Imperialisme pada Negara Berkembang

Globalisasi merupakan kata yang paling tepat untuk menggambarkan kondisi dunia saat ini. Pasar bebas dan masuknya dana investasi asing merupakan isu globalisasi yang marak diperbincangkan. Negara berkembang merupakan negara yang sangat mengharapkan investasi asing,  tentunya dengan harapan, dengan adanya investasi asing, maka pertumbuhan ekonomi di negara tersebut mengalami peningkatan. Sedangkan negara maju yang notabennya memiliki kemajuan teknologi yang lebih canggih akan sangat senang menjadi investor, apalagi jika diberikan kemudahan-kemudahan oleh pemerintah negara-negara berkembang untuk melakukan investasi di negaranya.

Negara berkembang umumnya memiliki kekayaan alam yang melimpah, namun tidak memiliki kemampuan untuk mengolah kekayaan alam tersebut secara efisien dan efektif. Untuk itu, negara berkembang akan sangat terbuka menawarkan kesempatan kepada negara maju untuk mengolah kekayaan tersebut. Tetapi, siapakah yang paling diuntungkan dari adanya investasi asing tersebut? Sebelum menjawab pertanyaan itu, marilah sejenak kita melihat sejarah. Pada masa-masa imperialisme dan kolonialisme, negara-negara yang pada zaman itu memiliki kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang lebih maju dibandingkan dengan negara-negara lain—melakukan eksplorasi untuk menjelajahi dunia. Tujuannya adalah untuk mencari negara-negara kecil dan miskin dengan dalih untuk membagikan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah dimiliki supaya negara miskin tersebut menjadi lebih makmur. Tetapi, tujuan sebenarnya adalah untuk menguasai negara kecil dan miskin tersebut, kemudian dapat mengambil kekayaan alamnya demi kepentingan negara maju.

Di era revolusi industri, negara maju gencar mencari daerah-daerah kekuasaan baru, untuk mendapatkan sumber bahan baku. Bahkan, mereka membangun koloni untuk memperkuat kekuasaan didaerah jajahan tersebut. Cobalah sekarang kita cermati konsep perdagangan yang ditawarkan di era globalisasi saat ini. Free flow of capital dan free flow of human menjadi isu yang terus dirancang untuk berlaku diberbagai belahan dunia, termasuk dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan berlangsung Desember 2015 mendatang. Free flow of capital membebaskan aliran modal masuk ke negara-negara berkembang yang menjadi tujuan investasi dan modal tersebut dapat bermanfaat untuk mengembangkan negara di mana modal itu masuk. Sedangkan free flow of human capital membebaskan pergerakan manusia dari satu negara ke negara lainnya untuk bekerja di negara tersebut. Dengan konsep seperti itu, siapakah yang lebih unggul di era globalisasi ini? Tentunya, negara yang mempunyai modal yang melimpah dan human capital terampillah yang akan menjadi pemenangnya.

Globalisasi, bila tidak diterapkan secara baik dan benar, hanya akan menjadi pintu baru bagi negara-negara yang memiliki kekuasaan di dunia ini untuk menjajah negara-negara berkembang. Serta, globalisasi melalui investasi asing merupakan salah satu cara untuk dapat mengeksploitasi dan mengeksplorasi kekayaan alam negara lain ditengah sudah adanya kesepakatan pengakuan hak dan kemerdekaan suatu negara. Dengan demikian, bukankah investasi asing hanya akan menjadi imperialisme dan kolonialisme baru di zaman modern ini? Apabila kita melihat investasi asing di Indonesia, mungkin kita perlu mengevaluasi dampak investasi Freeport terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua. Pada tahun 2013, nilai Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua tercatat sebesar 66,25 atau lebih tinggi sebesar 0,59 persen dari tahun 2012. Padahal, jika kita melihat nilai Investasi Asing Langsung yang masuk ke Provinsi Papua pada tahun 2013 mengalami peningkatan sebesar 96,3 persen dari tahun 2012. Tidak hanya itu, masih banyak kekayaan alam Indonesia yang tidak diolah oleh anak bangsa, namun diserahkan pengolahannya kepada pihak asing. Semuanya dilakukan dengan alasan anak bangsa tidak memiliki pengetahuan yang relevan dan teknologi yang memadai untuk mengolah kekayaan tersebut.

 

Solusi: Menciptakan Learning Society

Untuk itu, pemerintahlah yang menjadi pihak yang dapat menentukan hasil akhir dari adanya investasi asing. Pengawasan pemerintah terhadap aktivitas bisnis investor asing sangat diperlukan untuk dapat memastikan dampak positif yang ditimbulkan dari masuknya investasi asing ke negaranya. Selain itu, pemerintahlah yang juga harus bijak untuk mendistribusikan hasil keuntungan dari investasi asing tersebut. Hal lain yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah dengan menciptakan learning society seperti yang dikemukakan oleh Joseph Stiglitz dan Bruce Greenwald. Pemerintah perlu meningkatkan budaya belajar dalam masyarakat dan meningkatkan standar hidup masyarakat melalui pendidikan. Pemerintah harus memastikan bahwa transfer teknologi dan ilmu pengetahuan yang terjadi sebagai dampak positif dari proses globalisasi harus juga dirasakan oleh masyarakat secara luas, bukan hanya oknum-oknum tertentu atau bahkan hanya pihak asing saja. Dengan terciptanya learning society, tidak menutup kemungkinan bahwa kekayaan alam dapat dikelola secara mandiri oleh masyarakat negara tersebut.

Stiglitz dan Greenwald berpendapat bahwa learning society mampu memperkecil kesenjangan pengetahuan (knowledge) dalam masyarakat. ketidakmampuan negara-negara berkembang dalam mengolah sumber daya alam yang dimilikinya, tak lain disebabkan oleh kesenjangan pengetahuan. Learning society menitik beratkan pada proses how to learn dalam masyarakat. Dengan adanya proses how to learn, bukan hal yang mustahil jika masyarakat mampu menciptakan hal-hal baru yang inovatif dan menjadikan pengetahuan sebagai salah satu aset penting dalam proses pembangunan. Proses how to learn akan membawa masyarakat kepada suatu pola pikir untuk mampu memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Misalnya saja, Indonesia merupakan negara penghasil kakao yang menempati urutan ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Tapi, negara penghasil cokelat terenak di dunia adalah Swiss, di mana negara tersebut tidak memiliki pohon cokelat sama sekali. Sungguh miris apabila kita melihat realita bahwa Indonesia merupakan salah satu negara penghasil kakao terbesar, tetapi tidak mampu mengolah cokelat terenak di dunia.

Budaya yang terdapat dalam masyarakat sekarang adalah budaya opportunis yang memiliki prinsip: “jika dengan mengekspor bahan mentah saja sudah menguntungkan, buat apa diolah, toh kita selalu kalah dengan negara lain”. Learning Society akan mendorong masyarakat untuk belajar bagaimana cara mengolah, bagaimana cara memasarkan, dan selalu berupaya mencari solusi, bukan mencari keuntungan jangka pendek.

 

Tantangan Kemandirian Bangsa

Jika Indonesia tidak mampu menciptakan learning society dengan membudayakan proses how to learn, maka sudah pasti babak baru imperialisme dan kolonialisme modern akan terjadi dalam perekonomian Indonesia. Mari kita lihat dari sisi kemandirian pangan. Indonesia tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan dengan mengandalkan jalur impor untuk memenuhi kebutuhan akan beras, jagung, kedelai, daging sapi, garam, bawang merah, bawang putih dan masih ada beberapa bahan pokok lainnya. Sehingga, dengan melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS yang telah menyentuh level Rp 14.000/$AS, membuat pemerintah kesulitan. Bagaimana masyarakat bisa sejahtera bila alokasi pendapatannya untuk konsumsi bahan pangan menjadi semakin besar dikarenakan terus naiknya harga bahan pangan seiring melamahnya Rupiah. Dari sisi ekspor, kinerja ekspor kita pun melemah akibat rendahnya harga komoditas unggulan ekspor Indonesia. Tiba saatnya Indonesia mulai belajar untuk memulai proses kemandirian bangsa. Belajar untuk mengolah seluruh sumber daya yang ada secara mandiri. Menciptakan learning society agar masyarakat mampu mengolah sumber daya alam secara mandiri dan tidak selalu bergantung pada investasi asing.

Oleh : Maichal (Dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Ciputra)

Artikel lain