Painah Menghidupkan Batik Kenongo
Sekitar 20 tahun lalu, sentra kerajinan batik tulis di Desa kenngo, Kabupaten Sidoarjo. Jawa Timur, hampri mati setelah perusahaan yang menaungi mereka tutup. Berkat kerja keras Painah (55), seorang pebatik yang merintis usaha, industri rakyat itu menggeliat lagi, bakan menembus pasar mancanegara.
OLEH RUNIK SRI ASTUTI
Desa Kenongo sejatinya dikenal sebagai kampung perajin batik sejak zaman Belanda. Kaum perempuan di desa ini membatik sedari kecil. Mereka belajar secara otodidak dengan membantu orangtua bekerja sebagai buruh batik selain buruh tani.
Para pebatik biasanya mengambil kain dari juragan di Kelurahan Jetis, Kecamatan Sidoarjo. Juragan itu berperan sebagai pemodal dan pemasar. Kain itu kemudian dibawa pulang untuk dibatik dan setelah jadi, dikembalikan ke juragan untuk mendapat upah.
Painah menceritakan, pada 1972 seorang investor datang ke kampungnya dan tertarik banyaknya perempuan pebatik. Investor ini kemudian membangun perusahaan dan menyerap 800 pebatik dari delapan desa di Kecamatan Tulangan. Beberapa produknya bahkan telah dipasarkan ke manacanegara.
“Syaa bekerja sebagai buruh biasa yangg mengurus dengan pebatik. Tetapi, untuk urusan pemasaran dan pembukaan, saya tidak tahu karena sekolah dasar (SD) saja tidak tamat,” ujar Painah, di rumahnya di Desa Kenongo. Selas (15/11).
Namun, pada 1997, pemilik perusahaan itu meninggal dunia Ahliwaris atau keluarga tak mampu mengelola karena tak memiliki keahlian membatik. Usaha itu pun tutup
Tak hanya sedih karena kehilangan bos, Painah juga sedih bingung karena kehilangan pekerjaan. Apalagi, banyak perempuan desa yang kemudian menganggur. Tak ada lagi tambahan penghasilan bagi rumah tangga buruh tani di desanya.
Merintis
Painah terdorong untuk merintis usaha. Namun, tanpa modal, dia seakan tak berdaya. Suaminya, Hartono, bekerja sebagai tukang bangunan dengan penghasilan pas – pas. Namun, niat yang tulus mendorong mereka nekat menjual harta berharga berupa sepeda motor untuk mendapatkan modal.
“Membangun usaha batik itu modalnya harus berlipat karena harus belanja kain dan bahan baku lain, membayar upah pekerja, hingaa menyiapkan stok barang yang cukup. Saat itu tidak ada satu pihak pun yang percaya memberikan pinjaman kepada kami,”kata Painah.
Di tengah kondisi serba terbatas, Painah akhirnya memantapkan diri merintis usaha batik tulis. Dia mendesain sendiri motif batik, memilih kain, berbelanja bahan baku, hingga menangani proses produksi dan memasarkannya.
Karena skala usahanya masih kecil, dia hanya mampu mempekerjakan delapan perempuan pebatik. Dalam proses pewarnaan kain batik, dia kerap dibantu oleh Hartono.
Untuk mengembangkan jaringan pasar, painah mempromosikan batiknya dari pameran satu ke pameran lain. Berkat kerja gigihnya, batik Kenongo kembali hadir dan dikenal pasar.
Kini, produknya tak hanya dipasarkan di banyak kota di Indonesia, tetapi juga di luar negeri, seperti Jepang dan Amerika Serikat. Hanya saja, pemasaran ke mancanegara itu masih melalui pihak ketiga.
Untuk mengembangkan usaha, dia sudah mengurus hak paten pada 2000 untuk merek SARI dari Desa Kenongo atau yang dikenal Batik Sari Kenongo. Kata sari memiliki makna intisari karena dia menggunakan pewarna alam berbahan sari tumbuh – tumbuhan.
Batik tulis produksi Painah cepat dikenal karena berkualitas tinggi, menggunakan pewarna alam, dan memiliki motif beragam serta terjaga keasliannya. Satu motif untuk satu kain, hanya beda pada warna.
Sudah ribuan motif diciptakan oleh Painah. Sebagai gambaran, dia memproduksi ratusan kain batik per bulan. Per lembar batik tulis dijual dari harga Rp 400.000 hingga jutaan rupiah. Beberapa motif sudah dipatenkan seperti kembang sirih dan sunduk kentang yang mendapatkan hak ciptanya tahun 2016.
Lebih dari 200 perempuan di Desa Kenongo dan sekitarnya telah diberdayakan sebagai pebatik. Mereka bekerja di rumah sehingga tetap bisa mengurus anak dan keluarga. Dengan usaha itu, mereka memperoleh penghasilan tambahan untuk meningkatkan taraf ekonomi.
Keberhasilan perempuan yang kini melebarkan sayap pada usaha batik prinring tau cap ini menginspirasi warga lain untuk mengembangkan usaha batik sebagai tulang punggung ekoomi rakyat. Alhasil, industri kerajinan batik di Desa Kenongoo makin menggeliat.
Kiprah Pinah tak berhenti di situ Perempuan yang didiagnosis menderita kanker leher rahim stadium tiga sejak 2010 ini aktif memberikan pelatihan membatik untuk menumbuhkan jiwa wirausaha baru. Dia juga terbuka menerima kunjungan dari berbagai pihak.
“Saya prihatin melihat rendahnya minat generasi muda menekuni usaha batik dan lebih memilih bekerja dipabrik. Mereka enggan mengembangkan jiwa wirausaha dan lebih suka menjadi pekerja,” ujarnya.
Painah mengaku bersyukur karena anak – anaknya berminat mengikuti jejaknya menekuni usaha kerajinan batik. Purti dan menantunya bahkan sudah bisa menggantikan Painah memberikan pelatihan membatik kepada para pelajar.
Pemerintah
Painah berharap, pemerintah serius membantu pelaku usaha kecil menengah (UKM). Mereka membantu bangsa dengan membuka lapangan kerja, bahkan bagi warga tak berdaya, tak berpengetahuan, dan tak memiliki keterampilan.
Perajin batik seperti Pinah memiliki andil dalam melestarikan warisan budaya bangsa dan menularkan nilai – nilai luhur seperti filosof batik kepada generasi masa kini. Produknya juga kerap mewakili wajah budaya bangsa di mancanegara.
Kendati pelaku UKM memiliki inovasi dan krativitas tinggi, mereka tetap memerlukan pembinaan. Dukungan pemerintah terasa kian dibutuhkan di era global dengan persaingan yang kian ketat dan terbuka.
PAINAH
Lahir : 11 Desember 1961
Suami : Hartono (63)
Anak :
Heny urwanto (38)
Lis (37)
Haimin (1983)
Lintang (28)
Pendidikan : Kelas V SD Desa kenongo, Kecamatan Tulangan
Sumber: Kompas.22-November-2016.Hal_.16