Masyarakat Indonesia sangat menyukai humor. Namun untuk bisa menggunakan humor sebagai strategi marketing brand harus dalam tahap aman, tidak memiliki permasalahan dan complain yang serius dari pelanggan. Salah langkah, reputasi brand bisa saja rusak.
Kami berharap iklannya witty dan entertaining, celetuk seorang anggota tim marketing kami di kantor pada sebuah sesi briefing pembuatan iklan. Dan ini bukanlah kali pertama, saya mendengar permintaan untuk menggunakan humor dalam iklan. Beberapa kantor sebelumnya pun begitu. Anak-anak muda ini seolah-olah sebegitu terhipnotisnya oleh humor hingga di mana-mana selalu mengharapkan humor.
Jika kita perhatikan iklan dan materi materi komunikasi yang beredar di media, baik media massa maupun social media, memang banyak dipenuhi oleh humor. Menceritakan kecerdasan tokoh dalam iklan pun dengan humor, seperti sebuah Man ojek online tentang generasi kreatif, iklan mobil, hingga makanan. Bahkan iklan sampo yang biasanya menjual penampilan pun kini menggunakan humor. Tidak heran, platform video sharing seperti YouTube dan Tiktok dipenuhi oleh prank-prank yang bahan utamanya adalah humor. Sampai sampai seorang prankster pun ditangkap polisi ketika prank buatannya dianggap kelewat batas.
Indonesia memang dari dulu selalu suka humor. Lihatlah sejarah panjang film dan tayangan Indonesia sejak puluhan tahun lalu. Warkop DKI, serial TV si Doel Anak Sekolahan, Kadir Doyok, Srimulat, dan lain sebagainya selalu jadi pilihan, di samping film-film horor dan genre romantis. Bahkan belakangan ini, ketika film Indonesia sudah bangkit pun menjadikan humor menjadi salah satu genre yang punya porsi signifikan. Sebegitu ketagihannya kita dengan humor hingga film-film horor pun seringkali dipadu dengan humor.
Sebenarnya bagaimana humor bisa membantu upaya marketeer untuk mempersuasi konsumen dan sampai sejauh mana batasannya?
Pakar psikologi, sosiologi dan filsafat sepertinya belum berhasil punya konsensus yang masuk akal mengenai definisi dan batasan-batasan humor. Ini terjadi karena sebegitu kompleksnya mekanisme tentang bagaimana humor bisa terbentuk. Untuk itu pula, tidak semua orang yang berusaha melucu pun berhasil. Karena definisi dan batasannya sangat dinamis, maka formulanya sulit ditemukan.
Sebuah teori yang saat ini dirasa oleh banyak pakar cukup bisa menggambarkan definisi humor disebut dengan benign violation theory. Teori ini percaya bahwa humor terjadi ketika otak kita sudah bersiap-siap (mengantisipasi) mengenal sesuatu yang serius, namun ternyata tidak. Kita tertawa karena informasi yang disampaikan ternyata di luar ekspektasi namun tidak membuat mengancam jiwa kita. Secara normatif, teori ini tidak salah. Sayangnya humor terasa jauh lebih kompleks dan lebih besar dari sekedar teori itu.
Berdasar teori tersebut, saya meyakini bahwa humor adalah kemampuan khusus orang yang menciptakannya untuk bisa memodifikasi fakta yang tersimpan dalam subconscious kita secara conscious. Humor sudah pasti melibatkan subconscious karena respons tertawa akibat humor datangnya spontan-dalam hitungan mili second-setelah humornya kita tangkap. Dan karena mengombinasikan dua cara berpikir (conscious dan subconscious) maka mereka yang punya kemampuan humor baik biasanya punya daya kreativitas yang baik. Terlebih lagi pelawak-pelawak yang spontan, yang dalam hitungan millisecond bisa memodifikasi fakta menjadi sesuatu yang menggelitik.
Otak manusia memiliki program dasar survival. Dalam konteks berhubungan dengan orang yang baru dikenal, otak kita akan berhati-hati. Dalam hitungan milisecond, kita berusaha menilai dan membentuk persepsi mengenai orang yang baru kita temui. Ini dilakukan untuk survival. Kita amat sangat berhati-hati untuk tidak salah bertingkah dengan berusaha membaca sebagaimana orang tersebut bisa dipercaya, apa motifnya dalam berhubungan dengan kita, dan kira-kira bagaimana kita harus merespons. Semua hal tersebut adalah bagian dari mekanisme defensif kita untuk survival. Hasilnya kita pun akan “jaga jarak”.
Humor amat sangat manjur untuk menurunkan mekanisme defensif ini. Lihatlah bagaimana orang-orang yang ingin mengambil hati kita berusaha ice breaking dengan humor di pertemuan pertama kita. Secara bawah sadar, kita menganggap orang yang tertawa bersama dengan kita bukan sebagai orang yang patut dicurigal lagi karena kita sudah merasa satu frekuensi. Bahkan ketika sedang di kendaraan umum, dua orang yang tidak saling kenal akan merasa batasan antara mereka menjadi berkurang setelah tertawa bersama karena melihat sesuatu yang lucu di perjalanan.
Profesor Ted Cohen menyampaikan teori joke intimacy yang menjelaskan tentang bagaimana lelucon bisa membangkitkan rasa keterhubungan dan keintiman. Ketika kita tertawa bersama, kita menatap mata orang yang berbagi tawa bersama sehingga keintiman mulai dibangun. Kita pun cenderung melihat sekeliling ketika kita melihat sesuatu yang lucu untuk melihat apakah ada orang lain yang melihatnya. Ini karena tawa terasa jauh lebih nikmat lagi ketika dilakukan bersama ketimbang sendirian.
Marketeer juga berusaha menggunakan humor untuk hal yang sama. Berusaha menyamakan frekuensi, melunturkan mekanisme defensif, dan berusaha menciptakan keintiman untuk bisa mulai membangun hubungan yang baik dan lebih terbuka dengan audiens atau target market.
Humor secara fisiologis dan biologis juga membahagiakan. Ketika tertawa, kita merasa bahagia, dan hormone endorphine yang dikenal sebagai salah satu hormon kebahagiaan pun diproduksi. Hormon ini juga dikenal sebagai hormon penghilang stres. Hormon endorphine juga membuat orang menjadi nyaman. Dan ketika merasa nyaman, maka Anda akan menghargai orang yang membuat Anda nyaman, yaitu orang yang membuat Anda tertawa. Humor juga mendorong produksi hormone oxytocin. Hormon ini dikenal sebagai hormone social karena dipercaya mendorong dorongan social bonding dengan orang di sekitar kita.
Untuk itu pula, humor menjadi satu dari sedikit kelebihan lain dari seorang laki-laki untuk bisa bersaing mendapatkan wanita idamannya dari pesaing yang lebih ganteng darinya. Sebuah riset di Inggris menemukan bahwa wanita selalu memasukkan “good sense of humor” sebagai salah satu kriteria dalam iklan pencarian jodoh. Jika awalnya humor membuat orang menjadi suka, pada tahap selanjutnya wanita yang menyukai seorang laki-laki akan tertawa terhadap lelucon yang dilontarkan laki-laki tersebut -meski sebenarnya tidak lucu
Ketika kita tertawa, mood kita akan membaik. Seperti tulisan saya di edisi terdahulu bahwa mood memengaruhi dorongan belanja. Mood yang baik cenderung kurang selektif terhadap keputusan pembelian sehingga mendorong kita untuk tidak terlalu pilih-pilih. Lihatlah bagaimana pedagang-pedagang yang memiliki cita rasa humor yang baik bisa menjual lebih banyak. Teknik ini pula yang digunakan oleh outlet es krim turki. Menggunakan humor dengan cara memainkan pembeli ketika menyerahkan es krimnya.
Tertawa Baik untuk Kesehatan
Karena efek menyamankan dan menyenangkan, kita cenderung punya keinginan untuk selalu terhubung dan dekat dengan orang yang memiliki cita rasa humor yang baik. Lelucon yang kita dapatkan bisa meningkatkan social wealth ketika kita ceritakan kepada teman-teman yang lain. Kita dianggap sebagai seseorang yang menyenangkan ketika kita selalu punya lelucon yang segar. Dan ini mendorong kita untuk terus berhubungan dan bisa mendapat limpahan inspirasi lelucon dari orang yang kita anggap humoris.
Singkatnya, lelucon itu bisa kita “curi” dan teruskan ke lingkungan kita yang lain. Tidak mengherankan jika kita menemui fakta bahwa iklan-iklan yang lucu cenderung memiliki angka viral yang tinggi. Karena dengan membagikan video lucu, iklan lucu, bahkan meme lucu, social wealth kita terkatrol. Ketika kita berhasil membuat orang lain tertawa, maka kita akan merasa lebih percaya diri. Lelucon menjadi viral karena orang senang menjadi percaya diri.
Tertawa adalah obat mujarab. Selama hati senang, maka penyakit akan jauh dari kita begitu keyakinan orang tua kita dulu. Negara-negara barat pun sudah mulai meneliti bagaimana tertawa bisa membantu proses penyembuhan. Ini karena tertawa secara biologis terbukti mendorong diproduksinya hormon kebahagiaan dan di samping itu membuang hormon stres. Seperti kita tahu, stres akan menurunkan daya tahan tubuh. Maka ketika hormon stres hilang maka daya tahan tubuh menjadi lebih baik. Tidak bisa dibantah bahwa seorang pasien yang lebih banyak tertawa akan lebih positif mood-nya sehingga ia akan lebih siap melawan penyakit dan menjalani perawatan yang tidak mengenakkan.
Anda yang pernah dirawat di RS. St. Carolus pada akhir tahun 90an hingga awal 2000an tentunya tahu sosok Almarhum Pater Ben Tentua, seorang Pastor yang setiap harinya mengabdikan diri berkeliling dari bangsal-ke bangsal di rumah sakit untuk menghibur pasien apa pun agamanya. Terkadang ia membawa alat musik kecil untuk bernyanyi bersama. Namun ia selalu punya candaan untuk orang-orang yang sedang terbaring sakit.
Risiko paling dekat ketika brand menggunakan humor adalah ketika lelucon tidak berhasil membuat orang tergelitik. Persepsi ‘jayus’, ‘sok lucu’, atau nggak jelas kalau kata anak sekarang, akan menempel pada brand. Bermain dengan lelucon memang selalu memiliki risiko tersebut.
Selain itu marketeer perlu mempertimbangkan brand perception yang sedang dibangun. Tidak semua persepsi bisa dibangun dengan humor. Dan kalaupun humor akan digunakan maka level humornya harus disesuaikan dengan brand perception yang ingin diciptakan.
Kesalahan yang paling sering dilakukan marketeer masa kini adalah dengan berpikir “asal lucu”. Sehingga humor yang digunakan receh dan tidak sesuai dengan brand perception yang ingin dibentuk. Jika di awal saya menyinggung bagaimana wanita menyukai laki-laki yang berjiwa humor, namun hal yang sama belum tentu berlaku sebaliknya, Wanita yang terlalu lucu bisa kurang menarik bagi laki-laki untuk diajak membangun hubungan asmara. Karena akan mengubah romantisme yang ingin dibangun menjadi hubungan komedi.
Survei membuktikan seorang pemimpin yang memiliki jiwa humor yang baik cenderung lebih disukai. Namun humor yang tidak pada tempatnya juga bisa menurunkan wibawa. Hal yang sama juga terjadi dengan brand. Jika yang ingin Anda bangun adalah brand yang berwibawa, maka bisa jadi humor adalah cara yang kurang tepat.
Pada akhirnya untuk bisa menggunakan humor, brand harus dalam tahap aman, tidak memiliki permasalahan dan komplain yang serius dari pelanggan. Studi menunjukkan bahwa humor malah berakibat fatal terhadap pasangan suami istri yang sedang bermasalah. Mereka yang sedang memiliki masalah dalam hubungan cenderung berpisah ketika humos mulai ambil peranan. Ini karena dalam krisis hubungan, humor bisa diartikan sebagai ketidakseriusan dalam menyelesaikan masalah.
Risiko bully dan backfire juga bisa muncul pada brand yang sedang bermasalah namun tetap menggunas humor. Karena diartikan tidak punya sensystas untuk berempati terhadap konsume Sudahkah Anda mempertimbangkan fakto tor tersebut dalam memutuskan apak Anda akan menggunakan humor atau tid dalam materi komunikasi brand Anda?
M QUOTE
“LIHATLAH BAGAIMANA PEDAGANG-PEDAGANG YANG MEMILIKI CITA RASA HUMOR YANG BAIK BISA MENJUAL LEBIH BANYAK.”
Oleh Ignatius Untung Praktisi Marketing &Behavioral Science
Sumber: Marketeers. Desember 2020-Januari 2021.Hal.24,25