Muhammad Sahidul Wathan Menghidupkan Kopi Sembalun
Desa Sembalun, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, pernah menghasilkan kopi arabica tahun 1940-an. Namun, potensi itu mati suri selama beberapa dekade, terutama setelah kampung itu “demam” komoditas bawang putih dan kentang. Muhammad Sahidul Wathan, pemuda setempat, menghidupkan kembali kopi lokal itu sehingga menembus pasar nasional bahkan internasional. (Oleh Khaerul Anwar)
“Dulunya, satu bakul kecil kopi dibarter dengan dua ikan pindang,” kata Sahidul Wathan (37) saat ditemui di rumahnya di Desa Sembalun, pertengahan Desember lalu.
Saat itu, warga biasa menyimpan biji kopi dalam losok, yaitu wadah dari bambu sepanjang sekitar 30 sentimeter. Kopi itu baru dikeluarkan, ditumbuk buat minuman tamu pada acara pesta pernikahan ataupun khitanan.
Menurut Wathan, demikian ia biasa disapa, kopi si Sembalun-yang mencakup Desa Sembalun, Desa Sembalun Bumbung, dan Sembalun Lawang-dari jenis arabica dibawa seorang Tionghoa pada tahun 1942. Kopi itu lalu dibudayakan di kebun dan kawasan hutan desa tersebut. Namun, selanjutnya tanaman itu tidak terawat karena buahnya kurang laku dijual. Warga memetik buah kopi hanya untuk dikonsumsi sendiri.
“Warga sukanya yang instan, lebih baik menanam sayur dan palawija dengan masa pemeliharaan tiga bulan sudah bisa dijual. Sedangkan kopi, panennya sekali setahun. Itupun kalau ada yang beli,” tuturnya.
Kopi Sembalun mengalami nasib lebih buruk pada 1985. Tanaman kopi di Desa kaki Gunung Rinjani itu di babat. Lahan tersebut lantas dimanfaatkan budidaya bawang putih.
Komoditas itu menjadi primadona sampai – sampai muncul sebutan “Haji Bawang Putih”. Ini istilah untuk menyebut para petani yang berhasil mennunaikan ibadah haji dari hasil menjual komoditas itu. Pada tahun – tahun tersebut, warga desa berhawa sejuk ini pertama kali menggunakan antena parabola untuk menyaksikan acara televisi.
Namun, era bawang putih berangsur berakhir. Produksi bawang putih berkualitas merosot karena tanah menjadi jenuh setelah dieksploitasi dengan menggunakan pupuk dan pestisida kimia. Belakangan, kesejahteraan warga desa itu kembali terang – terangan berkat budidaya kentang.
Mati Suri
Selama beberapa dekade itu, produk kopi di desa tersebut seakan mati suri. Padahal, secara sosial budaya, masyarakat Pulau Lombok termasuk tukang ngopi alias gemar meminum kopi. “Tiga tempat anda bertamu, tiga kali pula tuan rumah menyuguhkan kopi,” tutur Wathan.
Tradisi itu semakin mendorong niat pemuda tersebut untuk mencari solusi menghidupkan kopi sembalun. Tahun 2013, ia mengajak beberapa rekannya dan petani berdialog seputar peluang bisnis kopi. Pada 2015, ia berguru kepada seorang pakar kopi di Jawa Barat, mulai dari teknik budidaya, pengolahan buah kopi pasca panen, cara perawatan pemilahan, sangrai, sampai coffee cupping (mencicipi rasa kopi sebelum dijual). Ilmu yang diperoleh selama sebulan itu kemudian ditularkan kepada warga.
Wathan juga menjajal usaha sendiri. Ia membeli seluruh produk kopi petani, yaitu sebanyak 300 kilogram, seharga Rp 5.000 per kilogram. Ia lantas mengerjakan sendiri semua proses pasca panen, mulai dari menjemur, menyortir, mengupas, sampai memasarkan kopi. Produk kopinya saat itu diberi nama “Kopi Pahlawan”.
“Saya ingin petani menjadi pahlawan bagi dirinya, keluarganya, dan desanya,” katanya. Belakangan, ia dibantu sejumlah lembaga yang menghubungkannya dengan konsumen di beberapa kota di Indonesia.
Usahanya kian berkembang. Ada 50 petani yang bersedia memasok kopi yang dibelinya Rp 7.000 per kg. Untuk memudahkan komunikasi, Wathan memberikan telepon genggam kepada 25 petani. Ia juga mempekerjakan 8 tenaga sortir, 5 pembilas biji kopi, dan 4 pekerja pulping ( pengupas kulit buah ) kopi. Penyortir, pembilas, dan petugas sangrai dibayar Rp 40.000 sehari, sementara pengupas kulit rp 70.000 sehari.
Produk kopinya dalam bentuk green bean dijual Rp 150.000 per kg. Dalam bentuk bubuk, dijual Rp 250.000 sampai Rp 350.000 per kg. Selain untuk beberapa kafe lokal di Lombok, produknya juga dikirim ke sejumlah kafe di Jakarta, rata – rata 300 kg sekali pesanan. Ada juga kopi bubuk kemasan 100 gr dan 200 gr yang dijual masing – maisng harga Rp 25.000 dan Rp 50.000
Lewat cerita dari mulut ke mulut, kopi Sembalun mulai dipesan kedutaan besar Negara – Negara asing di Jakarta, seperti Kedubes Belanda, Jepang, Australia, dan Singapura meski baru sanggup memenuhi dalam skala kecil. Menurut Wathan, sejumlah kedubes asing tertarik dengan kopi Sembalun karena dinilai memiliki aroma dan cita rasa khas, terutama karena mengandung rasa rempah – rempah, cokelat, dan karamel.
Rumah Belajar
Wathan tak hanya fokus pada kopi. Ketika petani mulai merasakan manfaat dari tanaman kopi, perhatian pemuda itu menyasar pada pendidikan. Ia ingin mengembangkan pendidikan tambahan untuk menanamkan budi pekerti dan nilai – nilai budaya lokal yang dianggap mulai luntur di desa. “kami punya falsafah sangkabira, hidup saling tolong mrnolong. Ada solidaritas antarsesama,” ungkapnya.
Bersama para petani dan bantuan sejumlah sukarelawan di Jakarta, Bandung, dan daerah lain, Wathan membangun Rumah Belajar pada April 2016. Pesertanya adalah 50 anak petani setempat, rata – rata dari kelas 1 SD hingga kelas 1 SMP. Mereka mengikuti pendidikan di Rumah Belajar seusai jam sekolah, yaitu dari pukul 14.00 sampai 17.00 wita.
Anak – anak diajari pendidikan budi pekerti, tanggung jawab, kejujuran, dan kepemimpinan. Semua itu diterapkan dengan kegiatan kemah rutin kelompok di seputar Rumah Belajar. Caranya, seorang siswa ditunjuk menjadi ketua yang bertanggung jawab atas kelompok.
Apabila ketua bersalah, harus minta maaf dan jujur menyatakan kesalahannya kepada anggota. Pembelajaran itu mengacu pada nilai falsafah Sembalun, Lamun jau’ jarum, linggis ilang, jau’ awis batek Ilang. Artinya, jika mengambil jarum (orang lain), linggis yang hilang; mengambil sabit, parang yang hilang.
Agar lebih menarik, kegiatan belajar dikemas dalam tema – tema khusus, seperti Bulan Dongeng, Bulan Bahasa Inggris, dan Bulan Seni. Pada Bulan Dongeng, orang tua pelajar diajak mendongeng di depan siswa. Saat Bulan Bahasa Inggris, siswa berkomunikasi dengan bahasa inggris. Bahkan ada seorang volunteer guru Bahasa Inggris di Australia, menyampaikan materi bahasa inggris melalui video call kepada siswa di Sembalun.
Wathan pun lebih selektif menerima sukarelawan yang ingin membantu mengisi kegiatan belajar, seperti mengajukan proposal terkait materi yang bakal disampaikan kepada siswa. “Materi ajar harus bertali – temali dengan membangun karakter sesuai kultur Bangsa kita.itu intinya,” katanya.
Di tangan Wathan, kopi sembalun hidup lagi. Saat bersamaan, ada Rumah Belajar yang menanamkan budi pekerti untuk anak – anak setempat. Desa ini juga menjadi salah satu tujuan Wisata Halal di Lombok.
Perkembangan itu membuka langkah Wathan berikutnya. “Petani harus berdaulat di tanahnya sendiri. Makanya tanah jangan dijual ke pemodal,” ujarnya.
Nama : Muhammad Sahidul Wathan
TTL : Desa Sembalun, 10 November 1979
Istri : Diah Handriani
Anak : Rifka El Wathan, Denda Sembahulun El Wathan
Orang Tua : H Aepudin (Ayah), HJ Zulmini (Ibu)
Riwayat Pendidikan :
- SDN 3 Sembalun Lawang (lulus1991)
- MTs Al Kautsar Al Gontori (lulus 1994)
- MA Al Kautsar Al Gontori (lulus 1997)
Sumber : Kompas, Jumat, 30 Desember 2016