karimunjawa. “Hasilnya, sekarang sebagian besar masyarakat Desa Kemajon sudah sadar tentang pentingnya menjaga lingkungan tetap lestari,” ujarnya.

Patroli dan menangkap

Selain di SPKP, Choliq juga aktif dalam organisasi Masyarakat Mitra polisi Kehutanan (MMP). Berbeda dengan SPKP yang fokus pada sosialisasi ke masyarakat, MMP aktif berpatroli di laut. Bersama nelayan yang menjadi anggota MMP dan petugas Balai Taman Nasional Karimunjawa, Choliq pernah menangkap nelayan nakal.

Choliq menuturkan, operasi penangkap nelayan nakal biasanya berawal dari laporan nelayan lokal yang melihat pelanggaran di laut. Setelah ditangkap, kapal milik nelayan nakal itu akan ditarik ke dermaga Karimunjawa dan awaknya diproses secara hukum hingga pengadilan.

“Penangkapan nelayan yang nakal tidak bisa dilakuakn sembarangan. Biasanya, kam, mereka bergerombol, jadi tidak bisa kami menangkap semuanya. Yang bisa ditangkap biasanya nelayan yang sedang menebar jaring karena mereka sulit lari,” ujarnya. Upaya Choliq dan kawan-kawannya itu bukan tanpa hambatan. Sering kali, nelayan itu harus rela meminjamkan kapal untuk dipakai patroli tanpa biaya sewa, bahkan iuran membeli bahan bakar.

Kadang-kadang, mereka juga mendapat intimidasi dari nelayan nakal yang tidak terima dengan kegiatan penertiban itu: “Pernah ada beberapa kapal nelayan dari daerah lain yang ingin menabrak salah satu kapal nelayan Karimunjawa karena mereka tidak terima dengan patroli dan penertiban yang kami lakukan,” kata Choliq. Bahkan, Choliq dan teman-temannya pernah berhadap-hadapan dengan seorang aparat penegak huku, yang mengawal sebuah kapal tunda (tugboat) penarik tongkang batubara. Menurut Choliq, peristiwa itu terjadi pada September 2015. Saat itu, kapal tunda tersebut mengikatkan tali di terumbu karang untuk bersandar. Aktivitas itu berpotensi menyebabkan kerusakan terumbu karang sehingga Choliq dan teman-temannya bertindak.

Lalu, bersama petugas Balai Taman Nasional Karimunjawa, mereka mendatangi kapal itu untuk mengingatkan. Namun ternyata di dalam kapal tersebut ada oknum petugas yan mengawal. “Lalu, si petugas malah memarahi kami. Ini yang kami sayangkan,” ujar Choliq. Meski mendapat berbagai hambatan, Nur Choliq tidak lelah berujung demi kelestarian lingkungan Karimunjawa. Belakangan, dia ikut memperjuangan tercapainya kesepakatan bersama di antara nelayan Karimunjawa tentang pengelolaan sumber data laut di kepulauan tersebut. Kesepakatan itu, antara lain, berisi larangan ikan dengan peralatan yang merusak ikan dengan peralatan yang merusak lingkungan, misalnya bom, potasium, dan cantrang.

Selain itu, penangkapan ikan dengan panah dan alat bantu kompresor juga dibatasi. Sebagaian nelayan Karimunjawa memang masih kerap mencari ikan dengan cara menyelam ke bawah laut, lalu menangkap ikan dengan panah. Mereka biasanya menggunakan kompresor sebagai alat bantu penyelaman. Cara semacam itu dianggap tak ramah lingkungan karena penyelam bisa menangkap ikan secara berlebihan. Kadang. Penyelam menginjak-injak terumbu karang sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan.

“Nelayan di Pulau Kemojan sudah sepakat tidak memakai panah dan alat bantu kompresor dlam menangkap ikan. Namun, di pulau lain di Karimunjawa, penangkap dengan cara itu masih diperbolehkan.. jadi, perjuangan kami memang masih panjang,” kata Choliq.

Nur Choliq

Lahir                : Karimunjawa, 11 November 1971

Keluarga          : Satu istri dan dua anak

Pekerjaan         : Nelayan dan pedagang

Aktivitas         : Ketua Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaan di Desa Kemojan, Pengurus

Masyarakat Mitra Polisi Kehutanan di Desa Kemojan

 

Pendidikan      : SD Kemojan 1, Karimunjawa, Madrasah Tsanawiyah Darul Hikmah, Jepara

Sumber: Kompas, Senin, 11 Januari 2016

Sugeng Hariyono Motor Pustaka Si Penambal Ban

Motor Pustaka Si Penambal Ban.Kompas.27 Januari 2016.Hal.16

Mungkin hanya Sugeng Hariyono (32), tukang tambal ban yang disapa “Pak Guru”. Sapaan itu semacam bentuk penghormatan dari warga kampung yang setiap sore menantinya untuk meminjam buku secara gratis. Ya, di sela-sela pekerjaannya sebagai tukang tambal ban, Sugeng menjalankan perpustakaan keliling di atas sepeda motor butut.

OLEH VINA OKTAVIA

 

Saat anak-anak di Desa Lebungnala, Kabupateb Lampung Selatan, asyik mengaji di masjid, Sugeng memarkir sepeda motor GL Max tahun 1986 di halaman rumah warga. Begitu selesai mengaji, anak-anak langsung berhamburan menghampirinya. Mereka menyerbu “rak buku” berupa tas besar yang Sugeng letakkan di jok motornya.

Dia membiarkan anak-anak mengacak-acak tempat buku yang ia rancang mirip tas pegawai pos. “Lebih baik buku ini diacak-acak dan dibaca daripada hanya ditata rapi, tapi tidak ada yang baca,” kata Sugeng, Kamis (14/1). Dia sebut sepeda motor dengan tas berisi buku itu sebagai perpustakaan keliling.

Dengan telaten, lulusan Diploma II Ilmu Perpustakaan Universitas Pokjar, Ponorogo, Jawa Timur, itu mencatat judul buku yang dipinjam setiap anak. Mereka boleh meminjam buku sebanyak-banyaknya untuk dibaca dan dikembalikan pekan depannya.

Seusai menemani anak-anak membaca serta melayani peminjaman buku, Sugeng berkeliling ke gang-gang lain. Anak-anak yang hafal jadwal kedatangannya sudah menunggu di depan rumah. Mereka siap mengembalikan buku lama dan meminjam buku baru.

 

Modal Tekad

Kecintaan Sugeng pada buku sudah muncul sejak kecil saat ia tinggal di Ponorogo. Namun, ia kerap tidak dapat memuaskan hobi membaca. Maklum, di kampung tidak banyak tersedia buku.

“Saya hanya dapat meminjam buku dari perpustakaan sekolah. Itu pun tak bisa di bawa pulang. Saya tidak ingin mereka (anak-anak yang dijumpai Sugeng di Lampung) mengalami nasib seperti saya,” katanya.

Kenangan masa kecil itulah yang menggerakkan pemuda tersebut untuk mengenalkan buku kepada anak-anak di sudut kampung di Lampung yang menjadi daerah perantauannya. Pertanyaan dari seorang tetangga pada suatu sore dua tahun lalu kian mengusik nuraninya.

“Perpustakaan itu apa, Mas?” ujar Sugeng mengenang. Saat itu, ia bertanya kepada seorang warga dimana alamat perpustakaan terdekat. Di luar dugaannya, orang itu bahkan tak paham arti perpustakaan.

“Mendengar jawaban itu, saya semakin yakin harus berbuat sesuatu di desa ini. Saya memulainya dengan memperkenalkan buku,” ujarnya.

Namun, usaha itu bukan soal mudah bagi Sugeng yang sehari-hari bekerja sebagai tukang tambal ban. Pendapatannya tidak menentu. Jika ramai pelanggan, ia bisa mendapatkan uang Rp 40.000 sehari. Jika sebaliknya, ia bisa saja tidak mendapatkan uang sama sekali. Dengan pendapatan sekecil itu, jangankan menyisihkan uang untuk membeli buku, membayar uang sewa rumah dan usaha saja ia tak mampu.

Selama beberapa waktu, ia menumpang usaha tambal ban di bengkel milik slaah satu warga yang membuka usaha reparasi sepeda motor. Ia juga diizinkan untuk tinggal di kios milik warga yang baik hati itu.

Belakangan, kios itu disewa orang sehingga Sugeng harus angkat kaki. Ia terpaksa tinggal di bekas kandang burung merpati yang sudah dibersihkan. Sebenarnya ada sanak keluarga di Lampung, tetapi ia ingin mandiri.

Impiannya memperkenalkan buku kepada anak-anak seperti jauh panggang dari api. Namun, kalau sudah punya tekad, pasti ada jalan. Sugeng menabung beberapa lama hingga terkumpul uang Rp 500.000. Dana tersebut untuk membeli sepeda motor bekas dari tukang rongsokan. Ia merancang sendiri tas besar sebagai rak buku, lalu membeli 60 buku bekas untuk koleksi awal perpustakaan kelilingnya.

Setelah semuanya beres, setiap sore, Sugeng meluangkan tiga jam waktunya untuk menemui anak-anak. Kini, sepeda motor yang menemaninya berkeliling kampung untuk meminjamkan buku ia beri nama “Motor Pustaka”.

Saat pertama kali berkeliling kampung pada Maret 2014, ia sempat dikira pedagang asongan. Banyak warga bertanya, berapa uang yang harus dibayar untuk setiap buku yang dipinjam. “Saya bilang gratis, dan itu membuat warga heran,” ujarnya.

Awalnya, Sugeng kesulitan membujuk anak-anak untuk membaca buku. Namun, kedatangannya setiap sore membuat anak-anak di kampung itu  terbiasa membaca buku. Minat mereka untuk membaca dan meminjam buku Sugeng mulai tampak. Setiap keliling, hampir 30 buku yang dibawanya dipinjam. Bahkan, orangtua mereka pun ikut meminjam buku.

Namun, saat minat warga tumbuh, mereka mulai protes karena buku-buku yang Sugeng bawa selalu sama. Mereka bosan kalau harus membaca ulang buku-buku itu.

Sugeng pun mulai mempublikasikan kegiatannya di berbagai media sosial agar mendapat sumbangan buku. Ia sadar, penghasilannya sebagai tukang tambal ban tak cukup untuk membeli banyak buku baru.

“Saya tak ingin semangat membaca anak-anak dan warga sekitar redup karena buku bacaan yang itu-itu saja. Saya pun memutuskan menggalang sumbangan buku lewat akun Facebook,” katanya.

Usaha itu tak sia-sia. Ia banyak menerima sumbangan buku bacaan dari teman-temannya di dunia maya. Bantuan buku juga ia terima dari sejumlah komunitas membaca di sejumlah daerah.

Kini, buku bacaan koleksinya mencapai 1.800 buku. Jangkauan keliling Sugeng pun lebih luas, dari hanya satu desa menjadi empat desa.

Keinginan Sugeng untuk memajukan warga desa tak sekadar memperkenalkan buku. Ia juga membuka kursus komputer gratis bagi remaja di empat desa tersebut.

 

Kapal Pustaka

Balai desa dimanfaatkan sebagai ruang belajar. Warga pun dengan sukarela meminjamkan komputer jinjing yang dimilikinya. Setiap Sabtu malam, ada sekitar 30 anak yang belajar mengoperasikan komputer.

“Saya mengajak beberapa warga yang mahir komputer untuk menjadi mentor. Anak-anak belajar banyak hal, misalnya mendesain gambar dan mengunggah gambar,” katanya.

Sugeng lalu meminta anak asuhnya untuk mempromosikan produk pertanian warga. “Mereka mulai berani mempromosikan jadung dan padi hasil panen orangtuanya masing-masing. Meski belum sukses menggalang langganan lewat internet, setidaknya mereka belajar,” katanya.

Inisiatif Sugeng untuk memperkenalkan buku dan membuka kursus komputer gratis membuat anak-anak kampung bersemangat belajar. Mereka yang semula berencana merantau ke Jakarta setelah lulus sekolah pun optimistis untuk berusaha di kampung sendiri dengan memnafaatkan kemajuan teknologi.

Saat ini, dengan bantuan donatur, Sugeng tengah memesan sebuah kapal kayu. Menurut rencana, kapal itu akan digunakan untuk mengunjungi pulau-pulau kecil di pesisir Lampung, seperti Pulau Harimau dan Pulau Sebesi, dengan “kapal pustaka”.

Sugeng berharap perpustakaan keliling berkembang di setipa desa di Lampung. Untuk mewujudkan mimpi itu, ia bekerja sama dengan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dengan mendirikan komunitas relawan membaca 15 menit. Sugeng juga melanjutkan Kuliah Strata 1 Perpustakaan di universitas Terbuka Lampung dengan bantuan donatur. “Saya mengajak relawan berkeliling ke sekolah dasar untuk membacakan cerita di depan kelas. Dengan begitu, anak-anak SD terbiasa dengan buku,” ujarnya.

Di benak anak-anak yang kini gemar membaca buku, Sugeng tak ubahnya seorang guru. Pak guru yang telah mengajarkan mereka tentang asyiknya membaca buku dan belajar. Ia menumbuhkan semangat belajar dan minat baca anak-anak dari sudut kampung.

 

SUGENG HARIYONO

▪ Lahir : Ponorogo, 5 Mei 1983

▪ Pendidikan :

  • SD Negeri 1 Karang Patihan, Ponorogo, Jawa Timur
  • SMP Muhammadiyah 4 Balong, Ponorogo, Jawa Timur
  • SMA Negeri 1 Balong, Ponorogo, Jawa Timur
  • D-2 Ilmu perpustakaan Universitas Pokjar, Ponorogo, Jawa Timur
  • Saat ini menempuh studi S-1 Perpustakaan di Universitas Terbuka Lampung

▪ Orang tua : Saptono dan Katirah

▪ Saudara :

  • Siti Nur Kasanah
  • Tri Yudi Setiawan
  • Ahmad Teguh Santoso

UC Lib-Collect

 Kompas. Rabu. 27 Januari 2016. Hal. 16

 

Zahrotur Riyad Menekan Kehamilan Remaja Di Pesisir Batam

Menekan Kehamilan Remaja di Pesisir Batam.Kompas.23 Januari 2016.Hal.16

Zahrotur Riyad (38) kerap ditanya,mengapa dokter gig malah sibuk membantu remaja agar sadar kesehatan reproduksi . Apalagi , ibu tiga anak itu juga kerap ahrus mengeluarkan uang yang jumlahnya tidak sedikit untuk menjangkau remaja di pulau-pulau pesisir Batam,Kepulauan Riau, yang menjadi sasaran kepanyenya.

 

OLEH KRIS RAZIANTO MADA

 

“Saya tidak ingin ikut menjadi hakim tanpa memberi penyelesaian apa pun. Lebih baik saya melakukan sesuatu.Kalau belum terjadi, saya ingin ikut mencari solusi ke depan agar bisa lebih baik,” tutur istri Ahmad Khalis Tontowi itu.

Ia tengah membahas fenomena kehamilan dini dan hubungan badan pra nikah yang marak di kalangan remaja Kecamatan Galang,Batam. Setiap tahun, banyak pelajar berhenti sekolah karena hamil.

“Saya pernah diajak memeriksa ke SMA.Hasilnya ada 10 orang hamil dan banyak lagi sudah terbiasa berhubungan badan ,” ujar dokter gigi di Puskesmas Galang, puskesmas yang melayani warga 40 pulau di pesisir Batam,itu.

Untuk remaja itu, persoalan tidak selesai dengan hanya menuding mereka tidak bermoral menuding mereka tidak bermoral.Bahkan , penghakiman tanpa upaya pendampingan justru hanya akan memperparah keadaan .

Tidak jarang pelajar yang kedapatan hamil dikeluarkan dari sekolah.Keputusan itu membuat remaja tersebut tertimpa masalah berkali-kali ,Sebab,remaja itu kehilangan kesempatan menuntut ilmu.Pelajar itu juga akan dipaksa menjadi orangtua dalam usia dini dan tanpa pengetahuan soal berkeluarga atau merawat anak.

“ Saya merasa ikut bertanggung jawab ,Sebagai tenaga kesehatan dan sebagai ibu, saya merasa tidak bisa diam melihat fenomena yang meluas di pulau-pulau itu.Remaja melakukan hal yang belum selayaknya di usia mereka.Saya harus melakukan sesuatu,” tutur lulusan Universitas Airlangga ,Surabaya , ini.

Pemikiran itu yang membuatnya menghidupkan lagi Program Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) di Puskesman Galang. Meski bukan dokter kandungan ,ia bersedia menangani program yang membuatnya bertemu banyak pelajar di pulau-pulau pesisir Batam.

 

Konselor Remaja

            Apa yang dilakukannya dalam PKPR diceritakan di sela pelayaran dan perjalanan ke Pulau Air Raja,salah satu pulau pesisir timur Batam . Diperahu kayu yang mengantar ke Pulau Air Raja , ia menyusun tas berisi peralatan pemeriksaan kesehatan gigi.Semua peralatan dibawa dari tempat praktik pribadinya.

Peralatan itu harus dibawa Karena Zahro mau memberikan pelayanan kesehatan untuk warga pulau.Sebelum pengobatan untuk warga dimulai,ia mampir ke SMA di pulau itu.Di SMA itu,ia bertemu dengan sejumlah pelajar yang tergabung dalam Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK – KRR) . Zahro membina 12 PIK-KRR di seluruh Galang.

“Ada di SMA,MTS, dan SMP, Anggota PIK- KRR menjadi konselor sebaya untuk pelajar ,” ujar perempuan asal Lumajang Jawa Timur,itu

Secara rutin,Zahro menemui PIK- KRR di setiap sekolah secara bergantian.Dalam pertemuan ,Zahro menanyakan perkembangan kegiatan PIK-KRR . Ia juga memberikan tambahan pengetahuan soal kesehatan reproduksi remaja.

“ Mereka akan menyampaikan kerekan-rekannya soal bahanya hubungan badan pra nikah dan kehamilan di usia dini. Mereka menyampaikan dalam bahasa sesame remaja,”tuturnya.

Kampanye dengan bahasa formal,menurut dia,akan sulit diterima remaja itu.Bahkan,amat mungkin mereka justru menolak jika kampanye disampaikan secara hitam putih dengan gaya birokrat atau guru.

“Tahu-tahu menyatakan tidak boleh,haram .Tidak bisa seperti itu. Akan lain kalau disebarkan  dengan behasa sesama remaja,”ujarnya.

Penyebaran itu diharapkan membuat remaja di pesisir Batam sadar tentang bahaya hubungan badan di usia dini bisa berkurang.Dengan cara itu,diharapkan pelaku hubungan badan usia dibi bisa berkurang .

“Memang sampai sekarang masih terus ada kasus baru.Karena itu,saya dan rekan-rekan konselor sebaya justru harus bekerja lebih keras,”katanya

Apabila ada persoalan terlalu berat, seperti ada yang sudah terlanjur hamil.Zahro turun tangan . Untuk mereka, fokus Zahro adalah pendampingan agar siap berkeluarga di usia dini.

“Menurut undang-undang,mereka masih anak-anak dan sama sekali tidak punya pengetahuan tentang bagaimana menjadi orangtua. Akan seperti apa kalau mereka tetap dibiarkan tidak tahu dan tanpa pendampingan ,”tuturnya.

Zahro menekankan soal menghindari kekerasan dalam rumah tangga,cara mengasuh anak,dan komunikasi pasangan.Mereka juga dirujuk untuk rutin memeriksakan kehamilannya.

“Banyak remaja hamil tidak melapor ke bidan atau puskesmas Karena mereka ingin menyembunyikan itu.Kondisi ini justru membahayakan janin dan ibunya,”ungkapnya.

 

Layanan Gratis
                Memang,tidak setiap saat Zahro bisa bertatap muka dengan para konselor sebaya ataupun remaja yang menjadi korban pergaulan . Sebagian besar tinggal di pulau-pulau pesisir Batam dengan akses ternsportasi terbatas.

          Untuk ke sana,sering Zahro harus menyewa perahu jika tidak ada perahu tambang umum.Ia tak bisa mengandalkan anggaran dari pemerintah Karena memang tidak ada anggaran khusus untuk kegiatannya.

Dana kegiatan itu diusahakannya sendiri.Honor dari praktiknya ,hasil berdagang,dan honor sebagai pembicara disisihkan untuk membiayai kegiatan itu.

“Untung suami bisa mengerti dan menyokong saya,”ujarnya.

Setiap sore di hari kerja ,Zahro memang masih praktik mandiri.Praktik dilakukan setelah jam kerja sebagai warga Puskesmas Galang Berakhir

“Saya tidak selalu berada di puskesmas.Kadang pelayanan kesehatan gigi diberikan di dermaga atau warung sembari menungggu perahu datang.Harus seperti itu Karena tidak setiap warga pulau bisa datang ke puskesmas.Kalau saya kebetulan di pulau,sekalian memebrikan pelayanan kesehatan,”tuturnya.

Sebagian penerima layanan kesehatan menyerahkan kartu BPJS kesehatan sehingga biaya pelayanan mereka diklaim.Namun kerap kali,layanan itu diberikan secara gratis.Hal itu antara lain dilakukan di SD Air Raja.Di sana,ia memberikan penyuluhan dan pelayanan kesehatan gigi gratis untuk pelajar SD.

Zahro mencabut gigi sejumlah pelajar di SD itu tanpa memungut bayaran apa pun. “ Saya masih dikasih rezeki dari sumber lain .Saya dan suami sudah sepakat,kami harus bermanfaar untuk orang lain,” tutrnya yang mengajarkan sikap ini kepada tiga anak-anaknya.

 

ZAHROTUR RIYAD

 

  • Lahir : Lumajang,19 Juli 1978
  • Pendidikan :
    – Fakultas Kedokteran Gigi Unuversitas Airlangga
    – SMAN 2 Lumajang
  • Aktivitas Sosial :
    – Penanggung Jawab PKPR Puskesmas Galang
    – Direktur Lembaga Kesehatan PWNU Kepulauan Riau
    – Staf Ahli Kesehatan Mushlimat NU Kepulauan Riau.

UC Lib – Collect

Kompas , 23 Januari 2016

Yusqon Mencerdaskan Warga di Terminal

Mencerdaskan Warga di Terminal.Kompas.30 Januari 2016.Hal.16

Mengajar di sekolah menengah kejuruan negeri di Kota Tegal, Jawa Tengah, belum memuaskan Yusqon. Pria berusia 50 tahun itu ingin berbuat lebih banyak untuk mencerdaskan masyarakat. Ia pun menggelar pendidikan usia dini, kursus komputer, dan taman bacaan di Terminal Tegal.

OLEH SIWI NURBIAJANTI

 

Yusqon tinggal di Kelurahan Panggung, Kecamatan Tegal Timur, Kota Tegal. Sehari-hari ia bekerja sebagai guru SMK Negeri 2 Tegal. Ia meyakini, secara prinsip seorang guru belum menemukan rohnya sebagai pendidik apabila belum mengabdikan diri sepenuhnya untuk pendidikan. Mengabdi dalam arti memikirkan dan bergerak demi mencerdaskan masyarakat.

Berangkat dari prinsip itu, ia bergerak mengembangkan pendidikan anak usia dini (PAUD), pendidikan kursus komputer, dan membuat taman bacaan masyarakat (TBM). Ia tidak bermaksud mengejar keuntungan. Itu bisa dilihat dari sasaran peserta didik yang ia bidik, yakni anak-anak dari keluarga kurang mampu.

Ia menggelar pendidikan berbiaya sangat murah di terminal Kota Tegal. Untuk PAUD, seorang anak hanya membayar Rp 1.000 sekali datang. Sementara untuk kursus komputer, peserta hanya perlu membayar Rp 3.000-Rp 5.000.

Adapun TBM di Terminal Kota Tegal dibuka untuk publik secara gratis. Dia ingin agar para pedagang asongan dan orang-orang yang bekerja di terminal berkesempatan membaca buku. Dengan begitu, mereka bisa memperoleh tambahan ilmu pengetahuan.

 

Sejak tahun 1995

Usaha Yusqon bermula tahun 1995 saat menjadi guru honorer di salah satu SMK swasta di Kota Tegal. Saat itu, dia tinggal di lingkungan padat penduduk dan dipercaya sebagai ketua rukun tetangga (RT). Awalnya dia membuka kursus komputer dan akuntansi di rumahnya.

Yusqon sendiri yang mengajar akuntansi karena dia lulusan sarjana pendidikan akuntansi. Kursus komputer ditangani istrinya, Sismiyati (48), yang merupakan sarjana komputer. Perempuan itu juga menjadi guru di sebuah SMP di Tegal.

Tak ada patokan biaya kursus. Untuk biaya operasional, siswa memberikan iuran sukarela yang dimasukkan ke kaleng. Peserta kursus sekitar 6 orang dan berasal dari keluarga kurang mampu.

Tahun 2008, Yusqon tergerak membuat PAUD. Awalnya dia memanfaatkan bangunan milik warga untuk menggelar pendidikan usia dini. Dengan bantuan kerabatnya, dia membeli bangunan itu. Lembaga pendidikan itu dia beri nama PAUD Sakila Kerti (Kecerdasan Hati).

PAUD ini juga diperuntukkan bagi masyarakat kurang mampu. Sebagian besar gurunya adalah warga sekitar yang mampu mengajar. Karena kebanyakan peserta didiknya dari keluarga tidak mampu, dia tidak mematok biaya tertentu. Satu siswa membayar Rp 1.000 sampai Rp 2.000 untuk sekali datang.

Para siswa tidak dipaksa memakai seragam. “Jika anak-anak dari keluarga tidak mampu dipaksa pakai seragam, mereka tidak bisa sekolah,” ujar Yusqon saat ditemui, Selasa (12/1).

Awalnya, bangunan untuk PAUD juga sekaligus dijadikan tempat kursus komputer dan akuntansi, Kegiatan PAUD digelar pada pagi hari, sedangkan kursus pada siang hari. Seiring waktu, PAUD kian membutuhkan dana. Yusqon pun membuka dua jenis kelas, yaitu kelas siswa dari keluarga mampu dan kelas siswa dari keluarga kurang mampu.

Siswa dari keluarga mampu membayar Rp 125.000 per bulan. Selain untuk biaya operasional, dana itu juga untuk menyubsidi kebutuhan siswa dari keluarga kurang mampu.

Berkembang

Saat ini, jumlah siswa PAUD Sakila Kerti sebanyak 70 anak. Sekitar 60 persen di antaranya berasal dari keluarga pedagang kaki lima, buruh cuci, tukang bersih makam, tukang potong ayam, juga tukang becak.

Lembaga pendidikan itu kini memiliki beberapa fasilitas, seperti ruang belajar, bermain, bahkan kolam renang berukuran sekitar 32 meter persegi. Semua siswa, tidak terkecuali, bisa menikmati semua fasilitas tersebut. Sejak berdiri hingga sekarang, sudah ada 150 lulusan.

Pada perkembangannya, Yusqon memindahkan lokasi kursusnya sehingga tak lagi bergabung dengan tempat PAUD. Bersama saudara-saudaranya, dia membeli rumah lain tak jauh dari situ dengan mencicil.

Semua bangunan itu berada di gang-gang yang hanya bisa dilalui sepeda motor atau sepeda. Kebanyakan peserta kursus komputer adalah mereka yang tinggal di gang-gang itu.

Semua sarana komputer disediakan Yusqon. Kursus digelar setiap Jumat dan Sabtu, di luar aktivitas Yusqon dan istrinya sebagai guru di sekolah. Lulusan kursus mendapat sertifikat.

 

Taman bacaan

Di tempat kursus itu, Yusqon juga membuat TBM Sakila Kerti yang dibuka secara gratis untuk warga setempat. Taman ini menyalurkan niatnya memberikan kesempatan bagi khalayak luas untuk membaca buku-bukunya.

“Sebah, dengan buku itu saya bisa berbagi ke masyarakat,” ujarnya.

Yusqon juga membuat TBM di dalam kompleks Terminal Kota Tegal. Tujuannya, pengasong, kernet, dan masyarakat yang beraktivitas di terminal juga bisa menambah ilmu dengan membaca.

Awalnya, koleksi buku di TBM Sakila Kerti di lokasi kursus dan di Terminal Kota Tegal hanya ratusan buku. Dengan bantuan dari berbagai pihak, jumlah bukunya mencapai ribuan.

Ada 11 orang yang membantu Yusqon mengelola PAUD, TBM, dan tempat kursus. Merkea digaji dari kegiatan usaha serta dari kantong pribadi Yusqon dan istri.

 

YUSQON

▪ Lahir : Tegal, 9 April 1965

▪ Istri : Sismiyati (48)

▪ Anak :

  • Yuanisa Aisanafi (23)
  • Muhammad Ilham
  • Mujadid Amarahman (17)

▪ Pekerjaan : Guru SMK Negeri 2, Tegal (PNS)

▪ Pendidikan :

  • S-1 Pendidikan Keguruan Jurusan Akuntansi Universitas Muhammadiyah Surakarta (lulus 1989)
  • S-2 Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Semarang (lulus 2003)
  • S-3 Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Semarang (lulus 2010)

▪ Penghargaan :

  • TBM Kreatif Rekreatif dari Kementrian Pendidikan, 2012
  • Penghargaan dari Gubernur Jawa Tengah dalam penulisan karya nyata Pengelola Lembaga Kursus dan Pelatihan (LKP), 2011
  • Kepala SMK Berprestasi Kota Tegal, 2013 (saat menjabat kepala sekolah di SMK Ihsaniyah Kota Tegal)

UC Lib-Collect

Kompas. Sabtu. 30 Januari 2016. Hal.16

IrhamTo Memberdayakan Desa dengan Kincir Air

Memberdayakan Desa dengan Kincir Air.Kompas.28 Januari 2016.Hal.16

Pendidikan rendah bukan penghalang bagi seseorang untuk berguna bagi sekitarnya. Tanpa pemahaman rumit rumus-rumus matematika dan fisika, Irhamto (36), pemuda di pelosok Banjarnegara, Jawa Tengah, membuat kincir sederhana untuk mengalirkan air bagi ribuan jiwa.

OLEH GREGORIUS MAGNUS FINESSO

 

Suatu siang, medio 2012, Irhamto menemukan titik balik dalam hidupnya. Saat itu ia hendak menumpang shalat Dzuhur di rumah kerabatnya di Desa Mertasari, Kecamatan Purwonegoro. Namun, tak ada air yang bisa ia gunakan untuk wudu. Padahal, tak jauh di bawah pemukiman warga, gemercik air terdengar jelas dari aliran sungai.

“Tidak ada air setetes pun. Untuk wudu, harus jalan kaki hingga 1 kilometer jauhnya menuju sungai di lereng bukit di bawah pemukiman,” ujarnya mengenang pengalaman tiga tahun silam.

Kegusaran Irhamto memuncak saat menyaksikan warga lanjut usia harus bolak-balik ke sungai dengan melintasi lereng jalan curam nan terjal demi mengangkut air dengan jeriken. Acap kali, mereka terpeleset dan terjatuh di jalan gelap dan licin.

Sulitnya mendapatkan air di Desa Mertasari memberatkan kehidupan warga. Hampir lima jam sekali, mereka harus bolak-balik turun-naik sungai untuk mengambil air. Ini tentu menyita banyak tenaga dan waktu. Akibatnya, produktivitas warga minim dan perekonomian lambat.

Tergerak dengan kondisi itu, Irhamto mulai saksama memperhatikan lingkungan di desa itu. Dia gemas. Desa ini sebenarnya dikelilingi aliran sungai dengan debit 30 liter per detik, tetapi warga justru sulit memanfaatkannya.

Kondisi itu terjadi karena posisi sungai jauh lebih rendah dibandingkan permukiman warga. Jaraknya lebih kurang 2 kilometer dengan beda ketinggian 200 meter.

Dari situ, terbesitlah ide untuk merangkai sebuah mesin sederhana yang dapat menaikkan air dari sungai ke atas. Hal itu dilakukan untuk mendekatkan limpahan air yang sehari-hari hanya dilihat warga tanpa mereka bisa menikmatinya.

 

Akrab dengan kegagalan

Irhamto bukanlah insinyur lulusan perguruan tinggi. Ia hanya memegang ijazah SMP yang diperolehnya melalui ujian persamaan Paket B. Selain itu, dia tujuh tahun hidup di pesantren. Sehari-hari, dia bertani kentang. Namun, kondisi itu tak menghambatnya untuk berbuat sesuatu bagi warga desa.

Ia bersemangat untuk belajar bagaimana membuat mesin yang bisa mengangkat air. Ia membuat kincir air dan berkali-kali gagal. Uang jutaan rupiah untuk riset dan membuat kincir pun menguap begitu saja. Namun, dia tidak kapok untuk mencoba dan mencoba lagi.

Berkat kegigihannya, awal 2013 Irhamto berhasil membuat kincir air pertamanya. Kincir air itu sederhana saja. Aliran air sungai dibendung agar lebih tenang. Selanjutnya, air dialirkan ke pipa utama, lalu masuk ke pipa sekunder yang memiliki beda ketinggian 200 meter.

Air yang deras kemudian memutar turbin dengan 16 penampang dan selanjutnya menggerakkan pompa piston. Pompa ini yang mampu menggerakkan air ke atas hingga sejauh 2 kilometer dengan ketinggian vertikal 300 meter. Air kemudian ditampung sebelum dialirkan ke rumah-rumah warga.

“Saya terinspirasi mesin pompa diesel yang banyak digunakan petani di Dieng untuk menyedot air. Hanya saja, saya berpikir untuk mengganti bahan bakar solar dengan aliran air yang deras,” ujar ayah dua anak itu.

Dari debit sungai 30 liter per detik, air yang terpompa mencapai 25 liter per menit. Artinya, dalam sehari dihasilkan sekitar 36.000 liter air.

Sukses membangun kincir pertamanya di Desa Mertasari, Irhamto mulai mengembangkan teknologi yang sama di beberapa desa lain.  Kincir-kincir itu dibagun di Desa Kepakisan, Kecamatan Batur, Desa Glempang, Kecamatan Mandiraja, dan Desa Winong, Kecamatan Bawang.

Kini, ribuan warga di ketiga desa tersebut bisa menikmati air yang diangkat kincir ciptaan pemuda itu. Tidak hanya memenuhi kebutuhan sehari-hari warga, kincir itu juga digunakan untuk keperluan pertanian dan perikanan.

Di Desa Glempang, puluhan rumah tangga menggantungkan perekonomian dari pembesaran ikan lele. Namun, mereka selalu terhambat pada penyediaan air untuk mengisi kolam-kolam ikan. Padahal, sumber air bukannya tidak ada yang dekat dengan lokasi desa. Hanya saja, posisinya berada dibawah kolam-kolam milik warga.

Warga di desa yang mendapatkan air dari kincir tenaga hidro itu juga berlatih mengelola manajemen pengairan secara swadaya. Mereka membayar iuran untuk perawatan instalasi kincir dan pipa. Mereka tak bergantung pada infrastruktur PDAM. Untuk menjaga agar tidak cepat rusak, warga mengatur operasional kincir.

“Saya menyerahkan mekanisme manajemennya kepada warga. Tetapi, untuk perawatan alat, saya terus mendampingi mereka,” katanya.

Pemuda-pemuda di desa dilibatkan dalam membuat kincir. Mereka biasanya membuat komponen-komponen kincir di rumah Irhamto sebelum dipasang di lokasi.

 

Batubana

Irhamto menamai kincir buatannya dengan nama Batubana, singkatan dari Batur Banjarnegara. “Saya ingin mengangkat nama tempat kelahiran saya di Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara,” ucapnya sembari tertawa.

Kincir kreasi Irhamto pun mendapat apresiasi pada anugerah Kreai dan Inovasi Masyarakat (Krenova) tingkat Kabupaten Banjarnegara pada 2013. Setahun berikutnya, dia kembali mendapat juara pertama Krenova untuk tingkat Provinsi Jawa Tengah.

Hadiah menjuarai Krenova itu digunakan untuk membuat kincir air tenaga hidro di tempat lain. Maklum, biaya pembuatan kincir masih cukup mahal, berkisar Rp 45 juta sampai Rp 75 juta per unit.

Jiwa membangun desa memang lekat pada pemuda kelahiran Dataran Tinggi Dieng itu. Di antara aktivitas bertani kentang. Irhamto tetap bersemangat menjadi personel pengamanan swakarsa pariwisata Kompleks Dataran Tinggi Dieng.

Kini, lewat kincir Batubana, Irhamto berharap bisa memperluas jangkauannya berkarya. Dia tengah mengajukan proposal ke Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi untuk membangun 11 kincir serupa di desa lain di seluruh Nusantara.

“Masih banyak warga desa yang dekat dengan sumber air tanpa bisa menikmatinya. Saya ingin sedikit meringankan beban mereka,” ujarnya.

Selain mengangkat air, kincir Batubana kreasi Irhamto juga mampu menghasilkan listrik tenaga mikrohidro dengan daya 2 kilowatt. Kincir tenaga hidro Batubana karya Irhamto telah dipatenkan di Kementrian Hukum dan HAM. Dia membuktikan, pengetahuan tidak semata lahir dari bangku sekolah, tetapi juga eksplorasi tanpa henti di lapangan.

 

IRHAMTO

▪ Lahir : Banjarnegara, 20 Juli 1979

▪ Pendidikan Formal : SD Negeri Karangtengah, ujian persamaan Paket B (tingkat SMP)

▪ Istri : Ruminah (36)

▪ Anak :

  • Faqih Al Fajar (12)
  • Rahma (6)

▪ Penghargaan :

  • Juara 1 Kreasi dan Inovasi (Krenova) tingkat Kabupaten Banjarnegara (2013)
  • Juara 1 Krenova tingkat Provinsi Jawa Tengah (2014)
  • Mewakili Jawa Tengah pada Ristek Expo Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi di Jakarta (2015)

▪ Aktivitas : Ketua Pengamanan Swakarsa Pariwisata Kawasan Dataran Tinggi Dieng

UC Lib-Collect

Kompas. Kamis. 28 Januari 2016.Hal. 16

 

Rubama Muhammad Membebaskan Diri dari “Jerat Bantuan”

Membebaskan diri dari jerat bantuan.Kompas.29 Januari 2016.Hal.16

Setahun hidup dari kemurahan lembaga donor korban gempa dan tsunami, Rubama Muhammad (31) mulai resah. Resah karena warga kian bergantung pada bantuan lembaga – lembaga itu. Dia ingin warga hidup mandiri seperti sebelum bencana. Lewat sampah, cita – cita itu diperjuangkan.

 

OLEH ZULKARNAINI

Saat bencana gempa dan tsunami akhir tahun 2004 melanda Aceh, Desa Nusa, Lhoknga, Aceh Besar, tak luput dari amukan gelombang raksasa. Rumah Rubama beserta ratusan rumah warga lain rusak parah. Tiba – tiba saja mereka kehilangan tempat tinggal.

Rubama bersama warga lain terpaksa mengungsi ke barak. Selama di barak, warga mendapat bantuan dari pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat. Bantuan mengalir deras memembuat warga terbiasa hidup dengan tangan di bawah.

Satu setengah tahun kemudian, ketika warga Nusa kembali ke kampung, mereka masih mendapat bantuan. Hal ini membuat Rubama resah.

“Saya khawatir saat masa rehabilitasi usai dan bantuan berhenti, warga tidak bisa bertahan hidup karena sudah terbiasa menerima bantuan,” kata Rubama, Rabu (13/1), di rumahnya di Desa Nusa.

Perempuan itu pun bertekad mencari jalan keluar dari “bantuan yang melenakan”. Akhir 2005, bermodalkan semangat dan sedikit pengetahuan, Rubama mengajak warga untuk mengelola sampah rumah tangga menjadi barang yang bermanfaat. Awalnya Rubama mendapat pelatihan mengelola sampah berbasis desa dari satu lembaga swadaya masyarakat.

Seusai pelatiah , dia kumpulkan ibu-ibu di desa, sekitar 35 ibu rumah tangga bergabung. Buat Rubama, itu pertanda di awal langkah menuju kemandirian. Mereka sepakat memberi nama kelompok itu sebagai Nusa Creation Community (NCC). Namun seiring waktu, anggotanya menyusut tinggal 15 orang.

Rubama merelakan rumah panggungnya dijadikan pusat kegiatan NCC Di ruang depan, berserakan beraneka ragam sampah rumpah tangga. Sebagian sudah berbentuk barang, seperti vas bunga, tas, sandal, dan kotak tisu. Anggota komunitas dilatih untuk mengenal sampah dan memilahnya. Sampah itu lantas diolah menjadi berbagai macam kerajinan yang bisa dimanfaatkan untuk keperluan sehari – hari.

Ada 22 produk kreasi NCC dengan bahan baku sampah, seperti kotak tisu, tas, bunga, sandal, dan tempat pensil. Sampah yang semula dianggap tak berguna di tangan mereka kini menjadi bermakna. Hasil kerajinan itu kemudian dijual.

Harganya bervariasi, bergantung pada besar kecil barang, besaran modal, dan tingkat kesulitan pembuatan.  Secara umum, harga kerajinan buatan NCC berkisar Rp.1.000 hingga Rp.300.000 per unit. Dalam sebulan, tak kurang dari 200 produk dihasilkan.  Semua itu dikerjakan di rumah atau sambil menjaga sawah dari serangan burung pipit.

Sekitar 90 persen uang dari hasil penjualan menjadi hak anggota sebagai pemilik barang, sedangkan 10 persen masuk kas NCC. Ka situ digunakan untuk pengembangan anggota dan belanja peralatan, seperti lem, gunting, dan alat menjahit.

Produk NCC dipasarkan ke sejumlah daerah di Aceh. Promosi memanfaatkan media social dan berpartisipasi dalam pameran kerajinan serta produk usaha kecil menengah. Saat ini mereka kerap diminta membuat souvenir dan tas seminar.

Pada tahun 2015, ada pesanan 1.500 tas untuk peserta pelatihan. Namun, NCC hanya mampu mengerjakan 600 tas. “Dengan anggota 15 orang, kami tidak sanggup membuat tas sebanyak itu,” ujar Rubama.

Setiap Rabu, anggota NCC berkumpul. Mereka saling berbagi pengalaman. Tidak ada topic khusus yang dibicarakan pada pertemuan rutin itu. “Yang penting kami ngumpul. Biasanya dari sana banyak timbul ide membuat kreasi produk baru,” katanya.

Pertemuan rutin itu, lanjut Rubama, juga mempererat hubungan antar anggota komunitas. Anggota tak pernah dibatasi dalam berinovasi untuk melahirkan produk yang berkualitas. Setiap anggota memiliki keahlian tersendiri. Ada anggota yang mahir membuat bunga berbahan kulit jagung, tetapi belum tentu dia bisa membuat kotak tisu berbahan daun cemara. Karena itu, mereka saling berbagi ilmu.

Dari kegiatan tersebut, kata Rubama, setidaknya ibu-ibu punya penghasilan sendiri. “Saat anaknya minta uang jajan, sudah tahu dia ambil dimana,” katanya.

 

Bank Sampah

Gerakan kerajinan berbahan sampah telah membidani lahirnya Bank Sampah Nusa (BSN). BSN dikelola oleh anak – anak Nusa usia sekolah dasar. Tak ubahnya bank umum lainnya, mereka juga memakai buku tabungan. Namun, yang tercatat disana bukan berapa saldo uang, melainkan saldo sampah. Sampah yang ditabung oleh anak-anak sebagian dijadikan bahan baku pembuatan kerajianan.

“Sampah yang dikumpulkan oleh nasabah dibeli seharga Rp.3000 sampai Rp.7000 per kilogram. Namun, mereka baru boleh menarik uangnya minimal enam bulan sekali,” kata Rubama.

Anak-anak yang menjadi nasabah BSN dilarang mencari sampah hingga ke luar kampung. Sampah yang mereka tabung berasal dari konsumsi sendiri, di rumah, dan menemukan di jalan.

“Kalau mencari sampah tak ubanhya seperti pemulung. Kami buat bak sampah untuk mendidik anak-anak agar menjaga lingkungan, bukan mencari uang,” ujar Rubama.

Saat ini anggota NCC kerap diundang ke sejumlah kabupaten dan kota di Aceh untuk menularkan semangat mengelola sampah berbasis masyarakat.

RUBAMA MUHAMMAD

  • Lahir :  Nusa,  Aceh Besar, 17 Agustus 1985
  • Pendidikan :  S-1 di UIN Ar-Raniry, Banda Aceh
  • Aktivitas :  Pendiri Nusa Creation Community (NCC)
  • Penghargaan :  Perempuan Inspirasi Nova (2013) kategori Perempuan dan Lingkungan

 

UC-Lib Collect

Kompas, Jumat, 29 Januari 2016

 

Maharani Membuat Pupuk dari Batuan Vulkanik

Maharani Membuat Pupuk dari Batuan Vulkanik. Kompas. 12 Januari 2016. Hal 16

Maharani

Apa yang tidak mungkin menjadi kenyataan bukanlah permain kata bagi Maharani (35). Dengan semangat, rasa ingin tahu, dan percaya diri yang besar, lelaki warga Lingkungan Tiwusasem, Kelurahan Renteng, Praya, ibu kota Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, ini membuat pupuk organik cair untuk tanaman panagn dan hortikultura berbahan alami yang agak tidak umum buat kalangan awam. Ia menggunakan batuan silikat.

Oleh Khaerul Anwar

             “Jangankan masyarakat awam, kalangan intelektual pun bilang, hah… pupuk dari batuan… mimpi kali…?” begitu sementara kalangan merespons idenya. Namun, ia berupaya merangkai mimpinya dengan fakta. Logika berpikirnya sederhana, tanah berasal dari bantuan yang melapuk jutaan tahun silam. Tanah karunia Ilahi kepada manusia itu memiliki unsul hara lengkap sebagai sumber makanan dan tumbuh kembang berjenis-jenis tanaman.

Tahun 2005-2009, Maharani yang memiliki basis pendidikan ilmu tanah melakukan riset dan mengumpulkan batuan antara lain berasal dari gunung api di Kanada, Amerika, Gunung Merapi (Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta), Gunung Ijen (perbatasan Banyuwangi-Bondowoso, Jawa Timur), Gunung Agung (Bali), dan Gunung Rinjani (Lombok).

Batuan-batuan itu diteliti kandungan unsur hara oleh mitra kerjanya, seorang dosen Fakultas Pertanaian Universitas Mataram. Hasil penelitian menunjukkan batuan Gunung Rinjani, selain memiliki unsur hara makro dan mikronya, juga ada plusnya, yaitu sangat banyak kandungan silika (Si)-nya. Setelah dialami, fungsi Si diketahui dipakai untuk bahan produksi kecantikan, obat-obatan, dan industri elektronik. Si juga bisa dijadikan sebagai bahan induk yang memberikan ketahanan alami, kualitas, dan kualitas produksi tanaman.

Untuk penelitian itu, Maharani merogoh kocek untuk biaya transportasi, membuat demplot penelitian di seputar areal sawah penduduk. Uang itu didapat dari jasa membantu penelitian para dosen, juga menyisihkan uang saku dari orangtuanya.

Pupuk cair

Proses pembuatan pupuk cair sebetulnya sederhana. Dari bahan baku yang menggunakan batuan di sekitar Gunung Rinjani di Desa Akar-akar, Lombok Utara, kemudian ditumbuk menjadi tepung. Alat tumbuh yang digunakan merupakan batuan perajin di Mataram. Setelah jadi tepung, lalu menjalani proses pelarutan dengan dimasukkan ke air yang dicampur formula khusus guna melepas kandungan makanan dalam batuan itu.

Campuran unsur hara batuan dan formula itu keluarnnya dalam bentuk pupuk cair, setelah menjalani proses pelaruta selama dua jam. Kinci produk pupuk itu pada formula serta proses penumbukannya memerlukan teknik khusus. Untuk menumbuk batuan itu, misalnya, diperlukan waktu 30 menit. Pupuk bermerek dagang SiPlus itu kini dipakai untuk kalangan interen kelompok tani, dengan produk 500.000 liter setahun, dijual Rp 40.000 per liter. Pupuk itu telah lulus uji mutu oleh Kementerian Pertanian dan kini masih menunggu nomor pendaftaran produk agar bisa diedarkan di pasaran umum.

Akan tetapi, dari hasill uji coba di beberapa tempat di NTB, pupuk ini memenuhi syarat-syarat kelayakan. Indikasinya, produksi gabah di tanah garaman tanpa SiPlus bisa memproduksi 6,4 ton per hektar. Dengan SiPlus yang dikombinasi pupuk lain menghasilkan hampir 9 ton. Dari segi efisiensi, pupuk ini menghemat pembelian sarana produksi, juga mengurangi cara boros sistem pemupukan dengan ditebar. Pasalnya, 1 kuintal pupuk urea yang ditebar hanya 20 persen diserap tanah. Sisanya terbuang percuma karena menguap ataupun larut oleh air.

“Teori pemupukan adalah pupuk ditebar ke dalam tanah, lalu diserap akar dan dibawa ke daun untuk’digodok’. Setelah ‘masak’ dann jadi makanan, pupuk itu dikirim sebagai nutrisi ke seluruh oragn tanaman. Sekarang kita balik, pupuk cair itu langsung ‘disuapi’ ke ‘mulut’-nya (daun),” ungkap Maharani.

Dengan pupuk cair yang dikombinasi pupuk lain, misalnya pupuk urea, penggunaan pupuk urea sebanyak 4 kuintal per hektar bisa ditekan menjadi 50 kilogram. Artinya, penggunaan pupuk organik itu dapat meningkatkan produksi dan efisiensi biaya proses produksi usaha tani. Nyaman bekerja di luar kantor, Maharani, Direktur Lombok Research Center, melepas “baju” pegawai negeri sipil tahu 2009 sebagai peneliti di Pusat Penelitian dan Pengembangan Lahan Kering Tropika Universitas Mataram. Ia membantu dan mendorong masyarakat desa di NTB menanam gahara atau ketimun (sasak lombok).

Ia juga diundang ke Batam, Semarang, Jawa Tengah, dan Malang, Jawa Timur, menjadi konsultan budidaya gaharu, termasuk memosok kebutuhan bibit gaharu bagi daerah-daerah itu. Ia tidak segan menggunakan uang sendiri untuk membeli bibit gaharu, kemudian dibagikan gratis kepada petani. Ias tidak pelit dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, seperti ketika ia kedatangan petani Kabupaten Sorong, Papupa Barat, ke Lombok untuk menimba ilmu kepadanya. Ia tidak sekedar berteori, tetapi juga mengimplementasikan teori dengan kondisi di lapangan. Waktunya 60 persen-70 persen tersita di lapangan untuk mendampingi petani, berdiskusi seputar usaha tani yang berkaitan dengan cara-cara bertani ramah lingkungan.

Maharani juga menyew 1 hektar lahan di Desa Timbanuh, Lombok Timut, untuk ditanami cabai. Kemudian 1 hektar lagi di Desa Kutaraja, Lombok Timur, ditanamai jeruk dan jahe. Lahan dikelola empat warga, sedangkan benih tanaman dibeli Maharani. Hasil penjualan cabai, misalnya, dibagi sebagian untuk pengelola dan 50 persen untuk Maharani.

Maharani

Lahir                : Praya,16 Agustus 1980

Pekerjaan         : Peneliti di Lombok Research Center

Istri                  : Baiq Titis tini Yulianty

Anak               : Dafiqazzahra Almahira dan Emir Dzaki Abbas

Orangtua         : H Muksin-Hj Rukakyah

Pendidikan      : SDN Tiwuasem, Praya lulus (1992), SMPN Praya, lulus 1995, SMAN Praya,

lulus 1998, Fakultas Pertanian Universitas Mataram Jurusan Ilmu Tanah,   lulus 2005, pendidikan S-2 Jurusan Agronomi Universitas Negeri Jember, Jawa Timur, lulua 2009.

Penghargaan    : SATU Indonesia Award PT Astra International (Tbk), tahun 2004.

 

Sumber: Kompas, Selasa, 12 Januari 2016

Koo Siu Ling Melacak Leluhur Melalui Makanan

Koo Siu Ling Melacak Leluhur Melalui Makanan. Kompas. 8 Januari 2016. Hal 16

Koo Siu Ling

Makanan bukan hanya soal kebutuhan badan. Makanan juga menjadi identitas. Identitas sebuah suku, sebuah komunitas, hingga bangsa. Tak mengherankan apabila makanan juga menjadi salah satu ciri eksistensi masyarakat. Kehadiran makanan bisa menjadi tanda kehadiran sebuah bangsa. Namun, masih sangat sedikit orang yang mencari keberadaan bangsa atau leluhurnya melalui makanan.

Oleh Andreas Maryoto

 

Salah satunya dari sedikit orang yang mencari leluhurnya melalui makanan itu adalah Koo Siu Ling. Kematian ibunya yang meninggalkan buku resep bertulis tangan membuatnya penasaran. Perasaan ini diakuinya tidak muncul saat ia sibuk dengan pekerjaan dan kesehariannya. Namun, begitu ias melihat buku-buku itu, pikirannya melayang dengan banyak pertanyaan.

Menulis buku resep makanan sudah banyak dilakukan beberapa kalangan. Namun, menulis buku resep yang memiliki kisah di balik resep-resep tersebut masih sangat lamgka di Indonesia. Koo Siu Ling, peranakan Tionghoa yang tinggal di Belanda, melacak sejarah nenek moyangnya melalui menu makanan mereka serta buku resep warisan ibunya dan juga kerabatnya hingga ia menemukan kehidupan peranakan Tionghoa Jawa Timur dulu dan sekarang.

Ling kecil lahir tahun 1939 di Kota Malang, Jawa Timur, dididik ibunya yang seorang guru. Ia mengaku dalam kehidupan mereka sehari-hari resep makanan diperkenalkan sejak dini. Kini ia menerbitkan resep-resep makanan ibu dan kerabatnya dalam sebuah buku berjudul Culture, Cuisine, Cooking, an East Java Peranakan Memoir. Buku ini ditulis dengan bantuan Paul Freedman, seorang profesor Sejarah Chester D Tripp di Universitas Yale, Amerika Serikat.

Kisahnya berawal saat ibunya meninggalkan, ia menemukan buku-buku resep makanan yang sudah lama ditulis tangan ibunya. Ling juga mencari buku-buku resep makanan milik kerabatnya. Buku resep itu ada yang bertahun sekitar 1930. Kadang ditulis dalam bahasa Belanda, kadang Mandarin, dan kadang Jawa. Ada juga bahasa Hokkian yang merupakan warisan leluhurnya.

Dengan membaca buku resep makanan tersebut, ia melihat bahwa Tionghoa peranakan menyerap dan mengadopsi masakan Belanda dan Jawa. Di dalam buku itu, terlihat adopsi masakan tersbut, mulai dari galantine dan kue dari Belanda serta sate dan rawon yang diadopsi dari Jawa, “Ini buku masak mama saya. Tulisannya masih bagus. Ada beberapa bahasa di dalamnya. Ada bahasa Belanda, bahasa Jawa, bahasa Mandarin, dan ada bahasa Indonesia,” kata Ling sambil memperlihatkan buku setebal 5 sentimeter yang antara lain berisi tulisan tangan ibu dan familinya.

Motivasi menerbitkan buku tersebut awalnya adalah keinginan agar anaknya bisa membaca buku resep itu. Ia berpikir jika buku tersebut tidak dibukukan, resep ini akan hilang. Ibunya menulis resep mulai akhir 1920-an sampai tahun 2000. Satu ciri yang unik, disetiap resep tidak pernah diberi ukuran bahan. Akibatnya, setiap mencoba resep itu Ling harus menanyakan ke kenalannya.

“Saya memperhatikan buku itu setelah ibu meninggal tahun 2000. Dulu buku ini kan tidak dianggap. Beberapa tahun sesudahnya saya melihat itu. Saya tahu buku tersebut tidak boleh dibuang. Lama masih tersimpan dilemari hingga saya mulai mengetik ulang. Tidak ada amanah untuk tidak dibuang, tetapi saya mengerti dan wktu kecil saya mengerti buku itu dan saya tahu buku itu lebih berharga dibandingkan dengan buku-buku yang lain,” tuturnya.

Bolak-balik ke Malang

Apakah Anda pernah mencoba resep di dalam buku tersebut? “Iya. Saya harus pergi ke Malang untuk mencoba resep itu. Saya masih bertemu dengan pembantu tante saya yang umurnya sekitar 70 tahun, dan ada juga saudara saya yang pintar masak. Saya bolak-balik (ke) Malang sejak tiga tahun yang lalu,” kata Ling.

Ia mengaku tidak pernah mencoba masakan itu Belanda karena di dalam buku tersebut tidak ada ukuran bahan-bahan dalam resep, selain karena sulit mencari beberapa bahan makanan. “Saya baru mengerti, melalui buku ini kalau makanan itu bakan sekadar makanan, melainkan juga kebudayaan dan sejarah. Karena itu, makanan harus ditaruh dalam konteks sejarah. Dari masakan ini, sekarang saya mengerti sejarah orang Tionghoa di Indonesia, khususnya di Jawa Timur,” tuturnya.

Banyak makanan yang merupakan pencampuran budaya Jaaw, Tionghoa, hingga Belanda dalam resep-resep di buku itu. Ia menyebut antara lain kehadiran petis dan juga cwie mie di Jawa Timur menjadi penanda pengaruh etnis Tionghoa di Jawa Timur. Saat menulis buku itu, sesuatu yang menyulitkannya adalah mencari data tentang makanan, sejarah, dan beberapa remaph. Ia harus mencari di sejumlah perpustakaan. Ling mengaku, kalau tidak menemukan data yang benar, ia tidak berani menulis mengenai makanan itu. Untuk menyelesaikan bukunya, Ling membutuhkan waktu empat tahun. Buku tersebut terdiri dari tiga bahasa, yaitu bahasa Inggris, bahasa Belanda, dan bahasa Indonesia.

“Saya memilih tiga bahasa karena, dengan bahasa Inggris, jangkaunnya akan lebih luas. Ada bahasa Belanda agar orang Belanda bisa baca buku ini. Saya masih tetap merasa sebagai orang Indonesia, karena itu harus dengan bahasa Indonesia. Lidah saya kurang bagus,” kata Ling terkekeh. Ketika dipuji bahasa Indonesianya masih bagus, ia kembali tersenyum. “Wah bahasa Indonesia saya sudah setengah mati. Di keluarga saya berbahasa Belanda. Waktu di Indonesia belum stabil, saya dikirim ke Belanda. Waktu kecil saya juga belajar bahasa Jawa. Isih ngerti,” katanya. Ia mengaku meski lama berada di luar negeri seleranya masih terpelihara. “Karena lidah saya sebenarnya tertinggal di sini. Logat Jawa saya juga masih keluar. Kadang bahasa Jawa juga masih keluar,” katanya.

 

Koo Siu Ling

Lahir                : Tahun 1939 di Kota Malang, Jawa Timur.

Pendidikan      : SD hingga SMA diselesaikan di Jakarta, Studi Aeronautika di TU Delft

Belanda, tahun 1956

 

Pengalaman bekerja    : Bidang Aeronautika di Long Beach di Los Angelesm California

Amerika Serikat

 

Tinggal            : Sempat tinggal di Australia, tetapi sekarang menetap di Belanda

 

Sumber: Kompas, Jumat, 8 Januari 2016