Perguruan Tinggi Swasta Giat Jaring Mahasiswa

Perguruang Tinggi Swasta Giat Jaring Mahasiswa. Kompas. 21 Januari 2015. Hal. 11

Pendidikan Tinggu Bukan Sekadar Tempat Mendapat Gelar

Ambil contoh, Universitas Pamulang (Unpam) di Kota Tangerang Selatan, banten. Universitas itu memiliki 46.000 mahasiswa. Setiap tahun, 15.000 orang mengikuti ujianmasuk dan 13.000 orang diterima. “Salah satu penyebab diminatinya Unpam adalah iaya pendidikan yang murah,” kata Rektor Unpam Dayat Hidayat, Senin (19/1)

Mahasiswa ekssakta hanya membayar uang kuliah sebesar Rp 1.300.000 per semester. Sementara mahasiswa program studi nonekssakta membayar biaya Rp 1.200.000. Uang kuliah pun bisa dicicil.

Perguruan tinggi lain, yaitu Universitas mercu Buana (UMB) Jakarta, memilih membuka cabang di bekasi untuk menambah jumlah mahasiswa. Total mahasiswa di UMB ada 22.000 orang. “Ada dosen yang dari UMB pusat mengajar di Bekasi beberapa kali dalam sepekan. Ada pula yang menetap di sana,” ujar Kepala Pusat Penjaminan Mutu UMB Desiana Vidayanti, Selasa (20/1)

Di Unpam, program studi terlaris, yaitu Manajemen, memiliki 400 mahasiswa setiap angkatan sehingga harus dipecah menjadi sepuluh kelas. Program studi lain, seperti Teknik Informatika dan Komputer serta Akuntansi, masing-masing tediri atas 60 kelas. Akibatnya, satu dosen bisa mengajar 10 hingga 15 kelas.

Menurut Direktur Pendidik dan Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Supriadi Rustad, rasio itu tak baik bagi dosen dan efektivitas pembelajaran mahasiswa. Masalah beban dosen dialami UMB awal tahun 2000. Kini, mereka membatasi kelas yang boleh diambil dosen.

Sekitar 60 persen mahasiswa di kedua ergurua tinggi itu adalah karyawan yang melanjutkan pendidikan di tingkat strata satu (S-1) dan strata dua (S-2). “Bagi kebanyakan mahasiswa yang juga bekerja, akreditasi bukan hal utama. Yang penting, mereka bisa memperoleh ijazah sehingga bisa melamar  pekerjaan lebih baik,” kata Dekan Fakultas Sastra Unpam Djasminar Anwar. Oleh karena itu, sistem drop out diberlakukab di kedua perguruan tinggi tersebut guna menjaga standar dan kualitas.

Tak hanya gelar

Mantan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Sastry Soemantri Brodjonegoro, berpendaoat, komdifikasi perguruan tinggi bukan merupakan langkah yang bijak karena berisiko mengorbankan mutu. “Pendidikan tinggi tak sekadar untuk mendapatkan gelar sarjana, tetapi untuk penguasaan keterampilan dan keahlian” ujar Satryo.

Sumber : Kompas Kompas, 21 Januari 2015, hlmn 11

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *