Sahabudin Husin “Sang Pencerah” dari Pulau Bungin
Sahabudin Husin
“Sekali melangkah, pantang bersurut,” mungkin pas buat menggambarkan Sahabudin Husin alias Titos (27). Warga Desa Pulau Bungin, Kecamatan Alas, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, itu tampil sabagai “sang pencerah” yang menularkan semangat inovasi usaha tani nelayan, kegiatan konservasi terumbu karang, selain mendirikan “museum” bahari untuk mengoleksi peninggalan leluhur yang masih tersisa setelah dijual ahli waris masing-masing kepada kolektor.
Oleh Khaerul Anwar
“Saya resah akan tidak terhitung banyaknya benda pusaka nelayan berpindah ke tangan kolektor. Kalau diam, habislah benda pusaka ini. Makanya, saya terus sosialisasi dan beri pencerahan, jangan jual pusaka itu, tetapi kita simpan di museum yang akan kita bangun,” begitu Tison melakukan penyuluhan menyusul tidak terhitung banyaknya peralatan tradisional diboyong kolektor.
Tidak mudah mewujudkan ide itu, apalagi mendirikan museum yang memerlukan biaya pembangunan fisik dan pengadaan koleksi. Realitas di pulau selaus 9 hektar itu sudah padat dihuni 950 keluarga, umunya keturunan suku Bajo, Makasar, Selawesi Selatan itu cenderung. Para kolektor datang ke pulau berjarak 3 mil (sekitar 5,5 kilometer), 10 menit naik perahu, dari Pelabuhan Alas saat nelayan tidak melaut pada musim badai. Mereka menjual murah bennda peninggalan leluhur untuk menyambung hidup keluarganya. Wlhasil, saran Tison tidak digubris, malah mendapat cibiran. Ia sempat ikut “bermain,” tetapi mundur karena kehadirannya akan jadi pembenar dalam transaksi tersebut.
Setelah bergerilya mencari bantuan bagi pembangunan museum, Maret 2014, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata NTB memberikan subsidi pembangunan, sementara lahan disediakan oleh warga. Masyarakat pun bergotong royong membangun fondasi museum seluas 10 meter x 10 meter dengan menimbun perairan sedalam 1,7 meter. Pembangunan terhenti karena tidak ada biaya, malah belakangan luluh lantak dibantai gelombang dan badai sehingga fondasi jeblok kedalaman 2 meter.
Demi biaya pembangunan museum, Tison mencari pekerjaan ke Timor Leste, tetapi tidak berhasil dan pulang kampung. Suatu hari, ia dan warga saling “curhat” untuk mendapatkan solusi. Tidak diduga, keesokan harinya, 400 perahu nelayan membawa batu untuk menanggul fondasi bangunan yang rusak tadi, museum itu akhirnya berdiri Desember 2014, berupa rumah panggung.
Koleksinya ada yang dibeli dari uang patungan pengurus museum, hibah warga, ada pula berstatus pinjaman dan kontrak. Koleksi yang berstatus itu boleh dipajang di museum selama empat tahun dan pemiliknya berhak atas sewanya. Suasana ruangan koleksi berlantai papan itu sempit oleh ragam alat tangkap nelayan yang ditata seadanya. Pengunjung ke keramba dan museum itu rata-rata 30 orang.
Di situ dipajang sekitar 60 koleksi: rudal penyu, pencapit teripang dan mutiara, berbagai macam tombak untuk menangkap ikan, jaring hiu dan ikan berbagai ukuran, dayung, bendera-bendera, kerangka ikan paus, foto-foto nelayan tempo dulu, benda ritual adat, serta iko-iko (syair). Dari alat tangkap itu terungkap, betapa nenek moyang memanfaatkan sumber alam dengan labih arif dan bijak. Untuk menggunakan pencapit teripang, misalnya, nelayann hanya memantau dari atas perahuu dan menurunkan alat itu jika ada sasaran pasti.
Dengan ketelitian tinggi dan pemahaman arus bawah laut, obyek sasaran terperangkap pencapit. “Saat ini, kan, nangkep teripang harus nyelam puluhan meter. Karena alat menyelam seadanya, banyak nelayan yang mengalami kecelakaan dan tidak sedikit yang pulang hanya jenazahnya,” ujarnya.
Terumbu kaleng
Tison juga berupaya memulihkan, airnya juga menurun karena dijadikan tempat pembuangan sampah dan limbah tempat rumah tangga. Bersama II rekannya dalam Kelompok Bungin Mandiri, ia mengumpulkan ribuan bekas wadah minuman kemasan kaleng/botol plastik dan kaca untuk dibikin terumbu karang bauatan. Limbah-limbah itu dirangkai, diikat kawat, ditempeli bibit terumbu karang, dan ditenggelamkan di perairan kampung tersebut.
Hasil uji coba memperlihatkan, korosi kaleng dan kawat merangsang tumbuhnya mikroorganisme yang menempel pada “terumbu kaleng” itu, sekaligus menstimulasi soft coral dan benih hard coral. Itu ditandai dengan pelekatan planula sebagai embrio koral. Kini, metode “terumbu kalng” itu disebarluaskan agar diterapkan di Teluk Tomini, Sulawesi Tengah, dan Konawe, Sulawesi Selatan. Awalnya, ide ini ditolak sementara warga karena warga kampung itu merupakan nelayan tulen yang hanya bekerja dan pelatihan guna budidaya perikanan yang dilaksanakan instansi di Nusa Tenggara Barat.
Hasilnya, kini terbangun keramba apung berbaghan jeriken bekas, plastik, fiberglass, hingga tripleks. Keramba ini dibuat petak-petak sebagai tempat pemiliharaan ikan. Warga tidak menyewa petak dan diberikan bibit. Dari total panen, 30 persen dikembalikan untuk pengembangan kelompok.
Saat ini, ada 25 warga yang terlibat dalam usaha budidaya ini. Budidaya perikanan itu dimulai dengan 600 benih ikan meski pada akhirnya yang selamat sekitar 200 ikan. Yang tidak kalah menarik, seluruh kegiatan yang dilakukan Tison diabadikan lewat novel karyanya. “Saya tinggal menumpahkan saja dalam tulisan itu atas apa yang saya rasa, lihat, dan dengar, baik cacian maupun pujian. Kan, saya pelakunya.
Sahabudin Husin
Lahir : Labuan Burung, Alas, Sumbawa, 4 April 1989
Saudara : Bungsu dari enam bersaudara
Orangtua : Husin (almarhum), Amisah
Pendidikan : SDN 2 Desa Pulau Bungin, lulus 2001, SMPN 1 Boer, Pernang, lulus 2004,
SMAN Alas Barat, lulus 20017, dan Diploma II Akademi Komunitas Negeri Sumbawa Juerusan Teknologi Pangan Perikanan lulus 2014
Sumber: Kompas. Sabtu, 16 Januari 2016