Perguruan Tinggi Radikal

Apridar

Guru Besar Ekonomi dan Rektor Universitas Malikussaleh, Aceh

Setidaknya ada dua hal yang membuat negeri ini gaduh akhir-akhir ini. Pertama karena informasi yang sesat dan menyesatkan (hoaks). Kedua karena radikalisme dan intoleransi. Keduanya mengguncang dunia maya dan berimplikasi pada dunia nyata.

Hoaks sering kali memicu ketegangan antarmasyarakat, lebih serius lagi antarumat beragama. Lalu, apa yang memicu radikalisme? Seperti disinggung di bagian awal tulisan ini, tampaknya hoaks menyumbang sikap radikalisme itu. Informasi keliru yang disebar lewat jejaring media sosial itu begitu cepat sampai ke tangan pembaaca. Sayang, meski dunia digital semakin modern, mayoritas pembaca tak begitu bijak menyikapi informasi itu.

Begitu menerima informasi, tanpa analisis, berupaya mencari kebenaran, lalu menyebarkan kembali informasi keliru itu kepada pengguna akun media sosial lainnya. Dampaknya sungguh luar biasa. Pergesekan sikap, bahkan sampai pertikaian fisik, terjadi di masyarakat kita hanya karena satu potong informasi yang jelas-jelas keliru.

Lalu, bagaimana di perguruan tinggi (PT), tempat kaum terdidik berhimpun, gerbang terdepan penjaga peradaban di Tanah Ait itu? Survei Badan Nasional Penaggulangan Terorisme (BNPT) di 15 provinsi, tahun lalu, menyebutkan, 39 persen mahasiswa terpapar paham radikal.

BNPT dan Polri telah menyerahkan data PT yang diduga terpapar paham redikal itu kepada Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Polri setidaknya mendeteksi dua paham radikal yang paling berkembang dewasa ini, yaitu ISIS/NIIS (Negara Islam di Irak dan Suriah) dan Al Qaeda. Kedua organisasi itu terdeteksi pernah beraksi di Nusantara.

Mencurigai anak sendiri?

Berbicara mengenai pencegahan radikalisme di PT tentu memunculkan anggapan bahwa para orang tua (dosen/manajemen PT) sedang mencurigai anaknya sendiri (mahasiswa). Apakah sikap ini dibenarkan? Tentu!

Dalam literatur mana pun, tak ada orangtua yang ingin anaknya menerima paham keliru, ilmu yang sesar, dan keburukan lainnya. Orangtua tentu ingin anaknya memiliki pemahaman yang sedapat mungkin bisa bermanfaat bagi sesama. Dalam bahasa lain, ini disebut toleransi.

Karena itu, perlu dibentuk prosedur standar operasi (SOP) sistem pengewasan mahasiswa. Tentu bukan sekadar mengawasi fisik dan aktivitasnya. Namun, jauh lebih dalam, yaitu mengawasi sikap, kepribadian, dan perbuatannya. Untuk itu, efektivitas dosen wali, manajemen di level jurusan harus dibenahi. Mereka yang dipilih menjadi dosen wali atau pengelola jurusan (ketua, sekretaris, ketua laboratorium) harus memahami esensi mendidik dan mengajar.

Dosen dan guru sesungguhnya bukan sebatas mengajar yang mentransfer pengetahuan kepada mahasiswa. Peran dosen dan guru jauh lebih dalam, yaitu mendidik, maknanya bertanggung jawab akan pembentukan karakter mahasiswa tersebut. Jadi, bukan sebatas menghabiskan jam kuliah yang tercantum dalam sistem kredit semester.

Apakah semua dosen memiliki kompetensi sebagai pendidik? Tempaknya belum semua sampai ke taraf itu. Namun, jika semua dosen merenung akan itikadnya menasbihkan hidup menjadi pendidik, esensi mendidik tersebut sama halnya merawat anak sendiri. Itulah yang patut dicamkan semua dosen di PTN/PTS kita. Dengan begitu, terjadinya perubahan sikap, perilaku, dan tindakan dari mahasiswa yang diduga bersumber dari paham radikal secepat mungkin dapat dideteksi dan diberi obat mujarab penyembuhannya.

Doktrin versus doktrin

Solusi lainnya ialah kontra ideologi. Radikalisme dalam kajian semua pemikir dalam dan luar negeri berkembang lewat indoktrinasi paham tertentu. Umumnya menyitir sepenggal hadis dan ayat yang tak dibarengi dengan asbabun nuzul-nya sehingga si penerima pesan ini pangsung mengamini paham tersebut. Padalah, sering kali paham itu salah dan bertentangan dengan agam apapun di dunia ini, apalagi agama Islam.

Sebagai ideologi, tenteu harus dilakukan konsep dan aplikasi penerapan ideologi pula. Khusus untuk Universitas Malikussaleh di Aceh, konsep ini difomulasikan dalam lembaga yang di sebut Rumah Quran. Lembaga ini mengajarkan tentang Islam modeta layaknya diterapkan organisasi umat Islam terbesar di Tanah Air, yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

Kajian Islam dengan menghadirkan sejumlah ulama disampaikan mengikuti gaya kekinian remaja, serta mudah dipahami, digelar dua kali dalam sepekan. Kajian ini diikuti oleh lintas jurusan dan fakultas. Selain itu, lembaga ini berfungsi menyiapkan kader-kader dari mahasiswa sebagai juru dakwah penyampai pesan damai dari ajaran Islam.

Konsep ini diharapkan mampu membendung paham lainnya, apalagi paham radikal di dalam kampus. Program rutin ini dilakukan bukan hanya untuk mehasiswa baru, melainkan juga mahasiswa semeter lawas dalam kampus.

Kolaborasi orangtua

Langkah lainnya yang ditempuh ialah kolaborasi antara oraganisasi mahasiswa, mahasiswa, dan manajemen PT untuk menangkal radikalisme ini. Sebaik apapun lembaga pendidikan mengajarkan sikap demokratis, welas asih, teoleransi, dan sebagainya, jika tidak didukung orangtua, tantu akan terkikis oleh pergaulan luar kampus.

Untuk itu, orangtua berperan penting sebagai palang pintu utama menjaga pergaulan anaknya. Dengan begitu, kampus dan orangtua berkolaborasi untuk untuk menciptakan generasi unggul, garda penjaga peradaban, dan kebanggaan bangsa itu.

Selain itu, organisasi mahasiswa harus proaktif melihat perubahan sikap mahasiswa di lingkungannya. Jika ditemukan, tentu saluran yang telah disiapkan kampus menjadi tempat aduan. Seluran ini kemudian menangani dan mencari solusi. Jangan pula diberi kewenangan organisasi mahasiswa untuk mengambil sikap mengatasi orang yang dianggap sudah radikal itu. Dikhawatirkan akan muncul masalah baru dan kontraproduktif dari tujuan utama mencegah paham radikal.

Kini saatnya mengambalikan kampus sebagai tempat mendidik generasi emas Indonesia: menyebarkan paham welas asih dan saling menghormati, menghargai perbedaan dan pendapat. Dan, terpenting, membudayakan literasi dan terus melakukan diskusi terbuka sebagai wujud pengembangan akademik dari waktu ke waktu.

Kampus menjadi garda utama penjaga kewarasan bangsa. Jangan sampai terbaik, kampus menjadi salah satu penyumbang masalah bangsa.

 

Sumber: Kompas.14-Februari-2018.Hal_.7

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *