Sebagai satu-satunya makanan pokok Bangsa Indonesia, beras bukan sekedar komoditas ekonomi, tapi politik. Rencana impor beras 500.000 ton pada awal tahun 2018, sebenarnya termasuk biasa, tidak ada yang istimewa.
Dengan asumsi harga beras impor itu US$415 per ton, maka 500.000 ton beras nilainya US$ 207,5 juta sekitar Rp 2,7 triliun. Bandingkan impor gandum Indonesia 2016 sebanyak 10 juta ton, senilai Rp 30 triliun lebih.
Tetapi politik,sama dengan iman dalam agama, tidak bisa dirumuskan secara matematika. Dalam hitungan politik, dua kali dua, tidak selalu empat.
Saat ini cadangan pangan di Indonesia dan juga di dunia sedang aman. Panen padi di India, China dan Indonesia normal. Tiga negara inilah penyerap beras terbesar di dunia. Jika salah satu dari tiga negara ini gagal panen, harga beras di pasar dunia melambung.
Sebelum menjadi komoditas poliik, beras hanyalah komoditas ekonomi. Saat satu negara kekurangan, dan negara lain kelebihan, akan ada transaksi perdagangan.
Pada 2011, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan mentri pertanian Suswono dan mentri perdagangan Gita Wirjawan ada impor beras 2,7 juta ton, tapi tak pernah ada ribut-ribut.
Awal januari 2018 ini, harga beras naik dari harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan Rp 9.500 per kilogram (kg), jadi Rp 14.000 per kg. Kenaikan harga beras sebenarnya merupakan konsekuensi wajar dari berlakunya hukum pasar. Saat pasokan tetap, permintaan naik, harga akan naik. Atau, ketika permintaan tetap, tetapi pasokan kurang, harga juga naik.
Kebijkan mematok HET itulah yang sebenarnya menyalahai hukum pasar. Kebijakan HET ini dibuat sebagai reaksi politik dari bisnis beras premium ,perusahaan yang terkait Parpol bukan pendukung pemerintah.
Sebuah kebijakan, tentunya harus disertai kemampuan untuk mengamankan. Cadangan beras bulog pada 2017 saat kebijakan ini dibuat, hanya 1,7 juta ton. Produksi gabah 2017 sekitar 77 juta ton. Dengan rendemen 62,74%, hasil 77 juta ton itu setara 48,3 juta ton beras.
Cadangan beras Bulog 1,7 juta ton hanyalah 3,5% dari total produksi beras nasional 2018. Artinya 96,5% produksi beras nasional dikuasai oleh pedagang beras.
Kenyataan seperti ini membuat HET menjadi sia-sia. Memang HET dibuat bukan tanpa perhitungan. Angka RP 9.500 perkilogram merupakan titik keseimbangan kepentingan petani, pedagang dan konsumen.
Tapi, dengan cadangan hanya 3,5% dari total produksi beras nasional yang berada ditangan pedagang, HET menjadi sia-sia. Terlebih lagi, kualitas 1,7 juta ton cadangan beras Bulog dibawah beras yang dipunyai pedagang. Maka, operasi pasar oleh pemerintah melalui Perum Bolog tak membuahkan hasil.
Konsumen tetap lebih memilih beras harga Rp. 14.000 per kg tapi kualitas lebih baik, dibanding beras operasi pasar harga murah. Kenaikan harga beras diatas HET, bisa jadi disebabkan oleh naiknya permintaan, sementara pasokan tetap. Atau sebaliknya, permintaan tetap, tapi pasokan kurang.
Incaran partai politik
Kementrian Pertanian, selama ini diangap jadi lahan subur untuk fundraising partai poltik. Pada zaman Orde Baru , semua dikuasai oleh Golkar.
Setelah reformasi, Kementrian Pertanian seperti “tak bertuan”. Baru kemudian dikuasai oleh PDIP. Pada era Presiden SBY, jatuh ketangan PKS. Terbongkarnya skandal suap impor daging sapi yang melibatkan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq, sebenarnya merupakan upaya “mengambil alih” kementrian ini dari PKS, tapi gagal.
Amran Sulaiman, Mentri Pertanian sekarang, tidak berasal dari partai politik. Tetapi ia juga bukan orang pilihan Presiden atau Wakil Presiden. Sadar posisinya yang lemah, Amran berupaya menunjukkan kinerja positif dimata Presiden. Upaya ini berhasil, sehingga ia lolos bebrapa kali reshuffle.
Untuk meningkatkan produksi pangan, terutama beras, pada 2018 ini Kementrian Pertanian malahan dapat tambahan dana RP 22,6 triliun. Kepercayaan Presiden terhadap Amran, tak menyurutkan niat dari mereka yang mengincar kementrian ini. Maka beras pun dimainkan sebagai komoditas politik.
Tanpa permainan politik pun, harga komoditas pangan bisa tak terkendali akibat pedagang menahan stok, atau oleh sistem yang disebut perdagangan berjangka (future trading). Petani sebagai pelaku budidaya, bisa memperoleh modal kerja untuk menanam padi dari pengusaha perdagangan berjangka.
Untuk itu, petani akan menandatangani ‘potofolio’ yang menyebutkan bahwa ia akan menyerahkan hasil padi yang dia budidayakan ke pengusaha itu saat panen. Oleh pengusaha perdagangan berjangka tersebut, ‘potofolio’ ini bisa kembali dijual ke perusahaan lain, tentu dengan mengambil keuntungan. Demikian seterusnya hingga komoditas yang belum ada, , bisa diperdagangkan sampai berkali-kali dengan peningkatan harga yang bisa tidak masuk akal.
Guna mengatasi penguasaan pangan oleh sekelompok pemodal, HET diperlukan. Di Negara-negara maju, pemerintah tidak perlu memiliki cadangan pangan sendiri. Tapi pemerintah memiliki kemampuan untuk mengontrol cadangan pangan melalui asosiasi gandum,jagung, kedelai,juga beras. Di sinilah kelemahan Indonesia, tidak punya sosisasi yang kuat dan efektif di tingkat petani.
Sumber: Kontan.22-28-Januari-2018.Hal_.21