The Woods

The Woods. Kompas. 14 Desember 2015.Hal.19

Apa yang terlintas di benak kita ketika membayangkan seperti apa The Woods, daycare dan taman bermain (preschool) yang dimiliki Google di Mountain View, California? Teknologi, inovasi, dan futuristis, jika tiga kata kunci ini yang Anda pikir menjadi karakter The Woods, kita sama-sama keliru.

Awalnya, saya juga membayangkan touch screen besar menggantikan papan tulis, juga komputer tablet menggantikan kertas dan pensil warna. Kesalahan asumsi ini mungkin terjadi karena kita sering mengasosiasikan pendidikan abad ke-21 dengan penggunaan teknologi, dan keterampilan yang harus dimiliki anak-anak adalah kemampuan menggunakan teknologi. The Woods mengingatkan kita pada prinsip yang lebih mendasar tentang makna pendidikan abad ke-21.

Jika ada satu hal yang bisa menunjukkan bagaimana The Woods mencerminkan budaya Google, itu adalah kesempatan untuk berinovasi. Orientasi The Woods bukanlah pada pengguanaan teknologi atau hasil inovasi, melainkan memberikan ruang, waktu, dan bimbingan kepada anak-anak untuk berpikir inovatif dalam berbagai kesempatan di sekolah, termasuk ketika bermain, berinteraksi satu sama lain, belajar di kelas, makan siang, dan sebagainya. Selain itu, berpikir di kelas, makan siang, dan sebagainya. Selain itu, berpikir inovatif inilah keterampilan abad ke-21 yang jauh lebih penting daripada keterampilan menggambar menggunakan berbagai asplikasi komputer.

Kesempatan untuk berpikir inovatif ini tercermin dari setidaknya 3 hal, yaitu fasilitas, kualitas guru, dan kegiatan belajar. Area bermain anak-anak dipenuhi berbagai benda yang tidak nampak seperti mainan. Beberapa kerat kosong ditumpuk di tengan-tengah halaman, dan di tepinya banyak papan-papan kayu, beberapa tumpukan batu, dan ada genangan air yang agaknya dibiarkan demikian. Ini bukan karena The Woods sedang merenovasi bangunan, melainkan memang itu arena bermain anak-anak. Setiap saat mereka bisa membongkar pasang semua benda itu, membuat benteng atau rumah-rumahan. Anak-anak dapat menjadikan berbagai benda, mainan atau bukan, menjadi karya dan menjadi alat untuk terus berimajinasi.

Saat bermain, guru-guru mengobservasi mereka tanpa banyak intervensi. Mereka terdidik dn terlatih untuk peka dan mengerti kapan mereka harus mendorong anak untuk bermain bersama yang lain, dan kapan membiarkannya untuk sibuk sendiri di sudut halaman sekolah. Latar belakang guru-guru di The Woods adalah pendidikan anak usia dini yang paham tahap-tahap tumbuh kembang anak. Mereka menggunakan berbagai cara unik untuk membangun komunikasi yang baik dengan orangtua. Salah satunya adalah dengan men-scan hasil karya anak-anak untuk disampaikan pada orangtua mereka. Tampaknya hanya gurulah yang banyak menggunakan teknologi. Sementara itu, anak-anak sekolah ini asyik dan sibuk berinovasi.

Inovasi membutuhkan berbagai alat. Oleh karena itu, sebuah ruangan besar pun digunakan khusus untuk menyimpan berbagai perlengkapan belajar: spidol, kertas warna-warni, cat air, kanvas lukis, berbagai motif pita, bergulung-gulung benang wol, kain, clay dan sebagainya. Mereka membuat patung, menggambar dengan berbagai media, berlatih memalu paku, menjahit dengan mesin listrik, dan semua ini dilakukan dengan alat yang sebenarnya, bukan mainan.

“Mereka tidak sedang berpura-pura belajar, tapi belajar betulan. Maka, alat belajar mereka pun alat betulan,” ujar kepala sekolah ketika menjelaskan bahwa seluruh peralatan yang disediakan untuk belajar adalah peralatan berkualitas tinggi, yang biasa digunakan oleh orang dewasa.

Berprinsip pada filosofi pendidikan John Dewey, kepala sekolah The Woods yakin bahwa anak-anak harus mengalami, experiencing berbagai proses, bereksperimen, menggunakan berbagai alat, dan mencoba sendiri menjawab pertanyaan mereka, lalu membangun pertanyaan baru, kemudian menjawabnya lagi, dan terus menerus berpikir inovatif. Menggunakan alat yang sebenarnya (bukan mainan), serta membiarkan lingkungan sekolah apa adanya tanpa dicat warna-warni yang artificial, The Woods berprinsip bahwa anak-anak perlu tumbuh di lingkungan yang alami dan belajar hal-hal yang juga alami mereka temui di luar sekolah.

Dewey berprinsip bahwa sekolah bukanlah ruang yang terisolasi dari “kehidupan nyata”, dan sekolah bukanlah persiapan untuk hidup melainkan bagian dari hidup anak-anak. Demikian pula pendidikan abad ke-21, pendidikan model ini harus dirancang untuk merespons kompleksitas dunia. Bukannya terisolasi dalam dinding kelas, generasi penerus bangsa perlu diberi ruang dan kesempatan untuk berpikir inovatif, baik menggunakan teknologi canggih maupun tidak, untuk berkontribusi pada kemajuan bangsa dan dunia.

Rene Suhardono

Penulis & Penggiat Pendidikan

@ReneCC

Nisa Faridz

Penggiat Pendidikan

& Kandidat Doktor Ilmu Pendidikan

@nisafaridz

@kompasklass #baca

Sumber : Kompas. 14 Desember 2015. Hal 19.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *