Masih Egois, Ya? Situ Sehat?
PONGKI PAMUNGKAS
Penulis buku The Answer Is Love dan All You Need Is Love.
“Tak ada bantal selembut suara hati yang jelas” – anonim.
Kita layak mensyukuri situasi bangsa yang sedang demam ini. Situasi yang sengit dengan permusuhan satu sama lain. Situasi yang jelas tak membuat nyaman masyarakat Indonesia. Saling cela, saling lempar fitnah, saling hujat, khususnya via media online. Banyak kisah, pertemanan menjadi bubar dalam situasi ini. Pertemanan terbelah. Semua disebabkan proses pemilihan kepala daerah, khususnya pilkada DKI. Sebuah acara demokrasi yang dikatakan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono sebagai “pilkada dengan rasa pilpres”.
Bersyukur karena situasi ini membukakan mata dan pikiran kita semua, bahwa semangat persatuan dalam keberagaman yang selama ini kita banggakan dan gaungkan ternyata masih sangat rentan. Semangat toleransi dan saling menghormati ternyata masih dalam level naratif di buku konstitusi. Pahit memang. Namun, itulah realitas. Itulah “the brutal facts” –memakai istilah Jim Collins—yang kita hadapi. Bersyukur, kita belum sampai atau tidak sampai ke level sebagaimana yang banyak terjadi di negara-negara lain, di Timur Tengah khususnya. Level di mana peperangan dan kekerasan adalah kehidupan keseharian. Di mana tangis pilu penderitaan rakyat sebagai korban pertempuran terdengar sehari-hari ke seantero dunia. Amit-amit. Naudzubillaminzalik !
Kita masih memiliki peluang memperbaiki diri. Kita masih memiliki modal besar untuk memperbaiki diri, menjaga keutuhan NKRI sembari terus menerapkan sistem demokrasi yang telah kita sepakati bersama. Kita perlu melakukan telaah yang tepat terhadap penyebab utama kondisi yang tak sehat ini. Pertanyaan demi pertanyaan mengapa the brutal facts ini terjadi, layak kita lakukan.
Melakukan diagnosis terhadap situasi ini, saya teringat kembali ucapan Gus Dur, Presiden RI ke-4, yang sangat relevan. Beliau menyebut anggota parlemen sebagai “anak-anak TK”, karena perilaku para anggota dewan yang terhormat itu. Ucapan beliau itu memang valid. Fakta berbicara.
Sejatinya, ucapan dan tingkah polah anak-anak kecil itu pada umumnya demikian. Mereka polos dan spontan. Tidak ada akting, tak berpura-pura. Pada anak-anak, berebut sesuatu adalah hal yang jamak. Karena, anak-anak tak mengenal apa yang disebut sebagai konsep kepemilikan. Semua benda yang ada yang mereka lihat atau pegang, dan mereka kehendaki, itu halal untuk diambil dan dipergunakan. Namanya juga anak-anak. Setiap anak-anak mementingkan diri sendiri. Ia tak peduli dengan kepentingan anak atau orang lain. Egoisme adalah watak dasar anak-anak.
Dan, ternyata di situlah letak masalahnya. Watak anak-anak TK ini ternyata tertanam bukan hanya pada anggota parlemen. Watak ini ternyata mawabah dan merasuki segenap penjuru masyarakat bangsa ini. Termasuk, ke banyak pemimpin dan tokoh masyarakat yang sedang bermain dalam ring politik negara ini. Watak egois –mementingkan diri sendiri—itu dalam praktiknya terwujud dalam kombinasi ucapan dan perilaku yang menunjukkan sifat-sifat serakah dan tak beretika (antara lain kebiasaan membolak-balikkan ucapan dan fakta, menghina, menyerang dan merendahkan orang lain, munafik, dan tak tahu malu).
Karena egoisme ini pula para tokoh ini memainkan isu SARA yang secara prinsip bertentangan dengan prinsip yang dianut asas Bhinneka Tunggal Ika yang ada dalam konstitusi negara ini. Mereka memanfaatkan agama sebagai kuda tunggangan untuk meraih pengaruh dari anggota masyarakat dan mendapatkan suara mereka dalam pilkada. Mereka menyanyikan agama dengan langgam yang sangat tidak agamis. Wong agama yang mestinya dilantunkan dengan kelembutan dan kesejukan kok malah mereka nyanyikan dalam irama musik cadas, metal rock. Beringas, garang dan menakutkan.
Dan, perebutan atas pengaruh yang sangat tidak sehat ini makin nampak kasat mata, makin kelihatan tujuan aslinya, yaitu ditujukan terutama untuk pilkada DKI Jakarta. Mengapa demikian? Wallahualam. Silakan Anda analisis sendiri. Hanya saja, kita bisa lihat hasil pilkada putaran I secara nasional: beberapa pemenangnya, yang notabene nonmuslim, diusung dan didukung oleh partai-partai agamis. Lho kok aneh? Ya, jangan heran. Para pemain ini kan masih anak-anak.
Perilaku-perilaku tak pantas itu adalah cerminan egoisme akan kekuasaan. Egoisme memang mampu membuat manusia menjadi gelap mata dan hati. Padahal, bangsa ini sudah sangat lama, 70-an tahun, menunggu lahirnya pemimpin yang jauh dari watak buruk itu. Peluang itu ada saat ini. Peluang itu terlihat dari munculnya beberapa orang yang sangat menjanjikan, para pemimpin yang nampak jauh dari watak egois. Mereka memiliki kompetensi dan berkarakter positif. Mereka telah menunjukkan komitmen positif yang nyata. Mereka telah sungguh-sungguh bekerja, sebagai pelayan, sebagai abdi negara, yang bertanggung jawab menyejahterakan rakyat yang memilihnya.
Saya berdoa, semoga “anak-anak TK” yang sedang bermain dan mencoba berebut kekuasaan ini berkenan untuk bercermin. Yang terhormat para politisi yang tengah bertanding dalam pilkada ini, silakan merenung dan bertanya kepada suara hati masing-masing, “Benarkah saya berusaha menang dalam pilkada ini dengan berniat sungguh-sungguh menyejahterakan bangsa? Adakah egoisme dalam diri saya, yang berpotensi mengabaikan tanggung jawab menyejahterakan rakyat? Apakah saya serakah? Apakah saya suka menyerang orang lain? Apakah saya suka membolak-balikkan ucapan dan fakta? Apakah saya suka merendahkan orang lain? Apakah saya munafik? Apakah saya tak tahu malu?”
Saya berharap, Anda benar-benar jujur kepada diri Anda sendiri. Dan, bila ternyata itu tak terjadi –Anda tetap tak mau jujur dan enggan berdamai dengan suara hati Anda—jangan salahkan bila kawan saya yang suka bersikap sinis akan bertanya secara sinis pula kepada Anda, “Situ sehat?”
Sumber: SWA_.2-15-Maret-2017.