Badriyah Fayumi_Memanggungkan Suara Perempuan. Kompas 22 Juni 2017. Hal 16

Selama ini masih banyak kalangan yang menempatkan istri melulu sebagai pengurus rumah tangga. Persepsi itu bahkan dianggap sebagian dari ajaran agama. Badriyah Fahyumi (45) berjuang mendobrak pandangan itu dan mengajak perempuan lebih berdaya, produktif dan bersuara.

Oleh Abdullah Fikri Ashri

 

Badriyah adalah pengasuh pondok pesantren Mahasina, Kota Bekasi, Jawa Barat. Ia banyak menghabiskan waktu bersama santrinya. Kami berbincang dipesantren yang berimpitan dengan rumahnya. Senin (5/6) siang itu. Ia membimbing para santri untuk mengkaji kitab kuning, referensi klasik islam. Salah satu topic pembahasannya ialah hubungan laki-laki dan perempuan dalam islam.

Badriyah menentang pandangan bahwa perempuan mesti melulu menangani urusan domestic rumah tangga. Alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir ini menuturkan tidak satupun ada ayat hadis yang terang menyebutkan keharusan itu. Nabi Muhammad diceritakan membantu pekerjaan rumah tangga jika ia dirumah.

Untuk penelitian skripsi, Badriyah membelah hadis riwayat Aisyah yang menceritakan tentang nabi itu. Hasil kajian tersebut berhasil mematahkan anggapan-anggapan sebagaian orang bahwa perempuan pantang keluar dari wilayah domestic. Perempuan hanya subordinat dengan beragam kewajibannya, bahkan seolah neraka dan surge istri ditentukan suaminya.

Setidaknya pemahaman  macam itu yang dikunyah Badriyah saat duduk dibangku tsanawiyah di Pati yang didirikan ayahnya KH Ahmad Fahyumi. Setiap hari ia membaca kitab kuning yang diajarkan langsung oleh ibunya, Hj Yuhanidz Fahyumi.

Pandangan tentang relasi laki-laki dan perempuan antara lain termuad dalam kitab Aqud al-Lujjayyin. Membaca kitab ini pikiran Badriyah berkecamuk. Apakah derajat laki-laki dan perempuan berbeda dihadapan Allah? Rasanya kok enak sekali menjadi anak laki-laki. Ia penasaran untuk mengkaji lebih dalam.

Keinginan dia itu terwujud saat ia diterima kuliah di Jururasan Tafsir Hadis IAIN sekarang Universitas Islam Negri (UIN)-Syarif Hidayahtullah, Jakarta awal 1990-an. Selain kuliah ia juga banyak berdiskusi, membaca, dan berkegiatan sosial. Ia menjadi Wakil Ketua Ikatan Mahasiswa Tasfir Hadis dikampus serta Ketua Pengurus Pusat Ikatan Pelajar Putri Nahdatul Ulama 1993-1996.

Badriyah bergabung dalam forum Kajian Kitab Kuning yang didirikan dan diketuai oleh Sinta Nuriyah Abdurahman Wahid. Forum itu menupas kritis dalil dan tafsiran dalam kitab Aqud al-Lujjayyin.

Badriyah menjembatani Sinta dengan ahli hadis orang Indonesia, Lutfi Fathullah, hingga akhirnya menghasilkan buku Kembang Setaman Perkawinan (2005), analisis kritis terhadap kitab tersebut. ia juga turut menulis 15 buku, antara lain Halaqah Islam: Mengaji perempuan, HAM, dan Demokrasi (2004) dan Dari Harta Gono-gini hingga ijin poligami (2015) yang merupakan persembahan Badriyah sebagai redaktur ahli di Majalah Noor. Diluar itu ada lebih dari 100 karya tulisannya yang terpublikasikan di majalah dan jurnal.

Tak sekedar menulis Badriyah juga beraksi nyata dalam kehidupan sehari-hari terutama dipesantren, masjid, lembaga sosial, bahkan pemerintahan. Pada 2004-2009 misalnya ia menjadi anggota DPR Komisi VIII dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang mengurus isu agama dan pemberdayaan perempuan.

“Saya sadar dengan memilih jalan ini untuk memastikan kebijakan undang-undang dan anggaran tidak merugikan masyarakat khususnya perempuan” ujarnya.

Seusai menjadi legislator ia dipercaya semagai komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada 2010 dan dua tahun kemudian menjadi ketuanya. Bersama  KPAI  ia turun ke sekolah-sekolah dan masyarakat untuk memastikan hak-hak anak terlindungi.

Badriyah juga aktif di PBNU dan menjadi ketua Alimat Indonesia sejak 2015, sebuah konsorsium gerakan untuk kesetaraan dan keadilan bagi keluarga.

 

Perempuan Ulama

Sekitar 15 tahun ia bersama perempuan aktivis disejumlah organisasi keluar masuk pesantren untuk meneguhkan kiprah perempuan ulama. Mereka mengader perempuan ulama.

Istilah perempuan ulama ini masih asing. Selama ini istilah ulama lekat dengan laki-laki. Padahal menerut Badriyah peran keulamaan perempuan sudah tumbuh sejak masa Nabi Muhammad SAW. Aisyah RA misalnya menjadi salah satu periwayat hadis terbanyak.

Sayangnya setelah abad ke-2 Hijrah (Abad Ke-8 Masehi) sampai 14 Masehi peran perempuan dalam penyampaian ilmu dan hadis menurun drastis. “Ada pandangan merendahkan perempuan dari penguasa, termasuk ulama laki-laki. Ada budaya patriarki berabad-abad” ungkapnya.

Sejarah didekonstruksi dengan menyembunyikan peran keulamaan perempuan. Padahal peran nyai (sebutan istri kiyai) dipesantren berjasa mendidik satri. Bahkan Cut Nyak Dien di Aceh terjun langsung mimpin pasukan untuk melawan penjajah.

Para perempuan ulama berperan penting dalam masyarakat. “Selama ini mereka menjadi pendidik dipesantren atau ke organisasi masyarakat. Namun tantangan tidak mudah. Ada cara pandangan hitam-putih fundamentalisme. Perempuan ulama harus bersuara” lanjutnya.

 

Kupi

Badriyah bersama aktivis lain seperti Neng Dara Affifah dan Faqihuddin AK, merancang Kongres Ulama             Perempuan Indonesia (KUPI). Sejak 2015, mereka menggelar workshop ke sejumlah kota, seperti Makassar, Yogyakarta, Padang. Ia menjadi ketua tim pengarah kongres.

Namun keraguan justru datang dari perempuan ulama. “Kami meyakinkan mereka bahwa ini kerja kolektif. Kita tidak bisa soal diri kita, tetapi entitas perempuan ulama perlu dikuatkan perannya ditengah masyarakat” tuturnya.

Ada pula yang memandang KUPI sebagai ancaman atas ulama laki-laki bahkan menjadi gerakan politik. “KUPI bukan ingin menandingi ulama laki-laki atau membuat partai politik. Justru kami ingin menguatkan keislaman Indonesia” ujarnya.

Dukungan untuk KUPI kemudian bermunculan. Dari kuota 500 orang sebanyak 1200 lebih pendaftar. Kongres yang berlangsung yang di Pondok Pesantren Kebon Jambu Cirebon yang dipimpin Nyai Masriyah ini akhirnya dikuti 700 perempuan ulama, perempuan aktivis, termasuk 35 peserta asal 15 negara. Kementrian Agama dan IAIN Syekh Nurjati Cirebon turut membantu. “Pak Jusuf Kalla juga menyumbang” ucap Badriyah tersenyum.

KUPI menjadi konsolidasi membangun jejaring ulama perempuan melawan radikalisme. Kongres juga bersepakat bahwa mencegah pernikahan dini diusia anak adalah kewajiban kerusakan lingkungan harus dicegah, dan membantu serta mencegah perempuan  sebagai korban kekerasan seksual. Adapula berbagai rekomendasi untuk pemerintah penegak hukum dan hingga masyarakat.

Mentri Agama Lukman Hakim Saifudin yang hadir di kongres mengatakan KUPI meningkatkan harkat perempuan serta diperadaban Indonesia dan didunia. Namun sejatinya kongres tersebut perlu diikuti langkah-langkah lanjutan untuk memperkuat peran perempuan.

“ini kerja-kerja peradaban, tidak bisa dalam waktu singkat” kata Badriyah

 

Badriyah Fahyumi

Lahir                                        : Pati, 5 Agustus 1971

Suami                                      : KH Abu Bakar R

Anak                                        : -Faransa Ahmad Hawari

-Ainsyams Rafid

Kegiatan                                  : Pengasuh Pondok Pesantren Mahasina Bekasi

Pengalaman                            :-Ketua KPAI (2012-2014)

-Anggota DPR (2004-2009)

-Ketua Tim Pengarah KUPI 2017

-Ketua Alimat Indonesia

Pendidikan                              :-S1 IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta

-S1 Universitas Al-Azhar Kairo Mesir

-S2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Penghargaan                           :-Anugrah Apresiasi Pendidikan Islam untuk Pesantren Peduli Perempuan dan Anak oleh Kementrian Agama (2013)

 

 

Sumber : Kompas, 22 Juni 2017. Hal 16

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *