Dominikus Agus Goenawan Dari Kursus Menjadi Kampus

Dari Kursus Menjadi Kampus.Kompas.30 Maret 2015.Hal.16

Tiga puluh tahun yanng lalu, Domikus Agus Goenawan (53) bersama kerabatnya mendirikan Lembaga Pendidikan Komputer Triguna di Bogor, kota kelahirannya. Pemuda pemalu yang meraih gelar sarjana dari universitas Padjadjaran dan Institut Teknologi bandung ini mengatakan tak sengaja menggeluti dunia pendidikan. Namun, keseriusannya mengelolah lembaga pendidikan membuahkan hasil yang tidak pernah dibayangkan Agus sebelumnya

            Tahun 1985, setelah lulus dari ITB, Agus kembali ke Bogor. Didukung Kusuma Endang Gunawan, kerabatnya, Agus mendirikan Yayasan Triguna yang membuka Lembaga Pendidikan Komputer Triguna.

Ketika didirikan, Lembaga Pendidikan Komputer Triguna merupakan lembaga pendidikan konputer yang kedua dikota Bogor. Lembaga pendidikan yang semula tempat kursus ini berkembang menjadi kampus Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) dan telah meluluskan 2.500 orang.

Untuk Lembaga Pendidikan Triguna yang meliputi kursus komputer dan program D-1, sejak berdiri 30 tahun lalu hingga sekarang, lulusannya sudah lebih dari 5.000 orang.

“Saya sangat bersyukur telah menjadi pendidik yang mencerdaskan generasi muda sekaligus memberikan bekal untuk mendapatkan peluang kerja,” ujar Agus ketika ditemui di Kampus STIE Triguna di jalan Siliwangi, Bogor, awal Maret ini.

“Setelah lulus SMA, saya diterima di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta. Namun, keadaaan ekonomi orangtua kurang mampu untuk membiayainya sehingga saya urungkan kuliah teknik elektro di PTS itu. Saat bersamaan saya diterima di Jurusan Fisika Unpad, Bandung. Setahun kemudian, saya juga diterima di Jurusan Matematika ITB,” kata Agus, yang mengungkapkan sebelumnya tak ada niat menjadi pendidik, apalagi mendirikan lembaga pendidikan di kota Bogor.

Menurut Agus, seorang temankuliahnya di ITB-lah yang”menceburkannya” menjadi pendidik.

“Waktu itu saya baru tingkat II di ITB, sedang lihat papan pengumuman, tiba-tiba dari belakang ditepuk seorang yang meminta menggantikan ngajar matematika di SMA Bina Bakti Jalam Bima. Saya langsung diboncengkan naik motor, dihadapan kepada Kepala SMA Bina Bakti, Ibu Nurhayati Tan. Saya diwawancarai dan diterima,” kata Agus. Ia lantas menyebut nama Darjoto, kakak tingkatnya yang “menceburkannya” menjadi guru.

Agus mengemukakan, awalnya ia merasa bingung untuk mengajar siswa SMA. Maklum, ia termasuk agak pemalu sehingga sangat sukit berdiri di depan kelas untuk mengajar.

“Saya beli buku tentang Mengajar yang Sukses, saya pelajari bagaimana mengunakan papan tulis, berdiri didepan siswa, sedangkan materi pelajaran bagi saya tak masalah. Saya buatkan materinya dulu sebelum mengajar,” ujar Agus.

Sebagai guru baru, ia punya pengalaman tak terlupakan saat pertama kali mengajar. Ia masih ingat saat dikerjain  seorang siswanya.

“Seorang siswi ada yang berteriak menganggap suara saya kurang keras. Sudah saya keraskan, juga masih anggap pelan dan tidak kedengaran. Belakangan baru saya tahu jika siswi itu memang ‘nakal’ menguji guru barunya,” kata Agus, yang saat itu masih berusia 22 tahun dan harus menghadapi siswa-siswi yang usianya 16-an tahun.

Meski demikian, dia malah kecanduan mengajar. Terlebih setelah mendapat penilaian cukup baik dalam mengajar. Dia menjadi guru di SMA Bina Bakti selama empat tahun (1981-1985), dan juga mengajar Fisika di SMP-SMA St Aloysius (1983-1985).

“Rupanya sudah dijalan Tuhan saya jadi pendidik. Begitu lulus FIPPA Unpad tahun 1983, saya langsung diminta mengajar di Bandung Computer Institute oleh Pak Hariyadi, dosen saya,” kata Agus, yang meraih gelar sarjana fisika dengan predikat cum laude.

Kursus

Lembaga pendidikan komputer yang didirikan semula menawarkan pelatihan paket untuk tiga bulan. Kemudian menjadi paket terpadu dalam enam bulan. Melihat kebutuhan pasar, akhirnya dibentuk program pendidikan D-1.

“Program D-1 ini berkembang pesat sehingga mampu menjaring 400-500 mahasiswa per tahun,” kata Agus, yang menjadi Direktur Utama LP Triguna.

Setelah program D-1 berjalan beberapa tahun, sebagian alumni mengharap adanya studi lanjutan. “Akhirnya yayasan mendirikan perguruan tinggi yang melahirkan STIE, tahun 1994,” kata Agus, yang menjadi Ketua STIE dari tahun 1994 sampai sekarang

Dua tahun kemudian, Yayasan Triguna membuka Akademi Sekretari Triguna. “Sejak 1996, kampus STIE berada di gedung tiga lantai seluas 1.500 meter persegi di jalan Siliwangi, yang memiliki 9 ruang kuliah dan 2 laboratorium komputer,” ujarnya.

Sambil mengelolah lembaga pendidika, Agus juga terus mengembang diri dengan kuliah S-2 di Teknik Manajemen Industri ITB dan kemudian melanjutkan ke program S-3 Tenologi Industri Pertanian IPB.

Saat ini, kegiatan Agus sebagai dosen tidak tetap program S-2 di sejumlah PTS di Jakarta sudah di kurangi. Ia ingin lebih berkonsentrasi mengembangkan STIE.

“kita perlu lebih menata kampus karenaperaturan pemerintah makin ketat dan juga perlu dilakiukan perbaikan kualitas terus-menerus,” kata Agus, yang didampingi istrinya, Ursula Ernawati, alumnus Universitas Parahyangan Bandung.

Ke depan baik Agus maupun Erna sebagai pengelola Perguruan Tinggi Triguna ingin membesarkanperguruan tingginya menjadi Universitas.

“Kami bersyukur atas yang telah kami peroleh dan mengejar apa yang belum kami capai, antara lain menyelenggarakan program S-2,” kata Agus yang menikah dengan Erna pada tahun 1987 dan kini dikarunia tiga anak.

Saat ini, Triguna menjaring anak dari keluarga menengah kebawah agar mereka mendapat kesempatan melanjutka pendidikan setelah lulus SLTA. “bagi mereka gratis uang SKS. Biaya awal kuliah sekitar Rp 5 juta, dan untuk semester selanjutnya sekitar Rp 3 juta. Biaya ini jauh lebih murah dibandingkan perguruan tinggi negeri, ” kata Agus seraya menembahkan bahwa yayasa juga memberikan beasiswa kepada anak yang tidak mampu.

(FX PUNIMAN, wartawan tinggal di Bogor)

Sumber: Kompas.30-Maret-2015.Hal_.16

Dodi Ramosta Sitepu Berani Berubah dan Bebagi Hati

Berani Berubah dan Berbagai Hati. Kompas. 26 Maret 2015.Hal.16

Selama 12 tahun jatuh dalam jeratan narkoba, Dodi Ramosta Sitepu (42) mencoba bangkit. Berkat dukungan keluarga dan dukungan keluarga dan rehabilitas sosial di Serambi Salomo, Cisarua Bogor, Jawa Barat, mantan pecandu narkoba itu pun sembuh. Kini hidupnya diabdikan dan menemani dan mendampingi generasi muda penyalah guna narkoba. Ia mendirikan pusat rehabilitasi narkoba di bawah naungan Yayasan Galilea.

Oleh: Megandika Wicaksono

“Hidup ini ada akhirnya, tetapi jangan akhiri hidup dengan narkoba”. Itulah kata-kata bijak yang terpasang di satu sudut Pusat Rehabilitasi Narkoba Galilea, tempat rehabilitasi penyalah guna yang didirikan Dodi. Panti ini didirikan Dodi bersama dua rekan penginjil lainnya, yaitu almarhum Yakobus Joko dan Terra Ferdian.

Pendirian panti rehabilitasi ini didorong oleh banyaknya keluhan orangtua yang anaknya terjerumus narkoba. Sebagai penginjil, Dodi sering menjumpai jemaat yang berkeluh kesah tentang masa depan anak-anak mereka yang terjerat narkoba itu.

Pada Mei 2002, Dodi menyewa rumah di Jalan Rajawali Kilometer 8, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, untuk merehabilitasi lima penyalah guna narkoba. Saat itu, biaya sewa ditanggung Dodi dan keluarga besarnya.

Tidak ada tarif khusus bagi mereka yang menjalani rehabilitasi, tetapi kami menggunakan sistem subsidi silang. Ada yang memberi Rp 300.000 per bulan, Rp 1 juta per bulan, ada juga yang tidak mampu,” kata Direktur Pusat Rehabilitasi Narkoba Galilea itu.

Dukungan pun mengalir baik dari pemimpin daerah maupun tokoh jemaat gereja. Atas kebaikan hati seorang pengusaha bernama Le Ok, tanah seluas 5.000 meter persegi di Jalan Tjilik Riwut Kilometer 18, Palangkaraya, dihibahkan untuk pusat rehabilitasi.

Setelah 5 tahun berjalan, pada 2007, pusat rehabilitasi pindah ke tempat baru. Hingga kini, sedikitnya 600 penyalah guna narkoba yang direhabilitasi.

Tahun ini terdapat 35 anak usia 17-33 tahun direhabilitasi. Lebih dari separuhnya berasal dari Palangkaraya, dengan waktu rehabilitasi 6 bulan sampai 1 tahun.

Di panti rehabilitasi, ayah dari tiga anak ini dibantu delapan konselor. Mereka menggunakan pendekatan terapi komunitas merehabilitasi orang yang dalam pengaruh ketergantungan narkoba.

Menurut Dodi, komunitas bisa menyembuhkan mereka. Kebersamaan dalam kesetaraan inilah yang memulihkan mereka.

Selain komunitas, lanjut Dodi, peran orangtua pun sangat besar bagi proses pemulihan para penyalah guna narkoba itu. Oleh karena itu, setiap minggu kedua, orangtua berkumpul di pusat rehabilitasi untuk berjumpa dan berdinamika         dalam kelompok keluarga.

“Meskipun bercorak Kristen, semua pemeluk agama bisa menjalani rehabilitasi di tempat itu. Kami terbuka kepada siapa saja. Pendekatannya adalah komunitas, bukan agama. Di sini ada 10 persen anak muda yang non-Kristen,” katanya.

Dalam pembinaan tersebut, Yayasan Galilea juga dibantu Gereja Bethel Indonesia (GBI) Pasir Koja Bandung, GBI Rehobot Jakarta, dan GBI Rajawali Palangkaraya. Kementrian sosial juga membantu proses pembinaan, penyuluhan, dan pelatihan keterampilan.

Dengan fasilitas yang perlu ditingkatkan, pusat rehabilitasi itu memberi pelatihan perbaikan penyejuk ruangan. Yayasan juga memiliki dua kios di Palangkaraya yang menyediakan jasa penatu dan penjualan tas bagi mereka yang selesai menjalani proses rehabilitasi.

Pernah terjerumus   

            Dunia narkoba, bukan hal baru bagi Dodi. Ia pernah terjerumus di dunia narkoba. Sejak kelas 1 SMA di Medan, tahun 1998, ia sudah berkenalan dengan minuman beralkohol, obat-obatan terlarang, dan mengisap ganja. Ketika itu, Dodi bergabung dengan komunitas pembalap liar yang juga rekan sekolahnya.

“Saat itu, agar lebih berani balapan, kami minum obat-obatan terlarang. Disitu adrenalin langsung tinggi dan kesadaran seperti hilang,” kata Dodi, awal Maret ini, di Palangkaraya.

“Hidup saya mulai meresahkan keluarga. Saya mulai jarang pulang, mencuri uang, dan perhiasan orang tua, juga menjual motor,” ujarnya.

Dodi harus beberapa kali pindah sekolah akibat perilakunya. Setidaknya ada empat SMA yang dilalui Dodi di Medan sebelum Dodi menjalani proses rehabilitasi medis di Rumah Sakit Ketergantungan Obat Fatmawati, Jakarta Selatan, selama dua minggu.

Setelah menjalani detoksifikasi, Dodi pun menyelesaikan SMA tahun 1991, dan bisa kuliah pada jurusan hukum di Sekolah Tinggi Hukum Bandung, Dodi yang indekos mulai menggunakan narkoba lagi. Saat itu, Dodi mulai mengenal dan mengkonsumsi sabu serta ekstasi.

Dia pun sering berurusan dengan polisi karena berkelahi dan balapan liar. Akibat perbuatannya, kuliah Dodi tidak selesai.

Beruntung ayah Dodi memiliki perusahaan sendiri sehingga ia bisa bekerja membantu ayahnya. Karena dukungan keluarga besar dan Lulu Fransisca (42), istrinya, Dodi pun bertekad sembuh dan menjalani proses rehabilitasi medis yang kedua di RS Fatmawati pada tahun 2000.

DODI RAMOSTA SITEPU

  • Lahir: Jakarta, 31 Januari 1973
  • Istri: Lulu Fransisca (42)
  • Anak: Putri Theresia (19), Michael Putra (15), Abiel Rafael (9)
  • Pendidikan:
  • SMA Imanuel Medan, SMA Advent Siantar, SMA Nasrani Medan, dan SMA Garuda Medan (1988-1991)
  • Sekolah Tinggi Hukum Bandung (tidak selesai, 1993)
  • Sekolah alkitab di Majalengka dan Youth With Mission di Lembang (2011)
  • Lighthouse Equipping Theological School Grogol (2004-2007)
  • Institut Keguruan Alkitab dan Theologia (2009-2011)
  • Jabatan:
  • Pendeta Gereja Bethel Indonesia Galilea
  • Direktur Pusat Rehabilitasi Narkoba Galilea

Proses ini dilanjutkan dengan rehabilitasi sosial di Serambi Salomo selama setahun. “Mereka sangat memotivasi dan mendukung saya. Jadi, muncullah rasa keinginan yang besar untuk berhenti karena dapat dukungan yang kuat dari keluarga,” ucapnya.

Tidak berhenti disitu, Dodi yang tersentuh pada firman Tuhan dalam kitab suci membuatnya tergerak belajar dan mendalaminya. Dia pun mendaftarkan diri di sekolah alkitab di Majalengka dan Youth With Mission, Lembang, Jawa Barat. Setelah setahun belajar, Dodi datang ke Palangkaraya pada Desember 2001 sebagai penginjil di GBI Galilea.

Dodi berhasil menyelesaikan pendidikan teologi di Lighthouse Equipping Theological School (LETS) Grogol dan Institut Keguruan Alkitab dan Theologia (IKAT) pada 2011, ia pun menjadi pendeta di GBI Galilea. Pelayanannya kepada jemaat dan sesama diwujudkan secara konkret dalam pendampingan di pusat rehabilitasi itu.

Menurut dia, kunci untuk lepas dari jeratan narkoba adalah keterbukaan. Hal itu pun tertuang dalam untaian kata mutiara di ruang kelas pusat rehabilitasi: “Keterbukaan adalah awal dari pemulihan,”

Sumber: Kompas, Kamis, 26 Maret 2015

Melati Suryodarmo Arungi Seni dengan Media Tubuh

Arungi Seni dengan Media Tubuh. Kompas.24 Maret 2015.Hal.16

Sejak belajar menetap di Jerman dari 1994 hingga sekarang,Melati suryodarmo (46) terus menjelajahi sejumlah negara demi mengarungi seni bermediakan tubuh. Perempuan itu memperdalam tari tradisional Jawapada masa remaja di tanah kelahirannya, Solo, jawa tengah. Namun,kini idiom tarinya telah melompat jauh dari gemulai gerak tradisional Jawa.

Saya terinspirasi kehidupan manusia, bukan kemanusiaannya. Saya tertarik laku manusia,”kata melati, februari 2015 lalu, ketika singgah di kampung halamanya Solo.

Ia tidak lama di Solo karena harus ke Yokohama. Tarian pertama berjudul “ I LOVE YOU”. Dalam karya ini, sambil menopang selembar kaca tebal berukuran 80×200 sentimeter dan seberat 36 kilogram. Melati menari dengan selalu mengucap kata “I love you”. Ia melakukannya selama 5 jam.

Itu bukanlah waktu yang singkat dan ringan untuk mengucap ribuan kali kata “ I love you”. Apabila ada bebean menjaga selembar kaca bening yang ditahan kedua telapak tangannya.

Dari kesetiaan mengucap “I love you” sambil menjaga selembar kaca besar itulah, melati mengundar makna.

“Akhirnya, sebuah peryataan ‘I love you’ menjadi tidak penting. Kemudian menjaga kaca juga ibarat menjaga cinta.”

Makna yang begitu dalam. Melati menuturkan , makna kata ‘I love you’ atau ’aku cinta kamu’ akan pudar dan tidak penting manakala kaa-kata itu sering diluncurkan dari mulut. Cinta ibarat selembar kaca bening yang harus dijaga sepenuh daya. Sedikit saja abai, selembar kaca bisa jatuh dan pecah.”begitu pula cinta” katanya.

Tarian kedua berjudul “butter dance” atau “tarian mentega”.

“butter dance” adalah tarian Melati di sebongkah mentega. Alhasil, bukan tarian dengan gaya menawan, melainkan berulang-ulang Melati terjatuh dan bangun lagi di atas lantai dengan mentega yang sangat licin itu. Jatuh bangunya Melati, itulah tarian dia.

“ Terjatuh seperti diri kita ketika melakukan setiap kesalahan sebagai resiko hidup. Selanjutnya hal yang paling penting dalam hidup kita adalah mendekteksi agar tidak terjatuh lagi, atau mampu bangun kembali setiap kali terjatuh .” ujarnya.

Tarian Melati bermediakan tubuh. Sederhana tetapi memiliki kedalaman makna.

Seperti itu pula performance art Melati . “ I am a ghost in my own house” atau “aku hantu di rumahku sendiri”. Dalam karya ini, dia mempertotonkan gerak mengilas arang yang diulang-ulang di atas batu pipisan selama 12 jam  pada 21 januari 2015 lalu di Museum Seni Singapore. Singapura. Meski penasaran, makna tarian ini tidak mudah ditelan.

Setidaknya, Melati mengharapkan interaksi dengan penontonnya agar bebas menginterpretasikan makna. “ karena seni tidak untuk mendikte.” Katanya.

Setelah 10 hari di Yokohama, Melati kembali ke jerman. Selain pulang ke rumah dan berkumpul dengan seorang anak kandungnya selama sebulan dia harus mengisi residensi seni Hebbel Am Ufer (HAU) untuk membuat koreografi dan seni pertunjukan.

“Hebbel Am Ufer untuk seniman lokal jerman yang harus berkerja mendekatkan anak-anak dan remaja dengan seni. Saya boleh berkerja unutk HAU karena sudah dianggap sebagai bagian seniman lokal jerman ,” kata Melati, yang kini hidup berpisah dengan suaminya, warga negara Jerman.

Dia mengajak berkesenian anak-anak dan remaja imigran di jerman, terutama dari negara-negara yang mengalami konflik berkepanjangan seperti Maroko, Tunisia, Nigeria, dan Turki. Berkesenian menjadi model penanganan pasca trauma konflik bagi anak-anak dan remaja.

“saya tidak bisa meningkatkan Jerman. Ini tanah air saya yang kedua ,” katanya.

Di Jerman ,Melati menemukan jati diri berkeseniannya. Darah seni mengalir dari ayahnya. Suprapto suryodarmo (69). Pendiri taman budaya desa pandepokan Lemah Putih di desa Plesungan, Gondangrejo,Karangayar , Jawa Tengah yang juga dikenal pengaggas oleh gerak joget Amerika.

Menetap di Jerman

Melati terkesan sungkan memaparkan soal keberadaannya di Jerman pada tahun 1988, ketika kuliah di Universitas Pandjajaran (UNPAD) Bandung, Jawa Barat, dia berkenalan dengan mahasiswa Institut Teknologi Bandung berkebangsaan jerman, yang kemudian menjadi suaminya. Setahun setelah lulus dari Unpad mereka pergi ke jerman yang kemudian menikah tahun 1994.

Di Jerman, Melati memulai studi tentang seni. Selama 1994 hingga 2001, dia menuntaskan studi seni pertunjukan dan seni patung di Hochschule Fuer Blidende Kuenste, Braunschweig. Kemudian dia melanjutkan sampai jenjang master di perguruan tinggi yang sama.

Penampilan seni peertunujukan Melati memang tidak bermula dari hasil pendidikan di Jerman. Namun melati menyebut, dua perempuan menjadi pembimbing studi yang paling berpengaruh bagi karya seninya, yaitu Prof Anzu Furukawa dari Jepang dan Prof Mariana Abramovic dari Serbia.

Sejak tahun 1988, Melati sudah menari untuk seni pertunjukan di Solo dan sejumlah kota lainnya di Indonesia .

Ketika mengijak tahun kedua studi di Jerman. Melati sempat menampilkan tari “kasyhya kashya muttiku” bersama Yuko negoro dari Jepang. Semenjak itulah, berbagai kegiatan seni pertunjukan di sejumlah negara Eropa diikuti Melati.

Beberapa pementasan antara lain, tahun 1999 Melati tampil untuk Cardiff Art in time di Wales, Inggris. Kemudian pada tahun yang sama juga tampil dalam “performance festifal odense” di Odense, Denmark.

Tahun 2000-2001. Melati tampil pada pameran “Anableps” di Gallery Misceti, Roma, Italia. Sejak itulah. Melati semakin sering menampilkan seni pertunjukan di sejumlah negara, termasuk di Indonesia.

Di Solo melati mendirikan studio plesungan , tak jauh dari taman budaya desa pandepokan Lemah Putih yang didirikan ayahnya.

“di studio plesungan, tahun ini akan digelar Festifal Performance Art “Undisclosed Territory” kesembilan. 9-15 november 2015 akan tampil 5 seniman perempuan Indonesia dan 25 seniman perempuan dari sejumlah negara.” Katanya

Berkesenian tidak lagi sedehana. Seperti itu pula seni bermediakan tubuh bagi Melati juga bukanlah hal sederhana.

MELATI SURYODARMO

  • Lahir: Solo,12 Juli 1969
  • Memiliki satu anak , tinggal di Gross Gleidingen, Jerman dan Solo Jawa Tengah.
  • Pendidikan:
  • 1988-1993 Universitas Padjadjaran, Bandung jurusan hubungan International
  • 1994-2001 Degree In Fine Art,The Hochschule Fuer Bildende Kuenste, Braunschweig, Jerman.
  • 2001-2002 Postgraduated Program in Perfomance Art, The Hochschule Fuer Bildende Kuenste, Braunschweig, Jerman.

Sumber: Kompas.24-Maret-2015.Hal_.16

Valencia Mieke Randa, Sukses IGD Maya, Lanjut Rumah Harapan Uang Sewa Dicicil, Rogoh Kocek Sendiri

Valencia Mieke Randa, Sukses IGD Maya, LAnjut Rumah Harapan. Jawa Pos. 21 April 2015.Hal.30

Berbagi gerakan sosial dilakukan Valencia Randa atau yang lebih dikenal dengan nama Silly. Mulai menggagas Blood for Life, 3 Little Angels, sampai yang terbaru mendirikan Rumah Harapan.

Rumah bercat oranye di kawasan Tabet Timur, Jakarta, Siang itu penuh dengan tawa riang dan send agurau anak- anak yang menghuni lantai 2. Mereka adalah anak- anak sakit kronis yang tidak mampu. Kebanyakan  berasal dari luar Jakarta yang tinggal sementara sambil menungg jadwal perawatan di rumah sakit. Itulah Rumah Harapan yang mulai beroperasi pad a30 November tahun lalu. Sebelum mendirikan Rumah Harapan, Silly menelurkan Blood for Life yang membantu kebutuhan donor darah dan 3 Little Angels yang rutin berkunjung ke rumah sakit untuk membantu pasien anak kurang mampu. Saat ingin membangun rumah singgah Silly pernah mengirim proposal donasi ke beberapa perusahaan untuk membiayai sewa rumah selama setahun. Namun, usahanya selalu mental. Sampai pada awal 2014, dia bertemu dengan seseorang dan dijadikan Rumah Harapan tersebut.

Saat mengetahui harga sewa rumah itu Rp 150 juta, Silly merasa down. Tapi, dia terlanjur sreg dengan rumah tersebut. “Waktu naik ke lantai 2, saya seperti déjà vu, melihat kamar- kamar yang sudah diparket  ( lantai dilapisi kayu parket, Red), seperti sekarang,” ujarnya.

                Melihat keteguhan Silly yang henda membangun rumah singgah si pemilik rumah akhirnya menurunkan nilai sewa menjadi Rp 100juta. Meski sudah didiskon Rp 50 juta, biaya sewa itu tetap asih terlalu besar bagi Silly. Doa lantas meminta agar diperbolehkan mencicil sampai pertengahan tahun.

“ Saya percaya, niat baik pasti akan menemukan jalan,” ucap dia. Benar saja.  Pekerjaan demi pekerjaan menghampiri Silly. Dia di tunjuk sebagai brand ambassador produk A, menjadi influencer produk B, dan banyak laiinya. Tiap mendapatakan pembayaran, dia langsung mentransfer untuk mencicil sewa rumah hingga genap RP 100 juta.

Selanjutnya, presentasi ke perusahaan-perusahaan pun menjadi lebih mudah. Misalnya, untuk keperluan renovasi rumah dan pengadaan perabotan. Penghuni pertama Rumah Harapan adalah Tyas 11. Pasien kanker tulang akut tersebut sebelumnya tinggal di kawasan pemukiman padat yang tidak kondusif untuk perawatan. Saat dipindahkan ke Rumah Harapan pada 30 November 2014, kondisi Tyas memprihatinkan. Ada luka menganga dan bernanah hingga sendi- sendinya terlihat. Dokte mengatakan, kondisinya sudah terminal. Namun, dengan kasih saying dicurahkan, kondisi Tyas berangsur membaik.

Kesibukannya merintis Rumah Harapan tidak membuat Silly meninggalkan gerakan sosial yang dibentuknya lebih dahulu. Blood for Life tetap berjalan melalui media sosial. Sampai- sampai,akun Twiter @blood4LifeID mendapat sebutan IGD maya karena terus aktif dengan 10 admin yang stand by 24 jam mengakomodasi kebutuhan darah. Begitu juga Twiter @3_little_Angels.

Bila dirunut, Silly sama sekali tidak punya background medis. Dia merupakan alumnus Teknik Mesin Universitas Indonesia.”Saya beruntung dibesarkan  orang tua dengan ajaran berbagi kepada sesama,”ungkap Silly.

Concern terjun ke aktivitas sosial sejak 2009, bukan sekali dua kali Silly merasa lelah. Perasaan lelah itu muncul ketika orang beranggapan bahwa dirinya melakukan gerakan sosial untuk mencari uang dan popularitas. “ banyak yang mikir, saya dapat uang dari mana ? Orang tidak tahu,dengan jadi Brand ambassador (duta produk, Red), kontraknya Rp 100 juta/ tahun. Saya juga jadi influencer, penulis iklan dan artikel,”tutur Silly.

Namun, setiap ingin berhenti, Silly merasa Tuhan selalu mengembalikan dirinya ke jalur. Apalagi, keluarga terus men- support. Mulai sang suami, Coody Johasman yang merupakan CEO sebuah perusahaan, serta tiga anaknya, Aurel, Andre, dan Hiroshi.

Belajar Peka dan Kuat dari Anak

Jangan buru- buru mengeluh tidak punya waktu untuk melakukan kegiatan sosial. Atau, sibuk ini- itu, bekerja, mengurus anak, dan mengerjakan hobi. Tengoklah bagaimana Silly bisa memanfaatkan waktunya dengan optimal. Semua itu bisa dilakukan karena prinsip Silly, living to the fullest. Dia selalau total menjalani semua aspek kehidupannya. Bekerja, seratus persen. Dirumah sebagai ibu, seratus persen. Begitu pula dalam aktivitas sosial menyentuh anak- anak yang lain. Padahal, tantangan yang dia hadapi di rumah cukup berat. Putri sulungnya, Aurel, didiagnosis menderita mild autism dengan ketakutan yang berlebihan. Anak kedua, Andre, hiperaktif. Tiba- tiba dia membakar gorden, memasukkan tanggannya ke colokan listrik, sampai membenturkan kepala ke dinding.

“Anak pertama saya mengajari jadi peka, belajar mendengar yang tak terucapkan. Anak kedua membuat saya jadi kuat,” ucap Silly. Putra bungsunta, Hiroshi ( Ochi), sempat mengalami food intolerance atau alargi semua makanan. Silly harus struggle bersama ketiga anaknya. Selama tiga tahun dia menerapkan provokasi- elimanasi jenis makanan kepada Ochi dan mencatat hasilnya dalam food diary yang super tebal. “Setelah tiga tahun, Ochi lulus dan sekarang sehatnya luar biasa. Lucu banget. He’s my guardian angel yang selau bikin ketawa,’’tuturnya.

Bagi Silly, ketiga anaknya merupakan sekolah kehidupan yang memberikan banyak pelajaran dan membuatnya menjadi seperti sekarang. Dia berharap anak- anaknya tumbuh menjadi anak yang kaya hati dan berjiwa besar. Sekarang Aurel sudah berusia 15 tahun.dia punya passion tinggi terhadap dunia film, tergabung dalam sineas muda yang sedang meyusun film Merajut Asa di Laut Bajo.

Selama ini Silly sering mengajak anak- anaknya ikut dalam aktivitas sosial. Misalnya, berkunjung ke rumah sakit serta Rumah Harapan. Tak heran, anak- anak itu sudah hafal jadwal sang mama berkunjung ke rumah sakit. Mereka justru aneh bila melihat mamanya hanya diam di rumah.

Sumber : Jawa-Pos.-21-April-2015.Hal_.30

Dewindra Widiamurti, Emergency Health Coordinator IFRC Liberia Pilih Ikuti Kata Hati

Pilih Ikuti Kata Hati. Jawa Pos. 21 April 2015.Hal.24

“Just follow what your heart said.” Kalimat itulah yang selalu menjadi pegangan dr Dewindra Widiamurti dalam setiap mengambil keputusan. Termasuk keputusan untuk terjun sebagai volunteer hingga mengantarkannya sebagai emergency health coordinator ebola operation di International ebola operation di Inernational Federation Societies ( IFRC) Liberia.

Hati Winda, begitu Dewindra biasa disapa, terpanggil dalam kegiatan sosial dan kemanusiaan saat bencana alam tsnunami Aceh, Desember 2004. Dia menceritakan, kala itu, tsnunami memora- porandakan Aceh. Sebagai lulusan FK Universitas Hang Tuah Surabaya hati perempuan 37 tahun itu merasa  terketuk. Dia terpanggil untuk membantu secara langsung korban tsunami. Secara bersamaan, Palang Merah Indonesia ( PMI) membuka lowongan tenanga medis yang bakal ditempatkan di Aceh. Saat itu Winda sempat ragu. Pasalnya, ketika itu Aceh Merdek ( GA) dan pemerintah daerah.

Setelah berkonsultasi dengan kaluarga, keraguan Winda pupus. Hatinya semakin mantap untuk terjun dalam medical response team di PMI pusat.

“If I were you, If I were younger I will definitely go there to help. Your late mom will do the same.” Kalimat Nusantara SpR, itu semakin membuat dirinya yakin. Singkat cerita, perempuan kelahiran Surabaya tersebut tiba di Serambi Makkah pada 1 Februari 2005. Dia merasa sudah tidak ada tanda- tanda kehidupan di Aceh.

Tentang mandi dan terbatasnaya sumber air bersih, Winda punya satu cerita yang selalu diingatny. Saat dirinya ditempatkan di Calang, Aceh Jaya, mandi sangat suit. Ada kamar mandi darurat berdinding terpal dan tanpa atap. “jadi, kalau mau mandi, mesti lihat dulu ada orang di atas atau nggal. Mandi pun mesti jongkok karena badan saya lumayan, hahaha..” beber kehidupan perempuan yang memfavoritkkan rujak cingur itu.

Keadaan berangsur normal sejak Juni. Klinik PMI tetap buka sampai Oktober. Setelah itu, klinik ditutup. Petugas kesehatan pun kembali ke daerah masing- masing. Yang dikhawatirkan,kalau klinik darura PMI tetap berjalan, orang tidak akan datang ke klnik “normal”. “Karena itu, PMI harus ‘mundur’ agar sistem kesehatan di Aceh kembali sebagaimana sebelum bencana,” ungkapnya.

Beberapa bulan kemudian, Winda bergabung sebagai liaison team antara PMI dan IFRC ( International Federation of Red Cross and Red Cresent Societies). Kemudian, akhir 2012 IFRC di Timor Leste menghubungi Winda. “Saya bimbang. Sebab, saat itu saya mulai berkarir menjadi penyanyi. Tapi, di sisi lain, menjadi delegasi PMI adalah salah satu impian besar saya,”ucapnya.

Akhirnya, dia memutuskan untuk bergabung di IFRC Timor Leste dan berkarir selama 15 tahun. Selanjutnya, dia bergabung dengan ebola operation di Liberia itu melalui proses melamar kerja. Sekarang dia dipercaya dalam posisi emergency health coordinator. Dia membawahkan empat orang. Tiga orang berasal dari Kenya dan seorang dari Pakistan.

Musik Itu Napas Kehidupan

Dikelilingi berjuta aktivitas, dr Dewindra Widiamurti selalu punya trik jitu untuk menghilangkan kebosanan.

Apakah dokter tidak pernah merasa  jenuh?

Sebagai manusia, jenuh itu wajar, hehehe.. Cuma yang paling penting kita bisa me-manage jenuh itu.

Bagaimana caranya?

Yang paling penting dalam situasi kerja yang penuh tekanan seperti ebola operation ini, saya haruss tahu kapan waktu bekerja, beristirahat, dan bersosialisasi. Buat saya sih, walau sulit sekali, dalam seminggu biasakan sehari tidak membicarakan pekerjaan. Continue talking with your family back home atau sama teman-teman di luar Liberia. Baca berita dari belahan dunia lain, main music, berenang. Saat di Timur Leste , aku ketemu sama musicians dari Brasil, Australia, dan Kuba group band and performed in various café and hotel in Dili.

Dokter jago menyanyi jazz. Benarkah?

                Music and singing is like the air I breath. It’s in my blood. Waktu di Dili, Timor Leste, our band had regular performance in several café and hotel.

Kalau saat ini?

                Sekarang udah gak main music lagi alias jarang tapil. Jadi, jarang berlatih. Paling hanya nyanyi sendiri sama main gitar. Sya bela-belain beli gitar di sini (Liberia, Red) demi memberantas kebosanan. Atau, kadang kalau sedang di sebuah restoran, saya suka bermain piano dan bernyanyi.

Mengapa jazz favorit?

                Aku suka jazz itu karena dinamis, ia nggak konstan, it allows you to explore more. Like life for me.. never get bored of this. Sebenarnya selain jazz, aku suka pop, RnB, groovy kind of music, classical tunes. Cuma emang  yang paling nggak pernah bosan ya jazz.

Sudah buat album?

                Saat ini sudah ada satu minialbum. Aku menulis semua lagu dalam album. Sampai sekarang, aku masih menulis lagu. Apalagi kalau sedang dapat inspirasi. Tapi, sekedar hobi buat dikumpulkan saja. (bri/c7/nda)

 

Sumber:  Jawa Pos, 21 April 2015

Ngobrol Bareng Andien, Prita Ghozie, dan Intan Soekotjo Menjadi Permpuan Pembawa Perubahan

Menjadi Perempuan Pembawa Perubahan. Jawa Pos. 21 April 2014.Hal.22

Merasa menjadi perempuan pembawa perubahan?

Andien: Dalam beberapa aspek, iya. Perebuhan sekecil apa pun saya rasa bisa punya pengaruh lumayan besar terhadap orang lain.

Intan: Ya. Saya merasa menjadi perempuan yang membawa perbuhan.

Prita: Yang bisa menilai, orang lain ya. Pembaca buku saya, klien saya, mereka yang mengungkapkan hal itu.

Perubahan yang dilakukan?

Andien: Pertama di music. Saat saya mengeluarkan album pertama pada 2000, tidak banyak anak seusia saya dan penyanyi perempuan di Indonesia yang memilih jazz. Lalu pada 2002 saya membuat album bersama Indra Lesmana. Banyak musisi yang berkomentar, album itu kecepatan 10 tahun. Namun, album tersebut membuka gerbang buat musisi atau band jazz yang sekarang ini. Aspek lain, pola hidup sehat dan fashion.

Intan: Perubahan yang saya lakukan berkaitan dengan profesi sekarang yakni penyanyi keroncong. Selama ini keroncong identic dengan music tua yang hanya digemari orang tua. Saya ingin membuat orang-orang lebih aware bahwa keroncong bisa mengikuti perkembangan zaman dan disukai kalangan yang lebih luas. Dalam hal ini, anak muda di generasi saya.

Prita: untuk masyarakat, saya menulis dua buku. Buku pertama sudah memasuki cetakan kedelapan, buku kedua cetakan ketiga. Artinya, lebih dari 10 ribu orang yang membacanya. Dari situ, saya berharap bisa memberikan peruahan. Mungkin belum semua melakukan perubahan, tapi at least mindset-nya sudah berubah.

Bagaimana memulai sesuatu perubahan?

Intan: Dari lingkungan terdekat. Waktu itu lingkungan kampus. Karena masih asing, banyak teman yang meminta saya membawakan lagu keroncong. Dari sana, mereka mulai kenal. Tidak lama, saya mendapat tawaran untuk mengolaborasikan keroncong dengan jazz dalam sebuah event music. Awalnya saya ragu. Pada akhirnya, saya yang yakin keroncong bisa maju dengan cara baru.

Prita: Saya mencari apa yang bisa saya lakukan membantu hidup banyak orang. Jawabannya adalah menjadi financial planner. Saya merintis ZAP Finance sejak 2008. Kenapa membuka sendiri, tidak bergabung dengan kantor konsultan yang sudah ada? Sebab, suami ingin kalau saya bekerja, saya harus mengutamakan keluarga.

Andien: Kalau diluar musik, secara tidak sengaja, saya punya kebutuhan untuk hidup sehat. Saat SMA saya pernah terkena tumor payudara. Pernah juga pas menyanyi, merasa stamina menurun. Jadi, saya punya kebutuhan untuk olahraga. Itu berlangsung sejak 2008. Terus, iseng upload foto sedang berolahraga di media sosial. Ternyata itu menginspirasi banyak orang untuk melakukan hal yang sama. Saya juga kaget, saya piker penyanyi Cuma bisa menginspirasi lewat musik. Ternyata, aspek lain pun bisa.

Modal apa saja yang dibutuhkan untuk membuat perubahan itu?

Andien: Kita baru bisa membawa perubahan ketika speak out, berani menampilakan diri ke luar.

Intan: Modalnya tentu kecintaan pada budaya Indonesia dan keinginan kita untuk menyebarkan kecintaan itu.

Prita: Yang pertama, tidak pernah lelah belajar. Ibarat gelas, kalau sudah merasa penuh dan tidak mau mengisinya lagi, ya mentok sampai di situ. Tapi, kalau ma uterus mengisi dan membaginya kepada orang lain, kita bisa membawa perubahan. Kedua, harus berani speak out. Kalau nggak, tidak ada yang tahu dong.

Apa saja tantangan dalam menbuat perubahan itu? Cara menghadapinya?

Andien: Bicarakan perubahan, artinya bicara diferensiasi. Kultur di sini sulit untuk melakukan perubahan. Kalau ada yang beda, dilihatnya aneh. Ada pengelompokan sosial, kita harus percaya diri dan berani speak out. Perubahan yang positif, lakukan dengan strategi yang benar.

Pria: Literasi keuangan masyarakat kita belum tinggi. Namun, berharap mulai meningkat. Misi terbesar, menjadikan keluarga-keluarga Indonesia sejahtera dengan cara merencanakan keuangan dengan baik. Sejahtera tidak berarti paling kaya, tapi semua kebutuhannya terpenuhi. Indonesia sangat luas, dari Sabang sampai Merauke, kita tidak mungkin mengerjakannya sendiri.

Intan: Kebanyak musisi keroncong senior itu idealis. Mereka sulit sekali percaya bahwa generasi muda bisa ikut melestarikan keroncong. Padahal, kalau search di youtube, kan banyak video keroncong dari anak-anak muda. Tapi, mereka tidak menonton youtube. Jadi, harus pelan-pelan. Mencoba mengajak mereka menonton pertunjukan secara langsung agar bisa melihat sendiri. Sejauh ini, itu cara paling efektif.

Punya pengalaman tidak mengenakkan?

Andien: Awal berkarir (umur 14 tahun), saya sering dianggap nggak bisa menyanyi. Pernah di satu acara, saya “diospek” banget sama senior, diragukan dan diejek. Saya menyanyi sambil menangis. Padahal itu live ditonton orang se-Indonesia. Saat itu rasanya nggak kuat. Tapi saya berusaha bertanggung jawab dengan profesi yang saya pilih.

Prita: Pernah. Ada yang menganggap informasi yang saya sampaikan nggak penting, apalagi disampaikan oleh saya yang masih muda, dianggap kurang pengalaman. Padahal, kalau dilihat, sejak umur 16 tahun saya menjadi investor reksa dana. Saya sudah ngalamin berinvestasi saat masih sekolah, sebagai karyawan, ibu rumah tangga, dan pengusaha.

Intan: Sejauh ini tidak pernah ada diskriminasi. Karena tadi itu, mayoritas penyanyi keroncong itu perempuan. Jadi, tidak ada masalah.

Bangga menjadi perempuan?

Intan: Tentu bangga. Perempuan itu dianugerahi kemampuan multitasking. Bia mengerjakan berbagai hal dalam satu waktu dan masih bisa fokus.

Andien: Saya setuju banget. Perempuan itu multitasking. Saya melihatnnya, di dalam diri laki-laki ada laki-laki, dalam diri perempuan ada perempuan dan laki-laki. Yang juga menyenangkan jadi perempuan, sensitivity yang jarang dimiliki laki-laki. Satu lagi, pilihan bajunya lebih beragam. Hehehe

Prita: Oh iya dong, perempuan itu multitasking. Diberi anugerah bisa mengandung, melahirkan, berbakti kepada suami, dan bermanfaat bagi orang lain. Perannya besar sekali, perempuan itu makhluk yang sangat mulia. Namun, saya bukan yang percaya dengan konsep emansipasi. Posisi perempuan tidak pernah sejajar dengan laki-laki. Tetpi, perempuan bisa berkarya sama dengan laki-laki. Beda dengan emansipasi. (nor/and/c7/any)

 

Sumber: Jawa Pos, Selasa 21 April 2015

Mengenang Kartini di Dunia Kontemporer

Mengenang Kartini di Dunia Kontenporer. Jawa Pos. 21 April 2014.Hal.18

Mengenang Kartini adalah juga mengenang lagi ayah saya yang dulu memberikan buku kumpulan surat-surat pribadinya, Habis Gelap Terbitlah Terang, ketika saya masih berada di sekolah dasar. Surat-surat yang disunting Armijn Pane itu berasal dari terjemahan surat-surat Kartini dalam bahasa Belanda, Door Duisternis Tot Licht, dan diterbitkan Balai Pustaka. Ayah membelinya di sebuah toko buku di Jakarta.

Ilustrasi perempuan bersanggul dan berkebaya yang menghiasi sampul muka buku tersebut tentu sangat kuno jika dibandingkan dengan sosok ibu saya di akhir dekade 1970-an, yang mengenakan sepatu bertumit tinggi, ikat pinggang dari bahan kulit, gaun yang rapi nan elegan, serta kacamat Ray-Ban dari Bausch & Lomb untuk melindungi matanya dari terik matahari ketika bermobil.

Tren mode dapat berubah-ubah dan tidak jarang merefleksikan keadaan sosial yang menandai sebuah zaman. Sedangkan surat-surat Kartini telah ikut membentuk zaman itu sendiri ketika kata “emansipasi” tidak lagi terlarang bersenyawa dengan kata “perempuan”. Ibu dapat bekerja di luar rumah adalah juga dampak dari bola salju perjuangan Kartini.

Surat-surat Kartini dan para sahabatnya kemudian menginspirasi saya untuk berkorespondensi dengan sejumlah sahabat pena di berbagai kota di Indonesia yang alamat mereka saya peroleh dari daftar pemenang teka-teki silang di sebuah majalah anak-anak.

Tujuannya, merintis jalan menjadi “seorang pejuang dengan kata-kata” seperti julukan ayah untuk perempuan yang hari lahirnya diperingati tiap 21 April. Alhasil, setiap minggu ibu pergi ke kantor pos dekat kantornya untuk mengirim surat-surat saya kepada mereka. Saya juga mengkhyalkan suatu hari surat-surat kami dibukukan. Syukurlah hal itu tidak terjadi. Surat-surat saya tidak berisi pemikiran yang cemerlang mencengangkan, melainkan cerita-cerita konyol dan remeh-remeh.

Habis Gelap Terbitlah Terang membuat kita kembali menelusuri situasi dan pemikiran perempuan Jawa yang hidup dalam kurung waktu akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Dia cerdas, kritis, peduli kepada sesame, memiliki pandangan yang melampaui masanya, dan gemar bertukar pikiran dengan bermacam orang. Tapi, dia juga berharap dengan budaya dan tradisi feudal yang tidak mengijinkan perempuan menentukan dan mewujudkan kehendak sendiri. Sedangkan pada saat bersamaan, kolonialisme Hindia Belanda tengah menjadi kekuatan yang juga memanfaatkan kaum feudal sekaligus menjadi tuan bagi mereka.

Meskipun Kartini meninggal dunia lebih dari 100 tahun lalu, perempuan di Indonesia belum sepenuhnya bebas dari sisa-sisa feodalisme. Kolonialisme bahkan berkembang ke bentuk baru yang canggih dan lebih kuat, neokolonialisme. Praktiknya masih terentang di antara Asia dan Afrika, di wilayah-wilayah kaya penyedia mineral dan hasil alam yang ters bergolak dalam konflik serta perang. Hampir tiga dekade setelah saya membaca Habis Gelap Terbitlah Terang, Pramoedya Ananta Toer, pejuang kemerdekaan nasional dan sastrawan terkemuka Indonesia yang menjadi musuh nomor satu Orde Baru hingga wafatnya, menyunting serta mengulas surat-surat Kartini dalam sebuah buku berjudul Panggil Aku Kartini Saja. Buku itu diterbitkan Hasta Mitra pada 1997. Buku yang ditulis Pramoedya tersebut biografi politik Kartini.

Ketika membaca Habis Gelap Terbitlah Terang, saya masih kanak-kanak. Sebagian isinya saya sudah tidak ingat. Ketika membaca Panggil Aku Kartini Saja, saya sudah dewasa dan menyimaknya dengan berbekal pengetahuan, wawasan dana pengalaman hidup. Buku itu menampilkan  sosok Kartini dengan lebih terang. Berkat yahnya, bangsawan yang menjadi bupati di Jepara dan mengabdi sebagai birokrat colonial, dia dapat bergaul dengan orang-orang Belanda dan bahkan pernah bertemu penggagas politik etis, C. Th van Devender.

Politik “balas budi” itu adalah pemikiran tentang perlunya menyejahterakan rakyat di negeri jajahan setelah menyiksa dengan tanam paksa, bukan mengakhiri penjajahan. Kartini menyadari bahwa di antara dirinya dan para tamu atau sahabat keluarganyaitu ada pertentangan yang tak terdamaikan. Mereka berasala dari sisi bangsa yang dijajah. Dia mengkritik tajam praktik kolonialisme dan rasisme dalam surat bertanggal 12 Januari 1900 untuk sahabatnya, Estella H. Zeehandelaar atau yang biasa disapanya Stella, anggota Sociaal Buru Sosial Demokrat.

Banyak, amat banyak diantara mereka boleh kami sebut sahabat karib kami. Tiada lain sebabnya, hanyalah karena kami berani berdaya upaya menjadi cerdas dan maju, hampir-hampir sama dengan mereka. Dengan cara yang halus sekali mereka membuat kami merasakan hal itu. “saya orang Eropa, kamu orang Jawa” atau dengan kata lain “saya memerintah, kamu saya perintah.. oh, sekarang saya mengerti, mengapa orang tidak setuju dengan kemajuan orang jawa. Kalau orang Jawa berpengetahuan, ia tidak akan lagi mengiakan dan mengamini saja segala sesuatu yang ingin dikatakan atau diwajibkan oleh atasannya.

Namun kata “Jawa” disini tidak lagi dapar diartikan semata-mata etnis atau bangsa Jawa, melainkan dalam konteks yang lebih luas, yaitu bangsa yang dijajah. Meskipun tak dapat dimungkiri bahwa orang Jawa memang paling diperbudak dan menderita di masa colonial Belanda. Bagaiman rasisme? Praktiknya tak pernah pudar. Kasus penembakan brutal di kantor tabloid satire Charlie Hebdo awal Januari lalu di Paris telah dipicu oleh praktik rasisme di Prancis. Saking lumrahnya praktik itu, orang-orang disana biasa menjadikan lelucon segala hal yang berhubungan dengan orang-orang Prancis keturunan Arab atau Aljazair, lalu menyamarkannya dalam frasa “kebebasan berpendapat”.

Sampai akhir hayatnya, Kartini tak pernah berhenti menyuarakan cita-citanya. Dalam surat pertamnya untuk Stella yang menanggapi pemngumumannya mencari sahabat pena di Hollandsche Lelie, sebuah majalah  perempuan di Belanda, kita tidak hanya menangkap sikap pembela hak-hak perempuan yang bersemangat, tapi juga pejuang kemanusiaan.

Saya ingin sekali berkenalan dengan seorang gadis modern, yang berani, yang dapat berdiri sendiri, yang menarik hati saya sepenuhnya, yang menempuh jalan hidurnya dengan langkah cepat, tegap…gadis yang selalu bekerja tidak hanya untuk kepentingan dirinya sendiri saja, tetapi juga berjuang untuk masyarakat luas, bekerja demi kebahagiaan sesame manusia.

 

Sumber: Jawa Pos, Selasa 21 April 2015

Kenangan Kartini di Leiden, Utrecht, dan Den Haag Geram karena Tak Boleh Sekolah

Kenangan Kartini di Leiden, Utrecht, dan Den Haag. Jawa Pos. 21 April 2014.Hal.20

Matahari pukul 10.00 menyambut saya di depab Stasiun Leiden Centraal. Kabut masih menggantung, teapi alin – alun stasiun sudah ramai dengan lalu-lalang mahasiswa. Entah sudah berapa kali saya menginjakkan kaki di sini, namun hari ini tujuan saya istimewa: mengunjungi Kartini.

            LEIDEN. Kota kecil di Provinsi Holland Selatan ini terkenal sebagai pusat ilmu budaya dan sejarah. Memasuki kota ini, saya disambut Museum Volkenkunde yang memamerkan beragam koleksi kebudayaan dunia.

Di seberangnya, kincir angin De Valk berdiri tegak di samping kanal Rijnsburgersingel. Kincir angin yang dulu berfungsi sebagai tempat pengolahan gandum itu, sekarang menjadi museum yang terbuka untuk umum.

Lima tahun sudah saya meninggalkan kota ini. Namun, tiap kali menapaki Leiden, saya seolah pulang ke rumah yang selalu saya rindukan; bangunan – bangunan tua nan klasik, kanal – kanal cantuk yang kadang dipenuhi kapal – kapal kecil, burung – burrung camar yang kerkerumun di alun – alun kota, dan setapak – setapak sempit yang memikat.

Leiden memang istimewa, juga bagi Indonesia. Kota ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah ibu pertiwi. Sejumlah tokoh besar Indonesia, seperti Achmad Soebardjo (Menlu Pertama Indonesia) dan Hoessein Djajadiningrat (doktor dan guru besar pribumi pertama), adalah lulusan Universiteit Leiden, yang merupakan universitas ttertua di Belanda (didirikan pada 1575). DI kota itu pula organisasi Persatuan Pelajar Indonesia kali pertama dimulai, pergerakan yang berpengaruh besar dalam perjuangan politik Indonesia dalam merebut kemerdekaan.

Saya melangkah menuju perpustakaan Universiteit leiden. Di perpustakaan tersebut, surat – surat asli tulisan tangan Kartini tersimpan. Ketika saya sampai, Mr Lam Ngo dari KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal-, Landen Volkenkunde) menjemput di lobi dan mengajak saya ke bagian special collections. Mr Ngo lalu mengambil dus yang berisi ratusan surat Kartini. Semua ditandai dengan cermat, disusun berdasar tanggal pengiriman. “Koleksi ini adalah pemberian J.H. Abendanon pada 1986,” jelas Mr Ngo. “Hampir semua surat di koleksi ini ditujukan kepada J.H. Abendanon atau istrinya, Rosa Abendanon,” lanjutnya.

Saya mencermati daftar arsip yang diberikan Mr Ngo. Dus itu tidak hanya berisi surat – surat Kartini, namun juga surat – surat dari dua adik Kartini – Roekmini dan Kardinah- kepada keluarga Abendanon. Selain itu, terdapat kartu nama Kartini dan adik – adiknya (saya takjub , pada 1900 Kartini sudah punya kartu nama, bagus pula!) serta kliping artikel – artikel mengenai Kartini yang dimuat di media massa Belanda.

Sebagian besar surat – surat tersebut tidak diterbitkan dalam buku Door Duisternis Tot Licht atau Habis Gelap Terbitlah Terang. Itu membuat saya pensaran ingin membaca suratnya satu per satu. “kalau mau membaca secara detail, lebih baik baca dari microfiche saja,” saran Mr Ngo sembari memperlihatkan microfiche, lembaran plastik solid mirip klise film. Sejak September 2012, manuskrip asli kartini memang tidak boleh lagi diakses oleh umum. Sebab, semuanya sudah ditransfer dalam bentuk microfiche. Saya termasuk orang paling beruntung karena Mr Ngo memberi saya izin khusus untuk melihat dan memotret surat – surat aslu tersebut.

Berada di tengah – tengah tulisan tangan Kartini merupakan pengalam mengesankan. Sesungguhnya saya bukan pengagum fanatik Kartini. Membaca Habis Gelap Terbitlah Terang saja belum pernah. Namun, saat membaca surat – suratnya, saya jatuh hati pada kefasihan Kartini menggoreskan pena. Dalam bahasa Belanda yang nyaris sempurna, Kartini dengan lugas, puitis (dan kerap penuh emosi) mengisaahkan hidup dan menjabarkan pemikirannya. “Vraag mij niet of ik wil, vraag mij of ik mὰg! – Jangan tanya apa yang saya mau, tanya apa yang boleh!” tulis Kartini, marah campur putus asa, ketika menceritakan keinginannya untuk melanjutkan sekolah. Saya bisa membayangkan betapa geramnya Kartini saat itu; tidak diperbolehkan bersekolah hanya karena dia perempuan!

Setelah membolaj – balik manuskrip Kartini di special collections perpustakaan Universiteit Leiden, saya menuju pusat kota untuk menengok tempat tinggal kakak laki –laki Kartini, RMP Sosrokartono, pada 1900-an. Pada 1896 Sosrokartono datang ke Belanda untuk berkuliah di TU Delft. Setelah menyelesaikan studi di TU Delft, dia mengambil gelar master di Inviversitetit Leiden. Sosrokartono-lah yang kerap mengirimkan majalah dan buku – buku berbhasa Belanda kepada Kartini dan adik – adiknya.

Menurut catatan Pemerintah Kota Leiden, Sosrokartono tinggal di kota tersebut sejak 1901 dan beralamat di Breestraat 95. Sekarang lantai dasar Breestraat 95 digunakan sebagai toko, namun lantai 2 masih dipakai sebagai tempat tinggal. Saya pikir, Sosrokartono dulu juga mungkin tinggal di lantai 2. Mengingat, Breestraat adalah salah satu shopping street paling tua di Leiden dan rata – rata lantai dasar bangunan digunakan sebagai toko.

Sayang sekali Kartini tidak pernah datang ke Belanda, saya membatin sembari mengamati tempat tinggal Sosrokartono. Padahal, pada 1902 Kartini mendapat beasiswa untuk bersekolah di Belanda. Kalau saja Kartini diizinkan bersekolah disini, mungkin dia akan memilih berkuliah di Leiden seperti kakaknya.

Kartini memang tidak pernah menginjakkan kaki di Leiden, namun jejaknya masih tersimpan rapi di kota ini. Danm semoga saja, semangatnya teteap menginspirasi banyak orang.

Diakui sebagai Pejuang HAM

             PEMERINTAH Belanda menganggap Kartini sebgai figur istimewa yang namanya layak diabadikan sebagai nama jalan. Di Belanda, setidaknya ada empat Kartinistraat atau Jalan Kartini. Yakni, di kota Haarlem, Amsterdam, Utrecht, dan Venlo.

Di Kota Utrecht, Kartinistraat terletak di daerah Voodrdorp, kawan permukiman baru yang asri dan tertata rapi. Tempat itu dapat dijangkau sekitar lima belas menit dari pusat kota dengan bus. “Voordorp mulai dibangun pada 1990.” Cerita sander Ekstijn, webmaster Voordorp Vooruit, sebuah situs lokal yang khusus dikelola dan ditujukan untuk penduduk Voordorp. “Saya tinggal di sini sejak 1991 dan saya ingat Kartinistraat selesai dibangun pada 1992,” tambahnya.

Cecile van der Meij, salah seorang penduduk Kartinistraat, menyatakan tidak tahu banyak soal Kartini. “Saya sama sekali tidak mengenal Kartini, kecuali dari keterangan di plang jalan,” katanya sembari menunjuk plang Kartinistraat yang diserti keterangan singkat mengenai Kartini, pejuang emansipasi perempuan di Hindia Belanda.

“Saya belum lama tinggal di sini. Tapi, yang saya tahu, penamaan jalan di kawasan ini bagian dari proyek Pemerintah Kota Utrecht. Mereka khusus menamai semua jalan di sini dengan nama pejuang dari berbagai negara. Lihat saja, di sana ada Che Guavarastraat, Kemal Ataturkstraat, dan Pablo Nerudastraat,” ungkap Cecile merujuk beberapa jalan di sekitar Kartinistraat.

Cerita Sander dan Cecile dibenarkan Alice Oosterhoff, staf Pemerintah Kota Utrecht Komisi Penamaan Jalan. “Jalan ini diberi nama Kartinistraat pada 29 Oktober 1990, bersamaan dengan enam belas jalan lain di kawasan Voordorp,” katanya. Oosterhoff menambahkan, semua nama yang dipilih berasal dari tokoh – tokoh yang memperjuangkan hak asasi manusia.

Menurut situs Voordorp Vooruit, salah satu alasan Kartini disejajarkan dengan para pejuang hak asasi manusia adalah pemikirannya yang memukau orang Belanda. Pada 1899, Kartini mengirim surat surat ke majalah perempuan De Hollandsche lelie. Redaktur yang membaca suratnya sangat terkesan, sampai – sampai, dia mengimbau para perempuan Belanda untuk berkorespondensi dengan Kartini. Tulisan Kartini juga sempat beberapa kali dipublikasikan di majalah tersebut.

“Pemikiran Kartini sangat progresif dan mendahului zamannya. Dia juga berpengaruh dalam perjuangan emansipasi perempuan,” tegas Ooosterhoff. “Karena itu, kami sepakat menyertakan Kartini sebagai salah satu nama jalan di Utrecht,” lanjutnya.

Apakah Kartinistraat enak ditinggali? Cecile van der Meij mengangguk. “Ya, jelas. Daerahnya tenan. Kadang terlalu tenan, malah. Kalau buat saya sih, boleh dibikin lebih ramai lagi,” katanya, lantas tertawa.

Den Hagg dan Kartini-prijs

             TAK hanya diabadikan sebgai nama jalan, Kartini juga dijadikan sebagai nama penghargaan. Setiap tahun Pemkot Den Haag menganugerahkan Kartini-prijs atau Pengahragaan Kartini tepat di Hari Perempuan Sedunia pada 8 Maret.

Awalnya penghargaan itu diberikan kepada individu atau organisasi yang dinilai berkontribusi positif bagi emansipasi perempua imigran di Den Haag. Namun, sejak 2007, konsep Kartini-prijs tidak lagi terfokus pada emansipasi perempuan. Lingkup dan tujuan penghargaan tersebut jadi lebih luas, yaitu mendorong emansipasi dan partisipasi penduduk Kota Den Haag, baik perempuan maupun laki – laki.

“Kami tetap mendukung emansipasi perempuan sepenuhnya. Namin, kami ingin menghapuskan pengotak – kotakan berdasar jenis kelamin, Kami ingin mendorong siapapunm baik perempuan maupun laki – laki, untuk memberikan kontribusi positif bagi sekitar,” terang Nathaly Mercera, juru bicara PEP Den Haag yang membawahkan Kartini-prijs, ketika ditanya soal perubahan konsep penghargaan itu.

Pada 2015 pemenang Kartini-prijs adalah De Schilderswijk Moeders, sebuah proyek di bawah payun organisasi De Mussen.

Itu merupakan lembaga yang bertujuan membenahi kawasan Schilderswijk di Den Haag. Kawasan tersebut dikenal sebagai salah satu daerah kumuh dengan tingkat kriminalitas di atas rata – rata. DE Schilderswijk Moedera bertujuan membantu perempuan – perempuan terisolasi yang rata –rata imigran di daerah itu.

Schilderswijk Moeders terdiri atas 26 perempuan yang dilatih untuk menjadi “jembatan” antara perempuan – perempuan terisolasi dan instansi pemerintah. Sampai sekarang 26 staf itu telah berhasil emnolong ratusan perempuan imigran yang tinggal di daerah Schilderswijk.

Mieke Kuiper, PR-officer De Mussen, menerangkan, “Pekerjaan kami bervariasi. Kami membantu perempuan imigran mendapatkan pendidikan, mengajarkan bahasa Belanda, mencarikan pekerjaan, atau mengadakan sejumlah aktuvitas yang bisa membantu memperbaiki hidup.”

Lalu, bagaimana rasanya jadi pemenang Kartini-prijs? “Sangat bangga, tentu saja. Penghargaan ini jadi semangat kami,” tutur Kuiper.

Sumber: Jawa Pos. Selasa 21 April 2015. Halaman 20

Pemikiran Keturunan Kartini, Prof Dr KRMT John Tondowidjojo Tondodiningrat Keluarga Kami Broad-Minded

Keluarga KAmi Broad-Minded. Jawa Pos. 21 April 2014.Hal.18

Pendidikan dan kemanusian menjadi topik besar dalam kehidupan  Kartini dan 10 saudara kandunganya. Hingga kini, keturunannya meneruskan semangat yang sama. Salah seorang adalah Prof Dr KRMT John Tondowidjojo Tondodiningrat, cucu RA Kartini dari kakaknya, Sosroboesono.

Garis keturuan Kartini dicatat dengan baik dan rapi. Romo Tondo, panggilan akrabnya, dengan hati-hati membentangkan kertas selebar A2 yang berisi pohon silsilah dari generasi ke generasi. “Nah, ini ada nama Kartini dan Eyang Sosroboesono. Segaris dari Prabu Brawijaya V,” kata Romo Tondo seraya menyusuri batang pohon cabang batang keluarga Kasepuh Tjondronegoro. Adanya darah bangsawan itu membuat kehidupan Kartini sangat kental dengan adat istiadat budaya Jawa pada masa itu.

Untung, ayah Kartini, RM Sosroningrat, berpikiran terbuka. “Buktinya, Kartini dan adik-adiknya disekolahan. Saat dipingit ya diberi guru. Saya tidak sempat mengenal mereka karena belum lahir, tapi sikap beliau selalu diceritakan jadi panutan,” uangkapnya. Untuk anak-anak perempuannya, Sosroningrat mau memfasilitasi pendidikan, apalagi untuk anak-anak laki-lakinya. Akses pendidikan terbuka lebar untuk anak-anak priyayi, bahkan bisa mendapat beasiswa bersekolah di Belanda.

Salah seorang yang melesat adalah kakak kedua Kartini, Sosrokartono. Jejak pendidikannya cemerlang, menguasi 26 bahasa, dan menjadi wartawan pertama Indonesia yang meliputi Perang Dunia. “Kartini mengidolakannya, ingin sekolah ke Belanda, dan rajin menulis juga. Sayang, niat itu dihalang-halangi karena dia perempuan. Eyang Kartono juga idola saya,” cerita pemilik nama asli Johny Tondowidjojo tersebut. Gigih menimba ilmu bak bakat yang diturunkan dalam garis keturunan.

Tondowidjojo muda berangkat ke Italia setelah menyelesaikan pendidikan seminar Madiun dan Sekolah Tinggi Filsafat Surabaya (sekarang tidak ada). Dia mengambil studi teologi di Collegio Sale-Bignole, Jenewa, Swiss, kemudian memperdalam ethnologia di Pontificia Universitas Urbaniana Roma, Italia. Dia juga mengambil studi musik si Centro Della Cultura, Venezia.

Romo Tondo bertolak ke Inggris untuk memperdalam studi tentang komunikasi, seni, dan media. Guru besar bidang komunikasi itu berkesempatan menimba ilmu di berbagai negara, seperti Irlandia, Amerika Serikat, dan Filipina. Dia juga terlibat riset di negara-negara Asia seperti Taiwan dan Tiongkok. Meski capaiannya tergolong hebat, pastor di paroki Kristus Raja itu tidak mau membanggakannya. “Banyak saudara yang tinggal di Beland dan Jerman, pintar dan sukses. Ada salah seorang profesor di IPB yang saudara saya juga,” jelas pria 81 tahun itu.

Apakah pendidikan yang tinggi dan ilmu yang berlimpah hanya disimpan sebagai sebuah capaian? “Tentu tidak. Keluarga kami ini broad-minded dengan pergaulan yang luas. Kebanyakan fokusnya pendidikan untuk ikut mencerdaskan bangsa,” bebernya. Setiap tahun keluarga besar Kartini pasti bertemu meski tidak ada haul khusus dengan jadwal yang pasti. Keluarga besar Kartini, seperti yang disebutkan Romo mewarisi pemikiran broad-minded, menimpa perbedaan dengan sangat toleran. “Islam, Kristen, atau apa pun tidak ada masalah bagi kami. Yang penting saling mengasihi,” tuturnya. (puz/c7/nda)

Sumber: Jawa Pos, 21 April 2014. Hal, 18.

Harli Ramayani All-Out Gairahkan Prestasi Loncat Indah Tak Mau Nanggung, Uang Pribadi pun Terpakai

Harli Ramayani All Out Gairahkan Prestasi Loncat Indah. Jawa Pos. 21 April 2015.Hal.24

Kolam renang Senayan tak ubahnya sebuah playground bagi Harli Ramayani. Dia menjadi atlet sejak 1970-an, asisten pelatih pelatnas pada pertengahan 1990-an, lalu pelatih kepala pada 2000-an sampai sekarang. Dia berupaya all-out meningkatkan prestasi atlet loncat lindah.

Kalau lahi nggak fokus, akan saya tanya kenapa. Kalau nggak mengaku, akan saya kejar terus. Biasanya kalau cewek sampai nangis. Tapi, justru setelah itu dia plong pas lomba.”

Ibu dua anak utu mengumpamakan kecintaanya yang sudah empat dekade pada loncat indah seperti darah dalam tubuh. Tak mugkin terpisahkan sampai akhir hayat. Totalitas Harli delam loncat indah tidak perlu diragukan lagi. Bukan cuma waktu dan tenaga yang dihabiskan untuk melatih para atlet. Istri mantan penyerang timnas Merah Putih ’80-an Ricky Yacobi itu pun harus merogoh koceknya seniri jika ada yang kurang dengan pelaksanaan pelatnas.

“Aduh, istriku hebat sekali, lho. Sekarang buat pelatnas, keluar uang sendiri terus,” kata Harli yang menirukan ucapan suaminya. Meki disindir demikian, Harli tidak marah. Mau apa lagi, loncat indah sudah membesarkan namanya. Untuk pelatnas menuju SEA Games XXVII/2015, Harli nomboki dulu biaya pelatih asing asal Tiongkok Cui Hongda selama di Indonesia. Untuk gaji per bulan Hongda, butuuh sekitar 3.300 USD. Dengan kurs Rp 42,3 juta. Lalu biaya akomodasi, transportasi, dan tempat tinggal 1.200 USD (Rp 15,4 juta). Jadi, dalam sebulan, sekitar Rp 57,7 juta dikeluarkan untuk membiayai Hongda

Namun, Harli tidak mau membeberkan beberapa lama dirinya menanggung secara pribadi pembiayaan Hongda. Hongda ada di Indonesia sejak September 2013. “Saya patungan dengan beberapa orang kok. Anak-anak jangan sampai berpikir berapa besar dana yang dikeluarkan. Malah, secara psikologis, itu gak bagu,” katanya. “Yang penting, mereka berpikir bagaimana loncatan bagus dan memberikan nama harum buat bangsa ini,” lanjut anak kedelapan di antara sebelas bersaudara itu,

Dalam benak Harli, sudah terpatri “uang ada atau tidak, latihan harus tetap jalan”. Harli pun menyadari bahwa loncat indah bukanlah olahraga mayor dan digemari banyak kalangan seperti layaknya sepak bola, bulu tangkis, atau basket. “Dari nomboki, terus cari bantuan ke sana kemari, ada satu hal besar yang saya dapat. Bukan uang melulu yang dibutuhkan buat mencetak atlet. Tapi, juga sejauh mana kepedulian kita kepada para atlet,” tutur perempuan berusia 53 tahun ini.

Anak pasangan almarhum Arjanu/Rahmi itu membesarkan para atlet loncat indah tak ubahnya anaknya sendiri. Harli menaruh perhatian yang sangat besar kepada anak asuhnya. Bukan hanya soal teknik di kolam, tapi juga pendidikan. Ibunda Sabihisma Arsyi dan Tri Eka Sandiri tersebut sering mengontrol pendidikan anak-anak asuhnya. Harli sangat concern pada nilai-nilai pelajaran di sekolah ataupun nilai kuliah mereka yang masih di bangku pendidikan. “Harus seimbang antara pendidikan dan prestasi olahraga. Saya akan memarahi atlet kalau nilainya jeblok. Dibilang cerewet juga terserah karena saya juga menjalani peran ibu di loncat indah ini,” tutur Harli.

Pola pendekatan Harli kepada anak asuhnya yang telaten, sabar, dan keibuan mendorong atlet mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Harli percaya terjaganya komunikasi pelatih dengan anak didik membuat mereka nyaman. “Saya paham psikologi atlet. Setiap akan bertanding, saya datangi mereka di kamar. Saya lihat matanya. Ketahuan kok, apakah fokusnya ada di pertandingan atau sedang dimana,” ucapnya. “Kalau lagi nggak fokus, akan saya tanya kenapa. Kalau nggak mengaku, akan saya kejar terus. Biasanya kalau cewek sampai nangis. Tapi, justru setelah itu dia plong pas lomba,” lanjut perempuan asal Makasar tersebut. (dra/c7/ai)

Nama                          : Harli Ramayani

TTL                            : Makasar, 16 Juli 1961

Ortu                            : Almarhum Arjanu/Rahmi

Posisi di keluarga      : Anak 8 di antara 11 bersaudara

Suami                         : Ricky Yacobi

Menikah                     : 1985

Anak                           : Sabihisma Arsyi dan Tri Eka S.

 

PRESTASI

Sebagai Atlet

SEA Games IX/1977, Kuala Lumpur (1 emas).

SEA Games X/1979 Jakarta (1 emas).

SEA Games XI/1981 Singapura.

Sebagai Pelatih

SEA Games XXI/2001 Kuala Lumpur.

SEA Games XXII/2003 Hanoi (1 emas).

SEA Games XXIII/2005 Manila (1 emas).

SEA Games XXIV/2007 Nakhon Ratchasima (1 emas).

SEA Games XXV/2009 Vietiane (1 emas).

SEA Games XXVI/2011 Jakarta-Palembang (1 emas).

SEA Games XXVII2013 Naypyidaw (1 perak).

 

Sumber: Jawa Pos, 21 April 2015. Hal, 24.