Alejandro Gonzales Inarritu Berjuang Untuk Kesetaraan

Alejandro Gonzalez Inarritu Berjuang untuk Kesetaraan. Kompas. 3 Maret 2016

Sutradara Alejandro Gonzalez Inarritu pantas mengungkapkan kebahagiaan setelah diumumkan menjadi sutradara terbaik Academy Awards 2016. Sambil tertawa bahagia, dia mengangkat piala Oscar di atas kepalanya ketika menjawab pertanyaan wartawan mengenai perasaanya. “ saya akan taruh piala ini di kepala sepanjang hari.”

OLEH SUSIE BERINDRA

Dua tahun berturut-turut, Alejadro membawa pulang piala Oscar untuk kategori sutradara terbaik. Tahun lalu lewat film Birdman dan tahun ini lewat The Revenant. Selain kategori sutradara terbaik. Dua film besutannya juga itu meraih Oscar untuk kategori lain. Birdman menyebut dua Oscar lainnya untuk film terbaik dan scenario terbaik. Sementara itu, lainnya untuk aktor terbaik (Leonardo DiCaprio) dan sinematografi terbaik (emmanuek Lubezki).

Sebelumnya, The Revenant meraih tiga penghargaan di ajang Golden Globe Awards 2016 untuk kategori film terbaik, sutadara terbaik (Alejandro), dan aktor terbaik (Leonardo DiCaorio).

Gelar sutradara terbaik kali ini mengukuhkan dia menjadi sutradara Meksiko pertama yang meraih Oscar dua kali. Majalah Time menyebutkan, kemenangan Alejandro membuat Oscar untuk kategori sutradara terbaik selama empat tahun terakhir diraih sutradara non-kulit putih. Sebelumnya, Ang Lee mendapat Oscar lewat film Life of Pi (2013), disusun Alfonso Cuarcon lewat Gravity (2014), dan Alejandro lewat birdman (2015).

Pencapaian Alejandro juga mengulang kesuksesan sutradara asal Amerika Serikat, Joseph L Mankewicz, yang mendapat predikat sutradara terbaik du kali berturut-turut lewat film A letter to Three Wives (1950) dan All About Eve (1951) di ajang Academy Awards.

Perjuangan untuk menjadi yang terbaik memang tak sia-sia. Di Academy Awards, Alejodro, Leonardo, dan Tom Hardy saling menyanjung. Susah payah ditengah lokasi shooting bersuhu dibawah 0 derajat Celsius terbayar sudah. “ketika saya menan g, kita semua menang. Kita saling bergantung satu sama lain,” ucap Alenjandro sambil memegang erat Oscar.

The Revenant mengisahkan perjalanan warga Amerika perbatasan, Hugh Glass (Leonardo DiCaprio) yang dicabik beruang, terluka parah, ditinggalkan temannya, dan membalas dendam pembunuhan anaknya. Diceritakan, Glass mempunyai anak bernama Hawk, hasil pernikahannya dengan seorang perempuan suku India. Film berlatar belakang tahun 1820-an itu diangkat dari novel karya Michael Punke dengan judul yang sama.

Mengutip kalimat Hugh Glass kepada anaknya. “mereak tidak mendengarkanmu, mereka hanya melihat warna kulitmu.” Jadi, momen ini menjadi kesempatan besar untuk generasi kita untuk benar-benar membebaskan diri dari semua prasangka. Pastikan kali ini dan selamanya, warna kulit tidak relevan dengan panjangnya rambut kita,” kata Alejardo.

Sutradara yang kuliah dibidang komunikasi ini memang sering menyarankan kesetaraan. “sangat beruntung bisa berada di sini, tetapi sebenarnya, banyak yang belum beruntung di luar sana,” katanya.

Tak salah apabila Alejadro menyebutkan kemenangannya itu untuk semua karena semua kru film berusaha membuat semua degan film sesuai kenyataan. Alejandro dan Emmanuek menggunakan cahaya natural, terutama cahaya yang hanya muncul saat matahari hampir tenggelam.

Dalam wawancara dengan New York Times, Alejandro menceritakan bagaimana mereka mencari lokasi shooting yang pas untuk semua adegan film. “kami menemukan Bow River, dua jam dari Calgary, Kanada, yang pas untuk tempat tempat persembunyian Hugh. Namun, saat adegan aksi di sungai, lokasi pindah ke Montana. Kami harus mencari lokasi yang aman meski tetap saja banyak tantangan,” kata Alejandro.

Dibawah sungai yang dingin sersuhu si bawah 0 derajat, Emmanuel mengambil gambar setiap adegan. “semua adegan kami pertimbangkan dengan matang, direncananakan sampai sebulan. Dibutuhkan waktu setahun bagi kami untuk mendapat teknik pengambilan gambar yang pas. Saya ingin penonton merasakan dinginya sungai, rasa takut, dan tiupan angin yang menggerakan pepohonan,” katanya.

Alejandro bersikeras hanya menggunakan pencahayaan alami untuk filmnya. Konsekuensinya, dalam satu hari, ia mungkin hanya bisa menggunakan waktu selama 90 menit untuk mendapatkan cahaya saat matahari nyaris tenggelam. Matahari sendiri tenggelam pada pukul 15.00, setelah itu gelap.

Saat memulai produksi, film dikerjakan 300 orang yang kemudian berkurang menjadi 290 kru film sampai akhirnya selesai. Di bawah komando Alejandro, The Revenant yang menampilkan pemandangan indah sungai dan pegunungan es bisa terwujud. Selama delapan bulan, semua kru film, termasuk pemain, tak boleh lengah. Termasuk didalamnya, prosedur film Arnon yang tak bisa menolak ketika biaya produksi film membengkak dari 60 juta dollar AS (Rp 796 miliar) menjadi 135 juta dollar AS (Rp 1,7 triliun).

Perjalanan dan Impian

Saat berusia 17-19 tahun, Alejandro meninggalkan kampung halaman; menyebrangi Samudra Atlantik berkeliling Eropa dan Afrika. Gambaran perjalanan itu kemudian mewarnai karya-karyanya sebagai seorang sutradara. Tahun 1984, dia kembali ke Meksiko untuk menempuh pendidikan di bidang komunikasi di Universidad Iberoamericana.

Kariernya diawali dengan menjadi penyiar di stasiun radio WFM, Meksiko. Dia pernah mewawancarai penyanyi rock terkenal, memp[roduksi pertunjukan music, sampai membuat WFM menjadi radio nomor satu di Meksiko. Dalam kurun waktu 1987-1989, ia juga membuat music untuk beberapa film Meksiko.

Tahun 1990, ia mulai menulis dan memproduksi film pendek dan iklan. Ia juga mendirikan rumah produksi Zeta Film di Meksiko. Untuk menambah ilmunya, dia berguru kepada sutradara teater Polndia, Ludwik Mergules, dan Judith Weston di Los Angeles.

Karier internasionalnya dimulai dengan film Amores Perros tahun 2000. Film yang menggambarkan situasi sosial kota Meksiko itu diputar di Festival Film Cannes dan mendapatkan perhatian dengan kemenangannya dalam kategori Crities Weeks Grand Prize.

Berikutnya, karyanya selalu mendapat perhatian insan perfilman, seperti 21 Grams, Three Amigos, Babel, dan Birdman. Kerja keras yang dirintisnya melambungkan nama Alejandro pada puncak Academy Awards. Dalam setiap kesempatan, Alejandro tak lupa menyisipkan opininya tentang kesetaraan.

“penghargaan ini bukan tentang kulit putih atau lainnya. Isu perbedaan ini sudah terpola, bahkan dipolitisasi. Padahal, betapa indahnya keberagaman, negara ini terdiri dari orang-orang yang beragam.” Kata Alejandro.

Setelah dua kemenangan di ajang Academy Awards, Alejandro ingin kembali ke Los Angeles, melanjutkan kehidupan bersama istrinya, Maria Eladia Hagerman, dan dua anaknya. Saat ditanya apakah ia ingin membuat film lain dengan kondisi yang menyakitkan seperti The Revenant, Alejandro menjawab tegas, “tidak akan pernah lagi.”

Dia membayangkan ki8sah yang lain. “mungkin akan seperti cerita yang sederhana, didalam kamar atau taman. “

Begitulah impian Alejandro berikutnya.

Sumber : kompas, kamis, 2 Maret 2016

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *